Cari Ilmu Yuuck...

Selasa, 23 Maret 2010

Tokoh-Tokoh LIberal Beserta Perkataan Bathilnya !!!

“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (QS As-Shaff: 8).

“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: ‘Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah’, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS At-Taubah: 59).

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS Al-An’aam: 112).

Berikut ini kumpulan lontaran tokoh-tokoh liberal hasil pelacakan Adian Husaini, kemudian dikomentari oleh Hartono Ahmad Jaiz.

Islam Liberal Meruntuhkan dasar Islam

1. Merusak makna Islam, Iman, mukmin, dan kafir.
2. Mendelegitimasi (meragukan keabsahan) Mushaf Utsmani dan menawarkan al-Quran Edisi Kritis.
3. Mempersamakan al-Quran dan Kitab Agama lain.
4. Mendelegitimasi (meragukan keabsahan) tafsir al-Quran.
5. Meruntuhkan syari’at Islam.
6. Mengikuti jejak Yahudi-Kristian.

Program Liberalisasi Islam (Dr. Greg Barton)

1. Pentingnya konstekstualisasi ijtihad.
2. Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan.
3. Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama
4. Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.

Tokoh-tokoh Awal Islam Liberal di Indonesia (Greg Barton)

1. KH Abdurrahman Wahid (tokoh NU –Nahdlatul Ulama dan pernah menjadi presiden Republik Inonesia 1999-2001 yang diturunkan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) pimpinan Amien Rais dalam sidangnya, karena kasus dana Bulog (Badan Urusan Logistik). Tokoh yang sbutannya Gus Dur ini dikenal nyeleneh, di antaranya melontarkan bahwa lafal Assalamu’alaikum bisa saja diganti dengan selamat pagi).
2. Prof. Dr. Nurcholish Madjid (alumni Chicago Amerika 1984/1985 dikenal melontarkan gagasan sekularisasi, dan menerjemahkan kalimah syahadat menjadi tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar).
3. Ahmad Wahib (mendiang), (orang HMI –Himpunan Mahasiswa Islam—yang diasuh oleh beberapa pendeta Nasrani kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat-Teologia katolik Driyarkara di Jakarta. Dia sangat liberal dan berfaham semua agama sama, hingga Karl Marx pun surganya sama dengan surga Nabi Muhammad saw).
4. Djohan Effendi (orang HMI yang resmi menjadi anggota Ahmadiyah di Jogjakarta, dan memasarkan faham liberal dan pluralisme agama dengan Ahmad Wahib dalam training-training HMI. Kemudian menyunting buku catatan Harian Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam bersama Ismet Nasir keluaran Driyarkara sebagaimana Ahmad Wahib. Buku itu menggegerkan umat Islam tahun 1982, dan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) pimpinan KH Syukri Ghazali dan KH Hasan Basri, buku itu harus dicabut. Namun buku itu didukung oleh bekas menteri agama, Mukti Ali, dan surat dari Litbang Departemen Agama dengan alasan bahwa buku itu ilmiyah. Pemrotes utama selain MUI dan para pemuda Islam adalah Prof Dr HM Rasjidi mantan menteri agama RI pertama).

Ungkapan-ungkapan Nyeleneh Orang Liberal dan Bantahannya

Prof. Dr. Nurcholish Madjid:
Umat Islam pun diperintahkan untuk senantiasa menegaskan bahwa kita semua, para penganut kitab suci yang berbeda-beda itu, sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, dan sama-sama pasrah (muslimun) kepada-Nya.

Komentar:
Ini satu bentuk penyembunyian kebenaran. Sebab Allah menegaskan dalam Al-Qur’an: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah: 29).

Dr. Alwi Shihab, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa:
Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan.

Komentar:
Ungkapan itu bertentangan dengan ayat-ayat Allah: “ Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali Imran: 85).

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putera Maryam’, padahal Al Masih (sendiri) berkata: ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (QS Al-Maaidah: 72).)

Muhammad Ali, Pengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta:
Ayat-ayat surat Ali Imran: 19 dan 85 harus ditafsirkan dalam kerangka pluralisme, yakni “Islam” di dalam ayat itu, harus diartikan sebagai “agama penyerahan diri” .

Komentar:
Ungkapan itu bertentangan dengan sabda Nabi saw:
Hadits dari Abi Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda, Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, tidaklah mendengar padaku seseorang dari umat ini, baik dia itu Yahudi ataupun Nasrani, kemudian dia mati dan tidak beriman dengan (Islam) yang aku diutus dengannya kecuali dia termasuk penghuni-penghuni neraka.” (HR Muslim).

Prof. Dr. KH Said Aqiel Siradj, Ketua Syuriah Nahdlatul Ulama:
Agama yang membawa misi Tauhid adalah Yahudi, Nasrani (Kristen) dan Islam.

Komentar:
Perkataan itu bertentangan dengan ayat:
“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’ dan orang Nasrani berkata: ‘Al Masih itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS At-Taubah: 30).

Ulil Abshar Abdalla, Kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal):
Semua agama sama.
Semuanya menuju jalan kebenaran.
Jadi, Islam bukan yang paling benar.

Komentar:
Ungkapan itu bertentangan dengan ayat:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran; 85).
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS Al-Baqarah: 147).
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS Yunus: 32).)

Sukidi, Direktur Eksekutif Pusat Studi Agama dan Peradaban Pimpinan Pusat Muhammadiyah:
Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur (Nurkholis Madjid) diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah ke hadirat Tuhan. Kepasrahan ini, menjadi ciri pokok semua agama yang benar. Inilah world view Al Quran, bahwa semua agama yang benar adalah al-Islam…

Komentar:
Ya, tetapi Al-Qur’an tidak seperti yang dimaui Nurcholish. Al-Qur’an menegaskan, ahli kitab [Yahudi dan Nasrani] -yang tidak mau masuk Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw- itu kafir:
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6).

Dr. Djalaluddin Rakhmat, orang Bandung yang menyebut dirinya Susi, Sunni-Syi’ah (satu sebutan yang sangat aneh):
Dalam Al-Qur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.

Komentar:
Perkataan tokoh Syi’ah yang tidak berterus terang dirinya Syi’ah ini bertentangan dengan ayat:

“Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: ‘Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka’. Orang-orang kafir berkata: ‘Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata’…” (QS Yunus: 2)

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Pengajar di Fakultas Usuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta (14 Jun 2000):
Di masa Nabi Muhammad saw, orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak dikatakan sebagai kafir, tetapi disebut ahlul kitab.

Komentar:
Perkataan ini bertentangan dengan ayat:
“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’ dan orang Nasrani berkata: ‘Al Masih itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS At-taubah: 30).

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS At-taubah: 31).

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS At-Taubah: 32).

“Orang-orang kafir” dalam ayat itu penekanan pembicaraan ayat sebelumnya jelas Yahudi dan Nasran, jadi siapa lagi kalau bukan mereka. Juga tegas-tegas Allah menyebutkan:
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6).

Prof. Dawam Rahardjo, Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah:
Ahmadiyah (golongan yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi selepas Rasulullah) sama dengan kita…. Jadi kita tidak bisa menyalahkan atau membantah akidah mereka, apapun akidah mereka itu.

Komentar:
Ungkapan Dawam itu menyalahi Al-Qur’an:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Ahzaab: 40).

Dan bertentangan dengan hadits:
1092. Hadis Abu Hurairah r.a: Nabi s.a.w bersabda: “Segala urusan Bani Israel diatur oleh para Nabi. Apabila seseorang Nabi itu meninggal dunia, dia digantikan oleh seorang Nabi yang lain. Tetapi sesungguhnya tidak akan ada Nabi sesudahku. Pada suatu ketika nanti akan muncul Khalifah. Para Sahabat bertanya: ‘Apakah yang anda perintahkan kepada kami?’ Nabi s.a.w menjawab: ‘Patuhilah pelantikan khalifah yang pertama, kemudian yang seterusnya. Penuhilah hak-hak mereka, sesungguhnya Allah akan menanyakan tentang apa yang telah dipertanggungjawabkan kepada mereka’…” (HR Muttafaq ‘alaih).

Ahmad Baso, aktivis Jaringan Islam Liberal, tokoh muda NU:
Mushaf Utsmani adalah konstruk Quraisy terhadap al-Qur’an dengan mengabaikan sumber-sumber Mushaf lainnya.

Komentar:
Ini salah satu hujatan terhadap para sahabat Nabi Muhammad saw tanpa bukti ilmiah dan akhlaq baik, sekaligus untuk menanamkan racun keraguan terhadap kemurnian Al-Qur’an. Allah-lah yang akan menghakiminya bila penguasa di dunia tidak mau.

Taufik Adnan Amal, Pengajar Ulumul Qur’an di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Alaudin Makasar:
… proses tersebut (pembukuan Mushaf Utsmani) masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini

Komentar:
Yang memiliki sejumlah masalah mendasar bukan pembukuan Mushaf Utsmani, tetapi otak pelontar ini sendiri yang telah dicocok hidungnya oleh para orientalis Yahudi dan Kristen yang anti Islam. Padahal mereka sudah mencari-cari masalah yang ingin mereka sebarkan untuk meragukan kemurnian Al-Qur’an sejak berlama-lama tidak berhasil, maka kini punya murid dari kalangan yang mengaku dirinya Muslim, maka gembiralah mereka. Hanya saja, kenapa untuk menggembirakan orang yang anti Islam, mesti mengorbankan keilmuan dan keyakinan. Itulah masalahnya yang mendasar, dan lebih drastis ketimbang sekadar apa yang ia sebut sejumlah masalah mendasar.

Ulil Abshar Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal:
Menurut saya, tidak ada yang disebut “hukum Tuhan” dalam pengertian seperti difahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dsb.

Komentar:
Ungkapan ini mengingkari ayat Al-Qur’an, hadits Nabi saw, dan pernikahan yang dia lakukan sendiri pula, yang tentu saja memakai hukum Islam, yaitu hukum Allah swt yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kalau dia nanti mati, mau dikubur dengan cara apa, kalau tidak mengakui adanya hukum Tuhan?

Hukum Tuhan dia anggap tidak ada, tetapi perkataan orang-orang kafir pun dia kais-kais sebagai landasan dalam berbicara dan menulis. Padahal, menirukan perkataan orang kafir itulah kecaman berat yang difirmankan Allah swt dalam surat Al-Bara’ah atau At-Taubah. Nama surat al-Bara’ah itu sendiri sudah mengandung makna “lepas diri” tidak mau cawe-cawe terhadap kafirin, yaitu Ahli Kitab dan musyrikin plus munafiqin. Tetapi mengapa justru orang-orang yang wajib dibaro’ahi itu oleh Ulil Abshar Abdalla dan sindikatnya dijadikan boss, pemberi dana, pengarah, pembimbing, dan pemberi petunjuk; hingga perkataan nenek moyangnya yang menentang Allah swt pun dikais-kais untuk dimunculkan sebagai racun terhadap umat Islam? Betapa keblingernya ini.

Kalau orang atheis tidak mengakui adanya Tuhan, maka orang yang menirukannya cukup mengatakan, tidak ada hukum Tuhan.

Kalau orang bertauhid meyakini bahwa Tuhan itu hanya satu, maka orang musyrik menambahnya menjadi dua, tiga, dan banyak. Sebaliknya orang atheis meniadakan Tuhan sama sekali.

Akibatnya, orang bertauhid mengikuti hukum Allah swt apa adanya. Orang musyrik menambah-nambah dan membuat-buat hukum semau mereka, sedang orang yang tidak percaya Allah maka mereka menganggap hukum Allah tidak ada, lalu mereka membuat sendiri atau menirukan kafirin terdahulu dan menolak hukum apa saja yang dari Allah swt.
Jadi, kesimpulannya hanyalah menolak hukum Allah, sambil mengais-ngais apa saja yang dari kafirin. Tentu saja setelah duitnya.
Sialnya, kemungkinan nanti dia tidak ke sana tidak ke sini –laa ilaa haaulaa’ walaa ilaa haa ulaa’ . Pihak kafirin tidak percaya kepadanya, sedang pihak mukminin pun marah kepadanya. Tragis benar!

Ulil Abshar Abdalla:
Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.

Komentar
Apakah Ulil mendapatkan mandat dari Allah swt untuk membatalkan ayat-ayat Allah? Di antaranya QS Al-Mumtahanah/60: 10 dan QS Al-Baqarah 221. Padahal jelas sudah tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Jadi Ulil sedang menangkringkan dirinya sebagai “Tuhan”?

Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10).

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah: 221).

Prof. Dawam Rahardjo, Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Presiden III-T Indonesia:
“… menurut hemat saya, Ulil justru mengangkat wahyu Tuhan di atas syariat.”

Komentar:
Bukan mengangkat wahyu Tuhan, tetapi mengangkat dirinya sendiri disejajarkan dengan Tuhan. Sedang yang mendukungnya ini ingin memisahkan syari’at dengan wahyu. Jadi sama-sama rusaknya, saling dukung mendukung.

Dr. Zainun Kamal, pengajar Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta:
“Hanya sebahagian ulama yang berpendapat muslimah haram menikah dengan non-muslim.”

Komentar:
Ulama tidak berpendapat pun Al-Qur’an dan Hadits sudah ada. Ulama pun faham bahwa tidak ada ijtihad mengenai yang sudah ada nashnya (teks ayat atau hadits yang sudah jelas dan tegas maknanya). Ayatnya sudah jelas:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS al-Mumtahanan/ 60: 10).

Dr. Muslim Abdurrahman, tokoh Muhammadiyah:
Korban Pertama dari Penerapan Syari’at Adalah Perempuan.

Komentar:
Ini sama dengan menuduh Allah swt yang mensyari’atkan syari’at untuk manusia itu zhalim. Perkataan itu sangat terlalu. Kalau Allah dianggap dhalim, apakah justru syetan yang adil?

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maaidah: 50).

Orang yang “tidak doyan” syari’at model ini kalau buang air apakah tidak cebok? Dan kalau cebok, mungkin merasa dirinya jadi korban syari’at. Lantas kalau dirinya mati nanti, menurut Adian Husaini, dipersilakan jasad model orang yang menolak ditegakkannnya syari’at itu agar dicantelkan saja di pohon, tidak usah dikubur. Karena menguburkan jenazah itu termasuk bagian dari syari’at.

KH Abdurrahman Wahid:
Bagi saya, peringatan Natal (Krismas) adalah peringatan kaum Muslimin juga. Kalau kita konsekuen sebagai seorang Muslim merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw, maka adalah harus konsekuen merayakan malam Natal.

Komentar:
Pernyataan Gus Dur itu waktu dia jadi presiden RI. Meskipun presiden, kalau menyalahi Islam ya tetap salah.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS Al-Maaidah: 51).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS At-Taubah: 23).
“Barangsiapa menyerupai dengan suatu kaum maka dia termasuk (golongan) mereka.” (HR Abu Daud, kata As-Sakhowi ada yang dha’if tapi punya syawahid/ saksi-saksi. Ibnu Taimiyyah berkata, sanadnya jayyid/ baik. Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari berkata, sanadnya hasan/ bagus).

Ucapan Abdullah bin Amru bahwa ia berkata: “Barangsiapa membangun di bumi musyrikin dan membuat nairuz dan mahrojan mereka (upacara hari-hari besar kafirin/ musyrikin) dan menyerupai dengan mereka sehingga mati maka dia akan dikumpulkan bersama mereka (musyrikin) di hari Kiamat.” (Sunan Al-Baihaqi al-Kubro, lihat Aunul Ma’bud syarah Sunan Abi Dawud, dan Faidhul Qadir).

Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah, bekas rektor IAIN Jogjakarta:
“Tafsir-tafsir klasik Al-Quran tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat.”

Komentar:
Ini mengingkari ilmu. Sebab tafsir-tafsir klasik itu menyampaikan warisan ilmu dari Nabi Muhammad saw yang disampaikan kepada para sahabat, diwarisi tabi’in, lalu tabi’it tabi’in, yang kemudian diwairisi para ulama. Dengan cara menafikan makna dan fungsi tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an, maka sebenarnya yang akan dibabat justru Al-Qur’annya itu sendiri. Karena kalau umat Islam sudah menafikan tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an, maka tidak tahu lagi mana makna yang rajih (kuat) dan yang marjuh (lemah) dalam mengetahui isi Al-Qur’an. Di samping itu, masih mengingkari keadaan manusia. Seakan-akan manusia sekarang ini bukanlah manusia model dulu, tetapi makhluq yang baru sama sekali, tidak ada sifat-sifat kesamaan dengan manusia dulu. Padahal, dari dulu sampai sekarang, dan insya Allah sampai nanti, ciri-ciri dan sifat-sifat manusia itu sama. Yang munafiq ya ciri-ciri dan sifat-sifatnya sama dengan munafiq zaman dulu. Yang kafir pun demikian. Sedang yang mu’min sama juga ciri dan sifatnya dengan mu’min zaman dulu. Maka Allah telah mencukupkan Islam sebagai agama yang Dia ridhai, dan Al-Qur’an menjadi pedoman sepanjang masa, karena manusia zaman diturunkannya Al-Qur’an itu sifatnya sama dengan zaman sekarang ataupun nanti. Tinggal tergolong yang mana? Mu’min, munafiq atau kafir. Hanya itu.

Apalagi hanya tafsirnya, sedang Al-Qur’annya itu sendiri tidak menambah apa-apa kecuali menambah kerugian bagi orang-orang dhalim, dan menambah larinya orang-orang kafir dari kebenaran, memang.

Allah swt berfirman:
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS Al-Israa’: 82).
“Dan sesungguhnya dalam Al Qur’an ini Kami telah ulang-ulangi (peringatan-peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).” (QS Al-Israa’: 41)

Fatwa Ulama tentang penyingkatan Salam ( ASS WR WB ) dan Shalawat ( SAW )

Seringkali kita dapati banyak kaum muslimin yang menyingkat salam dan shalawat dalam tulisan mereka baik, di dalam surat, artikel maupun di buku-buku. Terkadang assalamu’alaikum mereka singkat dengan “ASS” dan shalawat (shallallahu ‘alaihi wasallam) disingkat dengan “SAW”. Bagaimana sebenarnya hukum dalam permasalahan ini? Marilah kita baca fatwa para ulama yang berkenaan dengan penyingkatan ini:

1. Fatwa Syaikh Wasiyullah Abbas (Ulama Masjidil Haram, pengajar di Ummul Qura)

Soal:

Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan س- ر-ب. Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb” – pent). Apa hukum masalah ini?

Jawab:

Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula menyingkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.

Diterjemahkan dari www.bakkah.net

2. Fatwa Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)

Soal: Bolehkah menulis huruf ص yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?

Jawab:

Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.

Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf – ص atau ص- ع – و (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis.

Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.

Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood

(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa., – Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dariFatwa No.5069)

Source: http://wiramandiri.wordpress.com/2007/12/18/fatwa-ulama-tentang-penyingkatan-salam-dan-shalawat

Diterjemahkan dari www.bakkah.net untuk http://ulamasunnah.wordpress.com

Meluruskan sejarah Biografi Syeikh Abdul Qadir Jailani

Siapakah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani

Nama beliau adalah Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang 'ulama bermadzhab Syafi'i yang tinggal di Baghdad.
Kelahiran dan wafatnya beliau : Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.
Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al Jailani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga dengan Kailan. Sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy. (Biaografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail 'Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).
Beliau wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi'ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.

Masa muda beliau :
Beliau meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama' seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra' dan juga Abu Sa'ad Al Muharrimi. Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama'. Suatu ketika Abu Sa'ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak kuat menampungnya. Maka, diadakan perluasan.

Murid-murid beliau :
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama' terkenal. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga Syeikh Qudamah penyusun kitab figh terkenal Al Mughni.

Perkataan ulama tentang beliau :
Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir, beliau menjawab, " kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu." Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A'lamin Nubala XX/442).

Beliau adalah seorang 'alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, "thariqah" yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Diantaranya dapat diketahui dari perkataan Imam Ibnu Rajab, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik 'ulama dan para ahli zuhud. Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah.

Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri' Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir Al Lakh-mi Asy Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya ). Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar”. Imam Ibnu Rajab bekata : ” Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah mansyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh (dari agama dan akal ), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas. (Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya.) semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja'far Al Adfwi (Nama lengkapnya ialah Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang 'ulama bermadzhab Syafi'i. Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitan Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.) telah menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini."(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.). Imam Ibnu Rajab juga berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah memiliki yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal.

Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah ." Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, " Dia ( Allah ) di arah atas, berada diatas 'arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu." Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata " Sepantasnya menetapkan sifat istiwa' ( Allah berada diatas 'arsyNya ) tanpa takwil ( menyimpangkan kepada makna lain ).
Dan hal itu merupakan istiwa' dzat Allah diatas arsys." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 515). Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, " Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali (kekasih) yang tidak berada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal?" Maka beliau menjawab, " Tidak pernah ada dan tidak akan ada."( At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 516).

Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap manhaj Salaf.
Sam'ani berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau." Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,"Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat."
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan bekiau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, "Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau."( Siyar XX/451 ).
Imam Adz Dzahabi juga berkata, " Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi ".

Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, " Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jailani ) didalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf."
(At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).
Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang 'alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a'lam bishshawwab.

Kesimpulannya beliau adalah seorang 'ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu'alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan. Karena Rasulullah shollallahu 'alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun.

Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah ( perantara ) dalam do'a mereka. Berkeyakinan bahwa do'a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meningal sebagai perantara, maka tidak ada syari'atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo'a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do'a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo'a kepada selain Allah,

Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya disamping ( menyembah ) Allah. ( QS. Al-Jin : 18 )

Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para 'ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari'ah.
Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.
Wallahu a'lam bishshawab

[Sumber : Majalah Assunnah Edisi 07/Tahun VI/1423H/2002M]

Jangan sembarangan memanggil seseorang dengan gelar 'Ustadz'!

Tidak setiap orang yang memiliki ilmu itu disebut ustadz. 'Gelar' Ustadz itu tidak sembarangan. Ustadz adalah AHLI ILMU. Gelar ustadz itu tidak sembarangan diberikan, dan hanya orang yang pantaslah yang berhak memberikan gelar ini. Maka gelar ini harus datang dari ustadz lainnya; bukan datang dari orang-orang selainnya. Maka janganlah kita menyebut seseorang ustadz; terkecuali ia memang diakui ustadz oleh USTADZ lainnya. dan memang ia memiliki STANDAR-STANDAR yang memang menjadikannya PANTAS menjadi seorang ustadz. Ini yang perlu dipahami ya ikhwah..

Banyak yang tidak mengetahui mudharat-mudharat yang dihasilkan dari kekeliruan ini. Dengan sembarangannya seseorang menggelari seseorang dengan gelar ustadz (terlebih lagi orang yang digelari tersebut tidak berhak dengan gelar tersebut) maka ini akan merusak ilmu. Kenapa? karena ini dapat mempengaruhi orang lain untuk menimba ilmu darinya (menuntut ilmu kepadanya, bertanya ilmu kepadanya; dll.) padahal dia belum pantas untuk menjadi seorang GURU atau PENGAJAR atau DA'I atau ULAMA atau AHLI ILMU!

Dan yang sangat dikhawatirkan adalah ketika orang yang digelari tersebut TIDAK TAHU DIRI, dan semakin BERLAGAK seperti USTADZ. Allahul musta'aan. Sehingga dia -ustadz jadi-jadian tersebut- ditanyakan ilmu, dan ia pun BERFATWA TANPA ILMU [bahkan terkadang ini kita dapati kepada saudara-saudara kita yang juga SUDAH MENGENAL MANHAJ YANG BENAR, walaupun ia tidak dipanggil ustadz, dan tidak mengaku ustadz; tapi ia banyak berbicara DENGAN KEBODOHAN (tanpa ilmu) dan KERAGU-RAGUAN (tanpa kemantapan ilmu)].

Inilah yang menjadi pembuktian akan hadits-hadits Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam:


لَيْسَ مِنْ أُمَّتِيْ مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفُ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

Laysa min ummatiy man lam yujilla kabiyranaa wa yarham shagiyranaa, ya'rifu li'aaliminaa haqqåhu

“Bukan dari ummatku siapa yang tidak menghormati orang yang besar dari kami dan tidak merahmati orang yang kecil dari kami dan tidak mengetahui hak orang yang alim dari kami.”

(Dihasankan oleh Syaikh Al Albany dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir )


Mereka tidak menghormati orang besar; sekaligus tidak mengetahui hak-hak orang lain. Bahkan mereka tidak memberikan orang alim hak-haknya (yakni menuntut ilmu kepada selainnya), yaitu dengan mengangkat orang-orang yang BUKAN AHLI ILMU sebagai pemimpin mereka dalam beragama.

Padahal Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam bersabda:

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

al-Barakatu ma'a akaabirikum

“Berkah itu bersama orang-orang besarnya kalian.”

(Dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah no. 1778)


Dalam riwayat lain, Rasulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam bersabda, yang artinya:

“Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil)”


Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir ?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran (akal) mereka semata". Banyak pendefinisian 'ulama mengenai al-Ashaaghir ini, termasuk didalamnya adalah ahlul bid'ah.

Dan apa yang mereka lakukan, yakni mengangkat pemimpin agama yang bodoh; menjadi pembuktian akan kebenaran hadits Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam berikut:


إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ

innallåha laa yaq'-bidhul 'ilma intizaa-'an yantazi'uhu minal 'ibaadi

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari para hamba(Nya)

وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ

walakin, yaq'-bidhul 'ilma biqåb'-dhil 'ulamaa'

Akan tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut (mewafatkan) para ulama.

حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّا سُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً

hatta idzaa lam yub'-qa-'aa limanit-takhadzann-naasu ru-uusan juhhalaa

Sampai bila tidak tersisa lagi seorang alim maka manusia pun mengambil para pemimpin yang bodoh

فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ

fasuiluw fa-aftaw bi ghayri 'ilm

Maka mereka pun ditanya lalu mereka memberi fatwa tanpa ilmu.

فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا

fadhålluw wa adhållu

Maka sesatlah mereka lagi menyesatkan

(HR. Bukhariy dan Muslim)


Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam juga bersabda:


سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ

saya'tiy 'alann-naas, sanawaatun khad-daa 'aatun

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu

يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ

yushåddaqa fiyhal kaadzib

Akan dipercaya/dibenarkan padanya orang yang berdusta

وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ

wa yukadzzabu fiyhash shaadiq

dan dianggap berdusta orang yang jujur,

وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ

wa yu'tamanu fiyhal khååinu

orang yang berkhianat dianggap amanah

وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الْأَمِيْنُ

wa khåwwanu fiyhal amiinu

dan orang yang amanah dianggap berkhianat

وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ

wa yantiqu fiyhaa ar-ruwaibidhåh

dan akan berbicara Ar-Ruwaibidhah.

قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ

qiyla: wa maa ar-ruwaibidhåh?

Ditanyakan, ‘ Siapakah Ar-Ruwaibidhah itu?'

قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِيْ أَمْرِ الْعَامَّةِ

qååla: ar-rajulut-taafiu yatakallamu fiy amril ammah

(Beliau shållallåhu 'alayhi wa sallam) berkata: ‘ Orang yang bodoh berbicara dalam perkara umum.”

(HR. Ibnu Majah, Disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah, juga dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain )


Berkata Ibnu Mas'ud Rådhiyallåhu 'anhumaa:

“Manusia masih akan senantiasa sebagai orang yang shalih lagi berpegang teguh sepanjang ilmu datang kepada mereka dari para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan orang-orang besar mereka. Maka apabila (ilmu) datang kepada mereka dari orang-orang kecil [orang-orang bodoh yang bicara masalah agama dan orang-orang menyimpang (ahlul bid'ah) -abu zuhriy], binasalah mereka.”

(Lihat takhrijnya dalam kitab Madarik An-Nazhar hal. 161)


Ukuran seorang 'ulama (ahli 'ilm)

Berkata Ibnul Qayyim dalam I’lam Al-Muwaqqi’in 4/212,

“(Yaitu) Orang yang alim terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan perkataan para shahabat, maka dialah mujtahid (ahli ijtihad) pada perkara-perkara nawazil*."


*Maksudnya yaitu kejadian-kejadian atau masalah-masalah kontemporer yang pelik, yang terjadi pada kaum muslimin

Ibnu Rajab mencontohkannya seperti Imam Ahmad, kemudian beliau menjelaskan sisi kepantasan Imam Ahmad untuk berfatwa dalam nawazil. Di antara kriteria Imam Ahmad yang disebutkan oleh Ibnu Rajab yaitu:

- Beliau telah mencapai puncak pengetahuan tentang Al-Qur`an, As-Sunnah dan Al-Atsar.

- Ilmu Al-Qur`an di antaranya tentang An-Nasikh Wal Mansukh, Al-Mutaqaddim Wal Muta`akhkhir serta tafsir para shahabat dan tabi’in.

- Ilmu As-Sunnah di antaranya hafalan beliau terhadap hadits, pengetahuan tentang shahih dan dhaif suatu hadits, pengetahuan tentang rawi-rawi yang tsiqah dan majruh, serta pengetahuan tentang jalan-jalan hadits dan cacat-cacatnya.


Walaupun kita mengetahui zaman sekarang, terutama di negeri kita; sangat amat sulit mendapatkan kriteria yang ditetapkan Ibnu Rajab diatas, namun yang kita ambil darinya adalah BEGITU TINGGINYA standar yang ditetapkan oleh para ulama akan standar AHLI ILMU, karena mereka tahu AHLI ILMU memegang amanah yang besar, yang tidak dipegang oleh sembarang orang. Maka cukuplah disebut dosa, apabila orang tidak menempatkan amanah pada tempatnya; diantara yakni jika ia tidak menempatkan hak-hak ahli ilmu pada tempatnya.

Allah Subhanahu Wa Ta ’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

Innallåha ya'murukum an tu-adduwl amaanaati ILAA AHLIHAA

Sesungguhnya Allah MENYURUH KAMU (untuk) menyampaikan amanat kepada YANG BERHAK MENERIMANYA,

وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

Wa idzaa hakamtum baynann-naasi antahkumu bil 'adl

Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil

(An-Nisaa': 58)


Kemudian Allåh memberikan solusinya kepada siapakah kita pantas bertanya jika kita tidak memiliki pengetahuan, Ia berfirman:


فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

fas aluw AHLADZ DZIKRI inkuntum laa ta'lamuwn

Maka BERTANYALAH kepada AHLI DZIKR (AHLI 'ILMU) jika kamu tidak mengetahui

(An-Nahl: 43)


Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, ketika ditanya tentang kapan terjadinya hari kiamat, bersabda,


فَإِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

fa idzaa duyyi'atil amaanah, fantazhirus-saa'ah

“Apabila amanah telah ditelantarkan maka tunggulah hari kiamat.”

قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا

qååla: kayfa idhåå 'atuhaa

(Maka ada yang) bertanya, “Kapan ditelantarkannya?”

قَالَ إِذَا وُسِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

qååla: idzaa wusidal amru ila ghåyri ahlihi fantazhiris saa'ah

Beliau shallallåhu 'alayhi wa sallam berkata, “Apabila perkara telah diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah hari kiamat.”

(HSR. Bukhary dari shahabat Abu Hurairah)


Dari sini kita ketahui bahwa menyerahkan perkara agama yang khusus (yang terperinci) dan perkara-perkara besar kepada para ahli 'ilmu merupakan ushul ‘ pokok ’ syariat Islam yang dipegang oleh para imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah dari zaman ke zaman.

Berkata Abu Hatim Ar-Razy Rahimahullah berkata:

“Madzhab dan pilihan kami adalah mengikuti:

- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam,
- Para shahabat beliau,
- Para tabi’in
- Dan orang-orang setelah mereka (yang mengikuti mereka) dengan baik, dan yang komitmen terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan membela para imam yang mengikuti jejak para ulama salaf.

Dan pilihan kami (adalah) apa yang dipilih oleh Ahlus Sunnah dari para imam di berbagai negeri, seperti:

- Malik bin Anas di Madinah
- dan Al-Auza’iy di Syam
- dan Al-Laits bin Sa’ad di Mesir
- dan Sufyan Ats-Tsaury
- serta Hammad bin Zaid di Iraq

[Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 1 hal. 202 karya Al-Lalika`i]


Beliau melanjutkan:

Dan (kami) meninggalkan pendapat-pendapat:

- Al-Mulabbisin (orang-orang yang menyamar-nyamarkan perkara),
- Al-Mumawwihin (orang-orang yang mengaburkan perkara)
- Al-Muzakhrifin (orang-orang yang menghias-hiasi/memperindah perkara dari yang sebenarnya)
- Al-Mumakhriqin (para pembohong) lagi Al-Kadzdzabin (para pendusta) .”

[Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 1 hal. 202 karya Al-Lalika`i.]


Berkata pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Minhajus Sunnah jilid 4 hal. 404, di tengah pembicaraan beliau terhadap masalah jihad (dan ini merupakan salah satu contoh perkara yang besar dan terperinci):

"Secara global, pembahasan tentang perkara-perkara sedetil ini merupakan pekerjaan orang khusus dari para ulama.”


(Lihat rincian ini secara lengkap dalam kitab Madarik An-Nazhar Baina At-Tathbiqat Asy-Syar’iyah wa Al-Infi’alat Al-Hamasiyah. Kitab ini telah direkomendasikan oleh dua ulama besar di zaman ini yaitu Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah dan Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah)

Maka janganlah sembarangan kita memberikan gelar-gelar seperti ustadz -dengan kebodohan kita- kepada orang yang tidak berhak menerimanya. Kita hanya memberikannya kepada orang yang memang pantas menyandangnya dan BERHAK menyandangnya. Semoga kita tidak menyianyiakan amanah ini dan dapat mengamalkannya dengan sebaik-baiknya.'

Semoga bermanfa'at

WALI SONGO - MISTERI ISLAMISASI JAWA

Berikut Isi Tulisan Dari Prof. Hasanu Simon :

I

Sebelum saya sampaikan tanggapan dan komentar saya terhadap buku
berjudul "Syekh Siti Jenar, Ajaran dan Jalan Kematian", karya Dr Abdul
Munir Mulkhan, saya sampaikan dulu mengapa saya bersedia ikut menjadi
pembahas buku tersebut. Tentu saja saya mengucapkan terima kasih
kepada panitia atas kepercayaan yang diberikan kepada saya di dalam
acara launching buku yang katanya sangat laris ini.

Saya masuk Fakultas Kehutanan UGM tahun 1965, memilih Jurusan
Manajemen Hutan. Sebelum lulus saya diangkat menjadi asisten, setelah
lulus mengajar Perencanaan dan Pengelolaan Hutan. Pada waktu ada
Kongres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta tahun 1978, orientasi sistem
pengetolaan hutan mengalami perubahan secara fundamental. Kehutanan
tidak lagi hanya dirancang berdasarkan ilmu teknik kehutanan
konvensional, melainkan harus melibatkan ilmu sosial ekonomi
masyarakat. Sebagai dosen di bidang itu saya lalu banyak mempelajari
hubungan hutan dengan masyarakat mulai jaman kuno dulu. Di situ saya
banyak berkenalan dengan sosiologi dan antropologi. Khusus dalam
mempelajari sejarah hutan di Jawa, banyak masalah sosiologi dan
antropologi yang amat menarik.

Kehutanan di Jawa telah menyajikan sejarah yang amat panjang dan
menarik untuk menjadi acuan pengembangan strategi kehutanan sosial
(social forestry strategy) yang sekarang sedang dan masih dicari oleh
para ilmuwan. Belajar sejarah kehutanan Jawa tidak dapat melepaskan
diri dengan sejarah bangsa Belanda. Dalam mempelajari sejarah Belanda
itu, penulis sangat tertarik dengan kisah dibawanya buku-buku dan
Sunan Mbonang di Tuban ke negeri Belanda. Peristiwa itu sudah terjadi
hanya dua tahun setelah bangsa Belanda mendarat di Banten. Sampai
sekarang buku tersebut masih tersimpan rapi di Leiden, diberi nama
"Het Book van Mbonang", yang menjadi sumber acuan bagi para peneliti
sosiologi dan antropologi.

Buku serupa tidak dijumpai sama sekali di Indonesia. Kolektor buku
serupa juga tidak dijumpai yang berkebangsaan Indonesia. Jadi
seandainya tidak ada "Het Book van Mbonang", kita tidak mengenal sama
sekali sejarah abad ke-16 yang dilandasi dengan data obyektif
Kenyataan sampai kita tidak memiliki data obyektif tentang Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijogo, dan juga tentang Syekh Siti Jenar.
Oleh karena itu yang berkembang lalu kisah-kisah mistik bercampur
takhayul, termasuk misteri Syekh Siti Jenar yang hari ini akan kita
bicarakan. Kisah Walisongo yang penuh dengan mistik dan takhayul itu
amat ironis, karena kisah tentang awal perkembangan Islam di
Indonesia, sebuah agama yang sangat keras anti kemusyrikan.

Pembawa risalah Islam, Muhammad SAW yang lahir 9 abad sebelum era
Wallsongo tidak mengenal mistik. Beliau terluka ketika berdakwah di
Tho'if, beliau juga terluka dan hampir terbunuh ketika perang Uhud.
Tidak seperti kisah Sunan Giri, yang ketika diserang pasukan Majapahit
hanya melawan tentara yang jumlahnya lebih banyak itu dengan
melemparkan sebuah bollpoint ke pasukan Majapahit. Begitu dilemparkan
bollpoint tersebut segera berubah menjadi keris sakti, lalu
berputar-putar menyerang pasukan Majapahit dan bubar serta kalahlah
mereka. Keris itu kemudian diberi nama Keris Kolomunyeng, yang oleh
Kyai Langitan diberikan kepada Presiden Gus Dur beberapa bulan lalu
yang antara lain untuk menghadapi Sidang Istimewa MPR yang sekarang
sedang digelar, dan temyata tidak ampuh.

Kisah Sunan Kalijogo yang paling terkenal adalah kemampuannya untuk
membuat tiang masjid dari tatal dan sebagai penjual rumput di Semarang
yang diambil dari Gunung Jabalkat. Kisah Sunan Ampel lebih hebat lagi;
salah seorang pembantunya mampu melihat Masjidil Haram dari Surabaya
untuk menentukan arah kiblat. Pembuat ceritera ini jelas belum tahu
kalau bumi berbentuk bulat sehingga permukaan bumi ini melengkung.
Oleh karena itu tidak mungkin dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya.

Islam juga mengajarkan bahwa Nabi lbrahim AS, yang hidup sekitar 45
abad sebelum era Walisongo, yang lahir dari keluarga pembuat dan
penyembah berhala, sepanjang hidupnya berdakwah untuk anti berhala .
Ini menunjukakan bahwa kisah para wali di Jawa sangat ketinggalan
jaman dibanding dengan kisah yang dialami oleh orang-orang yang
menjadi panutannya, pada hal selisih waktu hidup mereka sangat jauh.
"Het Book van Mbonang" yang telah melahirkan dua orang doktor dan
belasan master bangsa Belanda itu memberi petunjuk kepada saya,
pentingnya menulis sejarah berdasarkan fakta yang obyektif "Het Book
van Bonang" tidak menghasilkan kisah Keris Kolomunyeng, kisah cagak
dan tatal, kisah orang berubah menjadi cacing, dan sebagainya.

Itulah ketertarikan saya dengan Syekh Siti Jenar sebagai bagian dari
sejarah Islam di Indonesia. Saya tertarik untuk ikut menulis tentang
Syekh Siti Jenar dan Walisongo. Tulisan saya belum selesai, tapi niat
saya untuk terlibat adalah untuk membersihkan sejarah Islam di Jawa
ini dari takhayul, mistik, khurofat dan kemusyrikan. Itulah sebabnya
saya terima tawaran panitia untuk ikut membahas buku Syekh Siti Jenar
karya Dr Abdul Munir Mulkhan ini. Saya ingin ikut mengajak masyarakat
untuk segera meninggalkan dunia mitos dan memasuki dunia ilmu.

Dunia mitos tidak saja bertentangan dengan akidah Islamiyah, tetapi
juga sudah ketinggalan jaman ditinjau dari aspek perkembangan ilmu
pengetahuan. Secara umum dunia mitos telah ditinggalkan akhir abad
ke-19 yang lalu, atau setidak-tidaknya awal abad ke-20. Apakah kita
justru ingin kembali ke belakang? Kalau kita masih berkutat dengan
dunia mitos, masyarakat kita juga hanya akan menghasilkan pemimpin
mitos yang selalu membingungkan dan tidak menghasilkan sesuatu.


II

Siapa Syekh Siti Jenar ? Kalau seseorang menulis buku, tentu para
pembaca berusaha untuk mengenal jatidiri penulis tersebut, mininal
bidang keilmuannya. Oleh karena itu isi buku dapat dijadikan tolok
ukur tentang kadar keilmuan dan identitas penulisnya. Kalau ternyata
buku itu berwama kuning, penulisnya juga berwama kuning. Sedikit
sekali terjadi seorang yang berfaham atheis dapat menulis buku yang
bersifat relijius karena dua hal itu sangat bertentangan. Seorang
sarjana pertanian dapat saja menulis buku tentang sosiologi, karena
antara pertanian dan sosiologi sering bersinggungan. Jadi tidak
mustahil kalau Isi sebuah buku tentu telah digambarkan secara singkat
oleh judulnya. Buku tentang Bertemak Kambing Ettawa menerangkan
seluk-beluk binatang tersebut, manfaatnya, jenis pakan, dan sebagainya
yang mempunyai kaitan erat dengan kambing Ettawa.

Judul buku karya Dr Abdul Munir Mulkhan ini adalah: "Ajaran dan Jalan
Kematian Syekh Siti Jenar. Pembaca tentu sudah membayangkan akan
memperoleh informasi tentang kedua hal itu, yaitu ajaran Syekh Siti
Jenar dan bagaiamana dia mati. Penulis buku juga setia dengan
ketentuan seperti itu.

Bertitik-tolak dari ketentuan umum itu, paragraf 3 sampai dengan 6 Bab
Satu tidak relevan. Bab Satu diberi judul: Melongok Jalan Sufi:
Humanisasi Islam Bagi Semua. Mungkin penulis ingin mengaktualisasikan
ajaran Syekh Siti Jenar dengan situasi kini, tetapi apa yang ditulis
tidak mengena sama sekali. Bahkan di dalam paragraf 3-6 itu banyak
pemyataan (statements) yang mencengangkan saya sebagai seorang muslim.

Pernyataan di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari
diri sendiri atau dari orang lain. Pemyataan orang lain mesti
disebutkan sumbernya; oleh karena itu peryataan yang tidak ada
sumbemya dianggap oleh pembaca sebagai pernyataan dari penulis.
Peryataan orang lain dapat berbeda dengan sikap, watak dan pendapat
penulis, tetapi pernyataan penulis jelas menentukan sikap, watak dan
pendapatnya. Pernyataan-pernyataan di dalam sebuah buku tidak lepas
satu dengan yang lain. Rangkaiannya, sistematika penyajiannya,
merupakan sebuah bangunan yang menentukan kadar ilmu dan kualitas buku
tersebut. Rangkaian dan sistematika pernyataan musti disusun menurut
logika keilmuan yang dapat diterima dan dibenarkan oleh masyarakat ilmu.

Untuk mengenal atau menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis
kalau didahului dengan uraian tentang asal-usul yang empunya ajaran.
Ini juga dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan (Paragraf I Bab Satu,
halaman 3-10). Di dalam paragraf tersebut diterangkan asal-usul Syekh
Siti Jenar tidak jelas. Seperti telah diterangkan, karena tidak ada
sumber obyektif maka kisah asal-usul ini juga penuh dengan
versi-versi. Di halaman 3, dengan mengutip penelitian Dalhar Shofiq
untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat UGM, diterangkan bahwa Syekh Siti
Jenar adalah putera seorang raja pendeta dari Cirebon bemama Resi
bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil.

Kalau seseorang menulis buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil
penelitian, pembahasan secara ilmiah dengan menyandarkan pada logika
amat penting. Tidak semua berita dikutip begitu saja tanpa analisis.
Di dalam uraian tentang asal-usul Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini
jelas sekali penuh dengan kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk
memvalidasi berita tersebut. Kejanggalan-kejanggalan itu adalah:

1 . Ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang raja pendeta benama Resi
Bungsu. Istilah raja pendeta ini kan tidak jelas. Apakah dia seorang
raja, atau pendeta. Jadi beritanya saja sudah tidak jelas sehingga
meragukan.

2. Di halaman 62, dengan mengutip sumber Serat Syekh Siti Jenar,
diterangkan bahwa ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang elite agama
Hindu-Budha. Agama yang disebutkan ini juga tidak jelas. Agama Hindu
tidak sama dengan agama Budha. Setelah Islam muncul menjadi agama
mayoritas penduduk pulau Jawa, persepsi umum masyarakat memang
mengangap agama Hindu dan Budha sama. Pada hal ajaran kedua agama itu
sangat berbeda, dan antara keduanya pernah terjadi perseteruan akut
selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu pada abad ke-10
disebabkan oleh perseteruan akut tersebut. Runtuhnya Mataram Hindu
berakibat sangat fatal bagi perkembangan Indonesia. Setelah itu
kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan pertikaian yang
membuat kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa Jawa yang pada abad
ke-10 sudah di atas Eropa, pada abad ke-20 ini jauh di bawahnya. Tidak
hanya itu, bahkan selama beberapa abad Indonesia (termasuk Jawa) ada
di bawah bayang-bayang bangsa Eropa.

3. Kalau ayah Syekh Siti Jenar beragama Hindu atau Budha, mengapa
anaknya diberi nama Arab, Hasan Ali alias Abdul Jalil. Apalagi seorang
"raja pendeta" yang hidup di era pergeseran mayoritas agama rakyat
menuju agama Islam, tentu hal itu janggal terjadi.

4. Atas kesalahan yang dilakukan anaknya, sang ayah menyihir sang anak
menjadi seekor cacing lalu dibuang ke sungai. Di sini tidak disebut
apa kesalahan tersebut, sehinga sang ayah sampai tega menyihir anaknya
menjadi cacing. Masuk akalkah seorang ayah yang "raja pendeta"
menyihir anaknya menjadi cacing. Ilmu apakah yang dimiliki "raja
pendeta" Resi Bungsu untuk merubah seseorang menjadi cacing? Kalau
begitu, mengapa Resi Bungsu tidak menyihir para penyebar Islam yang
pada waktu itu mendepak pengaruh dan ketenteraman batinnya? Ceritera
seseorang mampu merubah orang menjadi binatang ceritera kuno yang
mungkin tidak pemah ada orang yang melihat buktinya. Ini hanya terjadi
di dunia pewayangan yang latar belakang agamanya Hindu (Mahabarata)
dan Budha (Ramayana).

5. Cacing Hasan Ali yang dibuang di sungai di Cirebon tersebut, suatu
ketika terbawa pada tanah yang digunakan untuk menembel perahu Sunan
Mbonang yang bocor. Sunan Mbonang berada di atas perahu sedang
mengajar ilmu gaib kepada Sunan Kalijogo. Betapa luar biasa
kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan Mbonang tinggal di Tuban,
sedang cacing Syekh Siti Jenar dibuang di sungai daerah Cirebon. Di
tempat lain dikatakan bahwa Sunan Mbonang mengajar Sunan Kalijogo di
perahu yang sedang terapung di sebuah rawa. Adakah orang menembel
perahu bocor dengan tanah? Kalau toh menggunakan tanah, tentu dipilih
dan disortir tanah tersebut, termasuk tidak boleh katutan (membawa)
cacing.

6. Masih di halaman 4 diterangkan, suatu saat Hasan Ali dilarang Sunan
Giri mengikuti pelajaran ilmu gaib kepada para muridnya. Tidak pemah
diterangkan, bagaimana hubungan Hasan Ali dengan Sunan Giri yang
tinggal di dekat Gresik. Karena tidak boleh, Hasan Ali lalu merubah
dirinya menjadi seekor burung sehingga berhasil mendengarkan kuliah
Sunan Giri tadi dan memperoleh ilmu gaib. Setelah itu Hasan Ali lalu
mendirikan perguruan yang ajarannya dianggap sesat oleh para wali.
Untuk apa Hasan Ali belajar ilmu gaib dari Sunan Giri, pada hal dia
sudah mampu merubah dirinya menjadi seekor burung.

Al hasil, seperti dikatakan oleh Dr Abdul Munis Mulkhan sendiri dan
banyak penulis yang lain, asal-usul Syekh Siti Jenar memang tidak
jelas. Karena itu banyak pula orang yang meragukan, sebenarnya Syekh
Siti Jenar itu pernah ada atau tidak . Pertanyaan ini akan saya jawab
di belakang. Keraguan tersebut juga berkaitan dengan, di samping
tempat lahimya, di mana sebenamya tempat tinggal Syekh Siti Jenar.
Banyak penulis selalu menerangkan bahwa nama lain Syekh Siti Jenar
adalah: Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan waktu, nama sering
dikaitkan dengan tempat tinggal. Di mana letak Siti Jenar atau Lemah
Abang itu sampai sekarang tidak pemah jelas; padahal tokoh terkenal
yang hidup pada jaman itu semuanya diketahui tempat tinggalnya. Syekh
Siti Jenar tidak meninggalkan satupun petilasan.

Karena keraguan dan ketidak-jelasan itu, saya setuju dengan pendapat
bahwa Syekh Siti Jenar memang tidak pemah ada. Lalu apa sebenarnya
Syekh Siti Jenar itu? Sekali lagi pertanyaan ini akan saya jawab di
belakang nanti. Kalau Syekh Siti Jenar tidak pernah ada, mengapa kita
ber-tele-tele membicarakan ajarannya. Untuk apa kita berdiskusi
tentang sesuatu yang tidak pemah ada. Apalagi diskusi itu dalam rangka
memperbandingkan dengan Al Qur'an dan Hadits yang amat jelas
asal-usulnya, mulia kandungannya, jauh ke depan jangkauannya, tinggi
muatan ipteknya, sakral dan dihormati oleh masyarakat dunia.

Sebaliknya, Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat terbatas
di kalangan orang Jawa. Tetapi karena begitu sinis dan menusuk
perasaan orang Islam yang telah kaffah bertauhid, maka mau tidak mau
lalu sebagian orang Islam harus melayaninya. Oleh karena itu sebagai
orang Islam yang tidak lagi ragu terhadap kebenaran Al Qur'an dan
kerosulan Muhammad Saw, saya akan berkali-kali mengajak
saudara-saudaraku orang Islam untuk berhati-hati dan jangan terlalu
banyak membuang waktu untuk mendiskusikan ceritera fiktif yang
berusaha untuk merusak akidah Islamiyah ini.


III

Sunan Kalijogo

Semua orang di Indonesia, apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan
Kalijogo yang kecilnya bernama Raden Mas Said ini. Dikatakan dia
adalah putera Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur Yang
beragama Islam.

Silsilah Raden Sahur ke atas adalah putera Ario Tejo III (Islam),
putera Ario Tejo II, putera Ario Tejo II (Hindu), putera Ario Tejo I,
putera Ronggolawe, putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera
Adipati Ponorogo. Itulah asal usul Sunan Kalijogo yang banyak ditulis
dan diyakini orang, yang sebenamya merupakan versi Jawa. Dua versi
lainnya tidak pernah ditulis atau atau tidak dijumpai dalam media
cetak sehingga tidak diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar, 1992).

Di depan telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini
penuh dengan ceritera mistik. Sumber yang orisinil tentang kisah
tersebut tidak tersedia. Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak
meneliti sejarah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa
Belanda memang tidak tersedia data yang dapat dipercaya tentang
sejarah Jawa. Sejarah Jawa banyak bersumber dari cerita rakyat yang
versinya banyak sekali. Mungkin cerita rakyat itu bersumber dari
catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai Juru
Pamekas, lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi setelah melewati
para pengagum atau penentangnya.

Namun demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya
tulis, yang satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh
masyarakat, yaitu Serat Dewo Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal
luas, yaitu Suluk Linglung. Serat Dewo Ruci telah terkenal sebagai
salah satu lakon wayang. Saya pertama kali melihat wayang dengan lakon
Dewo Ruci pada waktu saya masih duduk di kelas 5 SR, di desa kalahiran
ibu saya Pelempayung (Madiun) yang dimainkan oleh Ki dalang Marijan.
Sunan Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang sebenarnya
merupakan kisah hidup yang diangan-angkan sendiri, setelah kurang puas
dengan jawaban Sunan Mbonang atas pertanyaan yang diajukan. Sampai
sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut Kejawen,
yang sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang
fiktif tadi.

Kalau Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin
para penganut Serat Dewo Ruci akan kecelek. Mengapa demikian? Isi
Suluk Linglung temyata hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan
perbedaan sedikit namun fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan
Kalijogo telah menyinggung pentingnya orang untuk melakukan sholat dan
puasa, sedang hal itu tidak ada sama sekali di dalam Serat Dewo Ruci.
Kalau Serat Dewo Ruci telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai
dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung disimpan dalam
bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijogo. Seorang pegawai
Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk untuk mencari
buku tersebut, dan ternyata disimpan oleh Ny Mursidi, keturunan Sunan
Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh
tangan Sunan Kalijogo sendin' menggunakan huruf Arab pegon berbahasa
Jawa. Tahun 1992 buku diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Saat ini saya sedang membahas kedua buku itu, dan untuk sementara saya
sangat bergembira karena menurut kesimpulan saya, menjelang wafat
ternyata Sunan Kalijogo menjadi kaffah mengimani Islam. Sebelumnya
Sunan Kalijogo tidak setia menjalankan syariat Islam, sehingga orang
Jawa hanya meyakini bahwa yang dilakukan oleh Sunan terkenal ini bukan
sholat lima waktu melain sholat da'im. Menurut Ustadz Mustafa Ismail
LC, da'im berarti terus-menerus. Jadi Sunan Kalijogo tidak sholat lima
waktu melainkan sholat da'im dengan membaca Laa illaha ilalloh kapan
saja dan di mana saja tanpa harus wudhu dan rukuk-sujud. Atas dasar
itu untuk sementara saya membuat hipotesis bahwa Syekh Jenar sebenamya
adalah Sunan Kalijogo. Hipotesis inilah yang akan saya tulis dan
sekaligus saya gunakan untuk mengajak kaum muslimin Indonesia untuk
tidak bertele-tele menyesatkan diri dalam ajaran Syekh Siti Jenar.
Sayang, waktu saya masih banyak terampas untuk menyelesaikan buku-buku
saya tentang kehutanan sehingga upaya saya untuk mengkaji dua buku
tersebut tidak dapat berjalan lancar. Atas dasar itu pula saya
menganggap bahwa diskusi tentang Syekh Siti Jenar, seperti yang
dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan ini, menjadi tidak mempunyai
landasan yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku karya Sunan Kalijogo
tersebut.

Sebagai tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjatidiri seperti
tertulis di dalam Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berfaham
manunggaling kawulo Gusti (seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan,
Sunan Pandanaran, dan sebagainya), sedang setelah kaffah murid dengan
tauhid murni, yaitu Joko Katong yang ditugaskan untuk mengislamkan
Ponorogo. Joko Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah
tersebut yang pengaruhnya amat luas sampai sekarang, termasuk Kyai
Kasan Bestari (guru R Ng Ronggowarsito), Kyai Zarkasi (pendiri PS
Gontor), dan mantan Presiden BJ Habibie termasuk Ny Ainun Habibie.

IV

Walisongo

Sekali lagi kisah Walisongo penuh dengan cerita-cerita yang sarat
dengan mistik. Namun Widji Saksono dalam bukunya "Mengislamkan Tanah
Jawa" telah menyajikan analisis yang memenuhi syarat keilmuan. Widji
Saksono tidak terlarut dalam cerita mistik itu, memberi bahasan yang
memadai tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau yang bertentangan
dengan akidah Islamiyah.

Widji Saksono cukup menonjolkan apa yang dialami oleh Raden Rachmat
dengan dua temannya ketika dijamu oleh Prabu Brawidjaja dengan tarian
oleh penan putri yang tidak menutup aurat. Melihat itu Raden Rachmat
selalu komat-kamit, tansah ta'awudz. Yang dimaksudkan pemuda tampan
terus istighfar melihat putri-putri cantik menari dengan sebagian
auratnya terbuka. Namun para pengagum Walisongo akan "kecelek" (merasa
tertipu, red) kalau membaca tulisan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid.

Kedua penulis menemukan sebuah naskah yang mengambil informasi dari
sumber orisinil yang tersimpan di musium Istana Istambul, Turki.
Menurut sumber tersebut, temyata organisasi Walisongo dibentuk oleh
Sultan Muhammad I. Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu,
Sultan Muhammad I lalu ingin mengirim tim yang beranggotakan sembilan
orang, yang memiliki kemampuan di berbagai bidang, tidak hanya bidang
ilmu agama saja. Untuk itu Sultan Muhammad I mengirim surat kepada
pembesar di Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya minta dikirim
beberapa ulama yang mempunyai karomah.

Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu lalu dibentuk fim
beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada tahun
1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan
ahli mengatur negara dari Turki. Berita ini tertulis di dalam kitab
Kanzul 'Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudiah dilanjutkan oleh
Syekh Maulana Al Maghribi. Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9
orang tersebut adalah sebagai berikut:

1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro'il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang
dihuni jin jahat (??).

Dengan informasi baru itu terjungkir-baliklah sejarah Wallsongo versi
Jawa. Ternyata memang sejarah Walisongo versi non-Jawa, seperti telah
disebutkan di muka, tidak pemah diekspos, entah oleh Belanda atau oleh
siapa, agar orang Jawa, termasuk yang memeluk agama Islam, selamanya
terus dan semakin tersesat dari kenyataan yang sebenamya. Dengan
informasi baru itu menjadi jelaslah apa sebenamya Walisongo itu.
Walisongo adalah gerakan berdakwah untuk menyebarkan Islam. Oleh
karena gerakan ini mendapat perlawanan dengan gerakan yang lain,
termasuk gerakan Syekh Siti Jenar.

Latar Belakang Gerakan Syekh Siti Jenar

Tulisan tentang Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya bersumber pada satu
tulisan saja, yang mula-mula tanpa pengarang. Tulisan yang ada
pengarangnya juga ada, misalnya Serat Sastro Gendhing oleh Sultan
Agung. Buku berjudul Ajaran Syekh Siti Jenar karya Raden Sosrowardojo
yang menjadi buku induk karya Dr Abdul Munir Mulkhan itu sebenarnya
merupakan gubahan atau tulisan ulang dari buku dengan judul yang sama
karya Ki Panji Notoroto. Nama Panji Notoroto adalah samaran mantan
Adipati Mataram penganut berat ajaran Syekh Siti Jenar. Ki Panji
Notoro memberi informasi menarik, bahwa rekan-rekan Adipati
seangkatannya ternyata tidak ada yang dapat membaca dan menulis. Ini
menunjukkan bahwa setelah era Demak Bintoro, nampaknya pendidikan
klasikal di masyarakat tidak berkembang sama sekali.

Memahami Al Qur'an dan Hadits tidak mungkin kalau tidak disadari
dengan ilmu. Penafsiran Al Qur'an tanpa ilmu akan menghasilkan
hukum-hukum yang sesat belaka. Itulah nampaknya yang terjadi pada era
pasca Demak, yang kebetulan sejak Sultan Hadiwidjojo agama yang dianut
kerajaan adalah agama manunggaling kawulo Gusti. Di samping masalah
pendidikan, sejak masuknya agama Hindu di Jawa ternyata pertentangan
antar agama tidak pernah reda. Hal ini dengan jelas ditulis di dalam
Babad Demak. Karena pertentangan antar agama itulah Mataram Hindu
runtuh (telah diterangkan sebelumnya). Sampai dengan era Singasari,
masih ada tiga agama besar di Jawa yaitu Hindu, Budha dan Animisme
yang juga sering disebut Agama Jawa. Untuk mencoba meredam
pertentangan agama itu, Prabu Kertonegoro, raja besar dan terakhir
Singasari, mencoba untuk menyatukannya dengan membuat agama baru
disebut agama Syiwa-Boja. Syiwa mewakili agama Hindu, Bo singkat Buda
dan Ja mewakili agama Jawa.

Nampaknya sintesa itulah yang, ditiru oleh politik besar di Indonesa
akhir decade 1950-an dulu, Nasakom. Dengan munculnya Islam sebagai
agama mayoritas baru, banyak pengikut agama Hindu, Budha dan Animisme
yang melakukan perlawanan secara tidak terang-terangan. Mereka lalu
membuat berbagai cerita, misalnya Gatholoco, Darmogandhul, Wali Wolu
Wolak-walik, Syekh Bela Belu, dan yang paling terkenal Syekh Siti
Jenar. Untuk yang terakhir itu kebetulan dapat di-dhompleng-kan kepada
salah satu anggota Walisongo yang terkenal, yaitu Sunan Kalijogo
seperti telah disebutkan di muka.

Jadi Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya sebuah gerakan anti reformasi,
anti perubahan dari Hindu-Budha-Jawa ke Islam. Oleh karena itu isi
gerakan itu selalu sinis terhadap ajaran Islam, dan hanya diambil
potongan-potongannya yang secara sepintas nampak tidak masuk akal.
Potongan- potongan ini banyak sekali disitir oleh Dr Abdul Munir
Mulkhan tanpa telaah yang didasarkan pada dua hal, yaltu logika dan
aqidah.

Pernyataan-pernyataan

Masalah pernyataan yang dibuat oleh penulis buku ini telah saya
singgung di muka. Banyak sekali pernyataan yang saya sebagai muslim
ngeri membacanya, karena buku ini ditulis juga oleh seorang muslim,
malah Ketua sebuah organisasi Islam besar. Misalnya pernyataan yang
menyebutkan: "ngurusi" Tuhan, semakin dekat dengan Tuhan semakin tidak
manusiawi, kelompok syariah yang dibenturkan dengan kelompok sufi,
orang beragama yang mengutamakan formalitas, dan sebagainya.

Setahu saya dulu pernyataan seperti itu memang banyak diucapkan oleh
orang-orang dari gerakan anti Islam, termasuk orang-orang dari Partai
Komunis Indonesia yang pemah menggelar kethoprak dengan lakon "Patine
Gusti Allah" (matinya Allah,red) di daerah Magelang tahun 1965-an
awal. Bahkan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa syahadat, sholat,
puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji itu tidak perlu. Yang
penting berbuat baik untuk kemanusiaan.

Ini jelas pendapat para penganut agama Jawa yang sedih karena
pengaruhnya terdesak oleh Islam. Rosululloh juga tidak mengajarkan
pelaksanaan ibadah hanya secara formalistik, secara ritual saja.
Dengan Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk berbuat baik, karena
kehidupan muslimin harus memenuhi dua aspek, yaitu hablum minannaas wa
hablum minalloh.

Di dalam buku, seperti saya sebutkan, hendaknya pernyataan disusun
sedemikian rupa untuk membangun sebuah misi atau pengertian. Apa
sebenarnya misi yang akan dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan dengan
menulir buku Syekh Siti Jenar itu. Buku ini juga dengan jelas
menyiratkan kepada pembaca
bahwa mempelajari ajaran Syekh Siti Jenar itu lebih balk dibanding
dengan mempelajari fikih atau syariat. Islam tidak mengkotak-kotakkan
antara fikih, sufi dan sebagainya. Islam adalah satu, yang karena
begitu kompleksnya maka orang harus belajar secara bertahap. Belajar
syariah merupakan tahap awal untuk mengenal Islam.

Penulis juga membuat pernyataan tentang mengkaji Al Qur'an. Bukan
hanya orang Islam dan orang yang tahun bahasa Arab saja yang boleh
belajar Qur'an. Di sini nampaknya penulis lupa bahwa untuk belajar Al
Qur'an ada, dua syarat yang harus dipenuhl, yaitu muttaqien (Al
Baqoroh ayat 2) dan tahu penjelasannya, yang sebagian telah
dicontohkan oleh Muhammad Saw. Jadi sebenamya boleh saja siapapun
mengkaji Al Qur'an, tetapi tentu tidak boleh semaunya sendiri, tanpa
melewati dua rambu penting itu. Oleh karena itu saya mengajak kepada
siapapun, apalagi yang beragama Islam, untuk belaiar Al Qur'an yang
memenuhi kedua syarat itu, misalnya kepada Ustadz Umar Budiargo,
ustadz Mustafa Ismail, dan banyak lagi, khususnya alumni universitas
Timur Tengah. Jangan belajar Al Qur'an dari pengikut ajaran Syekh Siti
Jenar karena pasti akan tersesat sebab Syekh Siti Jenar adalah gerakan
untuk melawan Islam.

Catatan Kecil

Untuk mengakhiri tanggapan saya, saya sampaikan beberapa catatan kecil
pada buku Syekh Siti Jenar karya Dr Abdul Munis Mulkhan ini :

1. Banyak kalimat yang tidak sempurna, tidak mempunyai subyek
misalnya. Juga banyak kalimat yang didahului denga kata sambung.

2. Banyak pernyataan yang terlalu sering diulang-ulang sehingga
terkesan mengacaukan sistematika penulisan.

3. Bab Satu diakhir dengan Daftar Kepustakaan, Bab lain tidak, dan
buku ini ditutup dengan Sumber Pustaka. Yang yang tercantum didalam
Daftar kepustakaan Bab Satu hampir sama dengan yang tercantum dalam
Sumber Pustaka.

4. Cara mensitir penulis tidak konsisten, contoh dapat dilihat pada
halaman II yang menyebut: ...... sejarah Islam (Madjld, Khazanah,
1984), dan di alinea berikutnya tertulis:....... Menurut Nurcholish
Madjld (Khazanas, 1984, hlm 33).

5. Bab Keempat, seperti diakui oleh penulis, merupakan terjemahan buka
karya Raden Sosrowardoyo yang pemah ditulis di dalam buku dengan judul
hampir sama oleh penulis. Di dalam buku ini bab tersebut mengambil
hampir separoh buku (halaman 179-310). Karena pemah ditulis, sebenamya
di sini tidak perlu ditulis lagi melainkan cukup mensitir saja.
Beberapa catatan ini memang kecil, tetapi patut disayangkan untuk
sebuah karya dari seorang pemegang gelar akademik tertinggi, Doktor.

Demikianlah tanggapan saya, kurang lebihnya mohon dima'afkan. Semoga
yang saya lakukan berguna untuk berwasiat-wasitan (saling
menasehati,red) didalam kebenaran sesuai dengan amanat Alloh Swt di
dalam surat Al-'Ashr

Amien.

Wassalaamu 'alaikum warokhwatulloohi wabarokaatuh.
Yogyakarta, 24 Juli 2001

source: http://www.mail-archive.com/fossei@yahoogroups.com/msg00035.html

Kamis, 11 Maret 2010

Inilah Generasi Terbaik dalam Sejarah

“Belum pernah ada, dan tidak akan pernah ada suatu kaum yang serupa dengan mereka”

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa hendak mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal. Mereka itu adalah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 198)

Pengertian Sahabat

Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah murtad seperti Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa dalam pengertian ini lebih luas daripada sekedar duduk di hadapannya, berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan termasuk dalam pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat (lihat Taisir Mushthalah Hadits, hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)

Sikap Ahlus Sunnah terhadap para Sahabat

Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq Al Jaza’iri hafizhahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah As Salafiyun senantiasa mencintai mereka (para sahabat) dan sering menyebutkan berbagai kebaikan mereka. Mereka juga mendo’akan rahmat kepada para sahabat, memintakan ampunan untuk mereka demi melaksanakan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan ; Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan keimanan. Dan janganlah Kau jadikan ada rasa dengki di dalam hati kami kepada orang-orang yang beriman, sesungguhnya Engkau Maha Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr : 10) Dan termasuk salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah As Salafiyun adalah menahan diri untuk tidak menyebut-nyebutkan kejelekan mereka serta bersikap diam (tidak mencela mereka, red) dalam menanggapi perselisihan yang terjadi di antara mereka. Karena mereka itu adalah pilar penopang agama, panglima Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, penolong beliau, pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid yang apabila benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun tetap mendapatkan pahala. “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi mereka balasan atas apa yang telah mereka perbuat. Dan bagi kalian apa yang kalian perbuat. Kalian tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah : 141). Barangsiapa yang mendiskreditkan para sahabat maka sesungguhnya dia telah menentang dalil Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ dan akal.” (Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)

Dalil-dalil Al Kitab tentang keutamaan para Sahabat

1. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Muhammad adalah utusan Allah beserta orang-orang yang bersamanya adalah bersikap keras kepada orang-orang kafir dan saling menyayangi sesama mereka. Engkau lihat mereka itu ruku’ dan sujud senantiasa mengharapkan karunia dari Allah dan keridhaan-Nya.” (QS. Al Fath)
2. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan.” (QS. Al Hasyr : 8-9)
3. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath : 18)
4. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang terlebih dulu (berjasa kepada Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha mepada Allah. dan Allah telah mempersiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. At Taubah : 100)
5. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari dimana Allah tidak akan menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS. At Tahrim : 8) (lihat Al Is’aad, hal. 77-78)

Dalil-dalil dari As Sunnah tentang keutamaan para Sahabat

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela seorang pun di antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan setengahnya saja.” (Muttafaq ‘alaih)
2. Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)
3. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu adalah amanat bagi langit. Apabila bintang-bintang itu telah musnah maka tibalah kiamat yang dijanjikan akan menimpa langit. Sedangkan aku adalah amanat bagi para sahabatku. Apabila aku telah pergi maka tibalah apa yang dijanjikan Allah akan terjadi kepada para sahabatku. Sedangkan para sahabatku adalah amanat bagi umatku. Sehingga apabila para sahabatku telah pergi maka akan datanglah sesuatu (perselisihan dan perpecahan, red) yang sudah dijanjikan Allah akan terjadi kepada umatku ini.” (HR. Muslim)
4. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah : 234)
5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah : 24) (lihat Al Is’aad, hal. 78)

Dalil Ijma’ tentang keutamaan para Sahabat

1. Imam Ibnush Shalah rahimahullah berkata di dalam kitab Mukaddimah-nya, “Sesungguhnya umat ini telah sepakat untuk menilai adil (terpercaya dan taat) kepada seluruh para sahabat, begitu pula terhadap orang-orang yang terlibat dalam fitnah yang ada di antara mereka. hal ini sudah ditetapkan berdasarkan konsensus/kesepakatan para ulama yang pendapat-pendapat mereka diakui dalam hal ijma’.”
2. Imam Nawawi rahimahullah berkata di dalam kitab Taqribnya, “Semua sahabat adalah orang yang adil, baik yang terlibat dalam fitnah maupun tidak, ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang layak untuk diperhitungkan pendapatnya.”
3. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Al Ishabah, “Ahlus Sunnah sudah sepakat untuk menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Tidak ada orang yang menyelisihi dalam hal itu melainkan orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli bid’ah.”
4. Imam Al Qurthubi mengatakan di dalam kitab Tafsirnya, “Semua sahabat adalah adil, mereka adalah para wali Allah ta’ala serta orang-orang suci pilihan-Nya, orang terbaik yang diistimewakan oleh-Nya di antara seluruh manusia ciptaan-Nya sesudah tingkatan para Nabi dan Rasul-Nya. Inilah madzhab Ahlus Sunnah dan dipegang teguh oleh Al Jama’ah dari kalangan para imam pemimpin umat ini. Memang ada segolongan kecil orang yang tidak layak untuk diperhatikan yang menganggap bahwa posisi para sahabat sama saja dengan posisi orang-orang selain mereka.” (lihat Al Is’aad, hal. 78)

Urutan keutamaan para Sahabat

Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Para sahabat itu memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat. [1] Yang paling utama di antara mereka adalah khulafa rasyidin yang empat; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali, radhiyallahu’anhum al jamii’. Mereka adalah orang yang telah disabdakan oleh Nabi ‘alaihi shalatu wa salam, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan Sunnah khulafa rasyidin yang berpetunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.” [2] Kemudian sesudah mereka adalah sisa dari 10 orang yang diberi kabar gembira pasti masuk surga selain mereka, yaitu : Abu ‘Ubaidah ‘Aamir bin Al Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Zubeir bin Al Awwaam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhum. [3] Kemudian diikuti oleh Ahlul Badar, lalu [4] Ahlu Bai’ati Ridhwan, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath : 18). [5] Kemudian para sahabat yang beriman dan turut berjihad sebelum terjadinya Al Fath. Mereka itu lebih utama daripada sahabat-sahabat yang beriman dan turut berjihad setelah Al Fath. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidaklah sama antara orang yang berinfak sebelum Al Fath di antara kalian dan turut berperang. Mereka itu memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang berinfak sesudahnya dan turut berperang, dan masing-masing Allah telah janjikan kebaikan (surga) untuk mereka.” (QS. Al Hadid : 10). Sedangkan yang dimaksud dengan Al Fath di sini adalah perdamaian Hudaibiyah. [6] Kemudian kaum Muhajirin secara umum, [7] kemudian kaum Anshar. Sebab Allah telah mendahulukan kaum Muhajirin sebelum Anshar di dalam Al Qur’an, Allah subhanahu berfirman (yang artinya), “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr : 8). Mereka itulah kaum Muhajirin. Kemudian Allah berfirman tentang kaum Anshar, Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan. Dan barangsiapa yang dijaga dari rasa bakhil dalam jiwanya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Hasyr : 9). Allah mendahulukan kaum Muhajirin dan amal mereka sebelum kaum Anshar dan amal mereka yang menunjukkan bahwasanya kaum Muhajirin lebih utama. Karena mereka rela meninggalkan negeri tempat tinggal mereka, meninggalkan harta-harta mereka dan berhijrah di jalan Allah, itu menunjukkan ketulusan iman mereka…” (Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak bersama Syarah ‘Aqidah Thahawiyah Darul ‘Aqidah, hal. 492-494)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sebab berbedanya martabat para sahabat adalah karena perbedaan kekuatan iman, ilmu, amal shalih dan keterdahuluan dalam memeluk Islam. Apabila dilihat secara kelompok maka kaum Muhajirin paling utama kemudian diikuti oleh kaum Anshar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar.” (QS. At Taubah : 117). Hal itu disebabkan mereka (Muhajirin) memadukan antara hijrah meninggalkan negeri dan harta benda mereka dengan pembelaan mereka (terhadap dakwah Nabi di Mekkah, pent). Sedangkan orang paling utama di antara para sahabat adalah Abu Bakar, kemudian Umar. Hal itu berdasarkan ijma’. Kemudian ‘Utsman, kemudian ‘Ali. Ini menurut pendapat jumhur Ahlis Sunnah yang sudah mantap dan mapan setelah sebelumnya sempat terjadi perselisihan dalam hal pengutamaan antara Ali dengan ‘Utsman. Ketika itu sebagian ulama lebih mengutamakan ‘Utsman kemudian diam, ada lagi ulama lain yang lebih mendahulukan ‘Ali kemudian baru ‘Utsman, dan ada pula sebagian lagi yang tawaquf tidak berkomentar tentang pengutamaan ini. Orang yang berpendapat bahwa ‘Ali lebih utama daripada ‘Utsman maka tidak dicap sesat, karena memang ada sebagian (ulama) Ahlus Sunnah yang berpendapat demikian.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 77)

Menyikapi polemik yang terjadi di kalangan para Sahabat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap mereka (Ahlus Sunnah) dalam menyikapi hal itu ialah; sesungguhnya polemik yang terjadi di antara mereka merupakan (perbedaan yang muncul dari) hasil ijtihad dari kedua belah pihak (antara pihak ‘Ali dengan pihak Mu’awiyah, red), bukan bersumber dari niat yang buruk. Sedangkan bagi seorang mujtahid apabila ia benar maka dia berhak mendapatkan dua pahala, sedangkan apabila ternyata dia tersalah maka dia berhak mendapatkan satu pahala. Dan polemik yang mencuat di tengah mereka bukanlah berasal dari keinginan untuk meraih posisi yang tinggi atau bermaksud membuat kerusakan di atas muka bumi; karena kondisi para sahabat radhiyallahu’anhum tidak memungkinkan untuk itu. Sebab mereka adalah orang yang paling tajam akalnya, paling kuat keimanannya, serta paling gigih dalam mencari kebenaran. Hal ini selaras dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat manusia adalah orang di jamanku (sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan demikian maka jalan yang aman ialah kita memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk memperbincangkan polemik yang terjadi di antara mereka dan kita pulangkan perkara mereka kepada Allah; sebab itulah sikap yang lebih aman supaya tidak memunculkan rasa permusuhan atau kedengkian kepada salah seorang di antara mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 82)

Keterjagaan para Sahabat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “(Individu) Para sahabat bukanlah orang-orang yang ma’shum dan terbebas dari dosa-dosa. Karena mereka bisa saja terjatuh dalam maksiat, sebagaimana hal itu mungkin terjadi pada orang selain mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang paling layak untuk meraih ampunan karena sebab-sebab sebagai berikut :

1. Mereka berhasil merealisasikan iman dan amal shalih
2. Lebih dahulu memeluk Islam dan lebih utama, dan terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi (sebaik-baik umat manusia, red)
3. Berbagai amal yang sangat agung yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang selain mereka, seperti terlibat dalam perang Badar dan Bai’atur Ridhwan
4. Mereka telah bertaubat dari dosa-dosa, sedangkan taubat dapat menghapus apa yang dilakukan sebelumnya.
5. Berbagai kebaikan yang akan menghapuskan berbagai amal kejelekan
6. Adanya ujian yang menimpa mereka, yaitu berbagai hal yang tidak disenangi yang menimpa orang; sedangkan keberadaan musibah itu bisa menghapuskan dan menutup bekas-bekas dosa.
7. Kaum mukminin senantiasa mendo’akan mereka
8. Syafa’at dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka adalah umat manusia yang paling berhak untuk memperolehnya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah maka perbuatan sebagian mereka yang diingkari (karena salah) adalah sangat sedikit dan tenggelam dalam (lautan) kebaikan mereka. Hal itu dikarenakan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para Nabi dan juga orang-orang terpilih di antara umat ini, yang menjadi umat paling baik. Belum pernah ada dan tidak akan pernah ada suatu kaum yang serupa dengan mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 83-84)

Cintailah mereka!

Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan, “Kami -Ahlus Sunnah- mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah seorang di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara yang tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488)

Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Hukum Menjadi Pegawai Bank Dalam Pandangan Islam

Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Komisi Fatwa-nya dalam forum Rapat Kerja Nasional dan Ijtima’ Ulama Indonesia, sejak hampir 6 tahun yang lalu tepat pada hari Selasa 16 Desember 2003 telah mengeluarkan fatwa tentang bunga. Fatwa itu intinya menyatakan bahwa bunga pada bank dan lembaga keuangan lain yang ada sekarang telah memenuhi seluruh kriteria riba. Riba tegas dinyatakan haram, sebagaimana firman Allah SWT:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 275).

Karena riba haram, berarti bunga juga haram. Karena itu, sejujurnya tidak ada yang istimewa dari fatwa MUI ini. Bahkan sejatinya, untuk perkara yang segamblang atau qath‘î itu tidaklah diperlukan fatwa, alias tinggal dilaksanakan saja. Artinya, fatwa itu lebih merupakan penegasan saja. Sebagai penegasan, fatwa ini sungguh penting karena meski jelas-jelas dilarang al-Quran, praktik pembungaan uang di berbagai bentuk lembaga keuangan tetap saja berlangsung hingga saat ini.

Tulisan kali ini akan lebih membahas tentang besarnya dosa riba dan keterlibatan di dalamnya (Tulisan lengkapnya dapat dilihat di buku kami: “Hukum Seputar Riba dan Pegawai Bank” yang diterbitkan Ar-Raudhoh Pustaka).


Dosa Riba

Seberapa besar dosa terlibat dalam riba, maka cukuplah hadits-hadits shahih berikut menjawabnya:

“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).

“Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan” Orang-orang bertanya, apakah gerangan wahai Rasul? Beliau menjawab: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri waktu datang serangan musuh dan menuduh wanita mu’min yang suci berzina”. (HR Bukhari Muslim)

Terlibat dalam riba (Bunga Bank) adalah termasuk dosa besar, yang sejajar dengan dosa syirik, sihir, membunuh, memakan harta anak yatim, melarikan dari jihad, dan menuduh wanita baik-baik berzina. Naudzubillah. Bahkan apabila suatu negeri membiarkan saja riba berkembang di daerahnya maka sama saja ia menghalalkan Allah untuk mengazab mereka semua.

“Apabila riba dan zina telah merajalela di suatu negeri, maka rakyat di negeri itu sama saja telah menghalalkan dirinya dari azab Allah” (HR. Al Hakim)

Pertanyaannya, jika Bank itu diharamkam karena Riba, lalu bagaimanakah hukum bagi orang yang bekerja di dalamnya (pegawai Bank)?


Hukum Menjadi Pegawai Bank Konvensional

Telah sampai kepada kita hadits riwayat Ibnu Majah dari jalan Ibnu Mas’ud dari Nabi SAW:

“Bahwa beliau (Nabi SAW) melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya, para saksi serta pencatatnya.” (HR. Bukhari Muslim)

Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:

“Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang yang menjadi saksinya.” Dan beliau bersabda: “Mereka itu sama.” (HR. Muslim)

Ibnu Mas’ud meriwayatkan:

“Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:

“Orang yang makan riba, orang yang memben makan dengan riba, dan dua orang saksinya –jika mereka mengetahui hal itu– maka mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga han kiamat.” (HR. Nasa’i)

Dari hadits-hadits ini kita bisa memahami bahwa tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi ijarah (sewa/kontrak kerja) terhadap salah satu bentuk pekerjaan riba, karena transaksi tersebut merupakan transaksi terhadap jasa yang diharamkan.

Ada empat kelompok orang yang diharamkan berdasarkan hadits tersebut. Yaitu; orang yang makan atau menggunakan (penerima) riba, orang yang menyerahkan (pemberi) riba, pencatat riba, dan saksi riba. dan saat ini jenis pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang membanggakan sebagian kaum muslimin serta secara umum dan legal (secara hukum positif) di kontrak kerjakan kepada kaum muslimin di bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan dan pembiayaan. Berikut adalah keempat kategori pekerjaan yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan diatas:

1. Penerima Riba

Penerima riba adalah siapa saja yang secara sadar memanfaatkan transaksi yang menghasilkan riba untuk keperluannya sedang ia mengetahui aktivitas tersebut adalah riba. Baik melalui pinjaman kredit, gadai, ataupun pertukaran barang atau uang dan yang lainnya, maka semua yang mengambil atau memanfaatkan aktivitas yang mendatangkan riba ini maka ia haram melakukannya, karena terkategori pemakan riba. Contohnya adalah orang-orang yang melakukan pinjaman hutang dari bank atau lembaga keuangan dan pembiayaan lainnnya untuk membeli sesuatu atau membiayai sesuatu dengan pembayaran kredit yang disertai dengan bunga (rente), baik dengan sistem bunga majemuk maupun tunggal.

2. Pemberi Riba.

Pemberi riba adalah siapa saja, baik secara pribadi maupun lembaga yang menggunakan hartanya atau mengelola harta orang lain secara sadar untuk suatu aktivitas yang menghasilkan riba. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah para pemilik perusahaan keuangan, pembiayaan atau bank dan juga para pengelolanya yaitu para pengambil keputusan (Direktur atau Manajer) yang memiliki kebijakan disetujui atau tidak suatu aktivitas yang menghasilkan riba.

3. Pencatat Riba

Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi pencatat aktivitas yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya para teller, orang-orang yang menyusun anggaran (akuntan) dan orang yang membuatkan teks kontrak perjanjian yang menghasilkan riba.

4. Saksi Riba

Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi saksi dalam suatu transaksi atau perjanjian yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya mereka yang menjadi pengawas (supervisor).

Sedangkan status pegawai bank yang lain, instansi-instansi serta semua lembaga yang berhubungan dengan riba, harus diteliti terlebih dahulu tentang aktivitas pekerjaan atau deskripsi kerja dari status pegawai bank tersebut. Apabila pekerjaan yang dikontrakkan adalah bagian dari pekerjaan riba, baik pekerjaan itu sendiri yang menghasilkan riba ataupun yang menghasilkan riba dengan disertai aktivitas lain, maka seorang muslim haram untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, semisal menjadi direktur, akuntan, teller dan supervisornya, termasuk juga setiap pekerjaan yang menghasilkan jasa yang berhubungan dengan riba, baik yang berhubungan secara langsung maupun tidak. Sedangkan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan riba, baik secara langsung maupun tidak, seperti juru kunci, penjaga (satpam), pekerja IT (Information Technology/Teknologi Informasi), tukang sapu dan sebagainya, maka diperbolehkan, karena transaksi kerja tersebut merupakan transaksi untuk mengontrak jasa dari pekerjaan yang halal (mubah). Juga karena pekerjaan tersebut tidak bisa disamakan dengan pekerjaan seorang pemberi, pencatat dan saksi riba, yang memang jenis pekerjaannya diharamkan dengan nash yang jelas (sharih).

Yang dinilai sama dengan pegawai bank adalah pegawai pemerintahan yang mengurusi kegiatan-kegiatan riba, seperti para pegawai yang bertugas menyerahkan pinjaman kepada petani dengan riba, para pegawai keuangan yang melakukan pekerjaan riba, termasuk para pegawai panti asuhan yang pekerjaannya adalah meminjam harta dengan riba, maka semuanya termasuk pegawai-pegawai yang diharamkan, dimana orang yang terlibat dianggap berdosa besar, karena mereka bisa disamakan dengan pencatat riba ataupun saksinya. Jadi, tiap pekerjaan yang telah diharamkan oleh Allah SWT, maka seorang muslim diharamkan sebagai ajiir di dalamnya.

Semua pegawai dari bank atau lembaga keuangan serta pemerintahan tersebut, apabila pekerjaannya termasuk dalam katagori mubah menurut syara’ untuk mereka lakukan, maka mereka boleh menjadi pegawai di dalamnya. Apabila pekerjaan tersebut termasuk pekerjaan yang menurut syara’ tidak mubah untuk dilakukan sendiri, maka dia juga tidak diperbolehkan untuk menjadi pegawai di dalamnya. Sebab, dia tidak diperbolehkan untuk menjadi ajiir di dalamnya. Maka, pekerjaan-pekerjaan yang haram dilakukan, hukumnya juga haram untuk dikontrakkan ataupun menjadi pihak yang dikontrak (ajiir).


Selain itu juga Allah SWT mengharamkan kita untuk melakukan kerjasama atau tolong-menolong dalam perbuatan dosa.

وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 02)

Wallahu’alam

Sumber: http://onlymusafir.wordpress.com/2009/08/25/hukum-menjadi-pegawai-bank-dalam-pandangan-islam/