tag:blogger.com,1999:blog-36497876425979559282024-03-12T22:59:29.694-07:00Pencari IlmuRasulullah saw bersabda, "Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba maka Allah menyegerakan siksaannya di dunia. Dan jika Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya maka Ia menangguhkannya sampai pada hari kiamat nanti."
(HR.Tirmidzi)Hamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.comBlogger368125tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-59061634091001376682010-04-20T20:50:00.001-07:002010-04-20T20:50:38.344-07:00SELAMATAN NUJUH BULANAN (Mitoni) DALAM PANDANGAN ISLAMBismillah...............<br /><br />PERTANYAAN:<br />Apakah ada dasar hukum selamatan kehamilan, seperti 3 bulanan atau 7 bulanan (bahasa Jawa : Mitoni). Pada acara tersebut juga disertai dengan pembacaan diba’. Terus terang saya belum pernah membaca riwayat tentang selamatan seperti di atas pada masa Rasulullah. Mohon penjelasannya<br /><br /><br />JAWAB:<br />Selamatan kehamilan, seperti 3 bulanan atau 7 bulanan (Nujuh Bulanan) [*], tidak ada dalam ajaran Islam. Itu termasuk perkara baru dalam agama, dan semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ<br /><br />Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan. (HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).<br /><br />Kemudian, jika selamatan kehamilan tersebut disertai dengan keyakinan akan membawa keselamatan dan kebaikan, dan sebaliknya jika tidak dilakukan akan menyebabkan bencana atau keburukan, maka keyakinan seperti itu merupakan kemusyrikan. Karena sesungguhnya keselamatan dan bencana itu hanya di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Allah berfirman:<br /><br />قُلْ أَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ مَا لاَ يَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلاَ نَفْعًا واللهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَليِمُ<br /><br />Katakanlah: "Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfa'at?". Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al Maidah:76).<br /><br />Demikian juga dengan pembacaan diba’ pada saat perayaan tersebut, ataupun lainnya, tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam. Karena pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat, diba' itu tidak ada. Diba’ yang dimaksudkan ialah Maulid Ad Daiba’ii, buku yang berisi kisah kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan pujian serta sanjungan kepada Beliau. Banyak pujian tersebut yang ghuluw (berlebihan, melewati batas). Misalnya seperti perkataan:<br /><br />فَجْرِيُّ الْجَبِيْنِ لَيْلِيُّ الذَّوَآئِبِ * اَلْفِيُّ الْأََنْفِ مِيْمِيُّ الْفَمِ نُوْنِيُّ الْحَاجِبِ *<br /><br />سَمْعُهُ يَسْمَعُ صَرِيْرَ الْقَلَمِ بَصَرُهُ إِليَ السَّبْعِ الطِّبَاقِ ثَاقِبٌ *<br /><br />Dahi Beliau (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ) seperti fajar, rambut depan Beliau seperti malam, hidung Beliau berbentuk (huruf) alif, mulut Beliau berbentuk (huruf) mim, alis Beliau berbentuk (huruf) nun, pendengaran Beliau mendengar suara qolam (pena yang menulis taqdir), pandangan Beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi). (Lihat Majmu’atul Mawalid, hlm. 9, tanpa nama penerbit. Buku ini banyak dijual di toko buku-toko buku agama).<br /><br />Kalimat “pendengaran Beliau mendengar suara qolam (pena yang menulis taqdir)”, jika yang dimaksudkan pada saat mi’raj saja, memang benar, sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits-hadits tentang mi’raj. Namun jika setiap saat, maka ini merupakan kalimat yang melewati batas. Padahal nampaknya, demikian inilah yang dimaksudkan, dengan dalil kalimat berikutnya, yaitu kalimat “pandangan Beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi)”. Dan kalimat kedua ini juga pujian ghuluw (melewati batas). Karena sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui perkara ghaib. Yang mengetahui perkara ghaib hanyalah Allah Azza wa Jalla . Allah berfirman:<br /><br />قُل لاَّ يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ<br /><br />Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS An Naml:65).<br /><br />‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah menerima tuduhan keji pada peristiwa “haditsul ifk”. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui kebenaran tuduhan tersebut, sampai kemudian turun pemberitaan dari Allah dalam surat An Nuur yang membersihkan ‘Aisyah dari tuduhan keji tersebut. Dan buku Maulid Ad Daiba’ii berisi hadits tentang Nur (cahaya) Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang termasuk hadits palsu.<br /><br />Dalam peristiwa Bai’atur Ridhwan, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui hakikat berita kematian Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu 'anhu , sehingga terjadilah Bai’atur Ridhwan. Namun ternyata, waktu itu Utsman Radhiyallahu 'anhu masih hidup. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan RasulNya untuk mengumumkan:<br /><br />قُل لآأَقُولُ لَكُمْ عِندِى خَزَآئِنُ اللهِ وَلآأَعْلَمُ الْغَيْبَ<br /><br />Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib”. (QS Al An’am:50).<br /><br />Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bagaimana mungkin seseorang boleh mengatakan “pandangan Beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi)”?<br /><br />Semoga jawaban ini cukup bagi kita. Kesimpulan yang dapat kita ambil, bahwa selamatan kehamilan [1] dan pembacaan diba’ termasuk perbuatan maksiat, karena termasuk bid’ah.<br /><br /><br />Catatan sendiri: <br />PERHATIAN<br />[*] Mitoni/Telonan dan tingkepan (tujuh bulanan) yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat adalah termasuk tradisi agama hindu (ini kesaksian mantan Pendeta Hindu yang masuk Islam).<br /><br />Upacara ini dalam rangka memohon keselamatan anak yang ada dalam rahim (kandungan). Upacara ini biasa disebut GARBA WEDANA. Garba artinya perut, Wedana artinya yang lagi mengandung.<br /><br />Selama bayi dalam kandungan di buatkan TUMPENG selamatan telonan, tingkepan. Ini terdapat dalam kitab UPADESA halaman 46. <br />Adapun intisari sesajinya antara lain :<br /><br />a. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip)<br />b. Sambutan, yaitu acara pembetulan letak cabang bayi<br />c. Janganan, yaitu suguhan terhadap EMPAT SAUDARA yang menyertai kelahiran sang bayi. yaitu : Darah, Air (ketuban), barah dan ari-ari (masyimah/tembuni).<br /><br />[1] termasuk selamatan 4 bulanan<br /><br />Sumber : http://bukhari.or.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=206:selamatan-wanita-hamil-dan-pembacaan-diba&catid=37&Itemid=378Hamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-75401482044523779332010-04-20T20:46:00.000-07:002010-04-20T20:48:36.242-07:00TATA CARA BER TAYAMMUMOleh : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari<br /><br />Bismillah...<br /><br />Allah yang Maha Sempurna kasih sayang-Nya pada hamba-hamba-Nya berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:<br /><br />وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيْدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ<br /><br />“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/ debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian. Allah tidak menginginkan untuk menjadikan keberatan atas kalian di dalam menjalankan syariat Agama ini, akan tetapi Allah ingin mensucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (Al-Maidah: 6)<br /><br />Pengertian Tayammum<br />Tayammum secara bahasa diinginkan dengan makna “bermaksud” dan “bersengaja”. Sedangkan makna tayammum apabila ditinjau menurut syariat adalah “bersengaja menggunakan tanah/ debu untuk mengusap wajah dan dua telapak tangan disertai niat”, sehingga dengan perbuatan/amalan ini pelakunya diperkenankan mengerjakan shalat dan ibadah yang semisalnya. (Fathul Bari, 1/539)<br /><br />Tata Cara Tayammum<br />‘Ammar bin Yasir radhiallahu anhu berkata: “Nabi shalallahu alaihi wasallam mengutusku untuk suatu kepentingan. Lalu di tengah perjalanan aku junub sedangkan aku tidak mendapatkan air untuk bersuci. Maka aku pun berguling-guling di tanah sebagaimana hewan berguling-guling. Kemudian aku mendatangi Nabi shalallahu alaihi wasallam dan kuceritakan hal tersebut kepada beliau, beliau pun bersabda:<br /><br /><br />إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا. فَضَرَبَ ضَرْبَةً عَلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفَّيْهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ<br /><br />“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya1, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)<br /><br />Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memukulkan kedua telapak tangan beliau ke bumi:<br /><br />وَ نَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ<br /><br />“Beliau meniupnya, kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)<br /><br />Dari hadits Ammar radhiallahu anhu di atas dapat kita simpulkan bahwa tata cara tayammum itu adalah:<br /><br />1. Memukulkan dua telapak tangan ke tanah/ debu dengan sekali pukulan<br />2. Meniup atau mengibaskan tanah/debu yang menempel pada dua telapak tangan tersebut<br />3. Mengusap wajah terlebih dahulu, lalu mengusap kedua telapak tangan, bagian dalam maupun luarnya. Ataupun mengusap telapak tangan dahulu baru setelahnya mengusap wajah.<br /><br />- Berniat<br />Setiap perbuatan baik (yang mubah) dapat bernilai ibadah apabila disertai niat, demikian pula setiap amalan yang disyariatkan dalam agama ini tentunya harus disertai niat karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:<br /><br />إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ<br /><br />“Hanyalah amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)<br /><br />Dan niat tempatnya di dalam hati , TIDAK DILAFAZKAN.<br /><br />Dalam masalah tayammum, niat merupakan syarat, hal ini merupakan pendapat jumhur ulama. (Bidayatul Mujtahid, hal. 60)<br /><br />Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Niat dalam tayammum adalah wajib menurut kami tanpa adanya perselisihan.” (Al Majmu’, 2/254)<br /><br />Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata: “Tidak diketahui adanya perselisihan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang tidak sahnya tayammum kecuali dengan niat. Seluruh ahli ilmu berpendapat wajibnya niat dalam tayammum terkecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Auza’i2 dan Al-Hasan bin Shalih yang keduanya berpendapat bahwa tayammum itu sah adanya tanpa niat.” (Al-Mughni, 1/158)<br /><br />- Memukulkan Dua Telapak Tangan ke Tanah/Debu dengan Sekali Pukulan<br /><br />- Meniup atau Mengibaskan Debu dari Dua Telapak Tangan<br /><br />- Dibolehkan meniup tanah atau debu yang menempel pada dua telapak tangan yang telah dipukulkan ke permukaan bumi atau mengibaskannya bila memang diperlukan, berdasarkan hadits dalam Ash-Shahihain yang telah lewat penyebutannya.<br /><br />- Mengusap Wajah Terlebih Dahulu Kemudian Mengusap Dua Telapak Tangan<br /><br />Abul Juhaim radhiallahu anhu berkata:<br /><br />أَقْبَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ، ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلامَ<br /><br />“Nabi shallallahu alaihi wasallam datang dari arah sumur Jamal ketika seorang lelaki berpapasan dengan beliau. Lelaki itu pun mengucapkan salam namun Nabi n tidak membalasnya sampai beliau menghadap ke tembok (memukulkan tangannya ke tembok, pen.) lalu mengusap wajah dan kedua tangan beliau, barulah setelah itu beliau menjawab salam tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 337 dan Muslim no. 369)<br /><br />Rasulullah bersabda kepada ‘Ammar radhiallahu anhu:<br /><br />إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا. فَضَرَبَ ضَرْبَةً عَلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفَّيْهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ<br /><br />“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung kedua telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)<br /><br />وَنَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ<br /><br />“Beliau meniupnya kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)<br /><br />التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَ ضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ<br /><br />“Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.”<br /><br />Demikianlah risalah ini, semoga bermanfaat bagi kita semua.Hamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-86369718270601519242010-04-20T20:42:00.000-07:002010-04-20T20:46:18.900-07:00ADOPSI DAN HUKUMNYAOleh : Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta<br /><br />Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, shalawat dan salam bagi RasulNya, keluarga beliau serta sahabatnya, wa ba’du<br /><br />Tanya :<br />Komite Tetap Untuk Riset Ilmiah dan Fatwa telah membaca pertanyaan dari sekertaris pelaksana Dewan Punjab untuk Kesejahteraan Anak, yang ditujukan kepada Ketua Bagian Riset Ilmiah, Fatwa dan Dakwah, yang dilimpahkan kepadanya dari Sekertaris Jenderal Majlis Ulama Besar no. 86/2 tanggal 15/1/1392H, yang isinya meminta penjelasan lebih jauh tentang aturan serta kaidah-kaidah berkenaan dengan hak anak adopsi dalam masalah waris?<br /><br /><br />Jawaban<br />Pertama : Adopsi anak sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum ada risalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dahulu anak adopsi dinasabkan kepada ayah angkatnya, bisa menerima waris, dapat menyendiri dengan anak serta istrinya, dan istri anak adopsi haram bagi ayah angkatnya (pengadopsi). Secara umum anak adopsi layaknya anak kandung dalam segala urusan. Nabi pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah bin Syarahil Al-Kalbi sebelum beliau menjadi Rasul, sehingga dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. Tradisi ini berlanjut dari zaman jahiliyah hinga tahun ketiga atau ke empat Hijriyah.<br /><br />Kedua : Kemudian Allah memerintahkan anak-anak adopsi untuk dinasabkan ke bapak mereka (yang sebenarnya) bila diketahui, tetapi jika tidak diketahui siapa bapak yang asli, maka mereka sebagai saudara seagama dan loyalitas mereka bagi pengadopsi juga orang lain. Allah mengharamkan anak adopsi dinasabkan kepada pengadopsi (ayah angkat) secara hakiki, bahkan anak-anak juga dilarang bernasab kepada selain bapak mereka yang asli, kecuali sudah terlanjur salah dalam pengucapan. Allah mengungkapkan hukum tersebut sebagai bentuk keadilan yang mengandung kejujuran dalam perkataan, serta menjaga nasab dari keharmonisan, juga menjaga hak harta bagi orang yang berhak memilikinya.<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.<br /><br />“Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama-nama bapak mereka, itulah yang lebih baik dan adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadaap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Ahzab : 4-5]<br /><br />Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda<br /><br />“Barangsiapa yang disebut bukan kepada bapaknya atau berafiliasi bukan kepada walinya, maka baginya laknat Allah yang berkelanjutan” [Hadits Riwayat Abu Daud]<br /><br />Ketiga : Dengan keputusan Allah yang membatalkan hukum adopsi anak (yaitu pengakuan anak yang tidak sebenarnya alias bukan anak kandung) dengan keputusan itu pula Allah membatalkan tradisi yang berlaku sejak zaman jahiliyah hingga awal Islam berupa :<br /><br />[1]. Membatalkan tradisi pewarisan yang terjadi antara pengadopsi (ayah angkat) dan anak adopsi (anak angkat) yang tidak mempunyai hubungan sama sekali. Dengan kewajiban berbuat baik antara keduanya serta berbuat baik terhadap wasiat yang ditinggalkan setelah kematian (ayah angkat) pengadopsi selama tidak lebih dari sepertiga bagian dari hartanya. Hukum waris serta golongan yang berhak menerimanya telah dijelaskan secara terperinci dalam syari’at Islam. Dalam rincian tersebut tidak disebutkan adanya hak waris di antara keduanya. Dijelaskan pula secara global perintah berbuat baik dan sikap ma’ruf dalam bertindak.<br /><br />Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.<br /><br />“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama)” [Al-Ahzab : 6]<br /><br />[2]. Allah membolehkan pengadopsi (ayah angkat) nikah dengan bekas istri anak angkat setelah berpisah darinya, walaupun diharamkan di zaman jahiliyah. Hal tersebut dicontohkan oleh Rasulullah sebagai penguat keabsahannya sekaligus sebagai pemangkas adat jahiliyah yang mengharamkan hal tersebut.<br /><br />Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,<br /><br />“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” [Al-Ahzab : 37]<br /><br />Nabi menikahi Zaenab binti Jahsy atas perintah Allah setelah suaminya Zaid bin Haritsah menceraikannya.<br /><br />Keempat : Dari uraian diatas, maka menjadi jelas bahwa pembatalan terhadap hukum adopsi bukan berarti menghilangkan makna kemanusiaan serta hak manusia berupa persaudaraan, cinta kasih, hubungan sosial, hubungan kebajikan dan semua hal berkaitan dengan semua perkara yang luhur, atau mewasiatkan perbuatan baik.<br /><br />[a]. Seseorang boleh memanggil kepada yang labih muda darinya dengan sebutan “wahai anakku” sebagai ungkapan kelembutan, kasih sayang, serta perasaan cinta kasih sayang kepadanya, agar ia merasa nyaman dengannya dan mendengarkan nasehatnya atau memenuhi kebutuhannya. Boleh juga memanggil orang yang usianya lebih tua dengan panggilan, “wahai ayahku” sebagai penghormatan terhadapnya, mengharap kebaikan serta nasehatnya, sehingga menjadi penolong baginya, agar budaya sopan santun merebak dalam masyarakat, simpul-simpul antar individu menjadi kuat hingga satu sama lain saling merasakan persaudaraan seagama yang sejati.<br /><br />[b]. Syari’at Islam telah menganjurkan untuk bertolong menolong dalam rangka kebajikan dan ketakwaan serta mengajak semua manusia berbuat baik dan menebarkan kasih sayang.<br /><br />Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.<br /><br />“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaijkan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Maidah : 2]<br /><br />Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.<br /><br />“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam masalah kecintaan dan kasih sayang serta pertolongan di antara mereka bagaikan satu tubuh. Jika salah satu organ mengeluh kesakitan, niscaya seluruh tubuh ikut panas dan tak dapat tidur” [Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim]<br />Dan sabda beliau.<br /><br />“Seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya bagaikan suatu bangunan sebagiannya menopang sebagian yang lain” [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i]<br /><br />Termasuk dalam hal tersebut mengurusi anak yatim, fakir miskin, tuna karya dan anak-anak yang tidak mempunyai orang tua, yaitu dengan mangasuh dan berbuat baik kepadanya. Sehingga di masyarakat tidak terdapat orang yang terlantar dan tak terurus. Karena ditakutkan umat akan tertimpa akibat buruk dari buruknya pendidikan serta sikap kasarnya, ketika ia merasakan perlakuan kasar serta sikap acuh dari masyarakat.<br /><br />Kewajiban pemerintah Islam adalah mendirikan panti bagi orang tidak mampu, anak yatim, anak pungut, anak tidak berkeluarga dan yang senasib dengan itu. Bila keuangan Baithul Mal tidak mencukupi, maka bisa meminta bantuan kepada orang-orang mampu dari kalangan masyarakat, sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br /><br />“Siapapun seorang mukmin mati meninggalkan harta pusaka, hendaknya diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak, siapapun mereka. Tetapi jika meninggalkan utang atau kerugian hendaklah dia mendatangiku, karena aku walinya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]<br /><br />Inilah yang disepakati bersama, semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad , keluarga serta sahabatnya.<br /><br />[Komisi Tetap Untuk Fatwa, Fatawa Islamiyah 4/497]<br /><br />[Disalin dari kitab Fatawa Ath-Thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa’id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]Hamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-48348648773111496312010-04-20T20:41:00.000-07:002010-04-20T20:42:15.913-07:00RISALAH RAMALAN BINTANG (Zodiak)MARI SEJENAK BERBICARA TENTANG ZODIAK<br /><br />Oleh : Abu ‘Uzair Boris Tanesia<br /><br />CONTOH <br />Ramalan Anda minggu ini:<br />Zodiak: Aquarius<br />Pekerjaan: Mulai menjalankan pekerjaan yang tertunda.<br />Asmara: Patah semangat dan jenuh.<br />Keuangan: Rezeki yang diperoleh ternyata tidak sebanding dengan usaha yang anda lakukan.<br />________________________<br /><br />Bismillah,<br />Para pembaca yang semoga dicintai oleh Allah, tulisan kami di atas sama sekali bukan bermaksud untuk menjadikan website ini sebagai website ramalan bintang, akan tetapi tulisan di atas merupakan kutipan dari sebuah website yang berisi tentang ramalan-ramalan nasib seseorang berdasarkan zodiak. Ya, ramalan zodiak atau yang biasa dikenal dengan ramalan bintang sudah menjadi “gaya hidup” modern anak muda sekarang. Terlebih khusus lagi bagi para pemudi (bahkan muslimah). Namun, alangkah baiknya apabila kita meninjau ramalan bintang ini berdasarkan syariat islam.<br /><br /><br />Ramalan Bintang Termasuk Ilmu Nujum/Perbintangan<br />Zodiak adalah tanda bintang seseorang yang didasarkan pada posisi matahari terhadap rasi bintang ketika orang tersebut dilahirkan. Zodiak yang dikenal sebagai lambang astrologi terdiri dari 12 rasi bintang (Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagitarius, Capricorn, Aquarius dan Pisces). Zodiak ini biasa digunakan sebagai ramalan nasib seseorang, yaitu suatu ramalan yang didasarkan pada kedudukan benda-benda tata surya di dalam zodiak (disarikan dari website Wikipedia). Dalam islam, zodiak termasuk ke dalam ilmu nujum/Perbintangan.<br /><br />Ramalan Bintang Adalah Sihir<br />Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mempelajari ilmu nujum berarti ia telah mempelajari cabang dari ilmu sihir, apabila bertambah ilmu nujumnya maka bertambah pulalah ilmu sihirnya.” (HR Ahmad dengan sanad hasan). Hadits ini dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa ilmu nujum (yang termasuk dalam hal ini adalah ramalan bintang) merupakan bagian dari sihir. Bahkan Rasulullah menyatakan bahwa apabila ilmu nujumnya itu bertambah, maka hal ini berarti bertambah pula ilmu sihir yang dipelajari orang tersebut. Sedangkan hukum sihir itu sendiri adalah haram dan termasuk kekafiran, sebagaimana Allah berfirman yang artinya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).” (Qs. Al Baqarah: 102)<br /><br />Ramalan Bintang = Mengetahui Hal yang Gaib<br />Seseorang yang mempercayai ramalan bintang, secara langsung maupun tidak langsung menyatakan bahwa ada zat selain Allah yang mengetahui perkara gaib. Padahal Allah telah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa tidak ada yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Dia. Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah: Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah.” (Qs. An Naml: 65). Dalam ayat lain, Allah menegaskan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi besok, sebagaimana firmanNya yang artinya “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. Luqman: 34). Klaim bahwa ada yang mengetahui ilmu gaib selain Allah adalah kekafiran yang mengeluarkan dari islam.<br /><br />Ramalan Bintang = Ramalan Dukun<br />Setiap orang yang menyatakan bahwa ia mengetahui hal yang gaib, maka pada hakikatnya ia adalah dukun. Baik dia itu tukang ramal, paranormal, ahli nujum dan lain-lain. (Mutiara Faidah Kitab Tauhid, Ust Abu Isa Hafizhohullah) Oleh karena itu, ramalan yang didapatkan melalui zodiak sama saja dengan ramalan dukun. Hukum membaca ramalan bintang disamakan dengan hukum mendatangi dukun. (Kesimpulan dari penjelasan Syeikh Shalih bin Abdul Aziz Alu syaikh dalam kitab At-Tamhid).<br /><br />Hukum Membaca Ramalan Bintang<br />Orang yang membaca ramalan bintang/zodiak baik itu di majalah, koran, website, melihat di TV ataupun mendengarnya di radio memiliki rincian hukum seperti hukum orang yang mendatangi dukun, yaitu sebagai berikut:<br /><br />Jika ia membaca zodiak, meskipun ia tidak membenarkan ramalan tersebut. maka hukumnya adalah haram, sholatnya tidak diterima selama 40 hari. Dalilnya adalah “Barangsiapa yang mendatangi peramal, lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari.” (HR. Muslim)<br /><br />Jika ia membaca zodiak kemudian membenarkan ramalan zodiak tersebut, maka ia telah kufur terhadap ajaran Muhammad Shallahu alaihi wasallam. Rasulullah bersabda “Barang siapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka ia telah kufur dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallahu alaihi wasallam.” (Hadits sahih Riwayat Imam Ahmad dan Hakim).<br /><br />Jika ia membaca zodiak dengan tujuan untuk dibantah, dijelaskan dan diingkari tentang kesyirikannya, maka hukumnya terkadang dituntut bahkan wajib. (disarikan dari kitab Tamhid karya Syeikh Shalih bin Abdul Aziz Alu syaikh dan Qaulul Mufid karya Syeikh Utsaimin dengan sedikit perubahan).<br /><br />Shio, Fengshui, Hongshui dan Kartu Tarot<br />Di zaman modern sekarang ini tidak hanya zodiak yang digunakan sebagai sarana untuk meramal nasib. Seiring dengan berkembangnya zaman, ramalan-ramalan nasib dalam bentuk lain yang berasal dari luar pun mulai masuk ke dalam Indonesia. Di antara ramalan-ramalan modern impor lainnya yang berkembang dan marak di Indonesia adalah Shio, Fengshui (keduanya berasal dari Cina) dan kartu Tarot (yang berasal dari Italia dan masih sangat populer di Eropa). Kesemua hal ini hukumnya sama dengan ramalan zodiak.<br /><br />Nasib Baik dan Nasib Buruk<br />Para pembaca yang semoga dicintai oleh Allah, jika kita renungkan, maka sesungguhnya orang-orang yang mencari tahu ramalan nasib mereka, tidak lain dan tidak bukan dikarenakan mereka menginginkan nasib yang baik dan terhindar dari nasib yang buruk. Akan tetapi, satu hal yang perlu kita cam dan yakinkan di dalam hati-hati kita, bahwa segala hal yang baik dan buruk telah Allah takdirkan 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi, sebagaimana Nabi bersabda “Allah telah menuliskan takdir seluruh makhluk 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim). Hanya Allah yang tahu nasib kita. Yang dapat kita lakukan adalah berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan hal yang baik dan terhindar dari hal yang buruk, selebihnya kita serahkan semua hanya kepada Allah. Allah berfirman yang artinya “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Qs. Ath Thalaq: 3). Terakhir, ingatlah, bahwa semua yang Allah tentukan bagi kita adalah baik meskipun di mata kita hal tersebut adalah buruk. Allah berfirman yang artinya “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 216). Berbaik sangkalah kepada Allah bahwa apabila kita mendapatkan suatu hal yang buruk, maka pasti ada kebaikan dan hikmah di balik itu semua. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih dan Maha Adil terhadap hamba-hambaNya.<br /><br />***<br /><br />Muroja’ah: Ust Ahmad Daniel, Lc.<br />(Alumni Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia. Sekarang dosen di STDI Imam Syafi’i Jember)<br />Artikel www.muslimah.or.idHamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-41592396571326003402010-04-20T20:29:00.000-07:002010-04-20T20:40:38.223-07:00MENGAKU-NGAKU KETURUNAN RASULBismillah,<br />Dikalangan kaum muslimin, khususnya di negeri kita ini sering kita mendengar bahwa ada seorang tokoh yang merupakan keturunan Nabi. Dan dipanggil lah tokoh tersebut dengan sebutan Habib. Bahkan gelar ini mereka buktikan dengan skema nasab yang mereka miliki yang bertemu dengan nasab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, atau dibuktikan dengan semacam ijazah atau sertifikat. Ironisnya, gelar nasab ini seolah-olah menjadi kartu truf yang akhirnya menjadi dalil halalnya segala perbuatan yang mereka lakukan, baik perbuatan yang telah jelas merupakan kemaksiatan, perbuatan bid’ah dalam agama, bahkan sampai kesyirikan. Lalu bagaimanakah sebenarnya sikap Ahlussunnah terhadap tokoh keturunan Nabi atau yang disebut dengan golongan Ahlul Bait ? Berikut ini pembahasannya oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr hafizhahullah.[1]<br /><br />AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH TERHADAP AHLUL BAIT SECARA GLOBAL<br />Akidah Ahlussunnah wal Jamaah adalah pertengahan antara ekstrim kanan dan ekstrim kiri, antara berlebihan dan meremehkan dalam segala perkara akidah. Diantaranya adalah akidah mereka terhadap ahlu bait Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, mereka berloyalitas terhadap setiap muslim dan muslimah dari keturunan Abdul Muththalib, dan juga kepada para istri Rasul shallallahu’alaihi wa sallam semuanya. Ahlus Sunnah mencintai mereka semua, memuji dan memposisikan mereka sesuai dengan kedudukan mereka secara adil dan objektif, bukan dengan hawa nafsu atau serampangan. Mereka mengakui keutamaan orang-orang yang telah Allah beri kemulian iman dan kemuliaan nasab. Barangsiapa yang termasuk dari ahlul bait dari kalangan sahabat Rasulullah, maka mereka (Ahlussunnah) mencintainya karena keimanan, ketaqwaan serta persahabatannya dengan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam.<br /><br />Adapun mereka (ahlul bait) selain dari kalangan sahabat, maka mereka mencintainya karena keimanan. Ketaqwaan, dan karena kekerabatannya dengan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Mereka berpendapat bahwa kemuliaan nasab itu mengikut kepada kemuliaan iman. Barangsiapa yang diberi oleh Allah kedua hal tersebut, maka Dia telah menggabungkan antara dua kebaikan. Dan barangsiapa yang tidak diberi taufik untuk beriman, maka tidak bermanfaat sedikitpun kemuliaan nasabnya. Allah ta’ala berfirman:<br /><br />إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ<br /><br />“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu”. (QS. Al-Hujurat: 13)<br /><br />Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam akhir hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, No. 2699 dari Abu Hurairoh radliyallahu’anhu:<br /><br />و من بطأ به عمله لم يسرع به نسبه<br /><br />“Barangsiapa yang diperlambat oleh amal perbuatannya maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya”<br /><br />Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata seraya menjelaskan hadits di atas dalam kitab beliau Jami’ al ‘Ulum wa al-Hikam, hlm. 308: Maknanya, bahwa amal perbuatan itulah yang menjadikan seorang hamba sampai kepada derajat (yang tinggi) di akhirat, sebagaimana firman Allah:<br /><br />وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِّمَّا عَمِلُوا وَمَارَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ<br /><br />“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya” (QS. Al-An’am: 132)<br /><br />Barangsiapa yang lambat amal ibadahnya untuk sampai kepada kedudukan yang tinggi disisi Allah, maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya, untuk menyampaikannya kepada derajat tersebut. Sesungguhnya Allah menyediakan pahala sesuai dengan amal perbuatan bukan karena nasab, sebagaimana firman Allah:<br /><br />فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلآ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَيَتَسَآءَلُونَ<br /><br />“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya”. (QS. Al-Mukminun: 101)<br /><br />Dan Allah ta’ala telah memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan dan rahmat-Nya dengan berbuat amal ibadah, sebagaimana firman-Nya:<br /><br />}* وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ { 133} الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ {134}<br /><br />“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhan-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Ali ‘Imron: 133-134)<br /><br />Dan firman-Nya:<br /><br />إِنَّ الَّذِينَ هُم مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ {57} وَالَّذِينَ هُم بِئَايَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ {58} وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لاَيُشْرِكُونَ {59} وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآءَاتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ {60} أُوْلَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ {61}<br /><br />“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun: 57-61)<br /><br />Kemudian beliau (Imam Ibnu Rajab rahimahullah) menyebutkan dalil-dalil tentang anjuran untuk beramal shalih, dan bahwasanya hubungan dekat dengan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam itu diperoleh dengan ketakwaan dan amal shalih. Lalu beliau menutup pembahasan tersebut dengan hadits ‘Amr bin al-‘Ash radliyallahu’ahu yang tercantum dalam Shahih Bukhori, No. 5990 dan Shahih Muslim, No. 215, beliau berkata: Yang menguatkan hal ini semua adalah apa yang tercantum dalam Shahih Bukhori dan Muslim dari ‘Amr bin al-‘Ash radliyallahu’anhu, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />“Sesungguhnya keluarga Abu Fulan bukan termasuk wali-wali (orang terdekat) ku. Sesungguhnya waliku adalah Allah dan orang-orang yang shalih dari orang-orang yang beriman”.<br /><br />Ini mengisyaratkan bahwa kedekatan dengan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak bisa diraih dengan nasab, meskipun dia adalah kerabat beliau. Akan tetapi, semuanya itu diraih dengan iman dan amal shalih[2]. Barangsiapa yang lebih sempurna keimanannya dan amal shalihnya, maka dia lebih agung kedekatannya dengan beliau, baik dia punya kekerabatan dengan beliau atau tidak. Hal ini senada dengan apa yang diucapkan oleh seorang penyair:<br /><br />Sungguh, tidaklah manusia itu (dimuliakan) melainkan dengan agamanya<br /><br />Maka janganlah engkau meninggalkan ketakwaan, dan hanya bersandar kepada nasab<br /><br />Sungguh, Islam telah mengangkat derajat Salman (al-Farisi) dari Persia<br /><br />Dan kesyirikan menghinakan Abu Lahab yang memiliki nasab (yang tinggi).<br /><br />Hal ini berlainan dengan ahli bid’ah, mereka berlebihan terhadap sebagian ahlul bait. Bersmaaan itu pula mereka berbuat kasar/jahat terhadap mayoritas para sahabat radliyallahu’anhum. Diantara contoh sikap berlebihan mereka terhadap 12 imam ahlul bait, yakni Ali, Hasan, Husain radliyallahu’anhum, dan 9 keturunan Husain adalah apa yang tercantum dalam kitab al-Kafi oleh al-Kulaini[3]…Bab: Bahwasanya Para Imam Tersebut Mengetahui Kapan Mereka Akan Mati dan Tidaklah Mereka Mati Melainkan Dengan Pilihan Mereka Sendiri, Bab: Bahwasanya Imam-Imam ‘alaihimussalam Mengetahui Apa Yang Telah Terjadi dan Apa yang Akan Terjadi, dan Tidak Ada Sesuatupun yang Tersembunyi Bagi Mereka.<br /><br />Dan sikap berlebihan inipun dikatakan oleh tokoh kontemporer mereka, yaitu Khumaini dalam kitabnya al-Hukumah al-Islamiyah (hlm. 52 cetakan al-Maktabah al-Islamiyah al-Kubra, Teheran): Sesungguhnya diantara prinsip madzhab kita, bahwasanya imam-imam kita memiliki kedudukan yang tidak bisa digapai oleh malaikat yang dekat (dengan Allah) maupun Nabi yang diutus (oleh Allah).<br /><br />HARAMNYA MENGAKU-NGAKU SEBAGAI KETURUNAN AHLUL BAIT<br />Semulia-mulia nasab adalah nasab Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Dan semulia-mulia penisbatan adalah kepada beliau shallallahu’alaihi wa sallam dan kepada Ahli Bait, jika penisbatan itu benar. Dan telah banyak di kalangan arab maupun non arab penisbatan kepada nasab ini. Maka barangsiapa yang termasuk ahlul bait dan dia adalah orang yang beriman, maka Allah telah menggabungkan antara kemuliaan iman dan nasab. Barangsiapa mengaku-ngaku termasuk dari nasab yang mulia ini, sedangkan ia bukan darinya, maka dia telah berbuat suatu yang diharamkan, dan dia telah mengaku-ngaku memiliki sesuatu yang bukan miliknya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />“Orang yang mengaku-ngaku dengan sesuatu yang tidak dia miliki maka dia seperti pemakai dua pakaian kebohongan.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, no. 2129 dari Hadits Aisyah radliyallahu’anha)<br /><br />Disebutkan dalam hadits-hadits shahih tentang keharaman seseorang menisbatkan dirinya kepada selain nasabnya. Diantara hadits Abu Dzar radliyallahu’anhu, bahwasanya ia mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />“Tidaklah seseorang menisbatkan kepada selain ayahnya sedang dia mengetahui melainkan dia telah kufur kepada Allah. Dan barangsiapa yang mengaku-ngaku sebagai suatu kaum dan dia tidak ada hubungan nasab dengan mereka, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka”.[4] (HR. al-Bukhori, No. 3508 dan Muslim, No. 112)<br /><br />Dan dalam Shahih al-Bukhori, No. 3509 dari hadits Watsilah bin al-Asqa’zia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:<br />“Seungguhnya sebesar-besar kedustaan adalah penisbatan diri seseorang kepada selain ayahnya atau mengaku bermimpi sesuatu yang tidak dia lihat, atau dia berkata atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan”.[5]<br />_________<br />Foote Note<br />[1] Diterjemahkan dan disarikan dari kitab Fadhl Ahli al-Bait wa ‘Uluww Makaanatihim ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah oleh Abdurrahman bin Thayyib as-Salafi. Sumber: Majalah Adz-Dzakiroh Vol. 8 No. 1 Edisi 43 Ramadhan-Syawal 1429 H. Kami hanya mengambil dua poin pembahasan dari tiga yang dibahas di sumber tersebut.<br /><br />[2] Jadi, mereka yang mengaku sebagai keturunan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam tapi gemar berbuat kesyirikan, mengkultuskan kuburan-kuburan wali yang tekah mati, mengadukan shalawat-shalawat bid’ah plus syirik (Burdah, Nariyah, Diba’, dll), rajin berbuat bid’ah (perayaan maulid, haul, tahlilan), maka tidak bermanfaat pengakuan tersebut dan tidak perlu dihormati ataupun disegani, pen.<br /><br />[3] Tokoh ulama Syi’ah yang binasa pada tahun 329 H, yang dianggap seperti imam Bukhorinya Ahlussunnah, pen.<br /><br />[4] Maka berhati-hatilah mereka yang memakan harta kaum muslimin dengan cara batil dengan mengaku-ngaku sebagai keturunan rasul shallallahu’alaihi wa sallam dan menjual akidah serta agama mereka. Na’udzubillahi mindzalik. pen<br /><br />[5] Diringkaskan dari halaman 84-95<br /><br />Sumber : http://maramissetiawan.wordpress.com/2010/04/13/mengaku-keturunan-rasul/#more-1978Hamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-69833382862730989712010-04-20T20:14:00.000-07:002010-04-20T20:28:45.896-07:00Hukum Gambar Makhluk BernyawaPenulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husen Al-Atsariyyah<br /><br /><br /><br />Bagian 1<br /><br />Tanpa disadari, banyak keseharian kita yang dikelilingi hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Salah satunya adalah dipajangnya gambar atau patung makhluk bernyawa di rumah kita. Foto keluarga hingga tokoh atau artis idola telah menjadi sesuatu yang sangat lazim dijumpai di rumah-rumah kaum muslimin. Bagaimana kita menimbang masalah ini dengan kacamata syariat?<br /><br />Saudariku muslimah ….<br />Di rumah kita mungkin masih banyak bentuk/ gambar makhluk hidup, baik gambar dua dimensi ataupun tiga dimensi berupa patung, relief, dan semisalnya. Gambar–gambar itu seolah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan kita, karena di mana-mana kita senantiasa menjumpainya. <br /><br />Di dinding rumah ada kalender bergambar fotomodel dengan pose seronok. Di tempat yang sama, ada lukisan foto keluarga. Di atas buffet, ada foto si kecil yang tertawa ceria. Di ruang tamu ada patung pahatan dari Bali.<br /><br />Sedikit ke ruang tengah ada ukiran Jepara berbentuk burung-burung. Lebih jauh ke ruang keluarga ada lukisan bergambar manusia ataupun hewan. Begitu pula di kamar, di dapur bahkan di teras rumah, atau jauh di halaman ada patung dua ekor singa besar di kanan dan kiri pintu gerbang menyambut kehadiran anggota keluarga ataupun tamu yang hendak masuk rumah, seolah-olah merupakan patung selamat datang atau bahkan diyakini sebagai penjaga rumah dari marabahaya. <br /><br />Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.<br />Belum lagi koleksi album foto keluarga, handai taulan, teman dan sahabat bertumpuk di meja tamu. Belum terhitung koran, majalah1, tabloid yang penuh dengan gambar dan lukisan dari yang sopan sampai yang paling tidak bermoral. <br /><br />Ini baru cerita di rumah kita, di rumah saudara, dan tetangga kita. Belum di tempat-tempat lain seperti di sekolah, di kantor, di toko, di perpustakaan, di pasar, di kampus, dan sebagainya. Benar-benar musibah yang melanda secara merata, wallahu al-musta’an.<br /><br />Saudariku muslimah…<br />Kenapa kita katakan tersebarnya gambar tersebut sebagai musibah? <br />Karena di sana terdapat pelanggaran terhadap aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, menyimpang dan berpaling dari hukum yang diturunkan dari langit. <br /><br />Untuk lebih memperjelas permasalahan ini, kami nukilkan secara ringkas (dan bersambung) beberapa pembahasan berikut dalil yang disebutkan Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullahu dalam kitabnya yang sangat berharga Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah yang bisa kita maknakan dalam bahasa kita “Hukum Gambar/ Menggambar Makhluk Yang Memiliki Ruh.”<br /><br />Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa yang dimaksud gambar bernyawa/ mempunyai ruh di sini adalah gambar manusia dan hewan. Adapun gambar pohon dan benda-benda mati lainnya tidaklah terlarang dan tidak masuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br /><br />Perintah Menghapus Gambar Makhluk yang Bernyawa<br /><br />‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu berkata kepada Abul Hayyaj Al-Asadi: “Maukah aku mengutus-mu dengan apa yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutusku? (Beliau mengatakan padaku):<br /><br />أَلاَّ تَدَع تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ<br /><br />“Janganlah engkau membiarkan gambar kecuali engkau hapus dan tidak pula kubur yang ditinggikan kecuali engkau ratakan.”2<br /><br />Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: <br />“Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat ada gambar-gambar di dalam Ka’bah, beliau tidak mau masuk ke dalamnya sampai beliau memerintahkan agar gambar tersebut dihapus. Dan beliau melihat gambar Nabi Ibrahim dan Isma’il 'alaihimassalam di mana di tangan keduanya ada azlam (batang anak panah yang digunakan oleh orang-orang jahiliyyah untuk mengundi guna menentukan perkara/ urusan mereka). Beliau bersabda:<br /><br />قَاتَلَهُمُ اللهُ! وَاللهِ إِنِ اسْتَقْسَمَا بِاْلأَزْلاَمِ قَطُّ<br /><br />“Semoga Allah memerangi mereka! Demi Allah, keduanya sama sekali tidak pernah mengundi nasib dengan azlam.”3<br /><br />Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk kota Makkah pada hari Fathu Makkah, beliau dapatkan di sekitar Ka’bah ada 360 patung/ berhala, maka mulailah beliau menusuk patung-patung tersebut dengan kayu yang ada di tangan beliau seraya berkata:<br /><br />جَاءَ الَحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ, جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيْدُ<br /><br />“Telah datang al-haq (kebenaran) dan musnahlah kebatilan. Telah datang al-haq dan kebatilan itu tidak akan tampak dan tidak akan kembali.”4<br /><br />Larangan Membuat Gambar<br /><br />Jabir radhiallahu 'anhu berkata:<br /><br />نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصُّوْرَةِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذلِكَ<br /><br />“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mengambil gambar (makhluk hidup) dan memasukkannya ke dalam rumah dan melarang untuk membuat yang seperti itu.”5<br /><br /><br />Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Melaknat Pembuat/ Pelukis Gambar Makhluk yang Bernyawa<br /><br />‘Aun bin Abi Juhaifah mengabarkan dari ayahnya bahwa ayahnya berkata:<br /><br />إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّم وَثَمَنِ الْكَلْبِ وَكَسْبِ الأَمَة. وَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ, وَآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَلَعَنَ الْمُصَوِّرَ<br /><br />“Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari harga darah, harga anjing6, dan dari penghasilan budak perempuan (yang disuruh berzina). Beliau melaknat wanita yang membuat tato dan wanita yang minta ditato, demikian juga pemakan riba dan orang yang mengurusi riba. Sebagaimana beliau melaknat tukang gambar.”7<br /><br />Gambar Bisa Disembah oleh Pengagungnya<br /><br />‘Aisyah radhiallahu 'anha mengabarkan: <br />“Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang sakit, sebagian istri-istri beliau8 ada yang bercerita tentang sebuah gereja bernama Mariyah yang pernah mereka lihat di negeri Habasyah. Mereka menyebutkan keindahan gereja tersebut dan gambar-gambar yang ada di dalamnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengangkat kepalanya seraya berkata:<br /><br />أُوْلئِكَ إِذَا مَاتَ مِنْهُمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلى قَبْرِهِ مَسْجِدًا, ثُمَّ صَوَّرُوا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوْرَة, أُوْلئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ<br /><br />“Mereka itu, bila ada seorang shalih di kalangan mereka yang meninggal dunia, mereka membangun masjid/ rumah ibadah di atas kuburannya. Kemudian mereka membuat gambar-gambar itu di dalam rumah ibadah tersebut. Mereka itulah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah.8<br /><br />Semua Pembuat/ Pelukis Gambar Makhluk Bernyawa Tempatnya di Neraka<br /><br />Seseorang pernah datang menemui Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma. Orang itu berkata: “Aku bekerja membuat gambar-gambar ini, aku mencari penghasilan dengannya.” Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “Mendekatlah denganku.” Orang itupun mendekati Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma. Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “Mendekat lagi.” <br /><br />Orang itu lebih mendekat hingga Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dapat meletakkan tangannya di atas kepala orang tersebut, lalu berkata: <br /><br />“Aku akan beritakan kepadamu dengan hadits yang pernah aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku mendengar beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ<br /><br />“Semua tukang gambar itu di neraka. Allah memberi jiwa/ ruh kepada setiap gambar (makhluk hidup) yang pernah ia gambar (ketika di dunia). Maka gambar-gambar tersebut akan menyiksanya di neraka Jahannam.”<br /><br />Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata kepada orang tersebut: <br />“Jika kamu memang terpaksa melakukan hal itu (bekerja sebagai tukang gambar) maka buatlah gambar pohon dan benda-benda yang tidak memiliki jiwa/ ruh.”9<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:<br /><br />مَنْ صَوَّرَ صُوْرَةً فِي الدُّنْيَا كُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيْهَا الرُّوْحَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, وَلَيْسَ بِنَافِخٍ<br /><br />“Siapa yang membuat sebuah gambar (makhluk hidup) di dunia, ia akan dibebani untuk meniupkan ruh kepada gambar tersebut pada hari kiamat, padahal ia tidak bisa meniupkannya.”10<br /><br />Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menerangkan bahwa pembuat gambar makhluk hidup mendapatkan cercaan yang keras dengan diberi ancaman berupa hukuman yang ia tidak akan sanggup memikulnya, karena mustahil baginya untuk meniupkan ruh pada gambar-gambar yang dibuatnya. Ancaman yang seperti ini lebih mengena untuk mencegah dan menghalangi orang dari berbuat demikian serta menghentikan pelakunya agar tidak terus melakukan perbuatan tersebut. Adapun orang yang membuat gambar makhluk bernyawa karena menghalalkan perbuatan tersebut maka ia akan kekal di dalam azab. (Fathul Bari, 10/484)<br /><br />Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.<br /><br /><br />Footnote Bagian 1:<br /><br />1 Faedah: Asy-Syaikh Abdurrahman Al-’Adni berkata: <br />“Masalah: membeli majalah dan koran yang di dalamnya ada gambar (makhluk hidup). Dalam hal ini ada dua jenis: Pertama, majalah dan koran pornografi, di mana gambar di dalamnya merupakan hal inti (yang diinginkan), yang bertujuan untuk membuat fitnah; Kedua, majalah dan koran yang berisi berita harian biasa dan berita politik. Jenis yang pertama, tidak boleh memperjualbelikannya dan ini merupakan keharaman yang nyata. Adapun jenis kedua, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahumallah mengatakan tidak mengapa membeli majalah dan koran yang seperti ini, dan gambar di sini bukanlah hal yang diinginkan ketika membelinya.” (Lihat Syarhul Buyu’ war Riba min Kitab Ad-Darari hal. 21, ed)<br /><br />2 HR. Muslim no. 2240, kitab Al-Jana`iz, bab Al-Amr bi Taswiyatil Qabr<br /><br />3 HR. Al-Bukhari no. 3352, kitab Ahaditsul Anbiya‘, bab Qaulullahi ta’ala: Wattakhadzallahu Ibrahima Khalila<br /><br />4 HR. Al-Bukhari no. 4287, kitab Al-Maghazi, bab Aina Rakazan Nabiyyu Ar-Rayah Yaumal Fathi dan Muslim no. 4601, kitab Al-Jihad was Sair, bab Izalatul Ashnam min Haulil Ka’bah<br /><br />5 HR. At-Tirmidzi no. 1749, kitab Al-Libas ‘An Rasulillah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bab Ma Ja`a fish Shurah. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Hukmu Tashwir, hal. 17<br /><br />6 Larangan memperjualbelikan darah dan anjing.<br /><br />7 HR. Al-Bukhari no. 2238, kitab Al-Buyu’, bab Tsamanul Kalb<br /><br />8 Yakni Ummu Salamah dan Ummu Habibah radhiallahu 'anhuma yang pernah berhijrah ke Habasyah.<br />8 HR. Al-Bukhari no. 1341, kitab Al-Jana`iz, bab Bina‘ul Masajid ‘alal Qabr dan Muslim no. 1181, kitab Al-Masajid wa Mawadhi’ush Shalah, bab An-Nahyu ‘an Bina‘il Masajid ‘alal Qabr wat Tikhadzish Shuwar<br /><br />9 HR. Muslim no. 5506, kitab Al-Libas waz Zinah, bab Tahrimu Tashwiri Shuratil Hayawan …<br /><br />10 HR. Al-Bukhari no. 5963, kitab Al-Libas, bab Man Shawwara Shurawan Kullifa Yaumal Qiyamah An Yunfakhu fihar Ruh dan Muslim no. 5507, kitab Al-Libas waz Zinah, bab Tahrimu Tashwiri Shuratil Hayawan …<br /><br /><br />Bagian 2<br /><br />Dalam edisi lalu telah disebutkan sejumlah dalil yang menujukkan keharaman gambar makhluk bernyawa yakni manusia dan hewan. Berikut kelanjutannya.<br /><br />Saudariku Muslimah… semoga Allah memberi taufiq kepada kami dan kepadamu…<br />Dalam edisi yang lalu kita telah mengetahui beberapa dalil1 yang menunjukkan larangan menggambar makhluk hidup, dalam hal ini gambar manusia dan hewan, baik dua dimensi maupun tiga dimensi. <br /><br />Serta tidak bolehnya menyimpan gambar-gambar tersebut karena syariat justru memerintahkan agar gambar-gambar itu dihapus/ dihilangkan. Dan sebenarnya cukuplah laknat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beserta ancaman neraka untuk menghentikan para pembuat gambar makhluk hidup, pelukis, pemahat dan pematung dari perbuatan mereka. <br /><br />Kalaupun terpaksa tetap pada profesi/ pekerjaannya, mereka harus menghindari membuat gambar/ patung/ pahatan makhluk bernyawa. Ketika seorang pembuat gambar berkata kepada Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma: “Aku bekerja membuat gambar-gambar ini, aku mencari penghasilan dengannya.” Maka Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata kepadanya: “Mendekatlah kepadaku.” Orang itupun mendekati Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas berkata lagi: “Mendekat lagi.” Orang itu lebih mendekat hingga Ibnu ‘Abbas dapat meletakkan tangannya di atas kepala orang tersebut, lalu berkata: “Aku akan beritakan kepadamu dengan hadits yang pernah aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku mendengar beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ, يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ<br /><br />“Semua tukang gambar (makhluk bernyawa) itu di neraka. Allah memberi jiwa/ ruh kepada setiap gambar (makhluk hidup) yang pernah ia gambar (ketika di dunia), maka gambar-gambar tersebut akan menyiksanya di neraka Jahannam.”<br /><br />Kemudian, setelah menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma menasehatkan: “Jika kamu memang terpaksa melakukan hal itu (bekerja sebagai tukang gambar), maka buatlah gambar pohon dan benda-benda yang tidak memiliki jiwa/ruh.”2<br /><br />Dalil berikut ini lebih mempertegas lagi haramnya gambar makhluk bernyawa: <br />‘Aisyah radhiallahu 'anha berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dari safar (bepergian jauh) sementara saat itu aku telah menutupi sahwah3ku dengan qiram (kain tipis berwarna-warni) yang berlukis/ bergambar. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatnya, beliau menyentakkannya hingga terlepas dari tempatnya seraya berkata:<br /><br />أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُضَاهُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ<br /><br />“Manusia yang paling keras siksaan yang diterimanya pada hari kiamat nanti adalah mereka yang menandingi (membuat sesuatu yang menyerupai) ciptaan Allah.”<br />Kata Aisyah: “Maka kami pun memotong-motong qiram tersebut untuk dijadikan satu atau dua bantal.”4<br />Dalam riwayat berikut disebutkan bentuk gambar itu, seperti yang diberitakan ‘Aisyah radhiallahu 'anha:<br /><br />قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ سَفَرٍ, وَقَدْ سَتَرْتُ عَلَى بَابِي دُرْنُوْكًا فِيْهِ الْخَيْلُ ذَوَاتُ اْلأَجْنِحَةِ, فَأَمَرَنِي فَنَزَعْتُهُ<br /><br />“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dari safar sementara aku menutupi pintuku dengan durnuk (tabir dari kain tebal berbulu, seperti permadani yang dipasang di dinding, –pent.), yang terdapat gambar kuda-kuda yang memiliki sayap. Maka beliau memerintahkan aku untuk mencabut tabir tersebut, maka akupun melepasnya.”5<br /><br />Masih hadits 'Aisyah radhiallahu 'anha,ia mengabarkan pernah membeli namruqah6 bergambar makhluk bernyawa. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di depan pintu dan tidak mau masuk ke dalam rumah. "Aisyah pun berkata: “Aku bertaubat kepada Allah, apa dosaku?” Nabi berkata: “Untuk apa namruqah ini?” Aku menjawab: “Untuk engkau duduk di atasnya dan bersandar dengannya.”<br /><br />Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, يُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوْا مَا خَلَقْتُمْ, وَإِنَّ الْمَلائِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيْهِ الصُّوْرَة<br /><br />“Sesungguhnya pembuat gambar-gambar ini akan diazab pada hari kiamat, dikatakan kepada mereka: ‘Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan, dan sungguh para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada gambar’.”7<br /><br />Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu menyebutkan bahwa Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya mengisyaratkan, kedua hadits di atas8 tidaklah saling bertentangan bahkan satu dengan lainnya bisa dikumpulkan. Karena bolehnya memanfaatkan bahan yang bergambar (makhluk bernyawa) untuk diinjak atau diduduki9 tidak berarti boleh duduk di atas gambar. Maka bisa jadi yang dijadikan bantal oleh Aisyah radhiallahu 'anha adalah pada bagian qiram yang tidak ada gambarnya. Atau gambar makhluk hidup pada qiram tersebut telah terpotong kepalanya atau terpotong pada bagian tengah gambar sehingga tidak lagi berbentuk makhluk hidup, maka Nabi pun tidak mengingkari apa yang dilakukan Aisyah radhiallahu 'anha. (Fathul Bari, 10/479)<br /><br />Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu berkata: <br />“Dalil-dalil ini menunjukkan haramnya seluruh gambar makhluk bernyawa, baik yang memiliki bayangan (tiga dimensi) atau tidak memiliki bayangan (dua dimensi). Hadits qiram menunjukkan haramnya gambar makhluk hidup yang tidak memiliki bayangan. Demikian pula perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menghapus gambar-gambar yang ada di dinding Ka'bah, maka gambar-gambar tersebut dihapus dengan menggunakan kain perca dan air.”<br /><br />Beliau rahimahullahu juga berkata: <br />“Lebih utama bila rumah dibersihkan dari gambar-gambar yang dihinakan sekalipun (seperti gambar yang ada di keset, yang diinjak-injak oleh kaki-kaki manusia) agar malaikat tidak tercegah/tertahan untuk masuk ke dalam rumah. Dan juga Nabi memerintahkan agar gambar-gambar yang ada pada namruqah dipotong, dan bisa jadi gambar-gambar yang ada pada hamparan itu telah terpotong gambarnya sehingga bentuknya menjadi seperti pohon.” (Hukmu Tashwir, hal. 31)<br /><br />Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata: <br />Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jibril datang menemuiku, beliau berkata: ‘Sesungguhnya aku semalam mendatangimu, namun tidak ada yang mencegahku untuk masuk ke rumah yang engkau berada di dalamnya melainkan karena di pintu rumah itu ada patung laki-laki, dan di dalam rumah itu ada qiram bergambar yang digunakan sebagai penutup, di samping itu pula di rumah tersebut ada seekor anjing. Maka perintahkanlah kepada seseorang agar kepala patung yang ada di pintu rumah itu dipotong sehingga bentuknya seperti pohon, perintahkan pula agar kain penutup itu dipotong-potong untuk dijadikan dua bantal yang bisa dibuat pijakan, dan juga perintahkan agar anjing itu dikeluarkan’.” Rasulullah pun melaksanakan instruksi Jibril tersebut. (HR. At-Tirmidzi no. 2806, kitab Al-Libas 'an Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bab Ma Ja`a Annal Malaikah la Tadkhulu Baitan fihi Shurah wa la Kalb, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami`ush Shahih, 4/319)<br /><br />Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: <br />“Gambar itu dikatakan hidup bila memiliki kepala. Maka jika kepalanya dipotong tidak lagi teranggap gambar hidup.” Riwayat mauquf10 ini dibawakan Al-Baihaqi rahimahullahu dalam Sunan-nya (7/270) dan isnadnya shahih sampai Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, kata Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu.11 (Hukmu Tashwir, hal. 55)<br /><br /><br />Gambar Makhluk Hidup untuk Kepentingan Belajar Mengajar<br /><br />Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu berkata:<br />“Pendapat yang membolehkan gambar untuk kepentingan pengajaran tidaklah ada dalilnya. Bahkan hadits tentang dilaknatnya tukang gambar yang telah lewat penyebutannya sudah meliputi hal ini. Dan juga bila hal ini dibolehkan akan menumbuhkan sikap meremehkan perbuatan maksiat tashwir (membuat gambar) di jiwa para pelajar. Sehingga mereka akan meniru perbuatan tersebut yang berakibat mereka bersiap-siap menghadapi laknat Allah bila mereka belum baligh dan mereka dilaknat bila sudah baligh. Mereka akan menolong perbuatan maksiat bahkan akan membelanya. Bila demikian, di manakah rasa tanggung jawab (para pendidik)? <br />Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:<br /><br />كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ<br /><br />“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.”12<br /><br />مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً فلَمْ يَحُطْهَا بِنُصْحِهِ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنّةَ<br /><br />“Tidak ada seorangpun yang dijadikan sebagai pemimpin oleh Allah namun dia tidak memimpin rakyatnya tersebut dengan penuh nasihat (tidak mengemban amanah dengan baik malah berkhianat kepada rakyatnya, –pent.) melainkan sebagai ganjarannya dia tidak akan mendapatkan (mencium) wanginya surga.”13<br /><br />Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sungguh sangat memperhatikan pendidikan anak-anak dengan tarbiyyah diniyyah (pendidikan agama). Beliau pernah bersabda:<br /><br />كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ<br /><br />“Setiap anak itu dilahirkan di atas fithrah, maka kedua ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”14<br /><br />Beliau juga bersabda dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkannya dari Rabbnya:<br /><br />إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ فَاجْتَالَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ<br /><br />“(Allah berfirman:) sesungguhnya Aku menciptakan hamba-Ku dalam keadaan hanif15 lalu setan membawa pergi/ mengalihkan mereka (dari kelurusannya).”16<br /><br />Dengan demikian haram bagi guru/ pendidik dan bagi pemerintah/ penguasa untuk memberi kesempatan dan kemungkinan bagi para pelajar untuk menggambar (makhluk hidup). (Hukmu Tashwir, hal. 34-35)<br /><br />Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.<br /><br /><br />Footnote Bagian 2:<br /><br />1 Sebagaimana kami nyatakan dalam edisi yang lalu, tulisan ini kami susun dengan menukil secara ringkas dari kitab Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah karya Asy-Syaikh Al-Muhaddits negeri Yaman, Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i‘ rahimahullahu, pada beberapa tempat dari pembahasan beliau, yakni tidak secara keseluruhan. Karena maksud kami adalah menyampaikan secara ringkas untuk pembaca yang budiman. Wabillahi at-taufiq.<br /><br />2 HR. Muslim no. 5506, kitab Al-Libas waz Zinah, bab Tahrimu Tashwiri Shuratil Hayawan …<br /><br />3 Ada beberapa makna yang disebutkan tentang Sahwah. Namun yang lebih tepat, wallahu a‘lam, sahwah yang dimaukan ‘Aisyah dalam haditsnya adalah rumah kecil yang posisinya melandai ke tanah dan tiangnya tinggi seperti almari kecil tempat menyimpan barang-barang. Di atas pintu rumah kecil inilah ‘Aisyah menggantungkan tirainya. Demikian penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu dalam Fathul Bari (10/475)<br /><br />4 HR. Al-Bukhari no. 5954, kitab Al-Libas, bab Ma Wuthi’a minat Tashawir dan Muslim no. 5494, kitab Al-Libas waz Zinah, bab Tahrimu Tashwiri Shuratil Hayawan ….<br />Disebutkan pula dalam Ash-Shahihain bahwa Nabi menjadikan bantal tersebut sebagai alas duduk beliau di rumah atau sebagai sandaran<br /><br />5 HR. Al-Bukhari no. 5955 dan Muslim no. 5489, dalam kitab dan bab yang sama dengan di atas.<br /><br />6 Namruqah adalah bantal-bantal yang dijejer berdekatan satu dengan lainnya atau bantal yang digunakan untuk duduk. (Fathul Bari, 10/478)<br /><br />7 HR. Al-Bukhari no. 5957, kitab Al-Libas, bab Man Karihal Qu‘ud ‘alash Shuwar dan Muslim no. 5499.<br /><br />8 Yaitu hadits yang menyebutkan bahwa 'Aisyah radhiallahu 'anha memotong-motong qiramnya menjadi satu atau dua bantal dan hadits yang menyebutkan pengingkaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap perbuatan Aisyah radhiallahu 'anha yang membeli namruqah (bantal-bantal) untuk tempat duduk beliau. Hadits pertama menunjukkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mau menggunakan bantal yang dibuat dari potongan-potongan kain bergambar sedangkan hadits kedua menunjukkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sama sekali tidak mau menggunakan bantal-bantal yang dibeli Aisyah radhiallahu 'anha karena ada gambar padanya.<br /><br />9 Seperti dijadikan bantal duduk atau keset/ lap kaki.<br /><br />10 Ucapan, perbuatan atau penetapan (taqrir) dari shahabat<br /><br />11 Adapun hadits yang marfu‘ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) dengan lafadz seperti ini tidak ada yang shahih, bahkan dhaif jiddan (lemah sekali) (Hukmu Tashwir, hal. 54)<br /><br />12 HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhu<br /><br />13 HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ma’qil bin Yasar radhiallahu 'anhu<br /><br />14 HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu<br /><br />15 Lurus hanya tunduk kepada Allah, tidak cenderung kepada syirik dan maksiat lainnya.<br /><br />16 HR. Muslim dari ‘Iyadh bin Himar Al-Mujasyi‘i<br /><br /><br /><br />Bagian 3<br /><br />Tema gambar, lukisan, atau patung makhluk bernyawa memang salah satu permasalahan yang membutuhkan pembahasan yang panjang. Edisi kali ini pun masih menyinggung hal tersebut. Ini dilakukan agar permasalahan menjadi lebih jelas dan tidak menumbuhkan keraguan di hati anda, pembaca.<br /><br />Saudariku, dalam edisi yang lalu kita telah mengetahui larangan menggambar makhluk bernyawa dan menyimpannya. Pembahasan edisi inipun masih menyinggung tentang gambar makhluk bernyawa sehingga diharapkan permasalahan menjadi lebih gamblang lagi.<br /><br />Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Teman-teman kami (dari madzhab Syafi’iyyah, –pent.) dan selain mereka berkata: Menggambar makhluk yang bernyawa haram dengan sebenar-benarnya keharaman, termasuk dosa besar, karena diancam dengan ancaman yang keras sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits. Baik orang yang membuat gambar itu bertujuan merendahkannya ataupun selainnya, perbuatannya tetap saja dihukumi haram, apapun keadaannya. <br /><br />Karena perbuatan demikian menandingi ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Baik gambar itu dibuat pada kain/ baju, hamparan/ permadani, dirham atau dinar, uang, bejana, tembok/ dinding, dan selainnya. Adapun menggambar pohon, pelana unta dan selainnya yang tidak mengandung gambar makhluk bernyawa, tidaklah diharamkan. Ini hukum gambar itu sendiri. Adapun mengambil gambar makhluk bernyawa untuk digantung di dinding, pada pakaian yang dikenakan, atau pada sorban dan semisalnya yang tidak terhitung direndahkan (bukan untuk diinjak-injak atau diduduki misalnya, –pent.) maka hukumnya haram. Bila gambar itu ada pada hamparan yang diinjak, pada bantalan dan semisalnya yang direndahkan maka tidaklah haram.”1<br /><br />Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu melanjutkan:<br />“Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara gambar yang memiliki bayangan dengan yang tidak memiliki bayangan (dua atau tiga dimensi, –pent.). Demikianlah kesimpulan madzhab kami dalam masalah ini. Jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka juga berpendapat yang semakna dengan ini. Pendapat ini dipegangi Ats-Tsauri, Malik, Abu Hanifah, dan selain mereka.”<br /><br />Az-Zuhri rahimahullahu menyatakan bahwa larangan menggambar ini umum, demikian pula penggunaannya, baik gambar itu berupa cap/ stempel/ lukisan pada baju/ kain ataupun bukan stempel. Baik gambar itu di dinding, kain, pada hamparan yang direndahkan (misal: permadani, red.), ataupun yang tidak direndahkan, sebagai pengamalan dzahir hadits, terlebih lagi hadits namruqah yang disebutkan Al-Imam Muslim. Ini pendapat yang kuat, kata Al-Imam An-Nawawi. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 14/307-308)<br /><br />Dalam masalah gambar yang berupa stempel/ lukisan pada kain, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menguatkan pendapat yang menyatakan jika gambar tersebut utuh dan jelas bentuknya maka haram. Namun jika gambar itu dipotong kepalanya, atau terpisah-pisah bagian tubuhnya maka boleh. (Fathul Bari, 10/480)2<br /><br />Malaikat Tidak Masuk ke dalam Rumah yang Ada Gambar Makhluk Hidupnya<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />لاَ تَدْخُلُ الْمَلائِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ كَلْبٌ وَلاَ تَصَاوِيْرُ<br /><br />“Malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar-gambar.”3<br /><br />Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: <br />“Ulama berkata: Faktor penyebab terhalangnya mereka (para malaikat) untuk masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat gambar adalah karena membuat dan menyimpan gambar merupakan perbuatan maksiat, perbuatan keji, dan menandingi ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta di antara gambar itu ada yang diibadahi selain ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. <br /><br />Adapun sebab tercegahnya para malaikat itu untuk masuk rumah yang di dalamnya terdapat anjing karena anjing itu banyak memakan benda-benda yang najis. Dan juga di antara anjing itu ada yang dinamakan setan sebagaimana disebutkan dalam hadits.4 <br /><br />Sementara malaikat adalah lawan setan. Di samping itu, anjing memiliki aroma tidak sedap sedangkan malaikat tidak menyukai bau yang busuk, dan ada larangan dalam syariat ini untuk memelihara anjing5. Maka orang yang memelihara anjing di dalam rumahnya diberikan hukuman dengan diharamkannya para malaikat untuk masuk ke dalam rumahnya. Juga terhalang dari mendapatkan shalawat dan istighfar para malaikat, berikut keberkahannya dan penolakannya dari gangguan setan. <br /><br />Malaikat yang tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing atau gambar ini adalah malaikat yang berkeliling menyampaikan rahmah, barakah, dan mendoakan istighfar. Adapun malaikat hafazhah tetap masuk ke dalam semua rumah dan tidak pernah meninggalkan anak Adam dalam segala keadaan. Karena mereka diperintahkan untuk menghitung amalan anak Adam dan mencatatnya. <br /><br />Al-Khaththabi berkata: <br />‘Para malaikat itu hanyalah tidak masuk ke dalam rumah yang ada anjing atau gambar yang memang diharamkan. Adapun yang tidak diharamkan seperti anjing pemburu, anjing yang ditugasi menjaga sawah ladang dan hewan ternak, atau gambar yang dihinakan/ direndahkan yang ada di hamparan, bantal dan selainnya (yang diinjak/ diduduki), maka tidaklah mencegah masuknya para malaikat.’<br /><br />Al-Qadhi mengisyaratkan semisal apa yang dikatakan Al-Khaththabi. Namun yang dzahir, ini meliputi seluruh anjing dan seluruh gambar makhluk hidup. Para malaikat tercegah untuk masuk karenanya, disebabkan hadits-hadits yang ada dalam masalah ini mutlak (tidak disebutkan adanya pengecualian atau pengkhususan, –pent.) <br /><br />Dan juga anjing kecil yang pernah ada di dalam rumah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersembunyi di bawah tempat tidur. Ini merupakan udzur/ alasan yang besar tentunya, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahuinya. Namun ternyata tetap mencegah malaikat Jibril 'alaihissalam untuk masuk ke rumah beliau. Seandainya udzur/ alasan adanya gambar dan anjing bisa diterima sehingga tidak mencegah masuknya para malaikat, niscaya malaikat Jibril pun tidak tercegah untuk masuk, wallahu a’lam.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 14/309-310)<br /><br /><br />Mainan Anak-anak<br /><br />Dikecualikan dari larangan mengambil gambar ini adalah mainan anak-anak/ boneka yang terbuat dari bulu/ wol dan kain, kata Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu6, dengan dalil berikut ini:<br />Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiallahu 'anha berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim utusan pada pagi hari ‘Asyura` (10 Muharram) ke kampung-kampung Anshar untuk mengumumkan:<br /><br />مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيَصُمْ<br /><br />“Siapa yang berpagi hari (di hari ini) dalam keadaan berbuka (tidak puasa) maka hendaklah ia sempurnakan sisa harinya (dengan berpuasa) dan siapa yang berpagi hari dalam keadaan puasa maka hendaklah ia terus puasa.”<br /><br />Ar-Rubayyi’ berkata:<br /><br />فَكُنَّا نَصُوْمُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُوْنَ عِنْدَ اْلإِفْطَارِ<br /><br />“Kami pun puasa pada hari ‘Asyura` tersebut dan melatih anak-anak kami untuk puasa. Kami membuatkan untuk mereka mainan anak-anakan (boneka) dari bulu/ wol. Bila salah seorang dari mereka menangis minta makan, kami memberikan mainan tersebut kepadanya, demikian sampai saatnya berbuka puasa.”7<br /><br />‘Aisyah radhiallahu 'anha berkisah:<br /><br />أَنَّهَا كَانَتْ تَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَتْ: وَكَانَتْ تَأْتِيْنِي صَوَاحِبِيْ فَكُنَّ يَنْقَمِعْنَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَتْ: فَكاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ<br /><br />“Ia biasa bermain boneka anak perempuan di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata: ‘Teman-teman kecilku biasa datang untuk bermain bersamaku. Namun bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang, mereka sembunyi (karena segan dan malu kepada beliau) dan beliau pun menggiring mereka kepadaku’.”8<br /><br />Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: <br />“Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya bermain boneka/ anak-anakan.” Beliau juga mengatakan: “Boneka/ anak-anakan dikhususkan dari pelarangan yang ada dalam hadits ini, dan juga karena ingin memberikan pendidikan dini kepada wanita dalam mengatur perkara diri mereka, rumah, dan anak-anak mereka (kelak).” (Al-Minhaj, 15/200)<br /><br />Demikian saudariku, penjelasan yang dapat kami bawakan untukmu sebagai nasehat bagimu berkaitan dengan gambar makhluk bernyawa. <br /><br />Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.<br /><br /><br />Footnote Bagian 3:<br /><br />1 Nampaknya An-Nawawi membolehkan membiarkan gambar tanpa dipotong asalkan tidak dipajang, yakni dihinakan seperti pada karpet dan sejenisnya (ed). Menurut penulis, tentunya setelah gambarnya tidak lagi utuh tapi dipotong-potong. Lihat pembahasan masalah ini dalam edisi yang lalu ketika Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu mendudukkan dua hadits Aisyah radhiallahu 'anha yang seakan bertentangan.<br /><br />2 Namun bila masih ada kepalanya, maka tetap tidak boleh, karena Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Gambar itu dikatakan hidup bila memiliki kepala...” Lihat edisi 22, halaman 94. (ed)<br /><br />3 HR. Al-Bukhari no. 5949 kitab Al-Libas, bab At-Tashawir dan Muslim no. 5481, 5482 kitab Al-Libas, bab Tahrim Tashwir Shurah Al-Hayawan…<br /><br />4 Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />الْكَلْبُ اْلأَسْوَدُ شَيْطَانٌ<br /><br />“Anjing hitam itu setan.” (HR. Muslim no. 1137, kitab Ash-Shalah, bab Qadru Ma Yasturul Mushalli)<br /><br />5 Kecuali anjing pemburu dan anjing yang dilatih untuk tugas khusus.<br /><br />6 Dalam kitabnya Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah, hal. 59<br /><br />7 HR. Al-Bukhari no. 1960 kitab Ash-Shaum, bab Shaumush Shibyan dan Muslim no. 2664 kitab Ash-Shiyam, bab Man Akala fi `Asyura` Falyakuffa Baqiyyata Yaumihi<br /><br />8 HR. Muslim no. 6237 kitab Fadha`ilush Shahabah, bab Fi Fadhli `Aisyah radhiallahu 'anhu<br /><br /><br /><br />http://www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=343Hamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-74920818227773454602010-04-20T20:06:00.000-07:002010-04-20T20:14:08.331-07:00UM KAMU MENGELUH "* hari ini sebelum kamu mengatakan kata-kata yang tidak baik, pikirkan tentang seseorang yang tidak dapat berbicara sama sekali.<br /><br /><br /><br />* sebelum kamu mengeluh tentang rasa dari makanan mu,<br /><br />pikirkan tentang seseorang yang tidak punya apapun untuk di makan.<br /><br /><br /><br />* sebelum anda mengeluh tidak punya apa-apa,<br /><br />pikirkan tentang seseorang yang meminta-minta di jalanan.<br /><br /><br /><br />* sebelum kamu mengeluh bahwa kamu buruk,<br /><br />pikirkan tentang seseorang yang berada pada tingkat yang terburuk di dalam hidupnya.<br /><br /><br /><br />* sebelum kamu mengeluh tentang suami atau istri anda,<br /><br />pikirkan tentang seseorang yang memohon kepada Tuhan untuk di berikan teman hidup.<br /><br /><br /><br />* sebelum kamu mengeluh tentang rumah tangga mu { suami atau istri anda },<br /><br />pikirkan tentang seseorang yang telah bercerai.<br /><br /><br /><br />* sebelum kamu mengeluh tentang anak-anak anda,<br /><br />pikirkan tentang seseorang yang sangat ingin mempunyai anak.<br /><br />Tetapi dirinya mandul.<br /><br /><br /><br />* sebelum kamu mengeluh tentang rumah mu yang kotor, karena pembantu mu tidak mengerjakan tugasnya,<br /><br />pikirkan tentang orang-orang yang tinggal di jalanan.<br /><br /><br /><br />* hari ini sebelum kamu mengeluh tentang hidup mu,<br /><br />pikirkan tentamg seseorang yang meninggal terlalu cepat.<br /><br /><br /><br />* sebelum kamu mengeluh dengan kesulitan mu,<br /><br />pikirkan tentang orang-orang yang lebih sulit lagi.<br /><br /><br /><br />* sebelum kamu mengeluh tentang pelajaran mu di sekolah,<br /><br />pikirkan tentang orang-orang yang ingin sekolah,<br /><br />tapi dia tidak mampu untuk membiayai sekolahnya.<br /><br /><br /><br />* sebelum kamu mengeluh karena kesalahan teman atau saudara anda,<br /><br />pikirkan tentang orang-orang yang tidak punya teman atau saudara, karena di kucilkan.<br /><br /><br /><br />* sebelum kamu mengeluh tentang jauhnya kamu telah menyetir,<br /><br />pikirkan tentang seseorang yang menempuh jarak yang sama dengan berjalan.<br /><br /><br /><br />* dan di saat kamu lelah dan mengeluh tentang pekerjaan mu,<br /><br />pikirkan tentang pengangguran,<br /><br />orang-orang cacat yang berharap mereka mempunyai pekerjaan seperti anda.<br /><br /><br /><br />* sebelum kamu menunjukkan jari dan menyalahkan orang lain,<br /><br />ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa.<br /><br /><br /><br /><br /><br />* dan ketika kamu sedang bersedih dan hidup mu dalam kesusahan,<br /><br />tersenyum dan berterimakasihlah kepada Tuhan bahwa kamu masih hidup.<br /><br /><br /><br />* sebelum anda mengeluh tentang apa saja, lihatlah, renungkan, dan pikirkan di sekitar anda dulu apa dan bagaimana dia?<br /><br /><br /><br />* di saat kita mau menunjuk jari dan menyalahkan orang lain,<br /><br />pernahkah kita berfikir dan ingat bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak pernah salah dan berdosa sama sekali.<br /><br /><br /><br />* maka ni'mat Robb kamu yang mana kah yang kamu dustakan. { Q.S. 55 : 13 }.<br /><br /><br /><br />* jangan menghitung berapa kali diri mu terjatuh,<br /><br />lalu berusaha bangkit kembali di saat berlari mendekati-Nya.<br /><br />Sebab cinta-Nya hanya di berikan kepada orang yang RIDHO menjalani kehendak-Nya.<br /><br /><br /><br />* keselamatan hati bermuara pada keridhoan dan ketenangan jiwa tergantung pada sikap rela.<br /><br /><br /><br />* sifat muslim sejati adalah bersabar ketika di timpa musibah dan bersyukur ketika mendapat nikmat.<br /><br /><br /><br />* seorang mu'kmin itu jika dia melihat, maka dia mengambil pelajaran, jika dia diam maka dia berfikir, jika dia bicara maka dia mengingat, jika dia di beri sesuatu dia bersyukur dan jika dia di coba dia bersabar.<br /><br /><br /><br />* barang siapa yang akan memperoleh limpahan kebaikan dari Allah, maka terlebih dahulu ia akan di beri cobaan. { H.R. Bukhari }.<br /><br /><br /><br />* besarnya pahala sesuai dengan besarnya ujian dan cobaan. Sesungguhnya Allah 'Azza Wa Jalla bila menyayangi suatu kaum Allah menguji mereka. Barang siapa bersabar maka baginya manfaat kesabarannya dan barang siapa murka maka baginya muka Allah. { H.R. Tirmidzi }.<br /><br /><br /><br />* tiada seorang mukmin di timpa rasa sakit, kelelahan {kepayahan}, di serang penyakit atau kesedihan {kesusahan} sampaipun duri yang menusuk {tubuhnya} kecuali dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya. { H.R. Bukhari }.<br /><br /><br /><br />* tidaklah seseorang wafat kecuali dia menyesal, apa bila dia orang yang baik dia menyesal kenapa tidak lebih baik dan apa bila dia orang jahat dia menyesal kenapa dia tidak bertobat. { H.R. Tirmidzi }.<br /><br /><br /><br />* ujian dan cobaan memberi kekuatan spiritual yang tidak terukur dan tidak terhitung. Air mata yang menyucikan jiwa, membersihkan kotoran, dan menerangi hati serta pikiran. Ketika jiwa yang takut kepada Allah subhanahu wata'ala. Taat menangis saat bersujud kepada-Nya. Saat itulah sebenarnya keberadaan lebih berhak mendapat balasan kebaikan di akhirat. Dari pada para pecinta kemungkaran dan kejahatan.<br /><br /><br /><br />* jangan mau di hancurkan oleh hal-hal yang sepele tapi juga jangan memperlakukan masalah lebih besar dari kenyataan yang sebenarnya. Berhati-hatilah jangan terlalu takut menghadapi masalah dan janganlah terlalu membesar-besarkan maslah. Perlakukan semua sesuai dengan kapasitasnya.<br /><br />Sesungguhnya setelah kesulitan pasti ada kemudahan setelah kesusahan ada jalan keluar dan itu adalah sunnatullah-Nya yang pasti berlalu.<br /><br /><br /><br />* Hati yang paling Allah kasihi ialah hati yang paling lembut terhadap saudaranya, paling bersih dalam keyakinannya dan paling baik dalam agamanya.<br /><br /><br /><br />* sesuatu lebih terasa berharga ketika kita sudah tidak memilikinya, maka hargai dan jagalah segala yang kita miliki.<br /><br /><br /><br />* usah gelisah apa bila di benci manusia, karena masih banyak yang menyayangi mu di dunia ini.<br /><br />Tapi gelisah lah apa bila di benci Allah karena tiada lagi yang mengasihi mu di akhirat.<br /><br /><br /><br />* cintailah apa yang kamu cintai sekedarnya saja, karena apa yang kamu cintai hari ini bisa kamu benci pada hari esok.<br /><br />Dan bencilah apa yang kamu benci sekedarnya saja, karena apa yang kamu benci hari ini bisa juga kamu cinta pada hari esok.<br /><br /><br /><br />* di setiap kesulitan pasti ada kemudahan, bkan hanya berarti di setiap ada lalu Allah menggantinya dengan kemudahan, tapi lebih kepada bagaimana kita lebih sabas dalam menghadapi kesulitan, lalu akhirnya kita lebih dewasa dalam menyelesaikan setiap permasalahan.<br /><br /><br /><br /><br /><br />* terkadang kita merasa bertindak bodoh hanya karena terlalu berharap dan di sisi lain, harapan sangat di perlukan untuk bisa menjadi penyemangat hidup, tapi harapan-harapan akan menjadi basi ketika tak lagi bisa melihat mana yang baik dan buruk. Mana yang menyakitkan dan mana yang bisa menunjukkan pola pikir yang sebenarnya, mana yang menyakitkan pola pikir yang sebenarnya, kenapa harus berdalih karena keadaan? Dan kenapa keadaan yang mesti di salahkan?<br /><br /><br /><br />* menangis adalah haq, namun menangislah dengan haq, untuk yang haq, dan tangisilah dunia untuk sesuatu yang haq.<br /><br /><br /><br />* sabar adalah pilar kebahagian seorang hamba, dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan.<br /><br /><br /><br />* ibnu qoyyim rahimahullah mengatakan,<br /><br />" kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apa bila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.<br /><br /><br /><br />* tidak ada pemberian yang lebih baik dari Allah subhanahu wa ta'ala selain pemberian berupa sabar.<br /><br /><br /><br />* tahanlah kesedihan hatimu karena kesedihan itu hanyalah fatamorgana rasa yang tercipta dari harubiru hatimu yang mudah berubah-ubah.<br /><br />Jika engkau menurutinya maka takkan ada habisnya.<br /><br />Yang engkau butuhkan hanya keteguhan hati yang akan melahirkan ketengan, berlayar mengarungi samudra nan luas penuh debusan ombak. Dan muaranya adalah negri kedamaian tempat peristirahatan terakhirmu. Temukanlah keteguhan hati mu.<br /><br /><br /><br />* ketenangan mempunyai banyak kegunaan?<br /><br />Seperti di katakan ibnu qoyyim,<br /><br />ketengangan bisa melahirkan kekusyukan dalam ketaan dan kesadaran dalam beribadah.<br /><br />Ketenangan bisa berintrapeksi, menerima terhadap ketetapan Allah. Bersikap hati-hath, menempatkan akal di depan lidahnya, berbicara dengan pertimbangan, meredam nafsu dan emosi, bertindak dengan penuh arif dan bijaksana.<br /><br /><br /><br />* Kebenaran itu berat dan lezat, batil itu ringan dan membawa laknat, betapa banyak nafsu dan syahwat telah menyebabkan duka yang panjang.<br /><br /><br /><br />* manusia selalu menganggap baik apa yang di lakukannya tapi belum tentu menganggapnya benar apa yang di lakukannya.<br /><br />Sesuatu yang baik belum tentu benar dan yang benar sudah pasti baik.<br /><br />Apa yang baik menurut kita bisa jadi buruk menurut Allah.<br /><br />Dan apa yang buruk menurut kita bisa jadi baik menurut Allah.<br /><br /><br /><br />* kebahagian itu sering nampak ada pada orang lain, sehingga begitu ingin kita memiliki seperti yang ada pada orang lain itu.<br /><br />Padahal bisa jadi orang lain juga melihat yang serupa yang ada pada kita.<br /><br />Och... Sanaw sinawang bikin hati resah gelisah setiap saat.<br /><br /><br /><br />* kalau engkaukehilangan sesuatu, lebih baik diam saja, dari pada berteriak-teriak agar di dengar orang lain. Menjaga apa yang ada di tangan mu lebih baik dari pada engkau berupaya mendapatkan apa yang ada di tangan orang lain,<br /><br />rasa pedih kalau kita gagal mendapatkan sesuatu atau kita kehilangan harapan adalah lebih baik, dari pada meminta-meminta kepada orang lain.<br /><br /><br /><br />* Ketahuilah semua yang telah terjadi itu adalah kehendak Allah, dan tidak ada yang sia-sia apa yang menjadi kehendak Allah Subhanahu Wa Ta'ala, bersyukur dan bersabarlah dengan apa yang telah menjadi kehendak-Nya. Sebelum engkau mengeluh lihat orang-orang di sekitar mu dulu, apa yang engkau alami masih ada lagi yang lebih berat mengalami apa yang engkau alami.<br /><br /><br /><br />* minta tolonglah kepada Allah dan jangan menjadi manusia lemah. Jika engkau di timpa sesuatu maka janganlah mengatakan ; ' seandainya aku mengerjakan begini maka akan menjadi begitu! ' tetapi katakanlah ; itu semua adalah takdir Allah, apa yang di kehendaki-Nya di kerjakan-Nya ' sebab kalimat ' seandainyai... Itu akan membuka pintu buat setan. { Al-Hadits }.<br /><br /><br /><br />* seseorang akan di uji sesuai dengan kondisi agamanya, apa bila agamanya begitu kokoh, maka ia akan di uji sesuai dengan kualitas agamanya, seorang hamba senantiasa mendapat cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa. { H.R. Tirmidzi }.<br /><br /><br /><br />* lihatlah kepada orang yang berada di bawah mu dan janganlah melihat orang yang ada di atas mu, karena hal demikian lebih patut agar kalian tidak merendahkan nikmat Allah yang telah di berikan kepada mu. { Muttafaqun 'Alaihi }.<br /><br /><br /><br />* angan berangkat sebelum tahu tujuan mu, jangan menyuap sebelum mencicipinya, tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru , sesuatu terwujud hanya dari tindakan janganlah bagai orang gunung membeli emas, baru mendapat besi kuningan pun puas di kira emas bila tanpa dasar, bakti membutapun akan bisa menyesatkan dan menyengsarakan kita.<br /><br /><br /><br />* sabar dalam menghadapi semua perjalanan hidup, tak perlu banyak orang yang tau dalam hidup yang kita jalani, tak perlu banyak orang yang merasa membanggakan diri kita dalam kesabaran yang kita jalani, tak ada pengecualian dalam hidup walapun ini sulit. Ikuti perjalanan yang Allah ridhoi selagi itu masih dalam kebaikan dan kebenaran.<br /><br /><br /><br />* jika Allah menahan pemberian-Nya pada mu, maka pahammilah bahwa itu adalah suatu kemuliaan untuk mu, selama engkau pertahankan ke islaman dan ke imanan mu, hingga segenap apa yang di lakukan Allah kepada diri mu menjadi karunia pula kepada mu.<br /><br /><br /><br />* selagi Allah Subhanahu Wa Ta'ala menginginkan perjalanan ini, selagi itulah kita berjalan.<br /><br />Sehingga di suatu hari Dia ingin kita berhenti maka dengan rela hati kita pergi tanpa harus memikirkan apa-apa lagi.<br /><br /><br /><br />* selalu ada berkah dalam keluarga, selalu ada ketabahan dalam kesabaran, selalu ada hikmah dalam kesyukuran, selalu ada harapan dalam keyakinan, dan selalu ada do'a dalam iman.<br /><br /><br /><br />** kemana lagi kita mencari ketenangan selain kepada-Nya. Kemana lagi kita meminta dan memohon pertolongan selain dari pada kepada-Nya.<br /><br /><br /><br />* pada hakekatnya tak ada penyejuk yang benar-benar menyegarkan, dan tak ada obat yang paling mujarab selain taqwa. kepada-Nya lah satu-satu-Nya jalan keluar dari berbagai problem kehidupan, yang mendatangkan keberkahan hidup, serta menyelamatkan dari adzab-Nya di dunia maupun di akhirat nanti, karena taqwa jualah seseorang akan mewarisi surga Allah Subhanahu Wa Ta'ala.<br /><br /><br /><br />* kesedihan hanya akan membuat hati menjadi kecut, wajah berubah muram, dan harapanpun kian menghilang. Jangan biarkan diri kita di kuasai masa lalu yang kelam. Bangkitlah esok masih ada matahari.<br /><br /><br /><br />*jarak antara kesulitan dan kemudahan adalah nikmat dari Allah. Pada saat manusia mengalami kesulitan maka hakekat kenikmatan bukan pada kesulitan itu, begitu pula sebaliknya di saat di beri kemudahan maka hakekat nikmat itu bukan pada kemudahannya, tapi hakekat kesulitan dan kemudahan kenikmatannya terletak tak kala manusia mengingat atau berdzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.<br /><br /><br /><br />* tak ada penyelamat yang lebih utama selain tobat, dan tak ada kebahagiaan yang sempurna selain pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.<br /><br /><br /><br />* hidup ini begitu singkat, siapa yang menjamin anda bisa hidup sampai terbenamnya matahari, alangkah bodohnya kita bila berpegang pada hal-hal duniawi saja.<br /><br /><br /><br />* tak ada yang tau apa yang akan terjadi esok, yang bisa kita lakukan adalah berbuat yang terbaik untuk hari ini. Tak ada yang pasti di dunia ini selain dari pada mati. Tak ada yang abadi di dalam diri kita kecuali amal kita.<br /><br /><br /><br />* ada dua perkara yang akan membuat manusia terlena, membuat merugi, membuat manusia binasa kalau tidak memanfaatkan karunia ini. Yaitu karunia waktu luang dan kesehatan.<br /><br /><br /><br />* cukuplah kematian sebagai peringatan, cukuplah kematian sebagai nasehat, cukuplah kematian menjadikan hati bersedih, menjadikan mata menangis, perpisahan dengan orang-orang tercinta penghilang segala kenikmatan, pemutus segala cita-cita.<br /><br /><br /><br />* aku tidak peduli apakah aku yang harus menjemput kematian atau kematian yang menjemput ku. { Imam Ali Bin Abi Thalib }.<br /><br /><br /><br />* ketahuilah bahwa dunia ini adalah sama seperti bangkai keledai. { Al-Hadits }.<br /><br /><br /><br />* kalaulah dunia ini berharga di sisi Allah 'Azza Wa Jalla sebelah sayap nyamuk saja, maka Allah tidak akan memberi kekayaan walaupun peteguk minuman kepada orang-orang kafir. { H.R. Ahmad dan Tirmidzi }.<br /><br /><br /><br /><br /><br />* sesungguhnya Allah lebih mengetahui siapa jodoh kita, bagaimana rizki kita, berapa umur kita dan perjalanan menuju matlamat itu di hiasi dengan beribu dugaan. Allah pasti memberikan yang terbaik untuk yang terbaik, insya Allah. Yakinlah dengan Allah.<br /><br /><br /><br />* antara pejaman mata dan keterjagaan mata, Allah selalu merubah keadaan menjadi berbagai peristiwa yang menimpa kita. Betapapun sulit dan pahitnya sesungguhnya Allah lah yang memberitahukan kepada kita nikmat yang sebenarnya.<br /><br /><br /><br />* ujian itu adalah binatang buas, dia tidak akan pernah memakan bangkai, dia adalah mahkota yang tidak pernah di pakai oleh para pelayan, dia adalah pedang yang tidak pernah di jinjing pada pengecut. Dia adalah mimbar yang tidak pernah di naiki oleh orang lemah dan lembek.<br /><br /><br /><br />* Ali Bin Abi Thalib berkata setiap bencana yang datang, pasti karena dosa. Dan bencama itu akan hilang dengan bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.<br /><br /><br /><br />* pada saat mengeluh, bagai melihat rajutan benang-benang hidup dari bawah, tampaknya memang kusut dan berantakan, tapi yakinlah bahwa sesungguhnya Tuhan telah membuat rajutan yang hndah, bagai melihat hasil rajutannya dari sisi atas dan kelak akan melihat bahwa pengalaman manis dan pahit yang di rasakan ternyata turut memberikan warna bagi rajutan hidup dan kita akan sangat bersyukur atas warna itu.<br /><br /><br /><br />* Pertolongan itu datang sesudah bersabar, jalan keluar itu datang sesudah adanya bencana kesulitan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. { H.R Ibnu Najjar }.<br /><br /><br /><br />* perbuatan dosa mengakibatkan sial terhadap orang yang bukan pelakunya. Kalau dia mencelanya maka bisa terkena ujian {cobaan}, kalau menggunjinnya dia berdosa dan kalau dia menyetujuinya maka seolah-olah dia ikut melakukannya. { H.R. Dailami }.<br /><br /><br /><br />* debu-debu perjalanan mulai menempel dan perlahan membuat kita terhalang pandangan akan keindahan hati yang sesungguhnya, tapi ada senjata pamungkas yang selalu menyapu debu-debu itu yaitu dengan kalimat tauhid-Nya.<br /><br /><br /><br />* ciri cinta kepada Allah senang cinta dzikrullah, ciri benci kepada Allah benci dzikir kepada-Nya. { H.R. Baihaqi }.<br /><br /><br /><br />* segala yang di langit dan di bumi secara serasi bersujud patuh tiap pagi dan petang, justru manusia yang sering tidak kompak dengan bayang-bayangnya. Bertanyalah kita, adakah bayang-bayang kita lebih taat dari diri kita? Atokah kita hanya menjadi penindas bayang-bayang?<br /><br /><br /><br />* di hari ku yang mana aku dapat melarikan diri dari maut? Di hari yang tidak di takdirkan? Atau, di hari yang di takdirkan? Hari yang tidak di takdirkan, aku tidak kuatir terhadapnya. Dan hari yang tidak di takdirkan, sikap kuatir tidak lah menyelamatkan. { Ali Bin Abi Thalib }.<br /><br /><br /><br />* setiap penglihatan yang tidak di tunjukkan untuk mengambil ibrah {pelajaran} adalah kesia-siaan, diam yang tidak di sertai pemikiran {tafakur} adalah kelalaian, seadangkan pembicaraan yang bukan dzikir itu juga merupakan kesia-kesiaan, beruntunglah orang yang pandangannya di tunjukkan untuk mengambil ibrah, diamnya karena berfikir, dan pembicaraannya berisikan dzikir. { Ali Bin Abi Thalib }.<br /><br /><br /><br />* hai hamba-hamba Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa pada malam dan siang hari, oleh karena itu, mohonlah ampun kepada-Ku. Niscaya Aku mengampuni kalian. { H.R. Muslim }.<br /><br /><br /><br />* wahai para hamba Allah yang sedang meniti jalan menuju Robb nya, janganlah luasnya rahmat dan ampunan Allah menjadikan kita merasa aman dari siksa dan adzab-Nya. Jangalah kita merasa bahwa segala amalan yang kita kerjakan pasti di terima oleh-Nya. Siapakah yang bisa menjamin itu semua?.<br /><br /><br /><br />* kadang naik, kadang turun, kadang dekat, kadang jauh, kadang taat, kadang maksiat, semoga berujung pada taubat, hingga selamat dunia akhirat. Amin.<br /><br /><br /><br /><br /><br />" DIA BERSAMA MU...! "<br /><br /><br /><br />* wahai kawan...!<br /><br /><br /><br />*Engkau merasa sepi...<br /><br />- tapi sebenarnya engkau tak sendiri.<br /><br />* engkau merasa di persimpangan...<br /><br />- tapi sebenarnya engkau dalam perjalanan ujian...<br /><br />* engkau merasa ragu dalam banyak keinginan...<br /><br />- tapi sebenarnya engkau hanya punya satu pilihan.<br /><br />* engkau merasa samar dalam memandang...<br /><br />- tapi sebenarnya engkau tajam dalam penglihatan.<br /><br /><br /><br />* wahai kawan...!<br /><br /><br /><br />* mendekatlah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala...<br /><br />- maka engkau kenal yang sebenarnya.<br /><br />* taatlah dalam amalan sunnah Rasul-Nya...<br /><br />- maka engkau akan paham kehendak-Nya.<br /><br /><br /><br />* istiqomahlah...!<br /><br /><br /><br />* maka engkau tak kan, pernah merasa sendiri lagi...<br /><br /><br /><br />" DIA BERSAMA MU...! "<br /><br /><br /><br />* di manapun engkau berada...<br /><br />- Dia lah yang Awwal.<br /><br />- Dia lah yang akhir.<br /><br />- Dia lah yang Dzahir.<br /><br />- Dia lah yang Bathin.<br /><br />* maka bertasbihlah kepada- Nya.<br /><br /><br /><br />* Subhaanallah...!<br /><br />* Alhamdulillah...!<br /><br />* Allahu Akbar...!<br /><br />* La Ilaha Illallah...!<br /><br />* Astaghfirullah...!<br /><br /><br /><br />* Tak pernah ku merasakan aroma kematian yang begitu dekat...<br /><br /><br /><br />* kemana kau akan lari saat datang malaikat...<br /><br /><br /><br />* apa yang akan kau kata atas apa yang kau buat...<br /><br /><br /><br />* tidak kah kau tau di dalam kubur tak ada syafaat...<br /><br /><br /><br />* lantas apa arti dunia di bandingkan akhirat...<br /><br /><br /><br />* saat itu terjadi harta dan keluarga mu seolah tak terlihat...<br /><br /><br /><br />* och...!<br /><br /><br /><br />* ampuni kami sang pemilik rahmat...<br /><br /><br /><br />* meskipun telah kami balas anugrah-Mu dengan sikap khianat...<br /><br /><br /><br />* kami masih berharap menjadi penghuni firdaus-Mu yang nikmat...<br /><br /><br /><br />* bkan jahanam-Mu yang terlaknat...<br /><br /><br /><br />* Allahummaghfirlana wal muslimin. Ya Allah, ampuni kami dan kaum muslimin. Amin.<br /><br /><br /><br />* Jazakallhu khairan katsiran...<br /><br /><br /><br />* Wallahu 'alam.Hamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-8894562100828086182010-04-19T21:18:00.000-07:002010-04-19T21:48:31.159-07:00Pelajaran dan Nasehat dari Peristiwa Bentrokan Berdarah di Kuburan “Mbah Priuk”Oleh : Abu Ibrahim Abdullah Bin Mudakir Al Priuky<br /><br />Sebuah peristiwa yang sangat menyedihkan dan memprihatinkan yang terjadi pada hari rabu kemarin di tanjung priok tepatnya didaerah koja, peristiwa bentrokan antara satpol PP dan masa tak sedikit yang menjadi korban baik dari satpol PP ataupun masyarakat umum, baik yang luka – luka bahkan ada yang sampai meninggal, Sebuah fenomena yang membuat hati sedih dan dada terasa sesak melihat kejadian itu, hanya karena persoalan kuburan yang di keramatkan, antara satpol PP yang ingin membersihkan bangunan gapura kuburan dan bangunan liar yang ada disekitar kuburan dan massa yang memahami bahwa satpol PP akan menggusur kuburan “Mbah Priok” yang dikeramatkan. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari realita kejadian bentrokan berdarah itu, oleh karena itulah tulisan ini hadir insya Allah sebagai sebuah renungan dan nasehat untuk kaum muslimin atas kejadian bentrokan berdarah dikuburan “Mbah Priok”.<br /><br /><br /><br />Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman<br />وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ المُنْكَرِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ المُفْلِحُونَ<br /><br />” Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dan mereka itulah orang-orang yang beruntung “ (Qs. Ali Imran : 104)<br /><br />Dari Abu Ruqayah Tamiim Bin Aus Ad-Daari bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassam bersabda : ” Agama adalah nasehat ” kami (para sahabat) berkata untuk siapa wahai Rasulullah, Rasulullah berkata : untuk Allah, Rasul Nya kitabNya, para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin seluruhnya “ (HR. Muslim)<br /><br /><br />Pelajaran dan nasehat pertama : <br />Ummat dan kebodohan yang meliputinya.<br /><br />Inilah diantara realita yang terungkap dari peristiwa tersebut, kebodohan yang sangat menyelimuti ummat ini, hal ini dilihat karena mereka sangat mudah terpancing dengan sesuatu keadaan sehingga melakukan hal yang membahayakan dunia dan akhirat mereka, diantaranya dengan berdemo dan berunjuk rasa bahkan melakukan aksi kekerasan diantaranya hanya bertujuan untuk mempertahankan kuburan yang di anggap keramat. Sekitar satu atau dua minggu sebelum terjadinya peristiwa ini terdapat selebaran – selebaran yang ditempel di masjid- masjid ( termasuk mushola disamping rumah ana) yang mengajak orang untuk berdemo dalam rangka agar satpol PP tidak menggusur kuburan yang mereka keramatkan itu, akhirnya berkumpulah massa yang sangat banyak untuk berdemo berhadapan dengan satpol PP yang sangat rentan terjadi kericuhan, Qadarullah terjadilah apa yang terjadi. Disamping itu yang lebih parah lagi yaitu bodohnya mereka dari tujuan mereka diciptakan yaitu untuk mentauhidkan Allah, untuk beribadah kepada Allah semata dan menjauhi segala kesyirikan dan segala ketergantungan kepada selain Allah termasuk diantaranya kepada kuburan.<br />وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ<br /><br />Artinya : ” Dan tidaklah aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaku” (QS. Adz-Dzariyat : 56)<br /><br /><br /><br />Berkata Ibnu Abbas Radhiyallohu ‘anhu : “Setiap apa yang terdapat didalam Al -Qur’an dari ibadah, bermakna tauhid” ( Tafsir Al Baghowi, dinukil dari Syarh Qawaidul Arba’ Syaikh Khalid Ar Radadi)<br /><br />Wahai kaum muslimin sejauh mana seseorang melalaikan dari agama dengan tidak mengilmui dan mengamalkannya, sejauh itupula seseorang secara sebab akan mengalami kesengsaraan di dunia dan di akhirat, seperti apa yang menimpa ummat pada peristiwa kemarin adalah sebabnya kebodohan. Mereka dengan sangat mudah terprovokasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sehingga melakukan berbagai pelanggaran sayariat diantaranya kekerasan bahkan pembunuhan.<br /><br />Wahai kaum muslimin, ketahuilah kebodahan merupakan penyebab terbesar yang menyeret seseorang kedalam pelanggaran yang diharamkan, seperti kekufuran, kemurtadan, kesyirkan, kefasikan dan kemaksiatan .<br /><br />Simaklah sebuah ayat yang menjelaskan akibat dari jauhnya seseorang dari ilmu menjadi sebab ia terjatuh kepada pelanggaran tauhid. Pelanggaran terhadap hak Allah dengan menyamakan Allah dengan makhluk Nya, Allah Ta’ala berfirman<br />قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَل لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ<br /><br />“ Bani Israill berkata: Wahai Musa buatlah untuk kami sebuah sesembahan ( berhala) sebagai mana mereka mempunyai beberapa sesembahan ( berhala). Musa menjawab : “ sesungguhnya kamu itu kaum yang tidak mengetahui ( bodoh terhadap Allah)…” (Qs. Al A’raaf : 138 )<br /><br />Berkata Asy Syaikh Al Allamah Abdurahman As Sa’di Rahimahullah : “ Kebodohan mana yang lebih besar dari seseorang yang bodoh terhadap Rabbnya, Penciptanya dan ia ingin menyamakan Allah dengan selain Nya, dari orang yang tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat (bahaya), tidak mematikan, tidak menghidupkan dan tidak memiliki hari perkumpulan (kiamat) “ (Taisirul Karimurrahman Syaikh Al Allamah Abdurahman As Sa’di pada ayat ini)<br /><br />Simaklah dalam ayat lain yang insyaallah akan menambah jelas bahwa kebodohan adalah sebab seseorang terjatuh kepada kekufuran <br />قُلْ أَفَغَيْرَ اللهِ تَأْمُرُونِي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ<br /><br />“ Katakanlah: maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang- orang yang tidak berpengetahuan.? “ ( Qs. Az- zumar: 64)<br /><br />Lalu simaklah ayat lainnya yang menjelaskan bagi kita bahwa kebodohan menyebabkan seseorang terjatuh kedalam kemaksiatan kepada Allah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman<br />أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ<br /><br />“ Mengapa kamu mendatangi laki- laki untuk (memenuhi) nafsu (mu) bukan ( mendatangi) wanita ? sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui ” (Qs. An- Naml: 55)<br /><br /><br /><br />Itulah penjelasan sederhana bahwasanya kebodohan adalah sumber malapetaka yang akan membahayakan dunia dan akhirat seseorang.<br /><br />Wahai kaum muslimin bersegeralah menuntut ilmu agama ini dengan pemahaman yang benar yang dilandasi oleh Al Qur’an dan As Sunnah (Hadist) dengan pemahaman salafus shalih (generasi yang terdahulu dari kalangan orang-orang shalih), karena hal itu menjadi sebab kita akan selamat dari perbuatan yang akan membahayakan dunia dan akhirat kita dan sebab kita akan bahagia hidup didunia dan diakhirat kelak insya Allah. Mulailah menuntut ilmu dari hal yang paling penting seperti permasalahan tauhid, aqidah islamiyah, sholat, puasa dan yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman, tentang keutamaan ilmu yang seharusnya kita bersemangat untuk mencarinya<br />يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ<br /><br />“ Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kalian, serta orang-orang yang berilmu beberapa derajat “ (Qs. Al Mujadilah : 11)<br /><br />Dan Rasululllah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada seseorang maka Allah pahamkan agama pada orang tersebut” (HR. Bukhari dan Muslim dari Muawiyah Radiyalallahu ‘Anhu)<br /><br /><br /><br />Wahai kaum muslimin tuntutlah ilmu agama ini dari orang yang mempunyai pemahaman agama yang benar, yang melandasi pemahamannya diatas Al Qur’an dan As Sunnah (Hadist) dengan pemahaman para salafus shalih (generasi sahabat, tabiin dan tabiut tabiin) dan yang mengikuti jejak mereka, bukan mengambil agama ini dari orang – orang yang kerjanya mengerahkan ummat untuk berdemo atau berunjuk rasa atau mengkeramatkan kuburan atau bahkan untuk kepentingan dunia, yang hal ini akan membahayakan seseorang yang mengikutinya. Berhati – hatilah wahai ummat dari orang-orang sesat yang mengajak kepada neraka jahannam.<br /><br />Dari Hudzaifah Bin Yaman bertanya kepada Rasulullah “…… Maka aku bertanya lagi apakah sesudah kebaikkan (yang bercampur kekeruhan itu) akan datang lagi kejahatan? Beliau menjawab : Ya, yaitu para dai yang menyeru dari di pintu-pintu jahannam, barangsiapa yang mengikutinya dakwah mereka, pasti mereka akan melemparkannya kedalam neraka jahannam “ (HR. Bukhari dan Muslim)<br /><br /><br /><br />Pelajaran dan nasehat kedua: <br />Fenomena mengkeramatkan kuburan terjadi ditengah- tengah ummat.<br /><br />Diantara fenomena yang sangat terlihat dari peristiwa bentrokan dikoja tersebut, adalah sebuah fenomena yang sangat menyedihkan dan memprihatinkan yaitu banyaknya ummat yang tidak paham hakekat tauhid sehingga mereka mengkeramatkan kuburan, hati mereka tergantung kepada kuburan –naudzubillah- bahkan hati mereka bergantung kepada kuburan fiktif seperti kuburan “Mbah Priuk” yang secara nyata dan jelas bahwa jasad mbah priuk sudah tidak disitu sudah dipindakan oleh ahli warisnya kepekuburan lain. Wahai kaum muslimin ketahuilah diantara sebab terbesar seseorang menjadi kafir adalah berlebihan terhadap orang shalih diantaranya beribadah kepada Allah dikuburan mereka yang hal itu akan mengantarkan dia beribadah kepada orang shalih tersebut.<br /><br />Berkata Syaikhul Islam Al Imam Muhamad Bin ‘Abdul Wahhab Rahimahullah : ” Faktor yang menyebabkan manusia menjadi kafir dan meninggalkan agama mereka adalah berlebih – lebihan kepada orang shalih ” (Kitab Tauhid Syaikh Muhamad Bin ‘Abdul Wahhab Rahimahullah)<br /><br />Lalu Syaikh Rahimahullah berkata lagi ” Bahwasanya berlebihan kepada kuburan orang shalih akan mengatarkan kuburan itu jadi berhala yang disembah selain Allah “ ( Kitab Tauhid ).<br /><br />Diriwayat dalam shahih al-Bukhari, tafsiran ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhuma mengenai firman Allah Ta’ala:<br /><br />“Dan mereka (kaum nabi Nuh) berkata: “ Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan ( penyembahan) terhadap sesembahan -sesembahan kamu, dan ( terutama) janganlah sekali- kali meningalkan (penyembahan) wadd, suwa, yaghuts, ya’uq maupun Nasr ”. Ia mengatakan ,” ini adalah nama- nama orang sholeh dari kaum Nabi Nuh. Tatkala mereka meninggal, syaithan membisikan kepada kaum mereka : “ Dirikanlah patung – patung pada tempat yang pernah diadakan pertemuan disana oleh mereka, dan namailah patung- patung itu dengan nama- nama mereka ketika itu belum disembah, hingga setelah orang – orang yang mendirikan patung itu meninggal dan ilmu agama dilupakan orang, barulah patung- patung tadi disembah ”.<br /><br />Dan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Ummu salamah Radhiyallahu ‘anha menceritakan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang gereja dengan patung – patung yang ada di dalamnya yang dilihatnya di negeri Habasyah (ethiopia). Maka bersabdalah beliau:<br /><br />“Mereka itu, apabila ada orang – orang shalih atau seorang hamba yang shalih meninggal dunia mereka bangun diatas kuburannya sebuah tempat ibadah dan membuat didalam tempat itu patung – patung. Mereka itulah sejelek- jeleknya makhluk dihadapan Allah ”. (HR. Bukhari dan Muslim)<br /><br />Berkata Asy Syaikh Shalih Al Fauzan Hafidzahullah : “ Bahwasanya ayat ini menunjukkan dengan penujukkan yang jelas larangan beribadah kepada Allah disisi kuburan orang sholeh dan menjadikkannya sebagai masjid, dikarenakan yang demikian itu termasuk perbuatan orang- orang Nashrani. Dan maka dia termasuk sejelek-jelek makhluk “. ( Al Mulakhas Fii Syarhi Kitabit Tauhid : 169 )<br /><br />Dan bukti bahwasannya sikap berlebihan terhadap orang shalih akan menjadi sebab disembahnya kuburan itu selain Allah, sebagaimana kekhawatiran Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam sehingga beliau berdoa agar kuburannya jangan sampai dijadikan berhala yang disembah selain Allah “ Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah, Allah melaknat sebuah kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka menjadi masjid “ (HR Imam Ahmad dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu)<br /><br />Berkata Asy Syaikh Al Allamah Abdurrahman Bin Hasan Alu Syaikh Rahimahullah : “ Dan Bahwasannya Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam mengkhwatirkan ummatnya terjatuh pada haqnya sebagaimana terjatuhnya orang-orang yahudi dan nasrani didalam haq nabi – nabi mereka, berupa peribadatan mereka kepada selain Allah dan sebab perbuatan mereka itu adalah sikap berlebih lebihan terhadap nabi-nabi mereka ” (Quratul ‘Uyunil Muwahidin Syaikh Al Allamah Abdurrahman Bin Hasan Alu Syaikh: 160)<br /><br />Inilah diantara dalil yang menjelaskan bahwa berlebihan kepada orang shalih seperti mengagungkan atau mengkeramatkan kuburan mereka akan mengantarkan kuburan mereka menjadi berhala yang disembah selain Allah.<br /><br />Untuk lebih jelasnya kita akan melihat beberapa bentuk kemungkaran yang terjadi dikuburan sebagai pelengkap faedah yang dapat kita ambil, insya Allah.<br />* Pertama : Menyembah kuburan<br /><br /><br /><br />Inilah kemungkaran yang paling besar yang terjadi dikuburan, yaitu mereka beribadah kepada kuburan dengan salah satu macam ibadah, diantara mereka ada yang berdoa, atau menyembelih untuk kuburan atau meminta dilapangkan rezekinya dan lain-lain, hal ini adalah merupakan bentuk kesyirikan akbar (besar) sebuah dosa yang tidak diampuni oleh Allah yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama islam dan pelakunya kekal dineraka selama-lamanya, Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman<br />إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ <br /><br />“ Sesungguhnya perbuatan syirik (menyekutukan Allah) adalah kedzaliman yang sangat besar “ ( Qs. Luqman : 13 ) <br /><br />dalam ayat lain Allah Ta’ala juga berfirman :<br />إِنَّ اللهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا<br /><br />” Sesungguhnya Allah tidak mengampuni (dosa) karena mempersekutukkan Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang mempersekutukkan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.” ( Qs. An – Nisa : 48 ) <br /><br />Berkata Asy Syaikh Al Allamah Abdul ‘Aziz Bin Baaz Rahimahullah : “ Didalam ayat ini terdapat penjelasan besarnya bahaya syirik, dikarenakan seseorang apabila mati dalam keadaan berbuat syirik maka tidak akan diampuni baginya bahkan dia kekal didalam neraka, berbeda dengan dosa lainnya yaitu dibawah kehendak Allah, jika Allah berkehendak mengadzabnya sesuai dengan kadar dosanya kemudian masuk surga, dan jika Allah berkehedak maka Allah akan mengampuninya (tidak mengadzabnya). Adapun dosa syirik maka sungguh Allah Ta’ala telah berfirman :<br />ومَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ <br /><br />” Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukkan (sesuatau dengan ) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang – orang dzolim itu.” ( Qs. Al Maidah : 72 ) <br /><br />(Syarhu Kitabit Tauhid Syaikh Abdul ‘Aziz Bin Baaz : 37)<br /><br /><br /><br />* Kedua : Beribadah kepada Allah disisi kuburan<br /><br /><br /><br />Perbuatan beibadah kepada Allah disisi kuburan adalah perbuatan dosa besar dan merupakan sarana yang dapat mengantarkan seseorang kepada perbuatan syirik, realita ini terjadi dikuburan fiktif “Mbah Priuk” . Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Ummu salamah Radhiyallahu ‘anha menceritakan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang gereja dengan patung-patung yang ada di dalamnya yang dilihatnya di negeri Habasyah (ethiopia). Maka bersabdalah beliau:<br /><br />“ Mereka itu, apabila ada orang- orang shalih atau seorang hamba yang shalih meninggal dunia mereka bangun diatas kuburannya sebuah tempat ibadah dan membuat didalam tempat itu patung-patung. Mereka itulah sejelek- jeleknya makhluk dihadapan Allah ”.<br /><br /><br /><br />Berkata Asy Syaikh Al Allamah Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah: “ Dikarenakan perbuatan mereka (beribadah sisi kuburan orang shalih dan menjadikan kuburan sebagai masjid -penj) ini adalah sarana kepada kekufuran dan kesyirikan dan perbuatan ini bentuk kedzaliman yang paling dzalim dan yang paling berat, dan apa-apa yang mereka lakukan adalah sarana kearah kesyirikan, maka pelakunya berhak menjadi diantara makhluk yang paling jelek “ (Qaulul Mufiid Fi Kitabit Tauhid : 202 )<br /><br /><br /><br /><br />* Ketiga : Membangun masjid dikuburan<br /><br /><br /><br />Perbuatan ini merupakan dosa besar dan sarana menuju kepada perbuatan syirik, sebagaimana dijelaskan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, Aisyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata : “ Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam hendak diambil nyawanya, beliaupun segera menutupkan kain diatas mukanya, lalu beliau buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan nafas, ketika beliau dalam keadaan demikian itulah beliau bersabda : “ semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yahudi dan nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid “ (HR. Bukhari dan Muslim)<br /><br /><br /><br />Berkata Asy Syaikh Al Allamah Shalih Al Fauzan : “ Bahwasannya dalam hadist ini terdapat larangan beribadah kepada Allah disisi kuburan para nabi dan menjadikannya sebagai masjid dikarenakan perbuatan itu mengantarkan kepada kesyirikan kepada Allah “ (Al Mulakhos Fi Syarhi Kitabit Tauhid Syaikh Al Allamah Shalih Al Fauzan : 171)<br /><br />Kalau kuburan nabi saja kita dilarang untuk beribadah kepada Allah disisi kuburannya lalu bagaimana kuburan selain nabi yang derajatnya jauh lebih rendah dari nabi…???<br />Menjadikan kuburan menjadi masjid meliputi beberapa hal yaitu :<br /><br />1. Shalat menghadap kubur<br />2. Sujud diatas atau kepada kubur<br />3. Membangun masjid diatasnya<br /><br /><br />* Keempat : Menjadikan kuburan sebagai tempat ied yang dirayakan.<br /><br /><br /><br />Diantara penyimpangan atau kemungkaran yang terjadi dikuburan adalah kuburan dijadikan tempat ied atau perayaan, tempat yang dituju untuk berkumpul dan didatangi untuk beribadah kepada Allah didekatnya atau untuk selain ibadah, hal ini termasuk perkara yang dilarang sebagaimana realita ini terjadi di kuburan “Mbah Priuk”, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “ ….Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat hari raya…” (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Syaikh Al AlBani Rahimahullah)<br /><br />Berkata Asy Syaikh Al Allamah Shalih Al Fauzan : “… Dan Rasulullah melarang dari berkumpul dikuburannya dan menjadikannya tempat ied perayan yang datang kepadanya… “(Al Mulakhos Fi Syarhi Kitabit Tauhid Syaikh Al Allamah Shalih Al Fauzan : 186)<br /><br /><br /><br />Kalau kuburan nabi saja dilarang dijadikan tempat ied atau perayaan yang menjadi tempat tujuan untuk berkumpul pekanan atau bulanan berulang – ulang kali dalam rangka beribadah kepada Allah disisi kuburan orang shalih atau selain ibadah, lalu bagaimana kuburan selain nabi yang derajatnya jauh dari nabi, lalu bagaimana dengan kuburan fiktif “Mbah Priuk”, berfikirlah wahai orang-orang yang berakal…!!!<br />* Kelima : Melakukan perjalanan (safar) menuju kuburan<br /><br /><br /><br />Diantara kemaksiatan dan kemungkaran adalah melakukan safar (perjalanan jauh) menuju kuburan, perbuatan ini perkara yang dilarang dalam syariat yang suci ini. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Tidak boleh berpergian kecuali menuju tiga masjid, masjidil haram, masjid Rasul dan masjid aqsha “ (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu)<br /><br />Jangan dipahami dari sini tidak boleh seseorang berziarah kubur.. tidak..!! boleh seseorang berziarah kubur asal sesuai dengan yang dituntunkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya memperhatikan beberapa hal:<br /><br />1. Bertujuan mengingat mati<br />2. Tidak melakukan kesyirikan, bid’ah dan maksiat<br />3. Tidak melakukan safar<br />4. Tidak meratapi mayit<br /><br />5. Dan lain-lain.<br /><br /><br />Pelajaran dan nasehat yang ketiga: <br />Tauhid yang pertama wahai para dai<br /><br /><br /><br />Wahai para dai lihat kondisi ummat dari peristiwa dikoja itu dan lihatlah realita yang lain dari ummat dinegeri ini yang sangat jauh dari hakikat agama ini, dari hakikat tauhid sehingga mereka mengkeramatkan kuburan yang hati mereka tergantung kepada kuburan. Jauhnya mereka dari tauhid adalah sebuah fenomena yang sangat menyedihkan, padahal tauhid adalah sebab diciptakan manusia, sebab diutusnya para Rasul, sebab diturunkannya kitab-kitab suci dan inti dakwahnya para Rasul, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman<br />وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ<br /><br />” Dan sunnguh, Kami telah mengutus seorang Rasul untuk setiap ummat (untuk mendakwahkan) sembahlah Allah dan jauhilah thagut (sesembahan selain Allah yang dia ridha untuk disembah –penj) “ ( Qs. An Nahal : 36 ) <br /><br /><br /><br />Berkata Asy Syaikh ‘Al ‘Alaamah Shaleh Al Fauzan Hafidzahullah : “Faedah yang dapat diambil dalam ayat ini bahwasannya hikmah dari diutusnya para Rasul adalah dakwah kepada tauhid dan melarang dari perbuatan syirik “ ( Al Mulakhos Syarh Kitab Tauhid : 11 )<br /><br />Wahai para dai dakwahkanlah ummat kepada agama yang haq, kepada dakwah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam yaitu berdakwah kepada tauhid, beribadah hanya kepada Allah semata dan menjauhi perbuatan kesyirikan dan sarana yang mengantarkannya, berdakwah mengajak ummat untuk mentauhidkan Allah, menggantungkan hatinya hanya kepada Allah semata dan melepaskan ketergantungan kepada selain Allah, seperti kepada kuburan, orang shalih atau yang lainnya.<br /><br />Allah Ta’ala berfirman : <br />أَيُشْرِكُونَ مَا لاَ يَخْلُقُ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلاَ يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلاَ أَنفُسَهُمْ يَنصُرُونَ<br /><br />“ Mengapa mereka mempersekutukan (Allah dengan) sesuatu (berhala) yang tidak dapat menciptakan sesuatu apapun? Padahal (berhala) itu sendiri diciptakan. Dan (berhala) itu tidak dapat memberikan pertolongan kepada penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun mereka tidak dapat memberikan pertolongan “. (Qs. Al ‘Araaf : 191-192)<br /><br /><br /><br />Berkata Asy Syaikh Al Allamah Abdul Aziz Bin Baaz Rahimahullah : “ Dan ini adalah sifat sesembahan yang tidak berhak disembah. Dan ini pertanyaan dalam rangka celaan (bagi orang yang beribadah kepada selain Allah –penj) mereka menyembah kepada yang tidak bisa menciptakan walaupun hanya seekor semut bahkan mereka (sesembahan) itu diciptakan, bagaimana mereka bisa memberikan mafaat terhadap selain mereka, baik sesembahan itu berupa batu yang tidak berakal atau makhluk hidup yang tidak dapat mendengar (orang yang menyerunya –penj) atau orang mati yang tidak bisa mengabulkan seruan mereka, didalam ayat ini terkandung sifat sesembahan yang disembah selain Allah, yaitu empat hal<br /><br />1. Bahwasanya mereka tidak dapat menciptakan sesuatu<br />2. Bahwasanya mereka makhluk yang diciptakan<br />3. Bahwasanya mereka tidak dapat menolong orang-orang yang menyembahnya<br />4. Bahwasanya mereka tidak dapat memberikan pertolongan untuk diri mereka sendiri “ ( Syarhu Kitabit Tauhid Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz : 98 )<br /><br /><br /><br />Wahai Ahlus Sunnah kasihanilah ummat ini, bersemangatlah kalian berdakwah mengajak ummat untuk mentauhidkan Allah dan memperingatkan ummat dari bahaya perbuatan syirik. Karena inilah jalan dan sunnahnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :<br />قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ المُشْرِكِينَ<br /><br />“ Katakanlah inilah jalanku dan orang – orang yang mengikutiku, mengajak (kamu) hanya kepada Allah diatas Bashirah (ilmu). Subhanallah (maha suci Allah) Aku bukanlah termasuk orang – orang yang berbuat syirik (kepada Nya) “ ( Qs. Yusuf : 108 )<br /><br /><br /><br />Dalam sebuah hadist, Ibnu Abbas Radiyallahu Anhuma menuturkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasallam tatkala mengutus Muadz bin Jabal Radiyallahu Anhuma ke Yaman, berkata Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kepada nya “ sungguh dakwahkanlah kepada mereka yang pertama kali syahadat Laa ilaha Illallah dalam sebuah riwayat disebutkan supaya mereka mentauhidkan Allah…. “ (HR. Bukhari dan Muslim)<br /><br /><br /><br />Wahai para dai, ingatlah sebuah hadist tentang besarnya pahala orang yang mendapat hidayah dengan sebab tangan kita. Rasulullah shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda dalam hadist lain : “…. Demi Allah, bahwa Allah memberi hidayah satu orang lewat dirimu benar-benar lebih baik bagimu daripada unta-unta merah (harta yang paling berharga dan dibanggakan saat itu –penj) “ (HR. Bukhari dan Muslim).<br /><br />Inilah diantara pelajaran dan nasehat yang ingin saya sampaikan terkait peristiwa berdarah di tanjung priok koja itu, akibat bentrokkan antara Satpol PP yang berusaha mentertibkan bangunan disekitar kuburan yang dikeramatkan dengan massa yang berusaha menghadang penggusuran itu dengan anggapan kuburan “Mbah Priuk” yang akan digusur, semoga nasehat sederhana ini bermanfaat bagi kita semua.<br />Wallahu A’lam BishawabHamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-38290205751549580772010-04-19T21:05:00.000-07:002010-04-19T21:16:20.993-07:00Hukum Ziarah Kubûr bagi WanitaPenulis: Al-Ustâdzah Ummu Ishâq Zulfâ Husen Al-Atsariyyah<br /><br />Setiap amalan yang disyariatkan dalam Islam memiliki batasan-batasan. Hal ini dimaksudkan agar agama ini tidak diaplikasikan secara berlebihan yang ujung-ujungnya kemudian menjadi amalan bid’ah. Demikian juga dengan ziarah kubur. Amalan yang dianjurkan ini bisa menjadi bid’ah jika batasan-batasan syariatnya dilanggar. Hal-hal apa saja yang mesti kita perhatikan dalam ziarah kubur? Dan bagaimana hukum amalan tersebut bagi wanita?<br /><br />Ziarah Kubur Amalan yang Disyariatkan<br />Ziarah kubur merupakan amalan yang disyariatkan dalam agama ini. Ini bertujuan agar orang yang melakukannya bisa mengambil pelajaran dari kematian yang telah mendatangi penghuni kubur dan dalam rangka mengingat negeri akhirat. Tentunya disertai syarat, orang yang melakukannya tidak melakukan perbuatan yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti berdoa meminta hajat/kebutuhan dan istighatsah (minta tolong) kepada penghuni kubur, dan sebagainya.<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu membagi ziarah kubur menjadi dua, yaitu: ziarah syar’iyyah (ziarah yang syar’i) dan ziarah bid’iyyah (ziarah yang bid’ah). Ziarah yang syar’i adalah ziarah yang dilakukan dengan maksud mengucapkan salam kepada mayat dan mendoakannya sebagaimana hal ini dilakukan ketika menshalati jenazahnya. Namun ziarah ini dilakukan tanpa syaddu rihal (menempuh perjalanan yang jauh/safar). Adapun ziarah yang bid’ah adalah bila peziarah melakukannya dengan tujuan meminta kebutuhan/hajat kepada mayat dan ini merupakan syirik akbar. Atau ia ingin berdoa di sisi kuburan, maka ini bid’ah yang diingkari dan mengantarkan kepada kesyirikan. Selain itu, yang demikian ini tidak pernah dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula oleh salaful ummah dan para imam dari kalangan umat ini. (Sebagaimana dinukil dalam Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan, 1/256 dan Taudhihul Ahkam, Asy-Syaikh Abdullah Alu Bassam, 3/258)<br /><br />Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa berdoa dan beristighatsah kepada mayat, serta meminta kepada Allah dengan menyebut hak si mayat yang dilakukan orang-orang awam dan selain mereka ketika berziarah, termasuk hujr yang paling besar dan ucapan yang batil. Semestinya ulama menerangkan hukum Allah terkait dengan masalah ini kepada mereka dan memahamkan mereka bagaimana ziarah kubur yang masyru’ah (ziarah yang syar’i) berikut tujuannya.” (Ahkamul Jana`iz, hal. 227-228)<br /><br />Berikut ini dalil dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang disyariatkannya ziarah kubur beserta faedahnya:<br /><br />Buraidah ibnul Hushaib radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا<br /><br />“Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kuburan.” (HR. Muslim no. 2257, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rabbahu Subhanahu wa Ta’ala fi Ziyarati Qabri Ummihi)<br /><br />Dalam riwayat An-Nasa`i disebutkan:<br /><br />فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوْا هُجْرًا (2<br /><br />“Siapa yang ingin ziarah kubur maka silahkan ia berziarah, namun jangan kalian mengucapkan hujran.”<br /><br />Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا, فَإِنَّ فِيْهَا عِبْرَةً, وَلاَ تَقُوْلُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ<br /><br />“Sesungguhnya dulu aku melarang kalian dari ziarah kubur. Maka (sekarang) ziarahilah kuburan, karena dalam ziarah kubur ada ibrah/pelajaran. Namun jangan kalian mengeluarkan ucapan yang membuat Rabb kalian murka.” (HR. Ahmad 3/38, 63, 66, Al-Hakim 1/374,375 dan ia mengatakan: “Shahih di atas syarat Muslim.” Adz-Dzahabi menyepakatinya. Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Jana`iz hal. 228 mengatakan, kedudukan hadits ini sebagaimana dikatakan Al-Hakim dan Adz-Dzahabi)<br /><br />Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu disebutkan faedah lain dari ziarah kubur. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ, فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ<br /><br />“Ziarahilah kuburan karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian."<br /><br />Dalam riwayat Ahmad dari Buraidah radhiallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:<br /><br />لِتُذَكِّرَكُمْ زِيَارَتُهَا خَيْرًا<br /><br />“Agar ziarah kubur itu mengingatkan kalian kepada kebaikan.”<br /><br />Dalam riwayat Al-Hakim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu disebutkan:<br /><br />فَإِنَّهَا تُرِقُّ الْقَلْبَ وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ وَتُذَكِّرُ الآخِرَة وَلاَ تَقُوْلُوْا هُجْرًا<br /><br />“Karena ziarah kubur itu melembutkan hati dan mengalirkan air mata, serta mengingatkan pada akhirat namun jangan kalian mengucapkan hujran.”<br /><br />Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Ziarah kubur ini awalnya dilarang karena masih dekatnya masa mereka (para shahabat) dengan masa jahiliyah. Sehingga bisa jadi ketika melakukan ziarah kubur, mereka mengucapkan perkataan-perkataan jahiliyah yang batil. Maka ketika kaidah-kaidah Islam telah tegak, kokoh dan mantap, hukum-hukum Islam telah teratur dan terbentang, serta telah masyhur tanda-tandanya, dibolehkanlah bagi mereka untuk ziarah kubur. Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasinya dengan ucapan beliau: وَلاَ تَقُوْلُوْا هُجْرًا.” (Al-Majmu’, 5/285)<br /><br />Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata: “Semua hadits ini menunjukkan disyariatkannya ziarah kubur, menerangkan hikmahnya, dan dilakukannya dalam rangka mengambil pelajaran. Maka bila dalam ziarah kubur tidak tercapai hal ini berarti ziarah itu bukanlah ziarah yang dimaukan secara syar’i.” (Subulus Salam, 2/181)<br /><br />Hukum Ziarah Kubur bagi Wanita<br />Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang bolehnya ziarah kubur bagi laki-laki. Namun berbeda halnya bila berkenaan dengan wanita. Mereka terbagi dalam tiga pendapat dalam menetapkan hukumnya:<br /><br />Pertama: Makruh tidak haram. Demikian satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad rahimahullahu, dengan dalil hadits Ummu ‘Athiyyah radhiallahu ‘anha:<br /><br />كُنَّا نُنْهى (وَفِي رِوَايَةٍ: نَهَانَا رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) عَنِ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ, وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا (8<br /><br />“Kami dilarang (dalam satu riwayat: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami) untuk mengikuti jenazah, namun tidak ditekankan (larangan tersebut) terhadap kami.”<br /><br />Mayoritas pengikut madzhab Syafi’iyyah dan sebagian pengikut madzhab Hanafiyyah berpendapat seperti ini.<br /><br />Kedua: Mubah tidak makruh. Demikian pendapat mayoritas Hanafiyyah, Malikiyyah dan riwayat lain dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu, berdalil dengan:<br /><br />1. Hadits dari Buraidah radhiallahu ‘anhu yang telah disebutkan di atas.<br />2. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tentang ziarahnya ke kubur saudaranya Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhuma.<br /><br />3. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha juga yang dikeluarkan Al-Imam Muslim tentang doa ziarah kubur yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah ketika ia berkata: “Apa yang aku ucapkan bila menziarahi mereka (penghuni kubur) wahai Rasulullah?”<br />Beliau mengajarkan: “Katakanlah:<br /><br />السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ, يَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ<br /><br />“Salam sejahtera atas penghuni negeri ini dari kalangan mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului kami dan orang-orang yang belakangan. Insya Allah kami akan menyusul kalian. (HR. Muslim no. 2253, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Yuqalu ‘inda Dukhulil Qubur wad Du’a li Ahliha)<br /><br />4. Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu , ia berkata:<br /><br />مَرَّ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ, فَقَالَ: اتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِيْ. قَالَتْ: إِلَيْكَ عَنِّيِ فَإِنَّكَ لَمْ تُصِبْ بِمُصِيْبَتِيْ. وَلَمْ تَعْرِفْهُ. فَقِيْلَ لَهَا: إِنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِيْنَ, فَقَالَتْ: لَمْ أَعْرِفْكَ. فَقَالَ: إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدَمَةِ (16 الأُولَى<br /><br />“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur, maka Nabi pun menasehati si wanita: ‘Bertakwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah.’<br />Wanita itu menjawab dalam keadaan ia belum mengenali siapa yang menasehatinya: “Biarkan aku karena engkau tidak ditimpa musibah seperti musibahku (tidak merasakan musibah yang aku rasakan, -pen.)”<br />5.<br /><br /><br /><br />Dikatakanlah kepada si wanita: “Yang menasehatimu adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”<br />Wanita itu (terkejut) bergegas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak didapatinya penjaga pintu di sisi (pintu) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Aku tadi tidak mengenalmu”, katanya menyampaikan uzur.<br /><br />Nabi bersabda: “Hanyalah kesabaran itu pada goncangan yang pertama.”<br /><br />Ketiga: Haram. Demikian pendapat sebagian pengikut madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanafiyyah, serta pendapat ketiga dari Al-Imam Ahmad, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Al-’Allamah Ibnul Qayyim, dengan dalil berikut:<br /><br />1. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:<br /><br />أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُوْرِِ<br /><br />“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan.” (HR. Ahmad 2/337, At-Tirmidzi no. 1056, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja`a fi Karahiyati Ziyaratil Qubur lin Nisa`, Ibnu Majah no. 1576, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja`a fin Nahyi ‘an Ziyaratin Nisa` Al-Qubur. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah, Irwa`ul Ghalil no. 762)<br /><br />Ada hadits lain yang datang tidak dalam bentuk mubalaghah yaitu hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:<br /><br />لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُوْرِ….<br /><br />“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kuburan.” (HR. An-Nasa`i no. 2043, kitab Al-Jana`iz, bab At-Taghlizh fit Tikhadzis Suruj ‘alal Qubur)<br />Namun sanad hadits ini dha’if sebagaimana diterangkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah ketika membawakan hadits no. 225.<br /><br />2. Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhuma berkata: “Kami mengubur mayat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai, Rasulullah kembali pulang dan kami pun pulang bersama beliau. Ketika beliau bersisian dengan pintu rumahnya, beliau berdiri. Tiba-tiba kami melihat ada seorang wanita yang datang dan ternyata dia adalah Fathimah putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya:<br /><br />مَا أَخْرَجَكِ مِنْ بَيْتِكِ يَا فَاطِمَةُ؟قَالَتْ: أَتَيْتُ أَهْلَ هَذَا الْبَيْتِ, فَتَرَحَّمْتُ إِلَيْهِمْ وَعَزَّيْتُهُمْ بِمَيِّتِهِمْ.قَال: لَعَلَّكِ بَلَغْتِ مَعَهُم الْكُدَى!قَالت: مَعَاذَ اللهِ أَنْ أَكُوْنَ بَلَغْتُهَا, وَقَدْ سَمِعْتُكَ تَذْكُرُ فِي ذلِكَ مَا تَذْكُرُ!<br />فَقَال لَها: لَوْ بَلَغْتِهَا مَعَهُم مَا رَأَيْتِ الْجَنَّةَ حَتّى يَرَاهَا جَدُّ أَبِيْكِ!<br /><br />“Apa yang membuatmu keluar dari rumahmu, wahai Fathimah?”<br />“Ya Rasulullah, aku mendatangi keluarga orang yang meninggal di rumah itu untuk mendoakan rahmat bagi mereka dan menghibur mereka (berta’ziyah),” jawab Fathimah.<br />“Mungkin engkau sampai ke kuburan bersama mereka,” kata Rasulullah.<br />“Aku berlindung kepada Allah dari melakukan hal itu. Sungguh aku telah mendengar apa yang engkau sabdakan dalam masalah itu,” jawab Fathimah.<br />“Seandainya engkau sampai mendatangi kuburan bersama mereka, niscaya engkau tidak akan melihat surga sampai surga itu bisa dilihat oleh kakek ayahmu,” sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. An-Nasa`i no. 1880, kitab Al-Jana`iz, bab An-Na’yu, namun hadits ini dhaif sebagaimana dalam Dha’if Sunan An-Nasa`i).<br /><br /><br /><br />Yang rajih (kuat) dari perselisihan yang ada, wallahu a’lam, adalah pendapat yang membolehkan ziarah kubur bagi wanita bahkan hukumnya mustahab sebagaimana laki-lakiHamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-11223449918223662242010-04-19T21:04:00.000-07:002010-04-19T21:05:27.494-07:00Pemahaman Bid'ah untuk orang awamAssalammualaikum Warahmatullohi Wabarokatuh<br />Innalhamdalillahi nahmaduhu wanasta’iinuhu wanastaghfiruhu Wana’udzubiillah minsyurruri ‘anfusinaa waminsayyi’ati ‘amaalinnaa manyahdihillah falah mudhillalah Wa man yudhlil falaa haadiyalah wa-asy-hadu allaa ilaaha illallaahu wah-dahu laa syariikalah wa-asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh.<br /><br />Mari memahami Bid’ah dengan Logika<br />Kenapa saya memilih bahasan dengan logika ? alasannya adalah karena saya ingin memberikan pengetahuan “Dasar” kepada kaum muslimin, khususnya bagi yang baru saja belajar mendalami agama Islam terlebih tentang kaedah Bid’ah, Jika setelah membaca tulisan ini ikhwan/akhwat ingin mengetahui lebih dalam beserta Dalilnya Insya Allah kami bisa menyajikan dalam bentuk kajian yang lebih lengkap (e-book, audio MP3, video dan artikel pendukung lainnya)<br />Baiklah, saya tekankan bahwa kata “Bid’ah” itu jika Di “Indonesia” kan berarti INOVASI , untuk itu saya akan menyebut INOVASI dalam penjelasan2 di bawah ini (Supaya lebih familiar di telinga :D OK .. )<br /><br />1. Apa itu INOVASI ?<br />INOVASI adalah hal baru, hal-hal yang sudah di beri penambahan dan pengurangan sehingga menjadi baru atau berubah dari kondisi sebelumnya<br /><br />2. Apa yang mendasari INOVASI ini tercipta ?<br />Kecenderungan manusia yang selalu mengembangkan akal pikiran,ilmu pengetahuan dan rasa ketidakpuasan terhadap sesuatu yang sudah ada (Selalu merasa kurang)<br /><br />3. Apa sebab INOVASI ini ada ?<br />Waktu yang menyebabkan INOVASI ini terus berkembang<br /><br />4. Apakah INOVASI selalu baik buat manusia?<br />Tentu Tidak !! ada INOVASI yang baik dan bermanfaat buat sesama manusia ada juga yang INOVASI yang berakibat buruk buat manusia<br /><br />5. Contoh INOVASI yang baik buat manusia ?<br /><br />• Kereta kuda menjadi Mobil<br />• Telegram menjadi SMS<br />• Surat menjadi E-Mail<br />• Mesin Ketik menjadi Laptop<br />• Kurir Pesan menjadi Gelombang Radio/Signal Telephone <br />• Bedah pisau menjadi bedah laser<br />• Dan masih buaanyaaaaaak lagi hampir semua teknologi dan fasilitas yang kita pake saat ini merupakan hasil dari INOVASI dari jaman sebelumnya<br /><br />6. Contoh INOVASI yang berakibat buruk buat manusia ?<br /><br />• Robot yang gagal product<br />• Kawin silang manusia dengan hewan<br />• Produk yang menyebarkan radiasi<br />• Mesin yang menimbulkan pencemaran (polusi)<br />• Peralatan yang mudah meledak tanpa pengamanan khusus<br />• Pencampuran melamin dalam susu<br />• Penggunaanbahan kimia dalam jamu<br />• Penggunaan narkotik untuk konsumsi harian<br />• Dan masih banyak lagi contohnya<br /><br />7. INOVASI diatas bisa dalam kehidupan sehari-hari , banyak contoh barangnya, adakah INOVASI dalam agama ?<br />Ada !<br /><br />8. INOVASI apa contohnya ?<br />INOVASI dalam beribadah kepada Tuhannya<br /><br />9. Ibadah kok ber-INOVASI ? apa boleh ?<br />Dalam Islam TIDAK BOLEH ! tapi agama lain mungkin DIBIARKAN..<br /><br />10. Contoh INOVASI yang di biarkan oleh agama lain ?<br />Kitab injil yang keluar dengan beberapa versi pembaharuan (INOVASI )<br /><br />11. INOVASI beribadah dalam islam yang dilarang ?<br />Semuanya dilarang dong …<br /><br />• Cara sholat yang tidak sesuai ajaran rasulullah<br />• Cara puasa yang tidak sesuai ajaran rasulullah <br />• Cara berdoa yang tidak sesuai ajaran rasulullah<br />• Cara berdzikir yang tidak sesuai ajaran rasulullah<br />• Cara berwudhu yang tidak sesuai ajaran rasulullah<br />• Cara adzan yang tidak sesuai ajaran rasulullah<br />• Dan semua bentuk ibadah kepada Allah yang tidak sesuai ajaran rasulullah<br /><br />12. INOVASI untuk ibadah kok dilarang ? kalo lebih baik kenapa tidak ?<br />Islam sudah sempurna bro !! kenapa ada penambahan dan pengurangan kalo Allah sendiri sudah bilang SEMPURNA !!<br /><br />13. Nah itu .. Mobil,Laptop dan fasilitas INOVASI lain kok boleh di lakukan ?<br /><br />Itu bukan INOVASI beribadah bro .. tapi INOVASI pada kebutuhan dunia <br /><br />14. Bukankah mobil untuk ke masjid, pesawat terbang untuk pergi Haji adalah bentuk ibadah ? Berarti mobil, pesawat dan lainnya juga bisa saja termasuk INOVASI dalam hal ibadah dong ?<br /><br />Itukan tujuan selanjutnya , bukan tujuan utamanya ..<br /><br />15. Maksud bukan tujuan utamanya ?<br /><br />• Mobil,pesawat,kereta api,kapal pesiar dibuat sebagai bentuk INOVASI dengan tujuan asal adalah INOVASI dalam bentuk transportasi baik darat,laut atau udara<br />• Begitu Juga dengan speaker,gelombang radio,telephone dibuat sebagai bentuk INOVASI dengan tujuan asal INOVASI untuk komunikasi baik yang berupa pengeras suara maupun komunikasi jarak jauh<br />• Contoh lain dakwah melalui Internet, tujuan utama dari INTERNET adalah bentuk INOVASI dalam hal teknologi informatika dan elektronika<br /><br />16. Berarti untuk membedakan apakah INOVASI itu bentuk ibadah atau bukan musti dilihat tujuannya dulu ya ?<br /><br />Yup .. benar<br /><br />17. Nah kalo Al-Quran yang disusun menjadi kitab, itu INOVASI dalam bentuk apa ?<br /><br />Menyusun Al-Quran bukan INOVASI bro .. tapi udah dari jaman rasululah <br /><br />18. Ah masak sih ? buktinya ?<br /><br />Iya .. pengumpulan dan penyusunannya melalu hafalan (disimpan di ingatan dan hati) para sahabat, di tulis diatas daun, kulit , tulang dan sejenisnya<br /><br />19. Tapi kok sekarang Al-Quran jadi buku (kitab) yang sangat menarik dan mudah dibaca ? <br />bukankah ini juga termasuk INOVASI yang baik ? karena memudahkan buat kita di jaman ini ..dan membaca Al-Quran ini adalah ibadah apakah ini juga dilarang karena termasuk INOVASI dalam ibadah ?<br /><br />INOVASI nya kan dari media cetaknya bro .. dari daun menjadi kertas, dari di ikat (disatukan) menjadi di jilid, so ini INOVASI di media cetak, dan sekarang juga ada INOVASI dari media cetak menjadi media digital dengan tujuan untuk memudahkan apa yang akan di lihat,dibaca pada media cetak atau media digital itu <br /><br />20. INOVASI pembuatan Al-Quran itu ada di medianya ya .. bukan INOVASI di cara membacanya Al-Qurannya ?<br /><br />Betuk sekali , kalo ada orang yang membaca Al-Quran dengan selalu menambahkan ayat atau menambahkan bacaan lain itu baru namanya INOVASI dalam beribadah<br /><br />21. Emang ada INOVASI dalam membaca Al-Quran ?<br /><br />Ada .. Contohnya :<br />• Aliran (sekte) yang sholat membaca ayat Al-Quran kemudian di tambah dengan terjemahannya dalam sholatnya<br />• Setelah selesai membaca Ayat selalu di akhiri dengan bacaan sodaqollahul adziim<br /><br />22. Berarti kesimpulannya INOVASI itu ada 2 pengelompokkan pokok ya ?<br /><br />Betul .. yaitu :<br />• INOVASI dalam segi bahasa yang berarti penemuan baru, hal baru , perkara baru yang tidak menjadi dasar pokok untuk beribadah kepada Allah<br />• INOVASI dalam beribadah kepada Allah<br /><br />23. Terus kalo INOVASI dalam segi bahasa terbgai juga kan ?<br /><br />Ya .. yaitu :<br />1) INOVASI yang baik, terpuji, dan bermanfaat<br />2) INOVASI yang buruk,tercela dan merugikan<br />3) Mungkin ada juga INOVASI yang di tengah2 , tidak baik dan juga tidak buruk <br /><br />24. Kalo INOVASI dalam beribadah ada pembagiannya juga gak ?<br /><br />Gak Ada !! karena INOVASI dalam beribadah semuanya dilarang ! dosa ! ancamannya neraka bro ..<br /><br />25. Kalo masih ada yang bingung ? ragu ? dan berselisih ? gimana dong ?<br /><br />Gampang .. kalo ada dalil dari Al-Quran dan AsSunnah berarti jalanin, kalo gak ada berarti termasuk INOVASI dalam beribadah yang musti kita tinggalkan<br /><br />26. Kalo ada yang berdalil, Ulama ini bilang baik, Imam ini bilang boleh, Wali ini bilang sunnah gimana dong ?<br /><br />Gampang .. Kalo rasulullah dan 3 generasi sahabat tidak pernah mengajarkan dan mengamalkan berarti tinggalkan !!<br /><br />27. Kalo ada yang berdalih.. tapi Sahabat bilang boleh, sahabat bilang baik gimana dong ? dia kan juga 3 generasi sahabat.. umat terbaik ?<br /><br />Kalo dibenarkan rasulullah berarti dilakukan dong .. tapi kalo bertentangan dengan rasulullah tinggalkan .. tinggian mana keislaman dan keimanan antara rasulullah dengan sahabat .. hayo ??!!<br /><br />28. Walaupun banyak yang melakukan, bahkan sebagian besar melakukan amalan itu karena dianggap baik menurut Imam,Ulama dan Wali ? masak kita gak boleh ikut ikutan yang baik to ?<br /><br />Baik menurut siapa bro ??!! Apakah mungkin rasulullah menyembunyikan amalan baik yang bisa mendatangkan ridho Alloh ? Kalo itu baik menurut Rasulullah, pasti sudah diajarkan dan diamalkan oleh para sahabat dan 3 generasi terbaik dong ..<br /><br />29. Trus apa bedanya amalan baik yang belum di contohkan rasulullah dan para sahabat dengan INOVASI dalam beribadah ?<br /><br />Gak Ada Bedanya !! amal baik kan merupakan ibadah .. kalo dulu (3 generasi terbaik) belum ada terus sekarang jadi ada berarti kan INOVASI amalan .. alias INOVASI dalam beribadah<br /><br />30. Kenapa banyak orang selalu di ributkan dengan INOVASI beribadah ini ya ? bahkan sampe ada yang jotos jotosan .. :D ?<br /><br />Ya soalnya orang yang ber INOVASI dalam ibadah menganggap dirinya bertambah lebih baik .. padahal yang bener2 baik adalah yang sudah mengambil KESEMPURNAAN dalam islam .. bukan malah MENYEMPURNAKAN ..!! emang kita tu siapa2 ?? berani beraninya MENYEMPURNAKAN (menambah nambahi) amalan lain di dalam Agama yang telah sempurna ..<br /><br />31. Trus kalo kita timbul perselisihan gimana ? kita menganggap itu INOVASI , sebagian yang lain menganggap Amalan yang baik .. gimana ??<br /><br />Bersabar, berikan penjelasan pelan pelan, kembalikan kepada Al-Quran dan As Sunnah dan bertawakal pada Allah<br /><br />32. Kalo mereka memaksa kita untuk mengikuti INOVASI ibadah mereka gimana ?<br /><br />Ya silahkan aja ikut .. kalo kamu gak takut pada neraka dan adzab Allah.. :P<br /><br />33. Trus mungkin gak mereka yang suka ber INOVASI dalam agama itu bisa sadar akan hal ini ?<br /><br />Hanya Allah yang mengetahui kebenarannya, karena sesungguhnya INOVASI dalam ibadah ini lebih disukai syetan daripada perbuatan maksiat <br /><br />34. Lha kok bisa setan lebih suka INOVASI dalam ibadah dari maksiat ?<br /><br />Orang bermaksiat tahu kalo maksiat itu jelek jadi kemungkinan untuk menjauh dari kejelekan dan bertobat banyak .. tapi orang ber INOVASI dalam ibadah ini menganggap inilah yang LEBIH BAIK .. jadi bagaimana mungkin orang yang SUDAH beranggapan yang dilakukannya itu baik tapi suruh bertobat dari kebaikannya (yang dia anggap baik) itu<br /><br />35. Berarti bahaya banget ya INOVASI dalam ibadah ini ?<br /><br />Betul bro .. inilah justru yang menyebabkan Perselisihan , perpecahan sesama muslim <br /><br />36. Sebab perselisihan muslim ? Apa maksudnya ?<br /><br />Iya .. coba kalo semua dikembalikan pada Al-Quran dan As Sunnah, pasti ketemunya satu titik yaitu Islam yang benar !! tapi karena ada dan banyak yang ber INOVASI dalam beribadah akhirnya umat islam jadi terpecah belah, ada yang ikut INOVASI nya ulama A, ada yang ikut INOVASI nya ulama B dan seterusnya ..<br /><br />37. Kalo semua kembali pada Al-Quran dan As Sunnah tapi masih saja ada INOVASI dalam ibadah gimana dong ?<br /><br />Berarti cara di memahami islam tidak sama dengan pemahaman pendahulu kita yang sholeh<br /><br />38. Pendahulu kita yang sholeh itu siapa ?<br /><br />Dia adalah Salafush Sholeh yaitu 3 generasi terbaik setelah jaman rasulullah<br /><br />39. Berarti selain dikembalikan pada Quran-sunnah cara memahaminya gak boleh sembarangan ya ?<br /><br />Iya dong .. Agamanya Islam, landasan utamanya Quran-Sunnah , jalan-cara memahami dan mempelajarinya musti sesuai dengan orang2 yang paling sholeh menurut rasulullah yaitu 3 generasi sahabat<br /><br />40. Itukan generasi jaman dahulu ? kalo sekarang siapa ?<br /><br />Mereka adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah<br /><br />41. OK deh .. trus kesimpulannya berarti ?<br /><br />• Perbanyak belajar ilmu Syar’i<br />• Pahami Islam dengan pemahaman Salafush Sholeh<br />• Ikuti petunjuk Al-Quran dan As Sunnah<br />• Jauhi INOVASI dalam beribadah<br />• Kalo terjadi hal yang membingungkan tinggalin dulu sampe tahu benar apakah sudah sesuai dengan ajaran Rasulullah ato malah gak ada ajaran dan tuntunannya sama sekali, kalo ada tuntunan dari Rasulullah jalanin, kalo gak tinggalin !<br /><br />42. Kalo masih belom puas dengan penjelasan singkat ini ?<br /><br />Baca lagi berulang ulang<br />Renungi dengan hati yang paling bersih <br />Kalo belom cukup .. nanti aku kasih file kajiannya versi MP3, video atau artikel<br /><br /><br /><br />Yah .. semoga dengan pengetahuan saya yang minim tapi udah berusah maksimal untuk menjelaskan INOVASI dengan bahasa sehari hari, dapat memberikan kebaikan buat pembaca sekalian <br /><br />“Subhanakallahumma wabihamdika Asyhadu anlaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaihi”<br /><br />Wassalammualaykum Warahmatullohi Wabarokatuh<br /><br />Oleh : Rendra Ady Purnawan.<br />Sumber:<br />http://salafyshared.blogspot.com/2010/02/pemahaman-bidah-untuk-orang-awam.htmlHamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-79436783859436787732010-04-14T01:08:00.000-07:002010-04-14T01:14:43.805-07:00Ternyata Kesyirikan di Zaman Kita Lebih ParahPara pembaca yang budiman, diantara musibah besar yang menimpa kaum muslimin dewasa ini adalah acuh terhadap urusan agama dan sibuk dengan urusan dunia. Oleh karena itu banyak diantara mereka yang terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan Alloh karena sedikitnya pemahaman tentang permasalahan-permasalahan agama. Dan jurang terdalam yang mereka masuki yaitu lembah hitam kesyirikan.<br /><br />Perbuatan dosa yang paling besar inipun begitu samar bagi kebanyakan manusia karena kejahilan mereka dan rajinnya setan dalam meyesatkan manusia sebagaimana yang dikisahkan Alloh tentang sumpah iblis, “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.” (Al-A’rof: 16). Bahkan kesyirikan hasil tipudaya iblis yang terjadi pada masa kita sekarang ini lebih parah daripada kesyirikan yang terjadi pada zaman Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wasallam…!! Kenapa bisa demikian ?<br /><br />Kemusyrikan Zaman Dahulu Hanya di Waktu Lapang<br /><br />Sesungguhnya orang-orang musyrik pada zaman Rosululloh melakukan kesyirikan hanya ketika dalam keadaan lapang saja. Namun tatkala mereka dalam keadaan sempit, terjepit, susah dan ketakutan mereka kembali mentauhidkan Alloh, hanya berdo’a kepada Alloh saja dan melupakan segala sesembahan selain Alloh. Hal ini sebagaimana dikabarkan oleh Alloh tentang keadaan mereka, “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.” (Al-Isra’: 67). “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Alloh) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: ‘Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka’.” (Az-Zumar: 8).<br /><br />Itulah keadaan musyrikin zaman dahulu, lalu bagaimana keadaan musyrikin pada zaman kita ini? Ternyata sama saja bagi orang-orang musyrik zaman kita ini, baik dalam waktu lapang ataupun sempit tetap saja mereka menjadikan bagi Alloh sekutu. Tatkala punya hajatan (misalnya pernikahan, membangun rumah ataupun yang lainnya) mereka memberikan sesajen ke tempat-tempat yang dianggap keramat. Tatkala sesuatu ketika terkena musibah, mereka beranggapan bahwa mereka telah kuwalat terhadap yang mbaurekso (jin penunggu) kampungnya kemudian meminta ampun dan berdoa kepadanya agar menghilangkan musibah itu atau pergi ke dukun untuk menghilangkannya. Ini adalah bentuk kesyirikan kepada Alloh yang amat nyata. Alloh berfirman, “Hanya bagi Alloh-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan sesuatu yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadah) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” (Ar-Ro’du: 14)<br /><br />Sesembahan Musyrikin Dulu Lebih Mending Sholehnya<br /><br />Orang-orang musyrik pada zaman Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasallam menjadikan sekutu bagi Alloh dari dua kelompok, yang pertama adalah hamba-hamba Alloh yang sholeh, baik dari kalangan para nabi, malaikat ataupun wali. Dan yang kedua adalah seperti pohon, batu dan lainnya. Lalu bagaimana keadaan orang-orang musyrik zaman kita? Saking parahnya keadaan mereka, orang-orang yang telah mereka kenal sebagai orang suka berbuat maksiatpun mereka sembah dan diharapkan berkahnya. Lihat betapa banyak orang yang berbondong-bondong ngalap berkah ke makam Pangeran Samudro dan Nyai Ontrowulan di Gunung Kemukus, Sragen. Diceritakan bahwa mereka berdua adalah seorang anak dan ibu tiri (permaisuri raja) dari kerajaan Majapahit yang berselingkuh, kemudian mereka diusir dari kerajaan dan menetap di Gunung Kemukus hingga meninggal. Konon sebelum meninggal Pangeran Samudro berpesan bahwa keinginan peziarah dapat terkabul jika melakukan seperti apa yang ia lakukan bersama ibu tirinya. Sehingga sebagai syarat “mujarab” untuk mendapat berkah di sana, harus dengan berselingkuh dulu…!! Allohu Akbar!<br /><br />Musyrikin Zaman Dahulu Tidak Menyekutukan Alloh Dalam Rububiyah-Nya<br /><br />Tauhid Rububiyah adalah mengikrarkan bahwa Alloh lah satu-satunya pencipta segala sesuatu, yang memberikan rizki, yang menghidupkan dan mematikan serta hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Alloh. Ini semua diakui oleh orang-orang musyrik zaman dahulu. Dalilnya adalah firman Alloh, “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: ‘Alloh’, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Alloh )?.” (Az-Zukhruf: 87). Juga firman-Nya, “Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Alloh.’ Maka katakanlah ‘Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?’.” (Yunus: 31)<br /><br />Akan tetapi titik penyimpangan mereka yaitu kesyirikan dalam Tauhid Uluhiyah (mengikrarkan bahwa hanya Alloh sajalah yang berhak ditujukan kepada-Nya segala bentuk ibadah, seperti do’a, nadzar, menyembelih kurban dan lain-lain). Inilah yang diingkari oleh musyrikin zaman dulu. Mereka berdoa kepada patung atau penghuni kubur bukan dengan keyakinan bahwa patung itu bisa mengabulkan do’a mereka atau punya kekuasaan untuk mendatangkan keburukan, namun yang mereka maksudkan hanyalah supaya patung (sebagai perwujudan dari orang sholeh) atau penghuni kubur itu dapat menyampaikan do’a mereka kepada Alloh. Mereka berkeyakinan bahwa orang sholeh itu yang telah diwujudkan/dilambangkan dalam bentuk gambar/patung tersebut mempunyai kedudukan mulia di sisi Alloh. Sementara mereka merasa banyak berbuat dosa dan maksiat, sehingga tidak pantas meminta langsung kepada Alloh, tetapi harus melalui perantara. Inilah yang mereka kenal dengan meminta syafa’at pada sesembahan mereka Mereka (orang-orang musyrik) mengatakan, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat- dekatnya.” (Az-Zumar: 3)<br /><br />Lalu bagaimana keadaan musyrikin sekarang ini? Diantara mereka ada yang berkeyakinan bahwa yang memberikan jatah ikan bagi nelayan, yang mengatur ombak laut selatan adalah Nyi Roro Kidul. Sungguh tidak seorang pun dapat menciptakan seekor ikan kecil pun, ini adalah hak khusus Alloh dalam Rububiyah-Nya, tetapi mereka menisbatkannya kepada Nyi Roro Kidul. Allohu akbar! betapa keterlaluan dan lancangnya terhadap Pencipta alam semesta!!! Sehingga tidaklah heran pula jika banyak diantara masyarakat yang takut memakai baju hijau tatkala berada di pantai selatan, karena khawatir ditelan ombak yang telah diatur oleh Nyi Roro Kidul.<br /><br />Lihatlah, betapa orang-orang musyrik zaman dahulu lebih berakal daripada orang-orang musyrik sekarang ini. Karena maraknya bentuk-bentuk kesyirikan dan samarnya hal tersebut sudah seharusnya setiap kita untuk mempelajari ilmu tauhid agar dapat menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari segala macam bentuk kesyirikan. Sungguh betapa jahilnya orang yang mengatakan “Untuk apa belajar tauhid sekarang ini?”<br /><br />Akhirnya kita memohon kepada Alloh agar memberikan kepada kita taufik dan menjauhkan diri kita dari berbagai macam bentuk kesyirikan yang merupakan sebab kehancuran di dunia maupun di akhirat. Wallohu A’lam.<br /><br />***<br /><br />Penulis: Ibnu ‘Ali Al-Barepany<br />Artikel www.muslim.or.idHamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-41209579673026441742010-04-14T01:03:00.000-07:002010-04-14T01:06:48.872-07:00Wali Allah, Siapakah Dia?Ketika disebut kata wali maka yang langsung terbayang dalam benak kita adalah suatu keanehan, ke-nyleneh-an, dan kedigdayaan. Itulah yang dapat ditangkap dari pemahaman masyarakat terhadap wali ini. Maka bila ada orang yang bertingkah aneh, apalagi kalau sudah dikenal sebagai kyai, mempunyai indera keenam sehingga mengerti semua yang belum terjadi, segera disebut sebagai wali. Lalu siapakah wali Allah yang sebenarnya?<br /><br />Definisi Wali<br /><br />Secara etimologi, kata wali adalah lawan dari ‘aduwwu (musuh) dan muwaalah adalah lawan dari muhaadah (permusuhan). Maka wali Allah adalah orang yang mendekat dan menolong (agama) Allah atau orang yang didekati dan ditolong Allah. Definisi ini semakna dengan pengertian wali dalam terminologi Al Qur’an, sebagaimana Allah berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertaqwa.” (Yunus: 62 – 64)<br /><br />Dari ayat tersebut, wali adalah orang yang beriman kepada Allah dan apa yang datang dari-Nya yang termaktub dalam Al Qur’an dan terucap melalui lisan Rosul-Nya, memegang teguh syariatnya lahir dan batin, lalu terus menerus memegangi itu semua dengan dibarengi muroqobah (terawasi oleh Allah), kontinyu dengan sifat ketaqwaan dan waspada agar tidak jatuh ke dalam hal-hal yang dimurkai-Nya berupa kelalaian menunaikan wajib dan melakukan hal yang diharomkan (Lihat Muqoddimah Karomatul Auliya’, Al-Lalika’i, Dr. Ahmad bin Sa’d Al-Ghomidi, 5/8).<br /><br />Ibnu Katsir rohimahulloh menafsirkan: Allah Ta’ala menginformasikan bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Siapa saja yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah (Tafsir Ibnu Katsir, 2/384).<br /><br />Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh juga menjelaskan dalam Syarah Riyadhus Shalihin no.96, bahwa wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Mereka merealisasikan keimanan di hati mereka terhadap semua yang wajib diimani, dan mereka merealisasikan amal sholih pada anggota badan mereka, dengan menjauhi semua hal-hal yang diharamkan seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang harom. Mereka mengumpulkan pada diri mereka kebaikan batin dengan keimanan dan kebaikan lahir dengan ketaqwaan, merekalah wali Allah.<br /><br />Wali Allah Adalah yang Beriman Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul Al Furqon Baina Auliya’ir Rohman wa Auliya’us Syaithon hlm. 34 mengatakan: “Wali Allah hanyalah orang yang beriman kepada Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam, beriman dengan apa yang dibawanya, dan mengikuti secara lahir dan batin. Barangsiapa yang mengaku mencintai Allah dan wali-Nya, namun tidak mengikuti beliau maka tidak termasuk wali Allah bahkan jika dia menyelisihinya maka termasuk musuh Allah dan wali setan. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’.” (Ali Imron: 31)<br /><br />Hasan Al Bashri berkata: “Suatu kaum mengklaim mencintai Allah, lantas Allah turunkan ayat ini sebagai ujian bagi mereka”.<br /><br />Allah sungguh telah menjelaskan dalam ayat tersebut, barangsiapa yang mengikuti Rasulullah ShollAllahu ‘alaihi wa sallam maka Allah akan mencintainya. Namun siapa yang mengklaim mencintai-Nya tapi tidak mengikuti beliau ShallAllahu ‘alaihi wa sallam maka tidak termasuk wali Allah. Walaupun banyak orang menyangka dirinya atau selainnya sebagai wali Allah, tetapi kenyataannya mereka bukan wali-Nya.<br /><br />Dari uraian di atas, terlihat bahwa cakupan definisi wali ini begitu luas, mencakup setiap orang yang memiliki keimanan dan ketaqwaan. Maka wali Allah yang paling utama adalah para nabi. Para nabi yang paling utama adalah para rasul. Para Rasul yang paling utama adalah ‘ulul azmi. Sedang ‘ulul azmi yang paling utama adalah Nabi kita Muhammad ShallAllahu ‘alaihi wa sallam.<br /><br />Maka sangat salah suatu pemahaman yang berkembang di masyarakat kita saat ini, bahwa wali itu hanya monopoli orang-orang tertentu, semisal ulama, kyai, apalagi hanya terbatas pada orang yang memiliki ilmu yang aneh-aneh dan sampai pada orang yang meninggalkan kewajiban syari’at yang dibebankan padanya. Wallahu a’lam.<br /><br />(Disarikan dari Majalah Al Furqon Ed.1/Th.III dengan sedikit tambahan)<br /><br />***<br /><br />Penulis: Abu Isma’il Muhammad Abduh Tuasikal<br />Artikel www.muslim.or.idHamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-57792659601002616162010-04-14T00:59:00.000-07:002010-04-14T01:02:44.214-07:00Inilah Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul WahhabBerikut ini akan kami bawakan risalah yang berisi tanya-jawab dalam hal aqidah Islam yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.<br /><br />Dengan mencermati karya beliau ini akan tampaklah bagi kita sebenarnya bagaimana aqidah [keyakinan] beliau yang mungkin bagi sebagian kalangan telah mendapatkan kesan negatif mengenai beliau. Silakan anda telaah dengan pikiran yang jernih dan hati yang tenang. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita.<br /><br />Tanya : Siapakah Rabbmu?<br />Jawab : Rabbku adalah Allah yang telah memeliharaku dan memelihara seluruh alam dengan segala nikmat-Nya. Dia lah sesembahanku, tidak ada bagiku sesembahan selain-Nya. Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala dalam surat al-Fatihah (yang artinya), “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”<br /><br />Tanya : Apakah makna kata Rabb?<br />Jawab : Yang menguasai dan yang mengatur, dan hanya Dia (Allah) yang berhak untuk diibadahi<br /><br />Tanya : Apa makna kata Allah?<br />Jawab : Yaitu yang memiliki sifat ketuhanan dan berhak diibadahi oleh seluruh makhluk-Nya<br /><br />Tanya : Dengan apa kamu mengenal Rabbmu?<br />Jawab : Dengan memperhatikan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya<br /><br />Tanya : Makhluk apakah yang terbesar yang bisa kamu lihat di antara makhluk ciptaan-Nya?<br />Jawab : Langit dan bumi<br /><br />Tanya : Apakah ayat (tanda kekuasaan)-Nya yang paling besar?<br />Jawab : Malam dan siang, matahari dan bulan<br /><br />Tanya : Apakah dalil atas hal itu?<br />Jawab : Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy. Allah menutupkan malam kepada siang dan mengikutinya dengan cepat, matahari dan bulan serta bintang-bintang semuanya ditundukkan dengan perintah-Nya. Ingatlah, sesungguhnya penciptaan dan pemberian perintah adalah hak-Nya, Maha berkah Allah Rabb seluruh alam.” (QS. al-A’raf : 54).<br /><br />Tanya : Untuk apakah Allah menciptakan kita?<br />Jawab : Untuk beribadah kepada-Nya<br /><br />Tanya : Apa yang dimaksud beribadah kepada-Nya?<br />Jawab : Mentauhidkan Allah dan menaati-Nya<br /><br />Tanya : Dalam hal apa kita menaati-Nya?<br />Jawab : Kita taati perintah-Nya dan kita jauhi segala yang dilarang-Nya kepada kita<br /><br />Tanya : Apa dalil untuk hal itu?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56).<br /><br />Tanya : Apa makna ’supaya mereka beribadah kepada-Ku’?<br />Jawab : Maknanya adalah agar mereka mentauhidkan Allah<br /><br />Tanya : Apa yang dimaksud dengan tauhid?<br />Jawab : Tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah<br /><br />Tanya : Apakah perkara terbesar yang dilarang Allah untuk kita?<br />Jawab : Perkara terbesar yang dilarang Allah adalah syirik yaitu berdoa kepada selain Allah [saja] atau berdoa kepada selain-Nya di samping berdoa kepada-Nya.<br /><br />Tanya : Apakah dalilnya?<br />Jawab : Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya (dalam beribadah) dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nisaa’ : 36).<br /><br />Tanya : Apa yang dimaksud dengan ibadah?<br />Jawab : Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi<br /><br />Tanya : Apa sajakah yang termasuk macam-macam ibadah?<br />Jawab : Ibadah itu banyak jenisnya, di antaranya adalah : doa, takut, harap, tawakal, roghbah (keinginan), rohbah (kekhawatiran), khusyu’, khas-yah (takut yang dilandasi ilmu), inabah (taubat), isti’anah (meminta pertolongan), isti’adzah (meminta perlindungan), istighotsah (meminta keselamatan dari bahaya), menyembelih, nadzar, dan jenis-jenis ibadah yang lainnya.<br /><br />Tanya : Apakah dalilnya?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Seluruh masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyeru bersama-Nya sesuatu pun.” (QS. al-Jin : 18).<br /><br />Tanya : Apa hukum bagi orang yang mengalihkan ibadah kepada selain Allah?<br />Jawab : Orang yang melakukannya dihukumi musyrik dan kafir<br /><br />Tanya : Apakah dalilnya?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang menyeru bersama Allah sesembahan yang lain padahal tidak ada bukti baginya, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada akan beruntung.” (QS. al-Mukminun : 117).<br /><br />Tanya : Perkara apakah yang diwajibkan pertama kali oleh Allah kepada kita?<br />Jawab : Yaitu mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah<br /><br />Tanya : Apa yang dimaksud dengan thaghut?<br />Jawab : Segala sesuatu yang menyebabkan hamba melampaui batas, yang berupa sesembahan, orang yang diikuti atau sosok yang ditaati, maka dia adalah thaghut<br /><br />Tanya : Ada berapakah thaghut itu?<br />Jawab : Jumlah mereka banyak, namun pembesarnya ada lima : Iblis -semoga Allah melaknatnya-, orang yang diibadahi dan ridha dengan hal itu, orang yang menyeru orang lain untuk beribadah kepada dirinya, orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib, dan orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah<br /><br />Tanya : Apakah dalilnya?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidak ada paksaan dalam agama, sungguh telah jelas antara petunjuk dengan kesesatan. Barangsiapa yang mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya dia telah berpegang dengan buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan putus, Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Baqarah : 256).<br /><br />Tanya : Apa yang dimaksud dengan Urwatul Wutsqa (buhul tali yang sangat kuat)?<br />Jawab : Maksudnya adalah laa ilaha illallah<br /><br />Tanya : Apa makna laa ilaha illallah?<br />Jawab : Laa ilaha adalah penolakan, sedangkan illallah adalah penetapan<br /><br />Tanya : Apa yang ditolak dan apa yang ditetapkan?<br />Jawab : Aku menolak segala sesembahan selain Allah dan aku tetapkan bahwa seluruh jenis ibadah harus ditujukan kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya<br /><br />Tanya : Apakah dalilnya?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya; sesungguhnya aku berlepas diri dari semua sesembahan kalian kecuali dari Dzat yang telah menciptakanku, sesungguhnya Dia pasti menunjuki diriku. Dan Allah menjadikan kalimat itu tetap ada pada keturunannya (Ibrahim) semoga mereka mau kembali (kepada kebenaran).” (QS. az-Zukhruf : 26-28).<br /><br />Tanya : Apakah agamamu?<br />Jawab : Agamaku Islam, yaitu menyerahkan diri kepada Allah dengan bertauhid, patuh kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya<br /><br />Tanya : Apakah dalilnya?<br />Jawab : Yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanya Islam.” (QS. Ali Imran : 19). Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat nanti dia pasti termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran : 85).<br /><br />Tanya : Ada berapakah rukun Islam?<br />Jawab : Ada lima; syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke rumah Allah yang suci jika memiliki kemampuan.<br /><br />Tanya : Apakah dalil syahadat laa ilaha illallah?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain-Nya, demikian pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dengan menegakkan keadilan. Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Ali Imran : 18).<br /><br />Tanya : Apakah dalil syahadat anna Muhammadar rasulullah?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sekali-kali Muhammad itu bukanlah ayah salah seorang lelaki di antara kalian, namun dia adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Ahzab : 40).<br /><br />Tanya : Apa makna syahadat anna Muhammadar rasulullah?<br />Jawab : Maknanya adalah menaati perintahnya, membenarkan beritanya, menjauhi segala larangannya, dan beribadah kepada Allah hanya dengan syari’atnya<br /><br />Tanya : Apakah dalil sholat, zakat serta tafsir dari tauhid?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah mereka disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan penuh ikhlas melakukan amal karena-Nya (tanpa disertai kesyirikan), mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah : 5)<br /><br />Tanya : Apakah dalil puasa?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah : 183).<br /><br />Tanya : Apakah dalil haji?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Wajib bagi umat manusia untuk menunaikan ibadah haji ke baitullah karena Allah, yaitu bagi orang yang mampu melakukan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang kufur maka sesungguhnya Allah Maha kaya dan tidak membutuhkan seluruh alam.” (QS. Ali Imran : 97).<br /><br />Tanya : Apakah pondasi ajaran dan kaidah dalam agama Islam?<br />Jawab : Ada dua perkara : [Pertama] adalah perintah untuk beribadah kepada Allah semata dan memotivasi manusia untuk melakukannya, membangun loyalitas di atasnya dan mengkafirkan orang yang meninggalkannya (tidak beribadah kepada Allah). [Perkara Kedua] adalah memperingatkan manusia dari kesyirikan dalam hal ibadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bersikap keras dalam hal itu (mengingkari syirik), membangun permusuhan di atasnya, dan mengakfirkan orang yang melakukannya (kemusyrikan).<br /><br />Tanya : Ada berapakah rukun iman?<br />Jawab : Ada enam; yaitu iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir baik dan yang buruk<br /><br />Tanya : Apakah dalilnya?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Bukanlah kebaikan itu kamu memalingkan wajahmu ke arah timur ataupun barat, akan tetapi yang disebut kebaikan adalah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab, dan para nabi.” (QS. al-Baqarah : 177).<br /><br />Tanya : Apakah dalil iman kepada takdir?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan ukuran/takdir.” (QS. al-Qamar : 49).<br /><br />Tanya : Apa yang dimaksud ihsan?<br />Jawab : Ihsan terdiri dari satu rukun yaitu; kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya dan jika kamu tidak bisa maka yakinlah bahwa Dia senantiasa melihatmu<br /><br />Tanya : Apakah dalilnya?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Allah akan bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. an-Nahl : 128).<br /><br />Tanya : Siapakah Nabimu?<br />Jawab : Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim, sedangkan Hasyim berasal dari keturunan Quraisy, Quraisy dari bangsa Arab, sedangkan Arab merupakan keturunan Nabi Ismail putra Ibrahim al-Khalil (kekasih Allah) semoga shalawat dan salam yang paling utama tercurah kepadanya dan kepada nabi kita.<br /><br />Tanya : Berapakah umur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?<br />Jawab : Enam puluh tiga tahun; empat puluh tahun sebelum diangkat menjadi nabi dan dua puluh tiga tahun sebagai nabi dan rasul<br /><br />Tanya : Dengan apakah beliau diangkat menjadi Nabi? Dan dengan apa diangkat sebagai rasul?<br />Jawab : Beliau diangkat menjadi Nabi dengan turunnya Iqra’ dan diangkat sebagai rasul dengan turunnya al-Muddatstsir<br /><br />Tanya : Di manakah negerinya?<br />Jawab : Beliau berasal dari Mekah lalu berhijrah ke Madinah, dan kemudian beliau wafat di sana -semoga shalawat dari Allah dan keselamatan senantiasa tercurah kepadanya- setelah Allah sempurnakan agama dengan mengutus beliau (beserta ajarannya).<br /><br />Tanya : Apa yang dimaksud dengan hijrah?<br />Jawab : Berpindah dari negeri syirik menunju negeri Islam, sementara hijrah itu tetap berlaku hingga tegaknya hari kiamat<br /><br />Tanya : Apakah dalilnya?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat itu dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. Maka malaikat bertanya kepadanya; Di manakah dulu kalian berada? Mereka menjawab; Kami dulu berada dalam keadaan tertindas dan lemah di muka bumi. Mereka berkata; bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah di atasnya? Mereka itulah orang-orang yang tempat kembalinya adalah neraka Jahannam dan sungguh neraka itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’ : 97).<br /><br />Tanya : Apakah dalilnya dari Sunnah (Hadits)?<br />Jawab : Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah terputus hijrah sampai taubat terputus, dan tidak akan terputus [kesempatan] bertaubat hingga matahari terbit dari arah tenggelamnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan ad-Darimi).<br /><br />Tanya : Apakah Rasul masih hidup atau sudah mati?<br />Jawab : Beliau telah meninggal sedangkan agamanya masih tetap ada hingga hari kiamat tiba<br /><br />Tanya : Apakah dalilnya?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya kamu pasti mati dan mereka pun akan mati, kemudian nanti pada hari kiamat di sisi Rabb kalian maka kalian pun akan saling bermusuhan.” (QS. az-Zumar : 31).<br /><br />Tanya : Apakah setelah mati manusia akan dibangkitkan?<br />Jawab : Iya, benar<br /><br />Tanya : Apakah dalilnya?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dari tanah itulah Kami ciptakan kalian dan kepadanya kalian Kami kembalikan, dan dari dalamnya Kami akan mengeluarkan kalian untuk kedua kalinya.” (QS. Thaha : 55).<br /><br />Tanya : Apakah hukum orang yang mendustakan hari kebangkitan?<br />Jawab : Orang yang melakukan hal itu adalah kafir<br /><br />Tanya : Apakah dalilnya?<br />Jawab : Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Orang-orang kafir itu mengira bahwa mereka tidak akan dibangkitkan lagi, katakanlah; sekali-kali tidak, demi Rabbku, kalian benar-benar akan dibangkitkan kemudian akan dikabarkan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan [di dunia], dan hal itu bagi Allah sangatlah mudah.” (QS. at-Taghabun : 7).<br /><br />Diterjemahkan dari :<br />Maa yajibu ‘alal muslim ma’rifatu wal ‘amalu bihi<br />Oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi rahimahullah<br />Dengan pengantar Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Alu Jarullah<br /><br />Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi<br /><br />Artikel www.muslim.or.idHamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-65012204531935399312010-04-14T00:35:00.000-07:002010-04-14T00:37:54.491-07:00Jangan Remehkan KesyirikanTidaklah cukup seseorang hanya mengenal tauhid dan mengamalkannya. Pengetahuan tentang syirik pun mutlak diperlukan agar seseorang tidak terjerumus ke dalamnya. Sayangnya, banyak orang tidak memahami hakikat kesyirikan dan betapa dahsyat bahayanya sehingga mereka pun meremehkannya. Padahal semakin kuat tauhid seseorang, seharusnya dia semakin takut akan syirik dan khawatir menjadi pelakunya. Sebaliknya seseorang yang tidak memahami hakikat tauhid akan meremehkannya sehingga tidak ada sedikipun rasa takut di hatinya. Semoga penjelasan ringkas ini, menggugah kesadaran kita agar tidak lagi meremehkan dosa yang sangat besar ini.<br /><br />Dahsyatnya Bahaya Syirik<br /><br />Cukuplah ayat berikut menggambarkan dahsyatnya dosa kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman,<br /><br />إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا {48}<br /><br />“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisaa’:48)<br /><br />Tidak ada seorang pun yang terlepas dari gelimang dosa. Ampunan dosa merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada semua hamba. Namun, hal ini dikecualikan bagi orang-orang musyrik (jika sampai mati ia masih membawa dosa syiriknya tanpa bertaubat, ed), karena begitu besarnya dosa syirik. Ini menunjukkan bahwa dosa syirik merupakan dosa yang sangat besar.<br /><br />Dalam ayat lain Allah Ta’ala menjelaskan bahwa pelaku kesyirikan diharamkan masuk ke dalam surga, padahal surga adalah tujuan akhir seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman,<br /><br />… إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَالِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ {72}<br /><br />“…sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al Maidah:72)<br /><br />Dari Ibnu Mas’ud radliyallah ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />مَنْ مَاتَ وَهْوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ<br /><br />“Barangsiapa yang mati dalam keadaan menyembah selain Allah, pasti ia masuk ke dalam neraka.“[1]. Sungguh, benar-benar mengerikan bahaya kesyirikan. Na’udzu billahi min dzaalik.<br /><br />Seluruh Rasul Mengingatkan Bahaya Syirik<br /><br />Setiap Rasul yang diutus oleh Allah Ta’ala pasti menyeru tentang bahaya syirik. Mereka semua mendakwahkan tauhid dan memperingatkan tentang syirik. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah Ta’ala :<br /><br />وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ …{36}<br /><br />“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An Nahl:36).<br /><br />Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini, “Seluruh para rasul menyeru untuk beribadah hanya kepada Allah dan melarang untuk menujukan ibadah kepada selain-Nya. Allah Ta’ala tidak mengutus seorang rasul pun sejak terjadinya kesyirikan pada kaum Nuh yang diutus rasul kepada mereka kecuali untuk tujuan tersebut (hanya beribadah kepada Allah semata). Rasul yang pertama diutus ke muka bumi sampai penutup para Rasul, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salaam, semuanya mendakwahkan sebagaimana yang Allah perintahkan :<br /><br />وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ {25}<br /><br />“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.” (QS. Al Anbiya’:25)”[2].<br /><br />Jelaslah bahwa kesyirikan adalah dosa yang sangat besar sehingga seluruh Rasul diperintahkan untuk memperingatkan umatnya dari dosa ini.<br /><br />Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam Berlindung dari Kesyirikan<br /><br />Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam mengajari kita untuk berlindung dari kesyirikan. Beliau berdoa:<br /><br />وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُك لِمَا لَا أَعْلَمُ اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك أَنْ أُشْرِكَ بِك<br /><br />“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik (menyekutukan-Mu) sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu terhadap kesyirikan yang tidak aku ketahui.”[3].<br /><br />Bagaimana mungkin kita tidak takut terjerumus syirik padahal Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam saja takut terhadap masalah ini?<br /><br />Nabi Ibrahim ‘alaihis salam Khawatir Terjerumus Syirik<br /><br />Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mempunyai kedudukan yang mulia. Allah Ta’ala berfirman tentang beliau,<br /><br />إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ {120}<br /><br />“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif . Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan) ” (QS. An Nahl:120)<br /><br />Allah menyifati beliau dengan sifat-sifat mulia yaitu :<br /><br />- Beliau adalah imam, yakni teladan dalam kebaikan<br /><br />- Beliau adalah orang yang selalu taat, senantiasa melakukan amal ketaatan dan ikhlas dalam beramal<br /><br />- Beliau adalah seorang yang hanif, yakni yang senantiasa menghadap kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya<br /><br />- Beliau tidak termasuk golongan orang-orang musyrik, yakni berlepas diri dari orang-orang musyrik dan agama mereka [4]<br /><br />Sifat-sifat yang dimiliki oleh Ibrahim ‘alaihis salaam adalah wujud dari kebersihan tauhidnya. Namun di sisi lain, beliau masih berdo’a kepada Allah,<br /><br />وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ ءَامِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ اْلأَصْنَامَ {35}<br /><br />“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (Ibrahim:35)<br /><br />Lihatlah, kedudukan beliau yang mulia dan kebersihan tauhid yang beliau miliki tidak menjadikan beliau merasa aman dari kesyirikan. Bahkan beliau masih berlindung kepada Allah dari bentuk kesyirikan yang paling zhohir (paling nampak), yaitu menyembah berhala. Padahal kita ketahui bersama bahwa Ibrahim-lah yang menghancurkan berhala-berhala kaumnya.<br /><br />Allah Ta’ala menjelaskan alasan yang mendasari ketakutan Ibrahim terhadap syirik dalam firman-Nya,<br /><br />رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ… {36}<br /><br />“Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia …”(QS. Ibrahim:36).<br /><br />Jika seseorang mengetahui bahwa banyak di antara manusia terjerumus ke dalam syirik akbar dan mereka tersesat menjadi penyembah berhala, tentunya wajib bagi dia untuk takut terjerumus dalam kesyirikan yang telah menyesatkan banyak orang. Oleh karena itu Ibrahim at Taimi mengatakan, “Siapakah yang merasa aman dari tertimpa musibah kesyirikan setelah Ibrahim ‘alaihis salaam?!”(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim). Tidak ada yang merasa aman terjerumus dalam kesyirikan kecuali orang yang bodoh dalam memahami tauhid dan tidak mengerti larangan dari berbuat syirik.[5]<br /><br />Lihatlah diri kita. Siapakah kita? Seberapakah keilmuan kita tentang tauhid? Namun kita seolah-olah sudah merasa aman dari bahaya syirik.<br /><br />Kesyirikan Dikhawatirkan Menimpa Para Sahabat rodhiyallahu ‘anhum<br /><br />Para sahabat adalah generasi terbaik umat ini. Keteguhan iman mereka sudah teruji, pengorbanan mereka terhadap Islam sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun demikian, Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam masih mengkhawatirkan kesyirikan menimpa mereka. Beliau bersabda.<br /><br />إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ ». قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الرِّيَاءُ<br /><br />“Sesuatu yang aku khawatrikan menimpa kalian adalah perbuatan syirik asghar.” Lalu para sahabat menanyakan pada beliau, “Apa yang dimaksud syirik ashgor, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Contohnya) adalah riya’. ”[6]<br /><br />Dalam hadist di atas terdapat pelajaran tentang takut kapada syirik. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam khawatir kesyirikan menimpa sahabat muhajirin dan anshor, sementara mereka adalah sebaik-baik umat. Maka bagaimana terhadap umat selain mereka? Jika yang beliau khawatirkan menimpa mereka adalah syirik asghar yang tidak mengeluarkan dari Islam, bagaimana lagi dengan syirik akbar? Wal ‘iyadzu billah !![7]<br /><br />Bukti Rasa Takut yang Benar<br /><br />Setiap orang yang bersih tauhidnya pasti memiliki rasa takut terhadap syirik. Oleh karena itu, orang yang paling bersih tauhidnya yakni Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak doa agar dijauhkan dari syirik. Demikian juga Ibrahim ‘alaihis salaam berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari kesyirikan dan menyembah berhala. Sedikit sekali orang yang tidak memiliki rasa takut terhadap kesyirikan akan sempurna tauhidnya, bahkan hal ini tidak mungkin terjadi. Setiap orang yang berusaha membersihkan tauhidnya, dia akan senantiasa bersemangat dalam bertauhid dan takut terjerumus syirik. Jika sudah muncul rasa takut terhadap syirik, rasa takut dalam hatinya tersebut akan menjadikan seorang hamba bersemangat. Rasa takutnya akan menimbulkan bebrapa faedah :<br /><br />- Dia akan terus mempelajari kesyirikan dan macam-macamnya sehingga tidak terjerumus ke dalamnya<br /><br />- Akan senatiasa mempelajari tauhid dan macam-macamnya sehingga muncul dalam hatinya rasa takut terhdap syirik<br /><br />- Seseorang yang takut terhadap syirik, hatinya senantiasa istiqomah di atas jalan ketaatan dan mengharap wajah Allah Ta’ala<br /><br />- Jika melakuakan suatu dosa atau kesalahan akan segera memohon ampun kepada Allah, karena butuhnya dia terhadap ampunan dosa.[8] <br /><br />Lihatlah Fenomena di Sekitar Kita<br /><br />Pembaca yang dirahmati Allah, fenomena kesyirikan merebak di sekitar kita. Dari kesyirikan yang tersembunyi sampai bentuk yang paling dhohir, baik itu syirik besar maupun syirik kecil. Di kota hingga pelosok desa marak dengan kegiatan syirik. Kesyirikan di zaman ini tidak mengenal waktu, baik siang maupun malam, baik dalam kondisi susah maupun senang. Media yang beredar juga tak ketinggalan menawarkan berbagai bentuk kesyirikan. Bahkan para cendekiawan muslim yang dianggap tokoh agama pun ikut andil dalam mendakwahkan kesyirikan. Wahai saudaraku, hati ini sangat lemah. Sungguh, dengan fenomena tersebut, hati kita memiliki kecenderungan untuk mudah terjerumus dalam syirik. Tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali membentengi diri kita dengan ilmu tauhid yang benar dan berusaha untuk mempelajari kesyirikan agar kita dapat menjauhinya. Usaha doa pun harus senatiasa kita lakukan. Semoga Allah Ta’ala meneguhkan kita di atas jalan tauhid sampai ajal menjemput kita, sebagaimana Allah firmankan,<br /><br />يَوْمَ لاَيَنفَعُ مَالٌ وَلاَبَنُونَ {88} إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ {89}<br /><br />“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna(88), kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih(89)” (QS. As Syu’araa:88-89)<br /><br />Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “ Hati yang bersih maksudnya hati yang selamat dari kesyirikan dan keragu-raguan serta selamat dari rasa cinta terhadap keburukan serta bersih dari bid’ah dan perbuatan dosa…”[9]. Wallahul musta’an.<br /><br /><br />Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki<br /><br />Muroja’ah: M.A. Tuasikal<br /><br />Artikel www.muslim.or.id<br /><br />Catatan Kaki:<br /><br />[1]. HR. Bukhari 4498<br /><br />[2]. Fathul Majiid, hal 24. Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh. Penerbit Muasasah al Mukhtar. Cetakan pertama tahun 1425 H/2004.<br /><br />[3]. HR. Ahmad (4/403). Dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahiihul Jaami’ (3731) dan Shahih at Targhiib wa at Tarhiib (36).<br /><br />[4]. I’aanatul Mustafiid bi Syarhi Kitaabi at Tauhiid, hal 71. Syaikh Shalih Fauzan. Penerbit Markaz Fajr. Cetakan kedua tahun 2003.<br /><br />[5]. Fathul Majiid, hal 79.<br /><br />[6]. HR. Ahmad 5/428,429. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, namun ada yang munqothi’ (terputus).<br /><br />[7]. I’aanatul Mustafiid bi Syarhi Kitabi at Tauhiid, hal 90.<br /><br />[8]. At Tamhiid li Syarhi Kitaabi at Tauhiid hal 43-44. Syaikh Shalih Alu Syaikh. Penerbit Daaru at Tauhiid. Cetakan pertama tahun 1423 H/2002.<br /><br />[9]. Taisiirul Kariimir Rahman, Tafsir Surat Asy Syu’araa, Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di. Penerbit Daarul Hadist.Hamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-62788831497123212822010-04-14T00:26:00.000-07:002010-04-14T00:35:09.830-07:00Mengenal Hakikat WALI ALLAH & WALI SYETANBuletin Al-Hujjah Vol: 07-IX/Rabi'ul Awwal-1429H/Mar-08<br /><br />Bermacam pandangan telah mewarnai bursakewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki halhal yang luar biasa berarti dia telah sampai pada tingkat kewalian,seperti tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersendal cepit berarti ia wali, ada pula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berzikir selalu berarti dia wali. Dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu di sini.<br /><br />Wali secara etimologi (bahasa) berarti dekat. Adapun secara terminologi (istilah) menurut pengertian sebagian ulamaahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapibukan Nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertakwa adalah wali Allah, dan wali Allah yang paling utama adalah para Nabi, yang paling utama diantara para Nabi adalah para Rasul, yang paling utama di antara para Rasul adalah Ulul ‘Azmi, yang paling utama di antara Ulul‘Azmi adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka para wali Allah tersebut memiliki perbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan mereka dengan Allah. Maka dapat disimpulkan di sini bahwa wali-wali Allah terbagi kepada dua golongan:<br /><br />Golongan pertama, Assaabiquun Almuqarrabuun (barisanterdepan dari orang-orang yang dekat dengan Allah). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang mandub (sunnah) sertamenjauhi hal-hal yang makruh di samping melakukan hal-hal yang wajib . <br /><br />Golongan kedua, Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang sunnah atau menjauhi hal-hal yang makruh. Kedua golongan ini disebutkan Allah dalan firmanNya:<br /><br />“(Artinya) Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Allah). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan”. (QS.Al Waaqi’ah, ayat: 88-91).<br /><br />Kemudian para wali itu terbagi pula menurut amalan dan perbuatan mereka kepada dua bagian; wali Allah dan wali setan. <br /><br /><br />Ciri-ciri Wali Allah<br /><br />Allah telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firmanNya:<br />“Ingatlah; sesungguhnya para waliwali Allah Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa se dih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertakwa”.<br />(QS. Yunus: 62-63).<br /><br />Ciri pertama, Beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuantetapi keimanan yang mengantarkan kepada takwa. Landasan keimanan yang pertama adalah Dua Kalimat Syahadat. Maka orang yang tidak mengucapkannya atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut adalah bukan wali Allah. Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah,atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik dari hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah benar. Atau berkeyakinan bahwa keNabian dan keRasulan tetap ada sampai hari kiamat, bahwa Muhammad bukan penutup segala Rasul dan Nabi.<br /><br />Ciri kedua, Bertakwa , artinya ia melakukan apa yang diperintah Allah dan<br />menjauhi apa yang dilarang Allah, melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan amalan sunnah. Oleh sebab itu jika ada orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia meninggalkan beramal kepada Allah maka ia termasuk pada jenis wali yang kedua yaitu wali setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidakpernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Baik dalam bentuk shalatmaupun zikir, dll.<br /><br />Ciri-ciri Wali Setan<br /><br />Adapun ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan setan , mulai dari melakukan syirik dan bid’ah sampai berbagai bentuk kemaksiatan. Sebagaimana Allah terangkan dalam firmanNya bahwa setan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka :<br />“(Artinya) Sesungg uhnya setan-setan itu mewahyukan kepada wali-wali mereka untuk membantahmu, jika kamu menaati mereka, sesungguhnya kamu menjadi orang-orang musyrikin”. (QS . Al An’aam,ayat: 121).<br /><br />Terkadang setan membisikan walinya untuberdo’a dikuburan orang-orang shalihdengan dalih untuk menghormati wali. Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdoa dikuburannya, justru ini adalah perbuatan yang dibenci wali itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan Allah. Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali di sisi Allah dengan kehormatan seorang Nabi? Jelas Nabi lebih tinggi. Jangankan meminta kepada wali, kepada Nabi sekalipun tidak boleh berdoa. Jangankan saat setelah mati, di waktu hidup saja, Nabi tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati! Kalau hal itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong kekuburan Nabi shallallahu ‘alaihiwa sallam saat mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya , saat paceklik terjadidi Madinah , Umar bin Khaththab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan Nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi.<br /><br />Kemudian bentuk lain dari cara setan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang melakukan amalan-amalan bid’ah, sebagai contoh kisah yang amat masyhur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengingkari kalau memang ternyata benar beliau seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan sunnah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian diakhir persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau shalat berarti telah meninggalkan shalat berjama‘ah dan shalat Jum’at? Adakah petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini? Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum’at.<br /><br />Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu :<br /><br />1. Berasumsi bahwa seorang wali itu Maksum ( terbebas ) dari segala kesalahan, sehingga mereka menerima segala apa yang dikatakan wali.<br />Dengan pemahaman seperti ini, terjadilah pengkultusan sang kiai atau sang guru dan pembenaran kesesatan yang dilakukan olehsang kiai atau sang guru sekali pun perbuatan tersebut nyata-nyata melanggar Al-Quran dan Sunnah. Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum susu, tapi yang salah adalah penglihatan sang murid karena matanya berlumuran dosa, begitulah orang orang sufi melakukan doktrin dalam menyebarkan kesesatan mereka. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para Nabi dan Rasul dalam hal menyampaikan wahyu yang mereka terima. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />“setiap anak Adam adalah pasti bersalah , dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat”. (HR. AtTirmidzy no. 2499).<br /><br />2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti memiliki karomah (kekuatan luar bisa). Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah, tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al-Jurjaany berpesan:<br />“Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah , padahal Tuhanmu menuntut darimu istiqomah”.<br /><br />Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah. Begitu pula Rasulullah sebagai hamba yang paling mulia di sisi Allah waktu berhijrah beliau mengendarai unta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera pada waktu perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah diberikan Allah kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Allah, atau pertolongan dari Allah terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak butuh,kepada karomah lebih baik dari orang yang butuh kebanyakan para ulama salaf bila mereka mendapat karomah justru mereka bersedih dan tidak merasa bangga karena mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan). Begitu pula mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan mereka setelah mereka menerima waktu didunia dalam bentuk karomah. Begitu pula bila mereka diberi karomah, mereka justru menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbangga diri di hadapan orang lain. Banyak orang berasumsi bila seseorang dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, maka dia dianggap wali yang memiliki karomah. Padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan setan dan jin setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada orang yang bisa terbang atau berjalan di atas air atau tahan pe dang atau bias memberi tahu tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati adalah bagaimana amalannya, apakah amalannya sehari-hari menurut Sunnah atau tidak ?<br /><br />Sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i:<br />“Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka ukurlah amalannya dengan Sunnah”.<br /><br />Diriwayatkan dalam kisah seseorang bernama Mukhtar bin Abi ‘Ubaid. Dia mengaku sebagai Nabi yang menerima wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas: Sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan ke padanya wahyu ? Dua orang sahabat tersebut menjawab : Benar (wahyu dari setan), kemudian salah seorang dari mereka membaca firman Allah: <br />“Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa”. (QS. Asy Syu’araa: 221-222).<br /><br />Dan yang lain membaca firman Allah, <br />“Dan sesungguhnya para setan itu Mewahyukan kepada wali wali mereka untuk membantahmu”. ( QS. Al- An’aam:121).<br /><br />Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al-Quran dan Sunnah. Karena Nabi menyebutkan dalam sebuah hadits :<br />“ Sesungguhnya dalamdiri anak Adam terdapat bisikan dari setan dan bisikan dari malaikat”. (HR. At-Tirmidzy no. 2988)<br /><br />Berkata Abu Sulaiman Ad-Daraany:<br />“Boleh jadi terbetik di hatiku apa yang terbetik di hati mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari Kitab dan Sunnah.”<br /><br />3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat mengetahui hal-hal yang gaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Allah, <br />“Di sisiNya (Allah) segala kunci-kunci yang gaib , tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Allah)”. (QS. Al-An’aam, ayat :59). <br /><br />Dan firman Allah,<br />“Katakanlah, tiada seorang pun di langit maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang gaib kecuali Allah”. (QS. An Naml: 65).<br /><br />Termasuk para Nabi dan Rasul sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang gaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Allah kepada mereka. Sebagaimana firman Allah kepada Nabi kita, <br />“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa di sisiku<br />gudang-gudang rezeki Allah, dan aku pun tidak mengetahui hal yang gaib”. (QS. Al-An’aam: 50).<br /><br />Dan firman Allah: <br />“Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan tidak pula (menolak) mudarat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang gaib tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa kejelekan”. (QS. Al-A’raaf: 188).<br /><br />Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak manusia kejalan kesyirikan,<br />sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Allah, atau meminta dan berdoa kepada wali yang sudah mati. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata. Karena meminta kepada makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihis salam. Dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah. Dengan argumentasi yang sama bahwa mereka para wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa mereka pada Allah. Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firmanNya : <br />“Ingatlah ; milik Allahlah agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang mengambil wali (pelindung) selain Allah berkata : kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (QS. Az-Zumar: 3).<br /><br />Tulisan ini diringkas secara bebas dari tulisan Ustadz Dr. Ali Musri, MA. yang berjudul: “Syarh Hadits Wali”<br />sumber: www.muslim.or.idHamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-1025804701674370992010-04-14T00:21:00.000-07:002010-04-14T00:25:04.766-07:00Bila Kuburan Diagungkandlm perjalanan hidup manusia terkadang perlu utk kembali menengok ke sejarah masa lampau masa-masa sebelum datang cahaya Islam. Sebuah masa yg penuh dgn perilaku kejahilan dan semangat hawa nafsu di mana di dlm terdapat tatanan kehidupan yg didasarkan hanya pada pandangan baik akal dan “kesepakatan” orang banyak. Bukan tatanan kehidupan yg dibimbing oleh wahyu dari Dzat Yang Maha Benar.<br />Kita perlu menengok kepada kehidupan di masa jahiliyyah itu krn realita kehidupan kita di masa ini ternyata banyak memiliki kesamaan dgn realita di masa jahiliyyah. Padahal dgn diutus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg membawa cahaya Islam berbagai konsep kemasyarakatan ala masyarakat jahiliyyah itu semesti terhapuskan krn bertentangan dgn nilai-nilai Islam. Dengan demikian menggali kembali hakikat alam kehidupan jahiliyyah bukan suatu keterbelakangan dan kejumudan berfikir namun merupakan langkah utk lbh maju ke depan.<br />Merupakan suatu keterbelakangan bila kita tdk mau mempelajari berbagai praktek kehidupan jahiliyyah sehingga disadari atau tdk kita telah terjatuh kepada perilaku kehidupan jahiliyyah itu. Tanpa sadar kita telah menjadi pendukung utk menghidupkan syi’ar-syi’ar mereka. Telah digambarkan oleh banyak sastrawan bagaimana kejahatan dan kebiadaban ala hewan dlm alam jahiliyyah. Yang kuat berkuasa dan yg lemah diinjak-injak bahkan menjadi budak.<br />Penggambaran dgn bahasa yg indah tentang kehidupan jahiliyyah sesungguh tdk mewakili pengupasan akar kejahatan tersebut lebih-lebih jika ingin mencabutnya. Cikal bakal kehidupan jahiliyyah memunculkan segala wujud kejahatan berupa kerusakan dlm bentuk pemerkosaan hati tiap insan dgn perbuatan kedzaliman yg terbesar yaitu “Kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”.<br />Penghambaan yg keluar dari aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala penghambaan yg diiringi dgn penghinaan diri kepada sesuatu yg lbh rendah darinya. Penghambaan kepada batu kuburan pohon tempat-tempat keramat dan sebagai merupakan pembunuhan terhadap fitrah yg suci di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan tiap hamba dengannya. Juga merupakan perusakan terhadap akal manusia yg Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan dan membedakan dgn makhluk-makhluk lain. Penjajahan terhadap kemerdekaan tiap insan utk bisa langsung berhubungan dgn Rabb- dan perbudakan diri yg tdk pada tempatnya. Inilah kejahatan yg hakiki.<br />Menelaah kembali prinsip-prinsip hidup jahiliyyah bukan berarti ingin mengembang-biakkan namun semata-mata utk membentengi diri dan memperingatkan umat utk tdk terjatuh padanya.<br />Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu menyatakan:<br />كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةً أَنْ يَدْرِكَنِي “orang2 berta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan dan aku berta kepada tentang kejahatan khawatir menimpa diriku.”<br />‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata: “Sesungguh ikatan Islam akan putus seikat demi seikat apabila muncul di dunia Islam orang2 yg tdk mengetahui jahiliyyah.”<br />Seorang penyair mengatakan:<br />Aku mengetahui kejahatan bukan utk melakukannya<br />melainkan utk menjaga diri darinya<br />Barangsiapa yg tdk mengenal kebaikan<br />dari kejahatan<br />Khawatir dia terjatuh padanya<br />Semoga dgn menelaah prinsip-prinsip hidup yg rusak itu kita bisa mewanti-wanti diri anak dan generasi muslimin darinya1.<br />Di antara sekian praktek hidup jahiliyyah adl mengagungkan kuburan.<br /><br />Hakekat Kematian<br />Kematian merupakan suatu kepastian yg telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada tiap yg bernyawa. Ketentuan yg tdk bisa dimajukan dan dimundurkan yaitu berpisah ruh dari jasad. Perpisahan ini menggambarkan sesuatu yg tdk bisa berbicara lagi berpikir bergerak melihat mendengar sebagaimana tabiat kehidupan.<br />Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br />كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاََّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ<br />“Tiap-tiap yg bernyawa akan merasakan mati dan sesungguh pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dlm surga sungguh dia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tdk lain hanyalah kesenangan yg memperdayakan.”<br />Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan tentang sesuatu yg akan menimpa seluruh makhluk bahwa tiap yg bernyawa akan mengalami kematian seperti firman Allah: “Sesuatu yg ada di bumi itu akan binasa dan tetap kekal Wajah Rabbmu Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan” . Dia Allah Subhanahu wa Ta’ala Dzat yg Esa dan tdk akan mengalami kematian manusia dan jin yg akan mengalami kematian demikian juga seluruh malaikat dan para pemikul ‘Arsy Allah.”<br />Manusia telah bersepakat bahwa bila ruh berpisah dgn jasad mk jasad tersebut tdk bisa bergerak berbicara mendengar bekerja berdiri dan tanda-tanda kehidupan lainnya. Namun kerusakan aqidah mereka menyebabkan terbalik keyakinan tersebut. Sehingga mereka meyakini bahwa orang mati itu bisa muncul lagi ke dunia bisa berbuat sesuatu di luar perbuatan orang yg hidup mendatangi keluarga lalu menyapa mereka muncul di atas kubur menarik kaki orang2 yg berjalan di atas dan sebagainya. Ini semua adl cerita-cerita khurafat yg didalangi oleh Iblis dan tentara-tentara utk merusak aqidah orang2 Islam.<br />Bisakah si mayit mendengar dan berbuat sesuatu sehingga kita bisa menjadikan dia sebagai perantara dgn Allah atau kita bisa meminta sesuatu kepadanya?<br />Bisakah si mayit membantu orang yg mengalami malapetaka dan kesulitan hidup?<br />Tentu tiap orang akan menjawab bahwa mayit tdk akan sanggup melakukan yg demikian. Namun keyakinan banyak manusia sekarang justru sebaliknya. Begitulah bila kuburan telah diagungkan dan fitrah telah rusak.<br /><br />Kerusakan Fitrah krn Cerita dan Dongeng<br />Perusakan fitrah tiap insan tdk akan berhenti dan terus akan berlangsung sampai hari kiamat hingga tiap orang akan bisa menjadi santapan seruan Iblis. Oleh krn itu mari kita melihat bahaya cerita dan dongeng yg mengandung khurafat-khurafat di antaranya:<br />a. Menyebabkan seseorang memiliki keyakinan yg berbeda dgn kesucian fitrah dan memiliki keyakinan yg bertolak belakang.<br />b. Menyebabkan seseorang memiliki sifat penakut.<br />c. Melemahkan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.<br />d. Menjatuhkan seseorang kepada kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.<br />Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dlm Al Qur’an:<br />إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيآئَهُ فَلاَ تَخَافُوْهُمْ وَخَافُوْنِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ<br />“Sesungguh mereka itu tdk lain hanyalah setan yg menakut-nakuti kamu dgn kawan-kawannyas. Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yg beriman.”<br />Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah di dlm Tafsir- mengatakan: “Di dlm ayat ini terdapat pelajaran tentang wajib takut hanya kepada Allah semata dan itu termasuk dari tuntutan keimanan. Oleh krn itu seseorang memiliki rasa takut berdasarkan tinggi rendah imannya. Dan takut yg terpuji adl ketakutan yg menjaga seseorang dari segala keharaman Allah.”<br />Sesuatu yg tadi hanya berbentuk cerita-cerita khurafat kemudian diwujudkan dlm bentuk film-film hidup gambar-gambar dan kengerian kuburan. Semua itu memperkuat perusakan fitrah sehingga menjadi fitrah yg mati dan kaku hidup di hadapan cerita-cerita takhayul dan khurafat.<br /><br />Jahiliyah dan Kuburan<br />Kuburan merupakan salah satu ajang kekufuran dan kesyirikan di masa jahiliyah. Terbukti hal yg demikian dgn firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:<br />أَفَرَأَيْتُمُ الاَّتَ وَالْعُزَّى وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ اْلأُنْثَى تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيْزَى<br />“Apakah patut kamu menganggap Al-Lata dan Al-’Uzza dan Manat yg ketiga yg paling terkemudian . Apakah patut utk kamu laki2 dan utk Allah anak perempuan. Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yg tdk adil.”<br />Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mencerca kaum musyrikin dgn peribadatan mereka kepada patung-patung tandingan-tandingan bagi Allah dan berhala-berhala di mana mereka memberikan rumah-rumah utk menyaingi Ka’bah yg telah dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.<br />Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Bagaimana pendapat kalian tentang Al-Lata”. Al-Lata adl sebutan utk batu yg terukir di mana di atas dibangun rumah dan berada di kota Thaif. Ia memiliki kelambu dan juru kunci dan di sekitar terdapat halaman yg diagungkan oleh penduduk Thaif yaitu kabilah Tsaqif dan yg mengikuti mereka. Mereka berbangga-bangga dengan di hadapan seluruh kabilah Arab kecuali Quraisy.”<br />Kemudian beliau berkata: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma Mujahid Rabi’ bin Anas mereka membaca dgn ditasydidkan taa dan mereka menafsirkan dengan: “Seseorang yg mengadoni gandum utk para jamaah haji di masa jahiliyyah. Tatkala dia meninggal mereka i’tikaf di kuburan lalu menyembahnya.”<br />Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata tentang firman Allah “Al-Latta dan Al-’Uzza.”: “Al-Latta adl seseorang yg menjadikan gandum utk para jamaah haji.”<br />Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Al-Latta dgn bacaan ditasydidkan huruf taa adl bacaan Ibnu ‘Abbas berdasarkan bacaan ini berarti isim fa’il dari kata ‘latta’ patung ini asal adl seseorang yg mengadoni tepung utk para jamaah haji yg dicampur dgn minyak samin lalu dimakan oleh para jamaah haji. Tatkala dia mati orang2 i’tikaf di kubur lalu mereka menjadikan sebagai berhala.”<br /><br />Metode Penyesatan Setan<br />Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Termasuk dari tipu daya setan yg telah menimpa mayoritas orang sehingga tdk ada seorangpun yg selamat-kecuali orang2 yg dipelihara oleh Allah- yaitu “Apa-apa yg telah dibisikkan para setan kepada wali-wali berupa fitnah kuburan.”<br />Yang mengawali terjadi fitnah besar ini adl kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam sebagaimana telah diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang mereka:<br />قَالَ نُوْحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوْا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلاَّ خَسَارًا وَمَكَرُوْا مَكْرًا كُبَّارًا وَقَالُوْا لاَ تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَ سُوَاعًا وَلاَ يَغُوْثَ وَيَعًوْقَ وَنَسْرًا وَقَدْ أَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَلاَ تَزِدِ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ ضَلاَلاً<br />“Nuh berkata: Ya Rabbku sesungguh mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang2 yg harta dan anak-anak tdk menambah kepada melainkan kerugian belaka. Dan melakukan tipu daya yg amat besar. Dan mereka berkata jangan sekali-kali kamu meninggalkan tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan Wadd dan jangan pula Suwa’ Yaghuts Yauq dan Nasr. Dan sesungguh mereka menyesatkan kebanyakan manusia. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang2 yg zalim itu selain kesesatan.”<br />Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dlm riwayat Al-Bukhari menyatakan: “Mereka adl nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ketika orang2 shalih itu mati tampillah setan menyampaikan kepada orang2 agar mendirikan di majelis-majelis mereka gambar orang2 shalih tersebut dan namakanlah dgn nama-nama mereka! orang2 pun melakukan hal tersebut dan belum disembah sampai ketika mereka meninggal dan ilmu semakin dilupakan mk gambar-gambar itu pun disembah.”<br />Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: “Bukan hanya satu ulama salaf yg mengatakan: ‘Mereka adl orang2 shalih dari kaum Nuh. Tatkala mereka meninggal orang2 i’tikaf di kubur-kubur mereka lalu membuat patung-patung tersebut hingga masa yg sangat panjang lalu menjadi sesembahan.” Kemudian beliau mengatakan: “Mereka telah menghimpun dua fitnah yaitu fitnah kubur dan fitnah menggambar.”<br />Tahapan dan metode penyesatan Iblis dan tentara-tentara terhadap penyembah kubur sebagai berikut:<br />Tahapan pertama Bahwa membangun kuburan i’tikaf di samping termasuk wujud kecintaan kepada para nabi dan orang2 shalih serta berdoa di sisi cepat diterima.<br />Tahapan kedua tawassul dlm berdoa dan bersumpah dgn penghuni kubur tersebut.<br />Tahapan ketiga berdoa dan menyembah kepadanya.<br />Tahapan keempat menyeru orang utk berdoa dan beribadah kepada dan menjadikan sebagai tempat utk merayakan hari raya.<br />Tahapan kelima membela dan berjihad dlm membela perbuatan tersebut terhadap tiap orang yg mengingkari perbuatan dan menganggap bahwa orang yg mengingkari perbuatan tersebut tdk memiliki kehormatan dan kedudukan.<br />Demikianlah sepak terjang Iblis dan tentara-tentara dlm menyusun metode penyesatan tiap insan dgn memulai dari yg paling kecil menuju yg paling besar. Program yg mereka canangkan dan jaringan yg mereka siapkan telah memakan banyak korban. Semoga Allah melindungi kita darinya.<br /><br />Haram Membangun Kubur<br />Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dlm kitab beliau yg berjudul Tahdzir As-Sajid membawakan hadits-hadits yg semua melarang membuat bangunan di atas kuburan. Di antara hadits tersebut antara lain:<br />1. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika di ranjang menjelang wafat beliau:<br />لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيآئِهِمْ مَسَاجِدَ<br />“Allah melaknat orang2 Yahudi dan Nashrani krn mereka menjadikan kuburan nabi mereka sebagai sebagai masjid-masjid.”<br />Hadits yg semakna dgn hadits di atas diriwayatkan dari banyak shahabat di antara dari Abu Hurairah yg diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma yg diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim dari Jundub bin Abdullah Al-Bajali diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari Harits An-Najrani dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan sanad shahih di atas syarat Muslim dari Usamah bin Zaid diriwayatkan oleh Ath-Thayalisi di dlm Musnad- dan Ahmad dari Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad Ath-Thahawi di dlm Musykilul Atsar Abu Ya’la dan selainnya. Juga dari Zaid bin Tsabit diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dari Abdullah bin Mas’ud diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah Ibnu Hibban dan selainnya. Dari ‘Ali bin Abi Thalib dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dan Ibnu ‘Asakir dan dari Abu Bakar diriwayatkan oleh Ibnu Zanjawaih .<br />2. Hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma:<br />نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ<br />“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang utk mengapur kuburan duduk di atas dan membuat bangunan di atasnya.” .<br />Hadits yg semakna datang dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Abu Ya’la di dlm Musnad- . Asy-Syaikh Al-Albani di dlm kitab Tahdzir As-Sajid mengatakan: “Sanad shahih.” Al-Haitsami mengatakan: “Semua rawi terpercaya.” Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Maka jelaslah dari hadits-hadits yg telah lewat tentang bahaya menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid dan akibat bagi orang2 yg berbuat demikian berupa ancaman yg pedih dari sisi Allah.”<br />Kemudian beliau berkata: “Keumuman hadits mencakup pembangunan masjid di atas kubur sebagaimana pula mencakup pembangunan kubah di atasnya. Dan tentu yg pertama larangan lbh keras sebagaimana telah jelas.”<br />.<br />Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Hadits ini menunjukkan haram membangun masjid di atas kubur-kubur orang shalih dan menggambar mereka di dlm masjid tersebut sebagaimana dilakukan orang2 Nashrani dan tdk ada keraguan bahwa masing-masing dari kedua adl haram. Menggambar anak Adam adl haram dan membangun masjid di atas kuburan juga diharamkan sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash lain dan akan datang penyebutan sebagiannya.”<br />Beliau selanjut berkata: “Gambar-gambar yg ada di banyak gereja yg disebutkan oleh Ummu Habibah dan Ummu Salamah berada di dinding dan tdk berdimensi. mk menggambar para nabi dan orang shalih utk bertabarruk dengan dan meminta syafaat kepada adl diharamkan dlm agama Islam dan termasuk bentuk peribadatan kepada berhala. Inilah yg telah diberitakan oleh Rasulullah bahwa pelaku termasuk makhluk terjahat pada hari kiamat. Membuat gambar dgn tujuan ketika melihat gambar tersebut bisa mengambil contoh atau utk mensucikan diri dgn cara seperti itu atau utk sesuatu yg tdk ada manfaat adl perbuatan yg diharamkan dan termasuk dosa besar. Pelaku termasuk orang yg mendapat adzab paling keras pada hari kiamat. Ia telah melakukan kezaliman dan menyerupai perbuatan-perbuatan Allah yg para makhluk-Nya tdk sanggup utk melakukan. Tidak ada sesuatupun yg menyerupai Allah baik pada Dzat-Nya sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya.”<br /><br />Makna Menjadikan Kuburan sebagai Masjid<br />Menjadikan kuburan sebagai masjid memiliki tiga makna:<br />1. Shalat di atas kuburan arti sujud di atasnya.<br />2. Sujud menghadap kepada dan menjadikan sebagai kiblat di dlm shalat dan berdoa.<br />3. Membangun masjid di atas dan berniat utk melaksanakan shalat padanya.<br />Wallahu a’lam bish shawab.<br /><br />1Sebagaimana doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam:<br />وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ<br /><br />“Dan jauhkan diriku dan anakku dari menyembah patung-patung.”<br /><br />Penulis Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi<br />Sumber: www.asysyariah.comHamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-60695706385321150772010-04-14T00:14:00.000-07:002010-04-14T00:21:48.589-07:00Tasawuf dan WaliBuletin Islam AL ILMU Jember Edisi :51 /IV/II/ 1426 Mengangkat tema tasawuf dan kaum Sufi terasa hampa dan kosong tanpa mencuatkan pemikiran mereka tentang wali dan demikian juga karamah. Pasalnya mitos ataupun legenda lawas tentang wali dan karamah ini telah menjadi senjata andalan mereka didalam mengelabui kaum muslimin. Sehingga dalam gambaran kebanyakan orang wali Allah adl tiap orang yang bisa mengeluarkan keanehan dan mempertontonkannya sesuai permintaan. Selain itu dia juga termasuk orang yg suka mengerjakan shalat lima waktu atau terlihat memiliki ilmu agama.<br /><br />Bagi siapa yg memililki ciri-ciri tersebut maka akan mudah baginya utk menyandang gelar wali Allah sekalipun dia melakukan kesyirikan dan kebid’ahan.WALI MENURUT AL QUR’AN DAN AS SUNNAH. Adalah perkara yg lumrah bila kita mendengar kata-kata wali Allah. Di sisi lain terkadang menjadi suatu yg asing bila disebut kata wali setan. Itulah yg sering kita jumpai di antara kaum muslimin. Bahkan sering menjadi sesuatu yg aneh bagi mereka kalau mendengar kata wali setan. Fakta ini menggambarkan betapa jauhnya persepi saudara kita kaum muslimin dari pemahaman yg benar tentang hakikat wali Allah dan lawannya wali setan. Padahal Allah telah menetapkan bahwa wali itu ada dua jenis yaitu:-wali Allah-wali setanAllah berfirman : “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yg beriman dan bertakwa.” Dia berfirman tentang wali setan : “Sesungguhnya Mereka tidak lain adl setan yg menakut-nakuti wali-walinya krn itu janganlah kalian takut kepada mereka jika kalian benar-benar orang yg beriman.” Dari kedua ayat ini jelaslah bahwa wali Allah itu adl siapa saja yg beriman dan bertakwa kepada Allah dgn sebenar-benarnya. Sedangkan wali setan itu adl lawan dari mereka.Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Wali-wali Allah adl mereka yg beriman dan bertakwa sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah tentang mereka sehingga tiap orang yang bertakwa adl wali-Nya.” . Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Wali Allah adl orang yg berilmu tentang Allah dan dia terus-menerus diatas ketaatan kepada-Nya dgn penuh keikhlasan.” .Didalam ayat yg lainnya Allah menyatakan bahwa wali Allah itu tidak mesti ma’shum . Dia berfirman : “Dan orang yg membawa kebenaran dan membenarkannya maka mereka itulah orang-orang yg bertakwa. Mereka memperoleh apa yg mereka kehendaki disisi Rabb mereka. Itulah balasan bagi orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah akan mengampuni bagi mereka perbuatan paling buruk yg mereka kerjakan kemudian membalas mereka dgn ganjaran yg lbh baik dari apa yg telah mereka kerjakan.” KARAMAH MENURUT AL QUR’AN DAN AS SUNNAHDemikian juga halnya Allah dan Rasul-Nya menerangkan bahwa karamah itu memang ada pada sebagian manusia yg bertakwa baik dimasa dahulu maupun dimasa yg akan datang sampai hari kiamat. Diantaranya apa yg Allah kisahkan tentang Maryam didalam surat Ali Imran: 37 ataupun Ashhabul Kahfi dalam surat Al Kahfi dan kisah pemuda mukmin yg dibunuh Dajjal di akhir jaman . Selain itu kenyataan yg kita lihat ataupun dengar dari berita yg mutawaatir bahwa karamah itu memang terjadi di jaman kita ini.Adapun definisi karamah itu sendiri adalah: kejadian diluar kebiasaan yg Allah anugerahkan kepada seorang hamba tanpa disertai pengakuan sebagai seorang nabi tidak memiliki pendahuluan tertentu berupa doa bacaan ataupun dzikir khusus yg terjadi pada seorang hamba yg shalih baik dia mengetahui terjadinya ataupun tidak dalam rangka mengokohkan hamba tersebut dan agamanya. {Syarhu Ushulil I’tiqad 9/15 dan Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah 2/298 karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin}APAKAH WALI ALLAH ITU MEMILIKI ATRIBUT-ATRIBUT TERTENTU?Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa wali-wali Allah itu tidak memiliki sesuatu yg membedakan mereka dgn manusia lainnya dari perkara-perkara dhahir yg hukumnya mubah seperti pakaian potongan rambut atau kuku. Dan merekapun terkadang dijumpai sebagai ahli Al Qur’an ilmu agama jihad pedagang pengrajin atau para petani.<br /><br />APAKAH WALI ALLAH ITU HARUS MEMILIKI KARAMAH? LEBIH UTAMA MANAKAH ANTARA WALI YANG MEMILIKINYA DENGAN YANG TIDAK?Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa tidak tiap wali itu harus memiliki karamah. Bahkan wali Allah yg tidak memiliki karamah bisa jadi lbh utama daripada yg memilikinya. Oleh krn itu karamah yg terjadi di kalangan para tabi’in itu lbh banyak daripada di kalangan para sahabat padahal para sahabat lbh tinggi derajatnya daripada para tabi’in. APAKAH SETIAP YANG DILUAR KEBIASAAN DINAMAKAN DENGAN ‘KARAMAH’?Asy Syaikh Abdul Aziz bin Nashir Ar Rasyid rahimahullah memberi kesimpulan bahwa sesuatu yang diluar kebiasaan itu ada tiga macam:-Mu’jizat yg terjadi pada para rasul dan nabi-Karamah yg terjadi pada para wali Allah-Tipuan setan yg terjadi pada wali-wali setan.Sedangkan utk mengetahui apakah itu karamah atau tipu daya setan tentu saja dgn kita mengenal sejauh mana keimanan dan ketakwaan pada masing-masing orang yg mendapatkannya tersebut. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Apabila kalian melihat seseorang berjalan diatas air atau terbang di udara maka janganlah mempercayainya dan tertipu dengannya sampai kalian mengetahui bagaimana dia dalam mengikuti Rasulullah .” WALI DAN KARAMAH MENURUT KAUM SUFIPandangan kaum Sufi tentang wali dan karamah sangatlah rancu bahkan menyimpang dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Diantara pandangan mereka adl sebagai berikut:1. Wali Adalah Gambaran Tentang Sosok Yang Telah Menyatu Dan Melebur Diri Dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.Hal ini sebagaimana yg dinyatakan oleh Al Manuufi dalam kitabnya Jamharatul ‘Auliya’ 1/98-99 2. Gelar wali merupakan pemberian dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yg bisa diraih tanpa melakukan amalan dan bisa diraih oleh seorang yg baik atau pelaku kemaksiatan sekalipun. 3. Wali Memiliki Kekhususan Melebihi Kekhususan Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam.Diantara kekhususan tersebut adalah:a. Mengetahui apa yg ada di hati manusia sebagaimana ucapan An-Nabhani tentang Muhammad Saifuddin Al Farutsi An Naqsyabandi.b. Mampu menolak malaikat maut yg hendak mencabut nyawa atau mengembalikan nyawa seseorang. Hal ini diterangkan Muhammad Shadiq Al Qaadiri tentang Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani.c. Mampu berjalan di atas air dan terbang di udara. An Nabhani menceritakan hal itu tentang diri Muhammad As Sarwi yg dikenal dgn Ibnu Abil Hamaa’il.d. Dapat menunaikan shalat lima waktu di Makkah padahal mereka ada di negeri yg sangat jauh. An Nabhani membela perbuatan wali-wali mereka tersebut.e. Memiliki kesanggupan utk memberi janin pada seorang ibu walaupun tidak ditakdirkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sekali lagi kedustaan Muhammad Shadiq Al Qaadiri tentang Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani.Dan masih ada lagi keanehan-keanehan yg ada pada tokoh-tokoh atau wali-wali mereka.<br /><br />Subhanallah semua itu adl kedustaan yg nyata! Sebelumnya Ibnu Arabi menyatakan kalau kedudukan wali itu lbh tinggi dari pada nabi. Didalam sebuah syairnya dia mengatakan:Kedudukan puncak kenabian berada pada suatu tingkatanSedikit dibawah wali dan diatas rasulDemikian juga Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kami telah mendalami suatu lautan yg para nabi hanya mampu di tepi-tepinya saja.” 4. Seorang Wali Tidak Terikat Dengan Syariat IslamAsy Sya’rani menyatakan bahwa Ad Dabbagh pernah berkata: “Pada salah satu tingkatan kewalian dapat dibayangkan seorang wali duduk bersama orang-orang yg sedang minum khamr dan dia ikut juga minum bersama mereka. Orang-orang pasti menyangka ia seorang peminum khamr namun sebenarnya ruhnya telah berubah bentuk dan menjelma seperti yg terlihat tersebut. 5. Seorang Wali Harus Ma’shum Ibnu Arabi berkata: “Salah satu syarat menjadi imam kebatinan adl harus ma’shum. Adapun imam dhahir tidak bisa mencapai derajat kema’shuman.” {Al Futuuhaat Al Makkiyah 3/183}6. Seorang Wali Harus Ditaati Secara MutlakAl Ghazali berkata: “Apapun yg telah diinstruksikan syaikhnya dalam proses belajar mengajar maka hendaklah dia mengikutinya dan membuang pendapat pribadinya. Karena kesalahan syaikhnya itu lbh baik daripada kebenaran yg ada pada dirinya.” 7. Perbuatan Maksiat Seorang Wali Dianggap Sebagai KaramahDalam menceritakan karamah Ali Wahisyi Asy Sya’rany berkata: “Syaikh kami itu bila sedang mengunjungi kami dia tinggal di rumah seorang wanita tuna susila/pelacur.” {Ath Thabaqaatul Kubra 2/135}8. Karamah Menjadikan Seorang Wali Memiliki Kema’shumanAl Qusyairi berkata: “Salah satu fungsi karamah yg dimiliki oleh para wali agar selalu mendapat taufiq utk berbuat taat dan ma’shum dari maksiat dan penyelisihan syari’at.” {Ar Risalah Al Qusyairiyah hal.150}Para pembaca dari bahasan diatas akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwasanya pengertian wali menurut kaum sufi sangatlah rancu dan menyimpang krn dgn pengertian sufi tersebut siapa saja bisa menjadi wali walaupun ia pelaku kesyirikan bid’ah atau kemaksiatan. Ini jelas-jelas bertentangan dgn Al Qur’an As Sunnah dan fitrah yg suci.Wallahu a’lam bishshawaab.HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU YANG TERSEBAR DIKALANGAN UMATHadits Ubadah bin Shamit :الأَبْدَالُ في هَذِهِ الأُمَّةِ ثَلاَثُوْنَ …“Wali Al Abdaal di umat ini ada 30 orang…”Keterangan:Asy Syaikh Al Albani rahimahullah banyak membawakan hadits tentang wali Al Abdaal didalam Silsilah Adh Dha’ifah hadits no. 936 1392 1474 1475 1476 1477 1478 1479 2993 4341 4779 dan 5248.Beliau mengatakan bahwa seluruh hadits tentang wali Al Abdaal adl lemah tidak ada satupun yang shahih.<br /><br />sumber : file chm Darus Salaf 2Hamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-64360137956870048442010-03-23T02:59:00.000-07:002010-03-23T03:22:47.632-07:00Tokoh-Tokoh LIberal Beserta Perkataan Bathilnya !!!“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (QS As-Shaff: 8).<br /><br />“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: ‘Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah’, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS At-Taubah: 59).<br /><br />“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS Al-An’aam: 112).<br /><br />Berikut ini kumpulan lontaran tokoh-tokoh liberal hasil pelacakan Adian Husaini, kemudian dikomentari oleh Hartono Ahmad Jaiz.<br /><br />Islam Liberal Meruntuhkan dasar Islam<br /><br />1. Merusak makna Islam, Iman, mukmin, dan kafir.<br />2. Mendelegitimasi (meragukan keabsahan) Mushaf Utsmani dan menawarkan al-Quran Edisi Kritis.<br />3. Mempersamakan al-Quran dan Kitab Agama lain.<br />4. Mendelegitimasi (meragukan keabsahan) tafsir al-Quran.<br />5. Meruntuhkan syari’at Islam.<br />6. Mengikuti jejak Yahudi-Kristian.<br /><br />Program Liberalisasi Islam (Dr. Greg Barton)<br /><br />1. Pentingnya konstekstualisasi ijtihad.<br />2. Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan.<br />3. Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama<br />4. Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.<br /><br />Tokoh-tokoh Awal Islam Liberal di Indonesia (Greg Barton)<br /><br />1. KH Abdurrahman Wahid (tokoh NU –Nahdlatul Ulama dan pernah menjadi presiden Republik Inonesia 1999-2001 yang diturunkan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) pimpinan Amien Rais dalam sidangnya, karena kasus dana Bulog (Badan Urusan Logistik). Tokoh yang sbutannya Gus Dur ini dikenal nyeleneh, di antaranya melontarkan bahwa lafal Assalamu’alaikum bisa saja diganti dengan selamat pagi).<br />2. Prof. Dr. Nurcholish Madjid (alumni Chicago Amerika 1984/1985 dikenal melontarkan gagasan sekularisasi, dan menerjemahkan kalimah syahadat menjadi tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar).<br />3. Ahmad Wahib (mendiang), (orang HMI –Himpunan Mahasiswa Islam—yang diasuh oleh beberapa pendeta Nasrani kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat-Teologia katolik Driyarkara di Jakarta. Dia sangat liberal dan berfaham semua agama sama, hingga Karl Marx pun surganya sama dengan surga Nabi Muhammad saw).<br />4. Djohan Effendi (orang HMI yang resmi menjadi anggota Ahmadiyah di Jogjakarta, dan memasarkan faham liberal dan pluralisme agama dengan Ahmad Wahib dalam training-training HMI. Kemudian menyunting buku catatan Harian Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam bersama Ismet Nasir keluaran Driyarkara sebagaimana Ahmad Wahib. Buku itu menggegerkan umat Islam tahun 1982, dan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) pimpinan KH Syukri Ghazali dan KH Hasan Basri, buku itu harus dicabut. Namun buku itu didukung oleh bekas menteri agama, Mukti Ali, dan surat dari Litbang Departemen Agama dengan alasan bahwa buku itu ilmiyah. Pemrotes utama selain MUI dan para pemuda Islam adalah Prof Dr HM Rasjidi mantan menteri agama RI pertama).<br /><br />Ungkapan-ungkapan Nyeleneh Orang Liberal dan Bantahannya<br /><br />Prof. Dr. Nurcholish Madjid:<br />Umat Islam pun diperintahkan untuk senantiasa menegaskan bahwa kita semua, para penganut kitab suci yang berbeda-beda itu, sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, dan sama-sama pasrah (muslimun) kepada-Nya.<br /><br />Komentar:<br />Ini satu bentuk penyembunyian kebenaran. Sebab Allah menegaskan dalam Al-Qur’an: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah: 29).<br /><br />Dr. Alwi Shihab, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa:<br />Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan.<br /><br />Komentar:<br />Ungkapan itu bertentangan dengan ayat-ayat Allah: “ Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali Imran: 85).<br /><br />“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putera Maryam’, padahal Al Masih (sendiri) berkata: ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (QS Al-Maaidah: 72).)<br /><br />Muhammad Ali, Pengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta:<br />Ayat-ayat surat Ali Imran: 19 dan 85 harus ditafsirkan dalam kerangka pluralisme, yakni “Islam” di dalam ayat itu, harus diartikan sebagai “agama penyerahan diri” .<br /><br />Komentar:<br />Ungkapan itu bertentangan dengan sabda Nabi saw:<br />Hadits dari Abi Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda, Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, tidaklah mendengar padaku seseorang dari umat ini, baik dia itu Yahudi ataupun Nasrani, kemudian dia mati dan tidak beriman dengan (Islam) yang aku diutus dengannya kecuali dia termasuk penghuni-penghuni neraka.” (HR Muslim).<br /><br />Prof. Dr. KH Said Aqiel Siradj, Ketua Syuriah Nahdlatul Ulama:<br />Agama yang membawa misi Tauhid adalah Yahudi, Nasrani (Kristen) dan Islam.<br /><br />Komentar:<br />Perkataan itu bertentangan dengan ayat:<br />“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’ dan orang Nasrani berkata: ‘Al Masih itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS At-Taubah: 30).<br /><br />Ulil Abshar Abdalla, Kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal):<br />Semua agama sama.<br />Semuanya menuju jalan kebenaran.<br />Jadi, Islam bukan yang paling benar.<br /><br />Komentar:<br />Ungkapan itu bertentangan dengan ayat:<br />“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran; 85).<br />“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS Al-Baqarah: 147).<br />“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS Yunus: 32).)<br /><br />Sukidi, Direktur Eksekutif Pusat Studi Agama dan Peradaban Pimpinan Pusat Muhammadiyah:<br />Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur (Nurkholis Madjid) diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah ke hadirat Tuhan. Kepasrahan ini, menjadi ciri pokok semua agama yang benar. Inilah world view Al Quran, bahwa semua agama yang benar adalah al-Islam…<br /><br />Komentar:<br />Ya, tetapi Al-Qur’an tidak seperti yang dimaui Nurcholish. Al-Qur’an menegaskan, ahli kitab [Yahudi dan Nasrani] -yang tidak mau masuk Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw- itu kafir:<br />“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6).<br /><br />Dr. Djalaluddin Rakhmat, orang Bandung yang menyebut dirinya Susi, Sunni-Syi’ah (satu sebutan yang sangat aneh):<br />Dalam Al-Qur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.<br /><br />Komentar:<br />Perkataan tokoh Syi’ah yang tidak berterus terang dirinya Syi’ah ini bertentangan dengan ayat:<br /><br />“Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: ‘Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka’. Orang-orang kafir berkata: ‘Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata’…” (QS Yunus: 2)<br /><br />Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Pengajar di Fakultas Usuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta (14 Jun 2000):<br />Di masa Nabi Muhammad saw, orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak dikatakan sebagai kafir, tetapi disebut ahlul kitab.<br /><br />Komentar:<br />Perkataan ini bertentangan dengan ayat:<br />“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’ dan orang Nasrani berkata: ‘Al Masih itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS At-taubah: 30).<br /><br />“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS At-taubah: 31).<br /><br />“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS At-Taubah: 32).<br /><br />“Orang-orang kafir” dalam ayat itu penekanan pembicaraan ayat sebelumnya jelas Yahudi dan Nasran, jadi siapa lagi kalau bukan mereka. Juga tegas-tegas Allah menyebutkan:<br />“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6).<br /><br />Prof. Dawam Rahardjo, Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah:<br />Ahmadiyah (golongan yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi selepas Rasulullah) sama dengan kita…. Jadi kita tidak bisa menyalahkan atau membantah akidah mereka, apapun akidah mereka itu.<br /><br />Komentar:<br />Ungkapan Dawam itu menyalahi Al-Qur’an:<br />“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Ahzaab: 40).<br /><br />Dan bertentangan dengan hadits:<br />1092. Hadis Abu Hurairah r.a: Nabi s.a.w bersabda: “Segala urusan Bani Israel diatur oleh para Nabi. Apabila seseorang Nabi itu meninggal dunia, dia digantikan oleh seorang Nabi yang lain. Tetapi sesungguhnya tidak akan ada Nabi sesudahku. Pada suatu ketika nanti akan muncul Khalifah. Para Sahabat bertanya: ‘Apakah yang anda perintahkan kepada kami?’ Nabi s.a.w menjawab: ‘Patuhilah pelantikan khalifah yang pertama, kemudian yang seterusnya. Penuhilah hak-hak mereka, sesungguhnya Allah akan menanyakan tentang apa yang telah dipertanggungjawabkan kepada mereka’…” (HR Muttafaq ‘alaih).<br /><br />Ahmad Baso, aktivis Jaringan Islam Liberal, tokoh muda NU:<br />Mushaf Utsmani adalah konstruk Quraisy terhadap al-Qur’an dengan mengabaikan sumber-sumber Mushaf lainnya.<br /><br />Komentar:<br />Ini salah satu hujatan terhadap para sahabat Nabi Muhammad saw tanpa bukti ilmiah dan akhlaq baik, sekaligus untuk menanamkan racun keraguan terhadap kemurnian Al-Qur’an. Allah-lah yang akan menghakiminya bila penguasa di dunia tidak mau.<br /><br />Taufik Adnan Amal, Pengajar Ulumul Qur’an di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Alaudin Makasar:<br />… proses tersebut (pembukuan Mushaf Utsmani) masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini<br /><br />Komentar:<br />Yang memiliki sejumlah masalah mendasar bukan pembukuan Mushaf Utsmani, tetapi otak pelontar ini sendiri yang telah dicocok hidungnya oleh para orientalis Yahudi dan Kristen yang anti Islam. Padahal mereka sudah mencari-cari masalah yang ingin mereka sebarkan untuk meragukan kemurnian Al-Qur’an sejak berlama-lama tidak berhasil, maka kini punya murid dari kalangan yang mengaku dirinya Muslim, maka gembiralah mereka. Hanya saja, kenapa untuk menggembirakan orang yang anti Islam, mesti mengorbankan keilmuan dan keyakinan. Itulah masalahnya yang mendasar, dan lebih drastis ketimbang sekadar apa yang ia sebut sejumlah masalah mendasar.<br /><br />Ulil Abshar Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal:<br />Menurut saya, tidak ada yang disebut “hukum Tuhan” dalam pengertian seperti difahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dsb.<br /><br />Komentar:<br />Ungkapan ini mengingkari ayat Al-Qur’an, hadits Nabi saw, dan pernikahan yang dia lakukan sendiri pula, yang tentu saja memakai hukum Islam, yaitu hukum Allah swt yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kalau dia nanti mati, mau dikubur dengan cara apa, kalau tidak mengakui adanya hukum Tuhan?<br /><br />Hukum Tuhan dia anggap tidak ada, tetapi perkataan orang-orang kafir pun dia kais-kais sebagai landasan dalam berbicara dan menulis. Padahal, menirukan perkataan orang kafir itulah kecaman berat yang difirmankan Allah swt dalam surat Al-Bara’ah atau At-Taubah. Nama surat al-Bara’ah itu sendiri sudah mengandung makna “lepas diri” tidak mau cawe-cawe terhadap kafirin, yaitu Ahli Kitab dan musyrikin plus munafiqin. Tetapi mengapa justru orang-orang yang wajib dibaro’ahi itu oleh Ulil Abshar Abdalla dan sindikatnya dijadikan boss, pemberi dana, pengarah, pembimbing, dan pemberi petunjuk; hingga perkataan nenek moyangnya yang menentang Allah swt pun dikais-kais untuk dimunculkan sebagai racun terhadap umat Islam? Betapa keblingernya ini.<br /><br />Kalau orang atheis tidak mengakui adanya Tuhan, maka orang yang menirukannya cukup mengatakan, tidak ada hukum Tuhan.<br /><br />Kalau orang bertauhid meyakini bahwa Tuhan itu hanya satu, maka orang musyrik menambahnya menjadi dua, tiga, dan banyak. Sebaliknya orang atheis meniadakan Tuhan sama sekali.<br /><br />Akibatnya, orang bertauhid mengikuti hukum Allah swt apa adanya. Orang musyrik menambah-nambah dan membuat-buat hukum semau mereka, sedang orang yang tidak percaya Allah maka mereka menganggap hukum Allah tidak ada, lalu mereka membuat sendiri atau menirukan kafirin terdahulu dan menolak hukum apa saja yang dari Allah swt.<br />Jadi, kesimpulannya hanyalah menolak hukum Allah, sambil mengais-ngais apa saja yang dari kafirin. Tentu saja setelah duitnya.<br />Sialnya, kemungkinan nanti dia tidak ke sana tidak ke sini –laa ilaa haaulaa’ walaa ilaa haa ulaa’ . Pihak kafirin tidak percaya kepadanya, sedang pihak mukminin pun marah kepadanya. Tragis benar!<br /><br />Ulil Abshar Abdalla:<br />Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.<br /><br />Komentar<br />Apakah Ulil mendapatkan mandat dari Allah swt untuk membatalkan ayat-ayat Allah? Di antaranya QS Al-Mumtahanah/60: 10 dan QS Al-Baqarah 221. Padahal jelas sudah tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Jadi Ulil sedang menangkringkan dirinya sebagai “Tuhan”?<br /><br />Allah Ta’ala berfirman:<br />“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10).<br /><br />“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah: 221).<br /><br />Prof. Dawam Rahardjo, Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Presiden III-T Indonesia:<br />“… menurut hemat saya, Ulil justru mengangkat wahyu Tuhan di atas syariat.”<br /><br />Komentar:<br />Bukan mengangkat wahyu Tuhan, tetapi mengangkat dirinya sendiri disejajarkan dengan Tuhan. Sedang yang mendukungnya ini ingin memisahkan syari’at dengan wahyu. Jadi sama-sama rusaknya, saling dukung mendukung.<br /><br />Dr. Zainun Kamal, pengajar Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta:<br />“Hanya sebahagian ulama yang berpendapat muslimah haram menikah dengan non-muslim.”<br /><br />Komentar:<br />Ulama tidak berpendapat pun Al-Qur’an dan Hadits sudah ada. Ulama pun faham bahwa tidak ada ijtihad mengenai yang sudah ada nashnya (teks ayat atau hadits yang sudah jelas dan tegas maknanya). Ayatnya sudah jelas:<br />“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS al-Mumtahanan/ 60: 10).<br /><br />Dr. Muslim Abdurrahman, tokoh Muhammadiyah:<br />Korban Pertama dari Penerapan Syari’at Adalah Perempuan.<br /><br />Komentar:<br />Ini sama dengan menuduh Allah swt yang mensyari’atkan syari’at untuk manusia itu zhalim. Perkataan itu sangat terlalu. Kalau Allah dianggap dhalim, apakah justru syetan yang adil?<br /><br />“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maaidah: 50).<br /><br />Orang yang “tidak doyan” syari’at model ini kalau buang air apakah tidak cebok? Dan kalau cebok, mungkin merasa dirinya jadi korban syari’at. Lantas kalau dirinya mati nanti, menurut Adian Husaini, dipersilakan jasad model orang yang menolak ditegakkannnya syari’at itu agar dicantelkan saja di pohon, tidak usah dikubur. Karena menguburkan jenazah itu termasuk bagian dari syari’at.<br /><br />KH Abdurrahman Wahid:<br />Bagi saya, peringatan Natal (Krismas) adalah peringatan kaum Muslimin juga. Kalau kita konsekuen sebagai seorang Muslim merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw, maka adalah harus konsekuen merayakan malam Natal.<br /><br />Komentar:<br />Pernyataan Gus Dur itu waktu dia jadi presiden RI. Meskipun presiden, kalau menyalahi Islam ya tetap salah.<br /><br />“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS Al-Maaidah: 51).<br /><br />“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS At-Taubah: 23).<br />“Barangsiapa menyerupai dengan suatu kaum maka dia termasuk (golongan) mereka.” (HR Abu Daud, kata As-Sakhowi ada yang dha’if tapi punya syawahid/ saksi-saksi. Ibnu Taimiyyah berkata, sanadnya jayyid/ baik. Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari berkata, sanadnya hasan/ bagus).<br /><br />Ucapan Abdullah bin Amru bahwa ia berkata: “Barangsiapa membangun di bumi musyrikin dan membuat nairuz dan mahrojan mereka (upacara hari-hari besar kafirin/ musyrikin) dan menyerupai dengan mereka sehingga mati maka dia akan dikumpulkan bersama mereka (musyrikin) di hari Kiamat.” (Sunan Al-Baihaqi al-Kubro, lihat Aunul Ma’bud syarah Sunan Abi Dawud, dan Faidhul Qadir).<br /><br />Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah, bekas rektor IAIN Jogjakarta:<br />“Tafsir-tafsir klasik Al-Quran tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat.”<br /><br />Komentar:<br />Ini mengingkari ilmu. Sebab tafsir-tafsir klasik itu menyampaikan warisan ilmu dari Nabi Muhammad saw yang disampaikan kepada para sahabat, diwarisi tabi’in, lalu tabi’it tabi’in, yang kemudian diwairisi para ulama. Dengan cara menafikan makna dan fungsi tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an, maka sebenarnya yang akan dibabat justru Al-Qur’annya itu sendiri. Karena kalau umat Islam sudah menafikan tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an, maka tidak tahu lagi mana makna yang rajih (kuat) dan yang marjuh (lemah) dalam mengetahui isi Al-Qur’an. Di samping itu, masih mengingkari keadaan manusia. Seakan-akan manusia sekarang ini bukanlah manusia model dulu, tetapi makhluq yang baru sama sekali, tidak ada sifat-sifat kesamaan dengan manusia dulu. Padahal, dari dulu sampai sekarang, dan insya Allah sampai nanti, ciri-ciri dan sifat-sifat manusia itu sama. Yang munafiq ya ciri-ciri dan sifat-sifatnya sama dengan munafiq zaman dulu. Yang kafir pun demikian. Sedang yang mu’min sama juga ciri dan sifatnya dengan mu’min zaman dulu. Maka Allah telah mencukupkan Islam sebagai agama yang Dia ridhai, dan Al-Qur’an menjadi pedoman sepanjang masa, karena manusia zaman diturunkannya Al-Qur’an itu sifatnya sama dengan zaman sekarang ataupun nanti. Tinggal tergolong yang mana? Mu’min, munafiq atau kafir. Hanya itu.<br /><br />Apalagi hanya tafsirnya, sedang Al-Qur’annya itu sendiri tidak menambah apa-apa kecuali menambah kerugian bagi orang-orang dhalim, dan menambah larinya orang-orang kafir dari kebenaran, memang.<br /><br />Allah swt berfirman:<br />“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS Al-Israa’: 82).<br />“Dan sesungguhnya dalam Al Qur’an ini Kami telah ulang-ulangi (peringatan-peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).” (QS Al-Israa’: 41)Hamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-52694008463350455912010-03-23T02:58:00.000-07:002010-03-23T02:59:55.195-07:00Fatwa Ulama tentang penyingkatan Salam ( ASS WR WB ) dan Shalawat ( SAW )Seringkali kita dapati banyak kaum muslimin yang menyingkat salam dan shalawat dalam tulisan mereka baik, di dalam surat, artikel maupun di buku-buku. Terkadang assalamu’alaikum mereka singkat dengan “ASS” dan shalawat (shallallahu ‘alaihi wasallam) disingkat dengan “SAW”. Bagaimana sebenarnya hukum dalam permasalahan ini? Marilah kita baca fatwa para ulama yang berkenaan dengan penyingkatan ini:<br /><br />1. Fatwa Syaikh Wasiyullah Abbas (Ulama Masjidil Haram, pengajar di Ummul Qura)<br /><br />Soal:<br /><br />Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan س- ر-ب. Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb” – pent). Apa hukum masalah ini?<br /><br />Jawab:<br /><br />Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula menyingkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.<br /><br />Diterjemahkan dari www.bakkah.net<br /><br />2. Fatwa Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)<br /><br />Soal: Bolehkah menulis huruf ص yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?<br /><br />Jawab:<br /><br />Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.<br /><br />Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf – ص atau ص- ع – و (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis.<br /><br />Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.<br /><br />Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.<br /><br />Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa<br /><br />Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;<br />Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;<br />Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;<br />Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood<br /><br />(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa., – Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dariFatwa No.5069)<br /><br />Source: http://wiramandiri.wordpress.com/2007/12/18/fatwa-ulama-tentang-penyingkatan-salam-dan-shalawat<br /><br />Diterjemahkan dari www.bakkah.net untuk http://ulamasunnah.wordpress.comHamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-3362174542234682062010-03-23T02:56:00.000-07:002010-03-23T02:58:28.742-07:00Meluruskan sejarah Biografi Syeikh Abdul Qadir JailaniSiapakah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani <br /><br />Nama beliau adalah Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang 'ulama bermadzhab Syafi'i yang tinggal di Baghdad. <br />Kelahiran dan wafatnya beliau : Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.<br />Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al Jailani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga dengan Kailan. Sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy. (Biaografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail 'Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).<br />Beliau wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi'ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.<br /><br />Masa muda beliau :<br />Beliau meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama' seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra' dan juga Abu Sa'ad Al Muharrimi. Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama'. Suatu ketika Abu Sa'ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak kuat menampungnya. Maka, diadakan perluasan.<br /><br />Murid-murid beliau :<br />Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama' terkenal. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga Syeikh Qudamah penyusun kitab figh terkenal Al Mughni. <br /><br />Perkataan ulama tentang beliau :<br />Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir, beliau menjawab, " kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu." Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A'lamin Nubala XX/442).<br /><br />Beliau adalah seorang 'alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, "thariqah" yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Diantaranya dapat diketahui dari perkataan Imam Ibnu Rajab, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik 'ulama dan para ahli zuhud. Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah. <br /><br />Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri' Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir Al Lakh-mi Asy Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya ). Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar”. Imam Ibnu Rajab bekata : ” Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah mansyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh (dari agama dan akal ), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas. (Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya.) semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja'far Al Adfwi (Nama lengkapnya ialah Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang 'ulama bermadzhab Syafi'i. Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitan Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.) telah menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini."(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.). Imam Ibnu Rajab juga berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah memiliki yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. <br /><br />Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah ." Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, " Dia ( Allah ) di arah atas, berada diatas 'arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu." Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata " Sepantasnya menetapkan sifat istiwa' ( Allah berada diatas 'arsyNya ) tanpa takwil ( menyimpangkan kepada makna lain ).<br />Dan hal itu merupakan istiwa' dzat Allah diatas arsys." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 515). Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, " Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali (kekasih) yang tidak berada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal?" Maka beliau menjawab, " Tidak pernah ada dan tidak akan ada."( At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 516). <br /><br />Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap manhaj Salaf.<br />Sam'ani berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau." Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,"Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat." <br />Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan bekiau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, "Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau."( Siyar XX/451 ). <br />Imam Adz Dzahabi juga berkata, " Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi ". <br /><br />Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, " Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jailani ) didalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf."<br />(At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).<br />Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang 'alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a'lam bishshawwab. <br /><br />Kesimpulannya beliau adalah seorang 'ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu'alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan. Karena Rasulullah shollallahu 'alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun. <br /><br />Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah ( perantara ) dalam do'a mereka. Berkeyakinan bahwa do'a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meningal sebagai perantara, maka tidak ada syari'atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo'a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do'a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo'a kepada selain Allah, <br /><br />Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya disamping ( menyembah ) Allah. ( QS. Al-Jin : 18 ) <br /><br />Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para 'ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari'ah. <br />Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini. <br />Wallahu a'lam bishshawab<br /><br />[Sumber : Majalah Assunnah Edisi 07/Tahun VI/1423H/2002M]Hamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-57464157045540940862010-03-23T02:48:00.000-07:002010-03-23T02:56:11.308-07:00Jangan sembarangan memanggil seseorang dengan gelar 'Ustadz'!Tidak setiap orang yang memiliki ilmu itu disebut ustadz. 'Gelar' Ustadz itu tidak sembarangan. Ustadz adalah AHLI ILMU. Gelar ustadz itu tidak sembarangan diberikan, dan hanya orang yang pantaslah yang berhak memberikan gelar ini. Maka gelar ini harus datang dari ustadz lainnya; bukan datang dari orang-orang selainnya. Maka janganlah kita menyebut seseorang ustadz; terkecuali ia memang diakui ustadz oleh USTADZ lainnya. dan memang ia memiliki STANDAR-STANDAR yang memang menjadikannya PANTAS menjadi seorang ustadz. Ini yang perlu dipahami ya ikhwah..<br /><br />Banyak yang tidak mengetahui mudharat-mudharat yang dihasilkan dari kekeliruan ini. Dengan sembarangannya seseorang menggelari seseorang dengan gelar ustadz (terlebih lagi orang yang digelari tersebut tidak berhak dengan gelar tersebut) maka ini akan merusak ilmu. Kenapa? karena ini dapat mempengaruhi orang lain untuk menimba ilmu darinya (menuntut ilmu kepadanya, bertanya ilmu kepadanya; dll.) padahal dia belum pantas untuk menjadi seorang GURU atau PENGAJAR atau DA'I atau ULAMA atau AHLI ILMU! <br /><br />Dan yang sangat dikhawatirkan adalah ketika orang yang digelari tersebut TIDAK TAHU DIRI, dan semakin BERLAGAK seperti USTADZ. Allahul musta'aan. Sehingga dia -ustadz jadi-jadian tersebut- ditanyakan ilmu, dan ia pun BERFATWA TANPA ILMU [bahkan terkadang ini kita dapati kepada saudara-saudara kita yang juga SUDAH MENGENAL MANHAJ YANG BENAR, walaupun ia tidak dipanggil ustadz, dan tidak mengaku ustadz; tapi ia banyak berbicara DENGAN KEBODOHAN (tanpa ilmu) dan KERAGU-RAGUAN (tanpa kemantapan ilmu)]. <br /><br />Inilah yang menjadi pembuktian akan hadits-hadits Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam:<br /><br /><br />لَيْسَ مِنْ أُمَّتِيْ مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفُ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ<br /><br />Laysa min ummatiy man lam yujilla kabiyranaa wa yarham shagiyranaa, ya'rifu li'aaliminaa haqqåhu<br /><br />“Bukan dari ummatku siapa yang tidak menghormati orang yang besar dari kami dan tidak merahmati orang yang kecil dari kami dan tidak mengetahui hak orang yang alim dari kami.” <br /><br />(Dihasankan oleh Syaikh Al Albany dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir )<br /><br /><br />Mereka tidak menghormati orang besar; sekaligus tidak mengetahui hak-hak orang lain. Bahkan mereka tidak memberikan orang alim hak-haknya (yakni menuntut ilmu kepada selainnya), yaitu dengan mengangkat orang-orang yang BUKAN AHLI ILMU sebagai pemimpin mereka dalam beragama.<br /><br />Padahal Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam bersabda:<br /><br />الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ<br /><br />al-Barakatu ma'a akaabirikum<br /><br />“Berkah itu bersama orang-orang besarnya kalian.” <br /><br />(Dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah no. 1778)<br /><br /><br />Dalam riwayat lain, Rasulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam bersabda, yang artinya:<br /><br />“Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil)”<br /><br /><br />Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir ?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran (akal) mereka semata". Banyak pendefinisian 'ulama mengenai al-Ashaaghir ini, termasuk didalamnya adalah ahlul bid'ah.<br /><br />Dan apa yang mereka lakukan, yakni mengangkat pemimpin agama yang bodoh; menjadi pembuktian akan kebenaran hadits Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam berikut:<br /><br /><br />إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ<br /><br />innallåha laa yaq'-bidhul 'ilma intizaa-'an yantazi'uhu minal 'ibaadi<br /><br />Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari para hamba(Nya)<br /><br />وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ <br /><br />walakin, yaq'-bidhul 'ilma biqåb'-dhil 'ulamaa'<br /><br />Akan tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut (mewafatkan) para ulama.<br /><br />حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّا سُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً<br /><br />hatta idzaa lam yub'-qa-'aa limanit-takhadzann-naasu ru-uusan juhhalaa<br /><br />Sampai bila tidak tersisa lagi seorang alim maka manusia pun mengambil para pemimpin yang bodoh<br /><br />فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ <br /><br />fasuiluw fa-aftaw bi ghayri 'ilm<br /><br />Maka mereka pun ditanya lalu mereka memberi fatwa tanpa ilmu.<br /><br />فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا<br /><br />fadhålluw wa adhållu<br /><br />Maka sesatlah mereka lagi menyesatkan<br /><br />(HR. Bukhariy dan Muslim)<br /><br /><br />Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam juga bersabda:<br /><br /><br />سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ <br /><br />saya'tiy 'alann-naas, sanawaatun khad-daa 'aatun<br /><br />“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu<br /><br />يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ <br /><br />yushåddaqa fiyhal kaadzib<br /><br />Akan dipercaya/dibenarkan padanya orang yang berdusta <br /><br />وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ <br /><br />wa yukadzzabu fiyhash shaadiq<br /><br />dan dianggap berdusta orang yang jujur, <br /><br />وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ <br /><br />wa yu'tamanu fiyhal khååinu<br /><br />orang yang berkhianat dianggap amanah <br /><br />وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الْأَمِيْنُ <br /><br />wa khåwwanu fiyhal amiinu<br /><br />dan orang yang amanah dianggap berkhianat <br /><br />وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ <br /><br />wa yantiqu fiyhaa ar-ruwaibidhåh<br /><br />dan akan berbicara Ar-Ruwaibidhah. <br /><br />قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ <br /><br />qiyla: wa maa ar-ruwaibidhåh?<br /><br />Ditanyakan, ‘ Siapakah Ar-Ruwaibidhah itu?'<br /><br />قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِيْ أَمْرِ الْعَامَّةِ<br /><br />qååla: ar-rajulut-taafiu yatakallamu fiy amril ammah<br /><br />(Beliau shållallåhu 'alayhi wa sallam) berkata: ‘ Orang yang bodoh berbicara dalam perkara umum.”<br /><br />(HR. Ibnu Majah, Disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah, juga dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain )<br /><br /><br />Berkata Ibnu Mas'ud Rådhiyallåhu 'anhumaa:<br /><br />“Manusia masih akan senantiasa sebagai orang yang shalih lagi berpegang teguh sepanjang ilmu datang kepada mereka dari para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan orang-orang besar mereka. Maka apabila (ilmu) datang kepada mereka dari orang-orang kecil [orang-orang bodoh yang bicara masalah agama dan orang-orang menyimpang (ahlul bid'ah) -abu zuhriy], binasalah mereka.” <br /><br />(Lihat takhrijnya dalam kitab Madarik An-Nazhar hal. 161) <br /><br /><br />Ukuran seorang 'ulama (ahli 'ilm)<br /><br />Berkata Ibnul Qayyim dalam I’lam Al-Muwaqqi’in 4/212, <br /><br />“(Yaitu) Orang yang alim terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan perkataan para shahabat, maka dialah mujtahid (ahli ijtihad) pada perkara-perkara nawazil*."<br /><br /><br />*Maksudnya yaitu kejadian-kejadian atau masalah-masalah kontemporer yang pelik, yang terjadi pada kaum muslimin<br /><br />Ibnu Rajab mencontohkannya seperti Imam Ahmad, kemudian beliau menjelaskan sisi kepantasan Imam Ahmad untuk berfatwa dalam nawazil. Di antara kriteria Imam Ahmad yang disebutkan oleh Ibnu Rajab yaitu:<br /><br />- Beliau telah mencapai puncak pengetahuan tentang Al-Qur`an, As-Sunnah dan Al-Atsar. <br /><br />- Ilmu Al-Qur`an di antaranya tentang An-Nasikh Wal Mansukh, Al-Mutaqaddim Wal Muta`akhkhir serta tafsir para shahabat dan tabi’in. <br /><br />- Ilmu As-Sunnah di antaranya hafalan beliau terhadap hadits, pengetahuan tentang shahih dan dhaif suatu hadits, pengetahuan tentang rawi-rawi yang tsiqah dan majruh, serta pengetahuan tentang jalan-jalan hadits dan cacat-cacatnya. <br /><br /><br />Walaupun kita mengetahui zaman sekarang, terutama di negeri kita; sangat amat sulit mendapatkan kriteria yang ditetapkan Ibnu Rajab diatas, namun yang kita ambil darinya adalah BEGITU TINGGINYA standar yang ditetapkan oleh para ulama akan standar AHLI ILMU, karena mereka tahu AHLI ILMU memegang amanah yang besar, yang tidak dipegang oleh sembarang orang. Maka cukuplah disebut dosa, apabila orang tidak menempatkan amanah pada tempatnya; diantara yakni jika ia tidak menempatkan hak-hak ahli ilmu pada tempatnya.<br /><br />Allah Subhanahu Wa Ta ’ala berfirman,<br /><br />إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا<br /><br />Innallåha ya'murukum an tu-adduwl amaanaati ILAA AHLIHAA <br /><br />Sesungguhnya Allah MENYURUH KAMU (untuk) menyampaikan amanat kepada YANG BERHAK MENERIMANYA, <br /><br />وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ<br /><br />Wa idzaa hakamtum baynann-naasi antahkumu bil 'adl<br /><br />Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil<br /><br />(An-Nisaa': 58)<br /><br /><br />Kemudian Allåh memberikan solusinya kepada siapakah kita pantas bertanya jika kita tidak memiliki pengetahuan, Ia berfirman:<br /><br /><br />فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ<br /><br />fas aluw AHLADZ DZIKRI inkuntum laa ta'lamuwn<br /><br />Maka BERTANYALAH kepada AHLI DZIKR (AHLI 'ILMU) jika kamu tidak mengetahui<br /><br />(An-Nahl: 43)<br /><br /><br />Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, ketika ditanya tentang kapan terjadinya hari kiamat, bersabda,<br /><br /><br />فَإِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ <br /><br />fa idzaa duyyi'atil amaanah, fantazhirus-saa'ah<br /><br />“Apabila amanah telah ditelantarkan maka tunggulah hari kiamat.”<br /><br />قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا <br /><br />qååla: kayfa idhåå 'atuhaa <br /><br />(Maka ada yang) bertanya, “Kapan ditelantarkannya?” <br /><br />قَالَ إِذَا وُسِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ<br /><br />qååla: idzaa wusidal amru ila ghåyri ahlihi fantazhiris saa'ah<br /><br />Beliau shallallåhu 'alayhi wa sallam berkata, “Apabila perkara telah diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah hari kiamat.” <br /><br />(HSR. Bukhary dari shahabat Abu Hurairah)<br /><br /><br />Dari sini kita ketahui bahwa menyerahkan perkara agama yang khusus (yang terperinci) dan perkara-perkara besar kepada para ahli 'ilmu merupakan ushul ‘ pokok ’ syariat Islam yang dipegang oleh para imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah dari zaman ke zaman.<br /><br />Berkata Abu Hatim Ar-Razy Rahimahullah berkata: <br /><br />“Madzhab dan pilihan kami adalah mengikuti:<br /><br />- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam,<br />- Para shahabat beliau, <br />- Para tabi’in <br />- Dan orang-orang setelah mereka (yang mengikuti mereka) dengan baik, dan yang komitmen terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan membela para imam yang mengikuti jejak para ulama salaf. <br /><br />Dan pilihan kami (adalah) apa yang dipilih oleh Ahlus Sunnah dari para imam di berbagai negeri, seperti:<br /><br />- Malik bin Anas di Madinah <br />- dan Al-Auza’iy di Syam <br />- dan Al-Laits bin Sa’ad di Mesir <br />- dan Sufyan Ats-Tsaury <br />- serta Hammad bin Zaid di Iraq <br /><br />[Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 1 hal. 202 karya Al-Lalika`i]<br /><br /><br />Beliau melanjutkan:<br /><br />Dan (kami) meninggalkan pendapat-pendapat: <br /><br />- Al-Mulabbisin (orang-orang yang menyamar-nyamarkan perkara), <br />- Al-Mumawwihin (orang-orang yang mengaburkan perkara)<br />- Al-Muzakhrifin (orang-orang yang menghias-hiasi/memperindah perkara dari yang sebenarnya)<br />- Al-Mumakhriqin (para pembohong) lagi Al-Kadzdzabin (para pendusta) .” <br /><br />[Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 1 hal. 202 karya Al-Lalika`i.]<br /><br /><br />Berkata pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Minhajus Sunnah jilid 4 hal. 404, di tengah pembicaraan beliau terhadap masalah jihad (dan ini merupakan salah satu contoh perkara yang besar dan terperinci): <br /><br />"Secara global, pembahasan tentang perkara-perkara sedetil ini merupakan pekerjaan orang khusus dari para ulama.”<br /><br /><br />(Lihat rincian ini secara lengkap dalam kitab Madarik An-Nazhar Baina At-Tathbiqat Asy-Syar’iyah wa Al-Infi’alat Al-Hamasiyah. Kitab ini telah direkomendasikan oleh dua ulama besar di zaman ini yaitu Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah dan Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah) <br /><br />Maka janganlah sembarangan kita memberikan gelar-gelar seperti ustadz -dengan kebodohan kita- kepada orang yang tidak berhak menerimanya. Kita hanya memberikannya kepada orang yang memang pantas menyandangnya dan BERHAK menyandangnya. Semoga kita tidak menyianyiakan amanah ini dan dapat mengamalkannya dengan sebaik-baiknya.'<br /><br />Semoga bermanfa'atHamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-48491129550250743792010-03-23T02:42:00.000-07:002010-03-23T02:44:39.473-07:00WALI SONGO - MISTERI ISLAMISASI JAWABerikut Isi Tulisan Dari Prof. Hasanu Simon :<br /><br />I<br /><br />Sebelum saya sampaikan tanggapan dan komentar saya terhadap buku<br />berjudul "Syekh Siti Jenar, Ajaran dan Jalan Kematian", karya Dr Abdul<br />Munir Mulkhan, saya sampaikan dulu mengapa saya bersedia ikut menjadi<br />pembahas buku tersebut. Tentu saja saya mengucapkan terima kasih<br />kepada panitia atas kepercayaan yang diberikan kepada saya di dalam<br />acara launching buku yang katanya sangat laris ini.<br /><br />Saya masuk Fakultas Kehutanan UGM tahun 1965, memilih Jurusan<br />Manajemen Hutan. Sebelum lulus saya diangkat menjadi asisten, setelah<br />lulus mengajar Perencanaan dan Pengelolaan Hutan. Pada waktu ada<br />Kongres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta tahun 1978, orientasi sistem<br />pengetolaan hutan mengalami perubahan secara fundamental. Kehutanan<br />tidak lagi hanya dirancang berdasarkan ilmu teknik kehutanan<br />konvensional, melainkan harus melibatkan ilmu sosial ekonomi<br />masyarakat. Sebagai dosen di bidang itu saya lalu banyak mempelajari<br />hubungan hutan dengan masyarakat mulai jaman kuno dulu. Di situ saya<br />banyak berkenalan dengan sosiologi dan antropologi. Khusus dalam<br />mempelajari sejarah hutan di Jawa, banyak masalah sosiologi dan<br />antropologi yang amat menarik. <br /><br />Kehutanan di Jawa telah menyajikan sejarah yang amat panjang dan<br />menarik untuk menjadi acuan pengembangan strategi kehutanan sosial<br />(social forestry strategy) yang sekarang sedang dan masih dicari oleh<br />para ilmuwan. Belajar sejarah kehutanan Jawa tidak dapat melepaskan<br />diri dengan sejarah bangsa Belanda. Dalam mempelajari sejarah Belanda<br />itu, penulis sangat tertarik dengan kisah dibawanya buku-buku dan<br />Sunan Mbonang di Tuban ke negeri Belanda. Peristiwa itu sudah terjadi<br />hanya dua tahun setelah bangsa Belanda mendarat di Banten. Sampai<br />sekarang buku tersebut masih tersimpan rapi di Leiden, diberi nama<br />"Het Book van Mbonang", yang menjadi sumber acuan bagi para peneliti<br />sosiologi dan antropologi. <br /><br />Buku serupa tidak dijumpai sama sekali di Indonesia. Kolektor buku<br />serupa juga tidak dijumpai yang berkebangsaan Indonesia. Jadi<br />seandainya tidak ada "Het Book van Mbonang", kita tidak mengenal sama<br />sekali sejarah abad ke-16 yang dilandasi dengan data obyektif<br />Kenyataan sampai kita tidak memiliki data obyektif tentang Sunan<br />Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijogo, dan juga tentang Syekh Siti Jenar.<br />Oleh karena itu yang berkembang lalu kisah-kisah mistik bercampur<br />takhayul, termasuk misteri Syekh Siti Jenar yang hari ini akan kita<br />bicarakan. Kisah Walisongo yang penuh dengan mistik dan takhayul itu<br />amat ironis, karena kisah tentang awal perkembangan Islam di<br />Indonesia, sebuah agama yang sangat keras anti kemusyrikan. <br /><br />Pembawa risalah Islam, Muhammad SAW yang lahir 9 abad sebelum era<br />Wallsongo tidak mengenal mistik. Beliau terluka ketika berdakwah di<br />Tho'if, beliau juga terluka dan hampir terbunuh ketika perang Uhud.<br />Tidak seperti kisah Sunan Giri, yang ketika diserang pasukan Majapahit<br />hanya melawan tentara yang jumlahnya lebih banyak itu dengan<br />melemparkan sebuah bollpoint ke pasukan Majapahit. Begitu dilemparkan<br />bollpoint tersebut segera berubah menjadi keris sakti, lalu<br />berputar-putar menyerang pasukan Majapahit dan bubar serta kalahlah<br />mereka. Keris itu kemudian diberi nama Keris Kolomunyeng, yang oleh<br />Kyai Langitan diberikan kepada Presiden Gus Dur beberapa bulan lalu<br />yang antara lain untuk menghadapi Sidang Istimewa MPR yang sekarang<br />sedang digelar, dan temyata tidak ampuh. <br /><br />Kisah Sunan Kalijogo yang paling terkenal adalah kemampuannya untuk<br />membuat tiang masjid dari tatal dan sebagai penjual rumput di Semarang<br />yang diambil dari Gunung Jabalkat. Kisah Sunan Ampel lebih hebat lagi;<br />salah seorang pembantunya mampu melihat Masjidil Haram dari Surabaya<br />untuk menentukan arah kiblat. Pembuat ceritera ini jelas belum tahu<br />kalau bumi berbentuk bulat sehingga permukaan bumi ini melengkung.<br />Oleh karena itu tidak mungkin dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya.<br /><br />Islam juga mengajarkan bahwa Nabi lbrahim AS, yang hidup sekitar 45<br />abad sebelum era Walisongo, yang lahir dari keluarga pembuat dan<br />penyembah berhala, sepanjang hidupnya berdakwah untuk anti berhala .<br />Ini menunjukakan bahwa kisah para wali di Jawa sangat ketinggalan<br />jaman dibanding dengan kisah yang dialami oleh orang-orang yang<br />menjadi panutannya, pada hal selisih waktu hidup mereka sangat jauh. <br />"Het Book van Mbonang" yang telah melahirkan dua orang doktor dan<br />belasan master bangsa Belanda itu memberi petunjuk kepada saya,<br />pentingnya menulis sejarah berdasarkan fakta yang obyektif "Het Book<br />van Bonang" tidak menghasilkan kisah Keris Kolomunyeng, kisah cagak<br />dan tatal, kisah orang berubah menjadi cacing, dan sebagainya. <br /><br />Itulah ketertarikan saya dengan Syekh Siti Jenar sebagai bagian dari<br />sejarah Islam di Indonesia. Saya tertarik untuk ikut menulis tentang<br />Syekh Siti Jenar dan Walisongo. Tulisan saya belum selesai, tapi niat<br />saya untuk terlibat adalah untuk membersihkan sejarah Islam di Jawa<br />ini dari takhayul, mistik, khurofat dan kemusyrikan. Itulah sebabnya<br />saya terima tawaran panitia untuk ikut membahas buku Syekh Siti Jenar<br />karya Dr Abdul Munir Mulkhan ini. Saya ingin ikut mengajak masyarakat<br />untuk segera meninggalkan dunia mitos dan memasuki dunia ilmu. <br /><br />Dunia mitos tidak saja bertentangan dengan akidah Islamiyah, tetapi<br />juga sudah ketinggalan jaman ditinjau dari aspek perkembangan ilmu<br />pengetahuan. Secara umum dunia mitos telah ditinggalkan akhir abad<br />ke-19 yang lalu, atau setidak-tidaknya awal abad ke-20. Apakah kita<br />justru ingin kembali ke belakang? Kalau kita masih berkutat dengan<br />dunia mitos, masyarakat kita juga hanya akan menghasilkan pemimpin<br />mitos yang selalu membingungkan dan tidak menghasilkan sesuatu.<br /><br /><br />II<br /><br />Siapa Syekh Siti Jenar ? Kalau seseorang menulis buku, tentu para<br />pembaca berusaha untuk mengenal jatidiri penulis tersebut, mininal<br />bidang keilmuannya. Oleh karena itu isi buku dapat dijadikan tolok<br />ukur tentang kadar keilmuan dan identitas penulisnya. Kalau ternyata<br />buku itu berwama kuning, penulisnya juga berwama kuning. Sedikit<br />sekali terjadi seorang yang berfaham atheis dapat menulis buku yang<br />bersifat relijius karena dua hal itu sangat bertentangan. Seorang<br />sarjana pertanian dapat saja menulis buku tentang sosiologi, karena<br />antara pertanian dan sosiologi sering bersinggungan. Jadi tidak<br />mustahil kalau Isi sebuah buku tentu telah digambarkan secara singkat<br />oleh judulnya. Buku tentang Bertemak Kambing Ettawa menerangkan<br />seluk-beluk binatang tersebut, manfaatnya, jenis pakan, dan sebagainya<br />yang mempunyai kaitan erat dengan kambing Ettawa. <br /><br />Judul buku karya Dr Abdul Munir Mulkhan ini adalah: "Ajaran dan Jalan<br />Kematian Syekh Siti Jenar. Pembaca tentu sudah membayangkan akan<br />memperoleh informasi tentang kedua hal itu, yaitu ajaran Syekh Siti<br />Jenar dan bagaiamana dia mati. Penulis buku juga setia dengan<br />ketentuan seperti itu.<br /><br />Bertitik-tolak dari ketentuan umum itu, paragraf 3 sampai dengan 6 Bab<br />Satu tidak relevan. Bab Satu diberi judul: Melongok Jalan Sufi:<br />Humanisasi Islam Bagi Semua. Mungkin penulis ingin mengaktualisasikan<br />ajaran Syekh Siti Jenar dengan situasi kini, tetapi apa yang ditulis<br />tidak mengena sama sekali. Bahkan di dalam paragraf 3-6 itu banyak<br />pemyataan (statements) yang mencengangkan saya sebagai seorang muslim.<br /><br />Pernyataan di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari<br />diri sendiri atau dari orang lain. Pemyataan orang lain mesti<br />disebutkan sumbernya; oleh karena itu peryataan yang tidak ada<br />sumbemya dianggap oleh pembaca sebagai pernyataan dari penulis.<br />Peryataan orang lain dapat berbeda dengan sikap, watak dan pendapat<br />penulis, tetapi pernyataan penulis jelas menentukan sikap, watak dan<br />pendapatnya. Pernyataan-pernyataan di dalam sebuah buku tidak lepas<br />satu dengan yang lain. Rangkaiannya, sistematika penyajiannya,<br />merupakan sebuah bangunan yang menentukan kadar ilmu dan kualitas buku<br />tersebut. Rangkaian dan sistematika pernyataan musti disusun menurut<br />logika keilmuan yang dapat diterima dan dibenarkan oleh masyarakat ilmu. <br /><br />Untuk mengenal atau menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis<br />kalau didahului dengan uraian tentang asal-usul yang empunya ajaran.<br />Ini juga dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan (Paragraf I Bab Satu,<br />halaman 3-10). Di dalam paragraf tersebut diterangkan asal-usul Syekh<br />Siti Jenar tidak jelas. Seperti telah diterangkan, karena tidak ada<br />sumber obyektif maka kisah asal-usul ini juga penuh dengan<br />versi-versi. Di halaman 3, dengan mengutip penelitian Dalhar Shofiq<br />untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat UGM, diterangkan bahwa Syekh Siti<br />Jenar adalah putera seorang raja pendeta dari Cirebon bemama Resi<br />bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil. <br /><br />Kalau seseorang menulis buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil<br />penelitian, pembahasan secara ilmiah dengan menyandarkan pada logika<br />amat penting. Tidak semua berita dikutip begitu saja tanpa analisis.<br />Di dalam uraian tentang asal-usul Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini<br />jelas sekali penuh dengan kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk<br />memvalidasi berita tersebut. Kejanggalan-kejanggalan itu adalah:<br /><br />1 . Ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang raja pendeta benama Resi<br />Bungsu. Istilah raja pendeta ini kan tidak jelas. Apakah dia seorang<br />raja, atau pendeta. Jadi beritanya saja sudah tidak jelas sehingga<br />meragukan. <br /><br />2. Di halaman 62, dengan mengutip sumber Serat Syekh Siti Jenar,<br />diterangkan bahwa ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang elite agama<br />Hindu-Budha. Agama yang disebutkan ini juga tidak jelas. Agama Hindu<br />tidak sama dengan agama Budha. Setelah Islam muncul menjadi agama<br />mayoritas penduduk pulau Jawa, persepsi umum masyarakat memang<br />mengangap agama Hindu dan Budha sama. Pada hal ajaran kedua agama itu<br />sangat berbeda, dan antara keduanya pernah terjadi perseteruan akut<br />selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu pada abad ke-10<br />disebabkan oleh perseteruan akut tersebut. Runtuhnya Mataram Hindu<br />berakibat sangat fatal bagi perkembangan Indonesia. Setelah itu<br />kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan pertikaian yang<br />membuat kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa Jawa yang pada abad<br />ke-10 sudah di atas Eropa, pada abad ke-20 ini jauh di bawahnya. Tidak<br />hanya itu, bahkan selama beberapa abad Indonesia (termasuk Jawa) ada<br />di bawah bayang-bayang bangsa Eropa.<br /><br />3. Kalau ayah Syekh Siti Jenar beragama Hindu atau Budha, mengapa<br />anaknya diberi nama Arab, Hasan Ali alias Abdul Jalil. Apalagi seorang<br />"raja pendeta" yang hidup di era pergeseran mayoritas agama rakyat<br />menuju agama Islam, tentu hal itu janggal terjadi. <br /><br />4. Atas kesalahan yang dilakukan anaknya, sang ayah menyihir sang anak<br />menjadi seekor cacing lalu dibuang ke sungai. Di sini tidak disebut<br />apa kesalahan tersebut, sehinga sang ayah sampai tega menyihir anaknya<br />menjadi cacing. Masuk akalkah seorang ayah yang "raja pendeta"<br />menyihir anaknya menjadi cacing. Ilmu apakah yang dimiliki "raja<br />pendeta" Resi Bungsu untuk merubah seseorang menjadi cacing? Kalau<br />begitu, mengapa Resi Bungsu tidak menyihir para penyebar Islam yang<br />pada waktu itu mendepak pengaruh dan ketenteraman batinnya? Ceritera<br />seseorang mampu merubah orang menjadi binatang ceritera kuno yang<br />mungkin tidak pemah ada orang yang melihat buktinya. Ini hanya terjadi<br />di dunia pewayangan yang latar belakang agamanya Hindu (Mahabarata)<br />dan Budha (Ramayana).<br /><br />5. Cacing Hasan Ali yang dibuang di sungai di Cirebon tersebut, suatu<br />ketika terbawa pada tanah yang digunakan untuk menembel perahu Sunan<br />Mbonang yang bocor. Sunan Mbonang berada di atas perahu sedang<br />mengajar ilmu gaib kepada Sunan Kalijogo. Betapa luar biasa<br />kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan Mbonang tinggal di Tuban,<br />sedang cacing Syekh Siti Jenar dibuang di sungai daerah Cirebon. Di<br />tempat lain dikatakan bahwa Sunan Mbonang mengajar Sunan Kalijogo di<br />perahu yang sedang terapung di sebuah rawa. Adakah orang menembel<br />perahu bocor dengan tanah? Kalau toh menggunakan tanah, tentu dipilih<br />dan disortir tanah tersebut, termasuk tidak boleh katutan (membawa)<br />cacing.<br /><br />6. Masih di halaman 4 diterangkan, suatu saat Hasan Ali dilarang Sunan<br />Giri mengikuti pelajaran ilmu gaib kepada para muridnya. Tidak pemah<br />diterangkan, bagaimana hubungan Hasan Ali dengan Sunan Giri yang<br />tinggal di dekat Gresik. Karena tidak boleh, Hasan Ali lalu merubah<br />dirinya menjadi seekor burung sehingga berhasil mendengarkan kuliah<br />Sunan Giri tadi dan memperoleh ilmu gaib. Setelah itu Hasan Ali lalu<br />mendirikan perguruan yang ajarannya dianggap sesat oleh para wali.<br />Untuk apa Hasan Ali belajar ilmu gaib dari Sunan Giri, pada hal dia<br />sudah mampu merubah dirinya menjadi seekor burung.<br /><br />Al hasil, seperti dikatakan oleh Dr Abdul Munis Mulkhan sendiri dan<br />banyak penulis yang lain, asal-usul Syekh Siti Jenar memang tidak<br />jelas. Karena itu banyak pula orang yang meragukan, sebenarnya Syekh<br />Siti Jenar itu pernah ada atau tidak . Pertanyaan ini akan saya jawab<br />di belakang. Keraguan tersebut juga berkaitan dengan, di samping<br />tempat lahimya, di mana sebenamya tempat tinggal Syekh Siti Jenar.<br />Banyak penulis selalu menerangkan bahwa nama lain Syekh Siti Jenar<br />adalah: Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan waktu, nama sering<br />dikaitkan dengan tempat tinggal. Di mana letak Siti Jenar atau Lemah<br />Abang itu sampai sekarang tidak pemah jelas; padahal tokoh terkenal<br />yang hidup pada jaman itu semuanya diketahui tempat tinggalnya. Syekh<br />Siti Jenar tidak meninggalkan satupun petilasan. <br /><br />Karena keraguan dan ketidak-jelasan itu, saya setuju dengan pendapat<br />bahwa Syekh Siti Jenar memang tidak pemah ada. Lalu apa sebenarnya<br />Syekh Siti Jenar itu? Sekali lagi pertanyaan ini akan saya jawab di<br />belakang nanti. Kalau Syekh Siti Jenar tidak pernah ada, mengapa kita<br />ber-tele-tele membicarakan ajarannya. Untuk apa kita berdiskusi<br />tentang sesuatu yang tidak pemah ada. Apalagi diskusi itu dalam rangka<br />memperbandingkan dengan Al Qur'an dan Hadits yang amat jelas<br />asal-usulnya, mulia kandungannya, jauh ke depan jangkauannya, tinggi<br />muatan ipteknya, sakral dan dihormati oleh masyarakat dunia. <br /><br />Sebaliknya, Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat terbatas<br />di kalangan orang Jawa. Tetapi karena begitu sinis dan menusuk<br />perasaan orang Islam yang telah kaffah bertauhid, maka mau tidak mau<br />lalu sebagian orang Islam harus melayaninya. Oleh karena itu sebagai<br />orang Islam yang tidak lagi ragu terhadap kebenaran Al Qur'an dan<br />kerosulan Muhammad Saw, saya akan berkali-kali mengajak<br />saudara-saudaraku orang Islam untuk berhati-hati dan jangan terlalu<br />banyak membuang waktu untuk mendiskusikan ceritera fiktif yang<br />berusaha untuk merusak akidah Islamiyah ini.<br /><br /><br />III<br /><br />Sunan Kalijogo <br /><br />Semua orang di Indonesia, apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan<br />Kalijogo yang kecilnya bernama Raden Mas Said ini. Dikatakan dia<br />adalah putera Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur Yang<br />beragama Islam. <br /><br />Silsilah Raden Sahur ke atas adalah putera Ario Tejo III (Islam),<br />putera Ario Tejo II, putera Ario Tejo II (Hindu), putera Ario Tejo I,<br />putera Ronggolawe, putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera<br />Adipati Ponorogo. Itulah asal usul Sunan Kalijogo yang banyak ditulis<br />dan diyakini orang, yang sebenamya merupakan versi Jawa. Dua versi<br />lainnya tidak pernah ditulis atau atau tidak dijumpai dalam media<br />cetak sehingga tidak diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar, 1992). <br /><br />Di depan telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini<br />penuh dengan ceritera mistik. Sumber yang orisinil tentang kisah<br />tersebut tidak tersedia. Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak<br />meneliti sejarah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa<br />Belanda memang tidak tersedia data yang dapat dipercaya tentang<br />sejarah Jawa. Sejarah Jawa banyak bersumber dari cerita rakyat yang<br />versinya banyak sekali. Mungkin cerita rakyat itu bersumber dari<br />catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai Juru<br />Pamekas, lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi setelah melewati<br />para pengagum atau penentangnya. <br /><br />Namun demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya<br />tulis, yang satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh<br />masyarakat, yaitu Serat Dewo Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal<br />luas, yaitu Suluk Linglung. Serat Dewo Ruci telah terkenal sebagai<br />salah satu lakon wayang. Saya pertama kali melihat wayang dengan lakon<br />Dewo Ruci pada waktu saya masih duduk di kelas 5 SR, di desa kalahiran<br />ibu saya Pelempayung (Madiun) yang dimainkan oleh Ki dalang Marijan.<br />Sunan Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang sebenarnya<br />merupakan kisah hidup yang diangan-angkan sendiri, setelah kurang puas<br />dengan jawaban Sunan Mbonang atas pertanyaan yang diajukan. Sampai<br />sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut Kejawen,<br />yang sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang<br />fiktif tadi. <br /><br />Kalau Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin<br />para penganut Serat Dewo Ruci akan kecelek. Mengapa demikian? Isi<br />Suluk Linglung temyata hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan<br />perbedaan sedikit namun fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan<br />Kalijogo telah menyinggung pentingnya orang untuk melakukan sholat dan<br />puasa, sedang hal itu tidak ada sama sekali di dalam Serat Dewo Ruci.<br />Kalau Serat Dewo Ruci telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai<br />dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung disimpan dalam<br />bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijogo. Seorang pegawai<br />Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk untuk mencari<br />buku tersebut, dan ternyata disimpan oleh Ny Mursidi, keturunan Sunan<br />Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh<br />tangan Sunan Kalijogo sendin' menggunakan huruf Arab pegon berbahasa<br />Jawa. Tahun 1992 buku diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. <br /><br />Saat ini saya sedang membahas kedua buku itu, dan untuk sementara saya<br />sangat bergembira karena menurut kesimpulan saya, menjelang wafat<br />ternyata Sunan Kalijogo menjadi kaffah mengimani Islam. Sebelumnya<br />Sunan Kalijogo tidak setia menjalankan syariat Islam, sehingga orang<br />Jawa hanya meyakini bahwa yang dilakukan oleh Sunan terkenal ini bukan<br />sholat lima waktu melain sholat da'im. Menurut Ustadz Mustafa Ismail<br />LC, da'im berarti terus-menerus. Jadi Sunan Kalijogo tidak sholat lima<br />waktu melainkan sholat da'im dengan membaca Laa illaha ilalloh kapan<br />saja dan di mana saja tanpa harus wudhu dan rukuk-sujud. Atas dasar<br />itu untuk sementara saya membuat hipotesis bahwa Syekh Jenar sebenamya<br />adalah Sunan Kalijogo. Hipotesis inilah yang akan saya tulis dan<br />sekaligus saya gunakan untuk mengajak kaum muslimin Indonesia untuk<br />tidak bertele-tele menyesatkan diri dalam ajaran Syekh Siti Jenar.<br />Sayang, waktu saya masih banyak terampas untuk menyelesaikan buku-buku<br />saya tentang kehutanan sehingga upaya saya untuk mengkaji dua buku<br />tersebut tidak dapat berjalan lancar. Atas dasar itu pula saya<br />menganggap bahwa diskusi tentang Syekh Siti Jenar, seperti yang<br />dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan ini, menjadi tidak mempunyai<br />landasan yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku karya Sunan Kalijogo<br />tersebut.<br /><br />Sebagai tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjatidiri seperti<br />tertulis di dalam Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berfaham<br />manunggaling kawulo Gusti (seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan,<br />Sunan Pandanaran, dan sebagainya), sedang setelah kaffah murid dengan<br />tauhid murni, yaitu Joko Katong yang ditugaskan untuk mengislamkan<br />Ponorogo. Joko Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah<br />tersebut yang pengaruhnya amat luas sampai sekarang, termasuk Kyai<br />Kasan Bestari (guru R Ng Ronggowarsito), Kyai Zarkasi (pendiri PS<br />Gontor), dan mantan Presiden BJ Habibie termasuk Ny Ainun Habibie.<br /><br />IV<br /><br />Walisongo<br /><br />Sekali lagi kisah Walisongo penuh dengan cerita-cerita yang sarat<br />dengan mistik. Namun Widji Saksono dalam bukunya "Mengislamkan Tanah<br />Jawa" telah menyajikan analisis yang memenuhi syarat keilmuan. Widji<br />Saksono tidak terlarut dalam cerita mistik itu, memberi bahasan yang<br />memadai tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau yang bertentangan<br />dengan akidah Islamiyah. <br /><br />Widji Saksono cukup menonjolkan apa yang dialami oleh Raden Rachmat<br />dengan dua temannya ketika dijamu oleh Prabu Brawidjaja dengan tarian<br />oleh penan putri yang tidak menutup aurat. Melihat itu Raden Rachmat<br />selalu komat-kamit, tansah ta'awudz. Yang dimaksudkan pemuda tampan<br />terus istighfar melihat putri-putri cantik menari dengan sebagian<br />auratnya terbuka. Namun para pengagum Walisongo akan "kecelek" (merasa<br />tertipu, red) kalau membaca tulisan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid. <br /><br />Kedua penulis menemukan sebuah naskah yang mengambil informasi dari<br />sumber orisinil yang tersimpan di musium Istana Istambul, Turki.<br />Menurut sumber tersebut, temyata organisasi Walisongo dibentuk oleh<br />Sultan Muhammad I. Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu,<br />Sultan Muhammad I lalu ingin mengirim tim yang beranggotakan sembilan<br />orang, yang memiliki kemampuan di berbagai bidang, tidak hanya bidang<br />ilmu agama saja. Untuk itu Sultan Muhammad I mengirim surat kepada<br />pembesar di Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya minta dikirim<br />beberapa ulama yang mempunyai karomah. <br /><br />Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu lalu dibentuk fim<br />beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada tahun<br />1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan<br />ahli mengatur negara dari Turki. Berita ini tertulis di dalam kitab<br />Kanzul 'Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudiah dilanjutkan oleh<br />Syekh Maulana Al Maghribi. Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9<br />orang tersebut adalah sebagai berikut:<br /><br />1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.<br />2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.<br />3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.<br />4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.<br />5. Maulana Malik Isro'il, dari Turki, ahli mengatur negara.<br />6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.<br />7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.<br />8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.<br />9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang<br />dihuni jin jahat (??).<br /><br />Dengan informasi baru itu terjungkir-baliklah sejarah Wallsongo versi<br />Jawa. Ternyata memang sejarah Walisongo versi non-Jawa, seperti telah<br />disebutkan di muka, tidak pemah diekspos, entah oleh Belanda atau oleh<br />siapa, agar orang Jawa, termasuk yang memeluk agama Islam, selamanya<br />terus dan semakin tersesat dari kenyataan yang sebenamya. Dengan<br />informasi baru itu menjadi jelaslah apa sebenamya Walisongo itu.<br />Walisongo adalah gerakan berdakwah untuk menyebarkan Islam. Oleh<br />karena gerakan ini mendapat perlawanan dengan gerakan yang lain,<br />termasuk gerakan Syekh Siti Jenar. <br /><br />Latar Belakang Gerakan Syekh Siti Jenar<br /><br />Tulisan tentang Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya bersumber pada satu<br />tulisan saja, yang mula-mula tanpa pengarang. Tulisan yang ada<br />pengarangnya juga ada, misalnya Serat Sastro Gendhing oleh Sultan<br />Agung. Buku berjudul Ajaran Syekh Siti Jenar karya Raden Sosrowardojo<br />yang menjadi buku induk karya Dr Abdul Munir Mulkhan itu sebenarnya<br />merupakan gubahan atau tulisan ulang dari buku dengan judul yang sama<br />karya Ki Panji Notoroto. Nama Panji Notoroto adalah samaran mantan<br />Adipati Mataram penganut berat ajaran Syekh Siti Jenar. Ki Panji<br />Notoro memberi informasi menarik, bahwa rekan-rekan Adipati<br />seangkatannya ternyata tidak ada yang dapat membaca dan menulis. Ini<br />menunjukkan bahwa setelah era Demak Bintoro, nampaknya pendidikan<br />klasikal di masyarakat tidak berkembang sama sekali. <br /><br />Memahami Al Qur'an dan Hadits tidak mungkin kalau tidak disadari<br />dengan ilmu. Penafsiran Al Qur'an tanpa ilmu akan menghasilkan<br />hukum-hukum yang sesat belaka. Itulah nampaknya yang terjadi pada era<br />pasca Demak, yang kebetulan sejak Sultan Hadiwidjojo agama yang dianut<br />kerajaan adalah agama manunggaling kawulo Gusti. Di samping masalah<br />pendidikan, sejak masuknya agama Hindu di Jawa ternyata pertentangan<br />antar agama tidak pernah reda. Hal ini dengan jelas ditulis di dalam<br />Babad Demak. Karena pertentangan antar agama itulah Mataram Hindu<br />runtuh (telah diterangkan sebelumnya). Sampai dengan era Singasari,<br />masih ada tiga agama besar di Jawa yaitu Hindu, Budha dan Animisme<br />yang juga sering disebut Agama Jawa. Untuk mencoba meredam<br />pertentangan agama itu, Prabu Kertonegoro, raja besar dan terakhir<br />Singasari, mencoba untuk menyatukannya dengan membuat agama baru<br />disebut agama Syiwa-Boja. Syiwa mewakili agama Hindu, Bo singkat Buda<br />dan Ja mewakili agama Jawa. <br /><br />Nampaknya sintesa itulah yang, ditiru oleh politik besar di Indonesa<br />akhir decade 1950-an dulu, Nasakom. Dengan munculnya Islam sebagai<br />agama mayoritas baru, banyak pengikut agama Hindu, Budha dan Animisme<br />yang melakukan perlawanan secara tidak terang-terangan. Mereka lalu<br />membuat berbagai cerita, misalnya Gatholoco, Darmogandhul, Wali Wolu<br />Wolak-walik, Syekh Bela Belu, dan yang paling terkenal Syekh Siti<br />Jenar. Untuk yang terakhir itu kebetulan dapat di-dhompleng-kan kepada<br />salah satu anggota Walisongo yang terkenal, yaitu Sunan Kalijogo<br />seperti telah disebutkan di muka. <br /><br />Jadi Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya sebuah gerakan anti reformasi,<br />anti perubahan dari Hindu-Budha-Jawa ke Islam. Oleh karena itu isi<br />gerakan itu selalu sinis terhadap ajaran Islam, dan hanya diambil<br />potongan-potongannya yang secara sepintas nampak tidak masuk akal.<br />Potongan- potongan ini banyak sekali disitir oleh Dr Abdul Munir<br />Mulkhan tanpa telaah yang didasarkan pada dua hal, yaltu logika dan<br />aqidah.<br /><br />Pernyataan-pernyataan<br /><br />Masalah pernyataan yang dibuat oleh penulis buku ini telah saya<br />singgung di muka. Banyak sekali pernyataan yang saya sebagai muslim<br />ngeri membacanya, karena buku ini ditulis juga oleh seorang muslim,<br />malah Ketua sebuah organisasi Islam besar. Misalnya pernyataan yang<br />menyebutkan: "ngurusi" Tuhan, semakin dekat dengan Tuhan semakin tidak<br />manusiawi, kelompok syariah yang dibenturkan dengan kelompok sufi,<br />orang beragama yang mengutamakan formalitas, dan sebagainya. <br /><br />Setahu saya dulu pernyataan seperti itu memang banyak diucapkan oleh<br />orang-orang dari gerakan anti Islam, termasuk orang-orang dari Partai<br />Komunis Indonesia yang pemah menggelar kethoprak dengan lakon "Patine<br />Gusti Allah" (matinya Allah,red) di daerah Magelang tahun 1965-an<br />awal. Bahkan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa syahadat, sholat,<br />puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji itu tidak perlu. Yang<br />penting berbuat baik untuk kemanusiaan. <br /><br />Ini jelas pendapat para penganut agama Jawa yang sedih karena<br />pengaruhnya terdesak oleh Islam. Rosululloh juga tidak mengajarkan<br />pelaksanaan ibadah hanya secara formalistik, secara ritual saja.<br />Dengan Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk berbuat baik, karena<br />kehidupan muslimin harus memenuhi dua aspek, yaitu hablum minannaas wa<br />hablum minalloh. <br /><br />Di dalam buku, seperti saya sebutkan, hendaknya pernyataan disusun<br />sedemikian rupa untuk membangun sebuah misi atau pengertian. Apa<br />sebenarnya misi yang akan dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan dengan<br />menulir buku Syekh Siti Jenar itu. Buku ini juga dengan jelas<br />menyiratkan kepada pembaca<br />bahwa mempelajari ajaran Syekh Siti Jenar itu lebih balk dibanding<br />dengan mempelajari fikih atau syariat. Islam tidak mengkotak-kotakkan<br />antara fikih, sufi dan sebagainya. Islam adalah satu, yang karena<br />begitu kompleksnya maka orang harus belajar secara bertahap. Belajar<br />syariah merupakan tahap awal untuk mengenal Islam. <br /><br />Penulis juga membuat pernyataan tentang mengkaji Al Qur'an. Bukan<br />hanya orang Islam dan orang yang tahun bahasa Arab saja yang boleh<br />belajar Qur'an. Di sini nampaknya penulis lupa bahwa untuk belajar Al<br />Qur'an ada, dua syarat yang harus dipenuhl, yaitu muttaqien (Al<br />Baqoroh ayat 2) dan tahu penjelasannya, yang sebagian telah<br />dicontohkan oleh Muhammad Saw. Jadi sebenamya boleh saja siapapun<br />mengkaji Al Qur'an, tetapi tentu tidak boleh semaunya sendiri, tanpa<br />melewati dua rambu penting itu. Oleh karena itu saya mengajak kepada<br />siapapun, apalagi yang beragama Islam, untuk belaiar Al Qur'an yang<br />memenuhi kedua syarat itu, misalnya kepada Ustadz Umar Budiargo,<br />ustadz Mustafa Ismail, dan banyak lagi, khususnya alumni universitas<br />Timur Tengah. Jangan belajar Al Qur'an dari pengikut ajaran Syekh Siti<br />Jenar karena pasti akan tersesat sebab Syekh Siti Jenar adalah gerakan<br />untuk melawan Islam.<br /><br />Catatan Kecil<br /><br />Untuk mengakhiri tanggapan saya, saya sampaikan beberapa catatan kecil<br />pada buku Syekh Siti Jenar karya Dr Abdul Munis Mulkhan ini :<br /><br />1. Banyak kalimat yang tidak sempurna, tidak mempunyai subyek<br />misalnya. Juga banyak kalimat yang didahului denga kata sambung.<br /><br />2. Banyak pernyataan yang terlalu sering diulang-ulang sehingga<br />terkesan mengacaukan sistematika penulisan.<br /><br />3. Bab Satu diakhir dengan Daftar Kepustakaan, Bab lain tidak, dan<br />buku ini ditutup dengan Sumber Pustaka. Yang yang tercantum didalam<br />Daftar kepustakaan Bab Satu hampir sama dengan yang tercantum dalam<br />Sumber Pustaka.<br /><br />4. Cara mensitir penulis tidak konsisten, contoh dapat dilihat pada<br />halaman II yang menyebut: ...... sejarah Islam (Madjld, Khazanah,<br />1984), dan di alinea berikutnya tertulis:....... Menurut Nurcholish<br />Madjld (Khazanas, 1984, hlm 33). <br /><br />5. Bab Keempat, seperti diakui oleh penulis, merupakan terjemahan buka<br />karya Raden Sosrowardoyo yang pemah ditulis di dalam buku dengan judul<br />hampir sama oleh penulis. Di dalam buku ini bab tersebut mengambil<br />hampir separoh buku (halaman 179-310). Karena pemah ditulis, sebenamya<br />di sini tidak perlu ditulis lagi melainkan cukup mensitir saja.<br />Beberapa catatan ini memang kecil, tetapi patut disayangkan untuk<br />sebuah karya dari seorang pemegang gelar akademik tertinggi, Doktor. <br /><br />Demikianlah tanggapan saya, kurang lebihnya mohon dima'afkan. Semoga<br />yang saya lakukan berguna untuk berwasiat-wasitan (saling<br />menasehati,red) didalam kebenaran sesuai dengan amanat Alloh Swt di<br />dalam surat Al-'Ashr <br /><br />Amien. <br /><br />Wassalaamu 'alaikum warokhwatulloohi wabarokaatuh. <br />Yogyakarta, 24 Juli 2001<br /><br />source: http://www.mail-archive.com/fossei@yahoogroups.com/msg00035.htmlHamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-76473561369746727112010-03-11T18:20:00.000-08:002010-03-11T18:36:05.227-08:00Inilah Generasi Terbaik dalam Sejarah“Belum pernah ada, dan tidak akan pernah ada suatu kaum yang serupa dengan mereka”<br /><br />Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa hendak mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal. Mereka itu adalah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 198)<br /><br />Pengertian Sahabat<br /><br />Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah murtad seperti Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa dalam pengertian ini lebih luas daripada sekedar duduk di hadapannya, berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan termasuk dalam pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat (lihat Taisir Mushthalah Hadits, hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)<br /><br />Sikap Ahlus Sunnah terhadap para Sahabat<br /><br />Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq Al Jaza’iri hafizhahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah As Salafiyun senantiasa mencintai mereka (para sahabat) dan sering menyebutkan berbagai kebaikan mereka. Mereka juga mendo’akan rahmat kepada para sahabat, memintakan ampunan untuk mereka demi melaksanakan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan ; Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan keimanan. Dan janganlah Kau jadikan ada rasa dengki di dalam hati kami kepada orang-orang yang beriman, sesungguhnya Engkau Maha Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr : 10) Dan termasuk salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah As Salafiyun adalah menahan diri untuk tidak menyebut-nyebutkan kejelekan mereka serta bersikap diam (tidak mencela mereka, red) dalam menanggapi perselisihan yang terjadi di antara mereka. Karena mereka itu adalah pilar penopang agama, panglima Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, penolong beliau, pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid yang apabila benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun tetap mendapatkan pahala. “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi mereka balasan atas apa yang telah mereka perbuat. Dan bagi kalian apa yang kalian perbuat. Kalian tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah : 141). Barangsiapa yang mendiskreditkan para sahabat maka sesungguhnya dia telah menentang dalil Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ dan akal.” (Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)<br /><br />Dalil-dalil Al Kitab tentang keutamaan para Sahabat<br /><br />1. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Muhammad adalah utusan Allah beserta orang-orang yang bersamanya adalah bersikap keras kepada orang-orang kafir dan saling menyayangi sesama mereka. Engkau lihat mereka itu ruku’ dan sujud senantiasa mengharapkan karunia dari Allah dan keridhaan-Nya.” (QS. Al Fath)<br />2. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan.” (QS. Al Hasyr : 8-9)<br />3. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath : 18)<br />4. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang terlebih dulu (berjasa kepada Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha mepada Allah. dan Allah telah mempersiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. At Taubah : 100)<br />5. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari dimana Allah tidak akan menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS. At Tahrim : 8) (lihat Al Is’aad, hal. 77-78)<br /><br />Dalil-dalil dari As Sunnah tentang keutamaan para Sahabat<br /><br />1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela seorang pun di antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan setengahnya saja.” (Muttafaq ‘alaih)<br />2. Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)<br />3. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu adalah amanat bagi langit. Apabila bintang-bintang itu telah musnah maka tibalah kiamat yang dijanjikan akan menimpa langit. Sedangkan aku adalah amanat bagi para sahabatku. Apabila aku telah pergi maka tibalah apa yang dijanjikan Allah akan terjadi kepada para sahabatku. Sedangkan para sahabatku adalah amanat bagi umatku. Sehingga apabila para sahabatku telah pergi maka akan datanglah sesuatu (perselisihan dan perpecahan, red) yang sudah dijanjikan Allah akan terjadi kepada umatku ini.” (HR. Muslim)<br />4. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah : 234)<br />5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah : 24) (lihat Al Is’aad, hal. 78)<br /><br />Dalil Ijma’ tentang keutamaan para Sahabat<br /><br />1. Imam Ibnush Shalah rahimahullah berkata di dalam kitab Mukaddimah-nya, “Sesungguhnya umat ini telah sepakat untuk menilai adil (terpercaya dan taat) kepada seluruh para sahabat, begitu pula terhadap orang-orang yang terlibat dalam fitnah yang ada di antara mereka. hal ini sudah ditetapkan berdasarkan konsensus/kesepakatan para ulama yang pendapat-pendapat mereka diakui dalam hal ijma’.”<br />2. Imam Nawawi rahimahullah berkata di dalam kitab Taqribnya, “Semua sahabat adalah orang yang adil, baik yang terlibat dalam fitnah maupun tidak, ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang layak untuk diperhitungkan pendapatnya.”<br />3. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Al Ishabah, “Ahlus Sunnah sudah sepakat untuk menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Tidak ada orang yang menyelisihi dalam hal itu melainkan orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli bid’ah.”<br />4. Imam Al Qurthubi mengatakan di dalam kitab Tafsirnya, “Semua sahabat adalah adil, mereka adalah para wali Allah ta’ala serta orang-orang suci pilihan-Nya, orang terbaik yang diistimewakan oleh-Nya di antara seluruh manusia ciptaan-Nya sesudah tingkatan para Nabi dan Rasul-Nya. Inilah madzhab Ahlus Sunnah dan dipegang teguh oleh Al Jama’ah dari kalangan para imam pemimpin umat ini. Memang ada segolongan kecil orang yang tidak layak untuk diperhatikan yang menganggap bahwa posisi para sahabat sama saja dengan posisi orang-orang selain mereka.” (lihat Al Is’aad, hal. 78)<br /><br />Urutan keutamaan para Sahabat<br /><br />Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Para sahabat itu memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat. [1] Yang paling utama di antara mereka adalah khulafa rasyidin yang empat; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali, radhiyallahu’anhum al jamii’. Mereka adalah orang yang telah disabdakan oleh Nabi ‘alaihi shalatu wa salam, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan Sunnah khulafa rasyidin yang berpetunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.” [2] Kemudian sesudah mereka adalah sisa dari 10 orang yang diberi kabar gembira pasti masuk surga selain mereka, yaitu : Abu ‘Ubaidah ‘Aamir bin Al Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Zubeir bin Al Awwaam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhum. [3] Kemudian diikuti oleh Ahlul Badar, lalu [4] Ahlu Bai’ati Ridhwan, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath : 18). [5] Kemudian para sahabat yang beriman dan turut berjihad sebelum terjadinya Al Fath. Mereka itu lebih utama daripada sahabat-sahabat yang beriman dan turut berjihad setelah Al Fath. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidaklah sama antara orang yang berinfak sebelum Al Fath di antara kalian dan turut berperang. Mereka itu memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang berinfak sesudahnya dan turut berperang, dan masing-masing Allah telah janjikan kebaikan (surga) untuk mereka.” (QS. Al Hadid : 10). Sedangkan yang dimaksud dengan Al Fath di sini adalah perdamaian Hudaibiyah. [6] Kemudian kaum Muhajirin secara umum, [7] kemudian kaum Anshar. Sebab Allah telah mendahulukan kaum Muhajirin sebelum Anshar di dalam Al Qur’an, Allah subhanahu berfirman (yang artinya), “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr : 8). Mereka itulah kaum Muhajirin. Kemudian Allah berfirman tentang kaum Anshar, Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan. Dan barangsiapa yang dijaga dari rasa bakhil dalam jiwanya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Hasyr : 9). Allah mendahulukan kaum Muhajirin dan amal mereka sebelum kaum Anshar dan amal mereka yang menunjukkan bahwasanya kaum Muhajirin lebih utama. Karena mereka rela meninggalkan negeri tempat tinggal mereka, meninggalkan harta-harta mereka dan berhijrah di jalan Allah, itu menunjukkan ketulusan iman mereka…” (Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak bersama Syarah ‘Aqidah Thahawiyah Darul ‘Aqidah, hal. 492-494)<br /><br />Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sebab berbedanya martabat para sahabat adalah karena perbedaan kekuatan iman, ilmu, amal shalih dan keterdahuluan dalam memeluk Islam. Apabila dilihat secara kelompok maka kaum Muhajirin paling utama kemudian diikuti oleh kaum Anshar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar.” (QS. At Taubah : 117). Hal itu disebabkan mereka (Muhajirin) memadukan antara hijrah meninggalkan negeri dan harta benda mereka dengan pembelaan mereka (terhadap dakwah Nabi di Mekkah, pent). Sedangkan orang paling utama di antara para sahabat adalah Abu Bakar, kemudian Umar. Hal itu berdasarkan ijma’. Kemudian ‘Utsman, kemudian ‘Ali. Ini menurut pendapat jumhur Ahlis Sunnah yang sudah mantap dan mapan setelah sebelumnya sempat terjadi perselisihan dalam hal pengutamaan antara Ali dengan ‘Utsman. Ketika itu sebagian ulama lebih mengutamakan ‘Utsman kemudian diam, ada lagi ulama lain yang lebih mendahulukan ‘Ali kemudian baru ‘Utsman, dan ada pula sebagian lagi yang tawaquf tidak berkomentar tentang pengutamaan ini. Orang yang berpendapat bahwa ‘Ali lebih utama daripada ‘Utsman maka tidak dicap sesat, karena memang ada sebagian (ulama) Ahlus Sunnah yang berpendapat demikian.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 77)<br /><br />Menyikapi polemik yang terjadi di kalangan para Sahabat<br /><br />Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap mereka (Ahlus Sunnah) dalam menyikapi hal itu ialah; sesungguhnya polemik yang terjadi di antara mereka merupakan (perbedaan yang muncul dari) hasil ijtihad dari kedua belah pihak (antara pihak ‘Ali dengan pihak Mu’awiyah, red), bukan bersumber dari niat yang buruk. Sedangkan bagi seorang mujtahid apabila ia benar maka dia berhak mendapatkan dua pahala, sedangkan apabila ternyata dia tersalah maka dia berhak mendapatkan satu pahala. Dan polemik yang mencuat di tengah mereka bukanlah berasal dari keinginan untuk meraih posisi yang tinggi atau bermaksud membuat kerusakan di atas muka bumi; karena kondisi para sahabat radhiyallahu’anhum tidak memungkinkan untuk itu. Sebab mereka adalah orang yang paling tajam akalnya, paling kuat keimanannya, serta paling gigih dalam mencari kebenaran. Hal ini selaras dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat manusia adalah orang di jamanku (sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan demikian maka jalan yang aman ialah kita memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk memperbincangkan polemik yang terjadi di antara mereka dan kita pulangkan perkara mereka kepada Allah; sebab itulah sikap yang lebih aman supaya tidak memunculkan rasa permusuhan atau kedengkian kepada salah seorang di antara mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 82)<br /><br />Keterjagaan para Sahabat<br /><br />Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “(Individu) Para sahabat bukanlah orang-orang yang ma’shum dan terbebas dari dosa-dosa. Karena mereka bisa saja terjatuh dalam maksiat, sebagaimana hal itu mungkin terjadi pada orang selain mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang paling layak untuk meraih ampunan karena sebab-sebab sebagai berikut :<br /><br />1. Mereka berhasil merealisasikan iman dan amal shalih<br />2. Lebih dahulu memeluk Islam dan lebih utama, dan terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi (sebaik-baik umat manusia, red)<br />3. Berbagai amal yang sangat agung yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang selain mereka, seperti terlibat dalam perang Badar dan Bai’atur Ridhwan<br />4. Mereka telah bertaubat dari dosa-dosa, sedangkan taubat dapat menghapus apa yang dilakukan sebelumnya.<br />5. Berbagai kebaikan yang akan menghapuskan berbagai amal kejelekan<br />6. Adanya ujian yang menimpa mereka, yaitu berbagai hal yang tidak disenangi yang menimpa orang; sedangkan keberadaan musibah itu bisa menghapuskan dan menutup bekas-bekas dosa.<br />7. Kaum mukminin senantiasa mendo’akan mereka<br />8. Syafa’at dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka adalah umat manusia yang paling berhak untuk memperolehnya.<br /><br />Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah maka perbuatan sebagian mereka yang diingkari (karena salah) adalah sangat sedikit dan tenggelam dalam (lautan) kebaikan mereka. Hal itu dikarenakan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para Nabi dan juga orang-orang terpilih di antara umat ini, yang menjadi umat paling baik. Belum pernah ada dan tidak akan pernah ada suatu kaum yang serupa dengan mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 83-84)<br /><br />Cintailah mereka!<br /><br />Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan, “Kami -Ahlus Sunnah- mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah seorang di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara yang tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488)<br /><br />Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi<br /><br />Artikel www.muslim.or.idHamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-25265778948418422582010-03-11T18:19:00.000-08:002010-03-11T18:20:21.565-08:00Hukum Menjadi Pegawai Bank Dalam Pandangan IslamMajelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Komisi Fatwa-nya dalam forum Rapat Kerja Nasional dan Ijtima’ Ulama Indonesia, sejak hampir 6 tahun yang lalu tepat pada hari Selasa 16 Desember 2003 telah mengeluarkan fatwa tentang bunga. Fatwa itu intinya menyatakan bahwa bunga pada bank dan lembaga keuangan lain yang ada sekarang telah memenuhi seluruh kriteria riba. Riba tegas dinyatakan haram, sebagaimana firman Allah SWT:<br /><br />وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا <br /><br />Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 275).<br /><br />Karena riba haram, berarti bunga juga haram. Karena itu, sejujurnya tidak ada yang istimewa dari fatwa MUI ini. Bahkan sejatinya, untuk perkara yang segamblang atau qath‘î itu tidaklah diperlukan fatwa, alias tinggal dilaksanakan saja. Artinya, fatwa itu lebih merupakan penegasan saja. Sebagai penegasan, fatwa ini sungguh penting karena meski jelas-jelas dilarang al-Quran, praktik pembungaan uang di berbagai bentuk lembaga keuangan tetap saja berlangsung hingga saat ini.<br /><br />Tulisan kali ini akan lebih membahas tentang besarnya dosa riba dan keterlibatan di dalamnya (Tulisan lengkapnya dapat dilihat di buku kami: “Hukum Seputar Riba dan Pegawai Bank” yang diterbitkan Ar-Raudhoh Pustaka).<br /><br /><br />Dosa Riba<br /><br />Seberapa besar dosa terlibat dalam riba, maka cukuplah hadits-hadits shahih berikut menjawabnya:<br /><br />“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).<br /><br />“Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan” Orang-orang bertanya, apakah gerangan wahai Rasul? Beliau menjawab: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri waktu datang serangan musuh dan menuduh wanita mu’min yang suci berzina”. (HR Bukhari Muslim)<br /><br />Terlibat dalam riba (Bunga Bank) adalah termasuk dosa besar, yang sejajar dengan dosa syirik, sihir, membunuh, memakan harta anak yatim, melarikan dari jihad, dan menuduh wanita baik-baik berzina. Naudzubillah. Bahkan apabila suatu negeri membiarkan saja riba berkembang di daerahnya maka sama saja ia menghalalkan Allah untuk mengazab mereka semua.<br /><br />“Apabila riba dan zina telah merajalela di suatu negeri, maka rakyat di negeri itu sama saja telah menghalalkan dirinya dari azab Allah” (HR. Al Hakim)<br /><br />Pertanyaannya, jika Bank itu diharamkam karena Riba, lalu bagaimanakah hukum bagi orang yang bekerja di dalamnya (pegawai Bank)?<br /><br /><br />Hukum Menjadi Pegawai Bank Konvensional<br /><br />Telah sampai kepada kita hadits riwayat Ibnu Majah dari jalan Ibnu Mas’ud dari Nabi SAW:<br /><br />“Bahwa beliau (Nabi SAW) melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya, para saksi serta pencatatnya.” (HR. Bukhari Muslim)<br /><br />Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:<br /><br />“Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang yang menjadi saksinya.” Dan beliau bersabda: “Mereka itu sama.” (HR. Muslim)<br /><br />Ibnu Mas’ud meriwayatkan:<br /><br />“Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)<br /><br />Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:<br /><br />“Orang yang makan riba, orang yang memben makan dengan riba, dan dua orang saksinya –jika mereka mengetahui hal itu– maka mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga han kiamat.” (HR. Nasa’i)<br /><br />Dari hadits-hadits ini kita bisa memahami bahwa tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi ijarah (sewa/kontrak kerja) terhadap salah satu bentuk pekerjaan riba, karena transaksi tersebut merupakan transaksi terhadap jasa yang diharamkan.<br /><br />Ada empat kelompok orang yang diharamkan berdasarkan hadits tersebut. Yaitu; orang yang makan atau menggunakan (penerima) riba, orang yang menyerahkan (pemberi) riba, pencatat riba, dan saksi riba. dan saat ini jenis pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang membanggakan sebagian kaum muslimin serta secara umum dan legal (secara hukum positif) di kontrak kerjakan kepada kaum muslimin di bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan dan pembiayaan. Berikut adalah keempat kategori pekerjaan yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan diatas: <br /><br />1. Penerima Riba<br /><br />Penerima riba adalah siapa saja yang secara sadar memanfaatkan transaksi yang menghasilkan riba untuk keperluannya sedang ia mengetahui aktivitas tersebut adalah riba. Baik melalui pinjaman kredit, gadai, ataupun pertukaran barang atau uang dan yang lainnya, maka semua yang mengambil atau memanfaatkan aktivitas yang mendatangkan riba ini maka ia haram melakukannya, karena terkategori pemakan riba. Contohnya adalah orang-orang yang melakukan pinjaman hutang dari bank atau lembaga keuangan dan pembiayaan lainnnya untuk membeli sesuatu atau membiayai sesuatu dengan pembayaran kredit yang disertai dengan bunga (rente), baik dengan sistem bunga majemuk maupun tunggal. <br /><br />2. Pemberi Riba.<br /><br />Pemberi riba adalah siapa saja, baik secara pribadi maupun lembaga yang menggunakan hartanya atau mengelola harta orang lain secara sadar untuk suatu aktivitas yang menghasilkan riba. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah para pemilik perusahaan keuangan, pembiayaan atau bank dan juga para pengelolanya yaitu para pengambil keputusan (Direktur atau Manajer) yang memiliki kebijakan disetujui atau tidak suatu aktivitas yang menghasilkan riba. <br /><br />3. Pencatat Riba<br /><br />Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi pencatat aktivitas yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya para teller, orang-orang yang menyusun anggaran (akuntan) dan orang yang membuatkan teks kontrak perjanjian yang menghasilkan riba. <br /><br />4. Saksi Riba<br /><br />Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi saksi dalam suatu transaksi atau perjanjian yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya mereka yang menjadi pengawas (supervisor).<br /><br />Sedangkan status pegawai bank yang lain, instansi-instansi serta semua lembaga yang berhubungan dengan riba, harus diteliti terlebih dahulu tentang aktivitas pekerjaan atau deskripsi kerja dari status pegawai bank tersebut. Apabila pekerjaan yang dikontrakkan adalah bagian dari pekerjaan riba, baik pekerjaan itu sendiri yang menghasilkan riba ataupun yang menghasilkan riba dengan disertai aktivitas lain, maka seorang muslim haram untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, semisal menjadi direktur, akuntan, teller dan supervisornya, termasuk juga setiap pekerjaan yang menghasilkan jasa yang berhubungan dengan riba, baik yang berhubungan secara langsung maupun tidak. Sedangkan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan riba, baik secara langsung maupun tidak, seperti juru kunci, penjaga (satpam), pekerja IT (Information Technology/Teknologi Informasi), tukang sapu dan sebagainya, maka diperbolehkan, karena transaksi kerja tersebut merupakan transaksi untuk mengontrak jasa dari pekerjaan yang halal (mubah). Juga karena pekerjaan tersebut tidak bisa disamakan dengan pekerjaan seorang pemberi, pencatat dan saksi riba, yang memang jenis pekerjaannya diharamkan dengan nash yang jelas (sharih).<br /><br />Yang dinilai sama dengan pegawai bank adalah pegawai pemerintahan yang mengurusi kegiatan-kegiatan riba, seperti para pegawai yang bertugas menyerahkan pinjaman kepada petani dengan riba, para pegawai keuangan yang melakukan pekerjaan riba, termasuk para pegawai panti asuhan yang pekerjaannya adalah meminjam harta dengan riba, maka semuanya termasuk pegawai-pegawai yang diharamkan, dimana orang yang terlibat dianggap berdosa besar, karena mereka bisa disamakan dengan pencatat riba ataupun saksinya. Jadi, tiap pekerjaan yang telah diharamkan oleh Allah SWT, maka seorang muslim diharamkan sebagai ajiir di dalamnya.<br /><br />Semua pegawai dari bank atau lembaga keuangan serta pemerintahan tersebut, apabila pekerjaannya termasuk dalam katagori mubah menurut syara’ untuk mereka lakukan, maka mereka boleh menjadi pegawai di dalamnya. Apabila pekerjaan tersebut termasuk pekerjaan yang menurut syara’ tidak mubah untuk dilakukan sendiri, maka dia juga tidak diperbolehkan untuk menjadi pegawai di dalamnya. Sebab, dia tidak diperbolehkan untuk menjadi ajiir di dalamnya. Maka, pekerjaan-pekerjaan yang haram dilakukan, hukumnya juga haram untuk dikontrakkan ataupun menjadi pihak yang dikontrak (ajiir).<br /><br /><br />Selain itu juga Allah SWT mengharamkan kita untuk melakukan kerjasama atau tolong-menolong dalam perbuatan dosa.<br /><br />وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ<br /><br />“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 02)<br /><br />Wallahu’alam<br /><br />Sumber: http://onlymusafir.wordpress.com/2009/08/25/hukum-menjadi-pegawai-bank-dalam-pandangan-islam/Hamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3649787642597955928.post-31690818340769884292010-03-11T18:09:00.000-08:002010-03-11T18:18:54.250-08:00PANDUAN PRAKTIS BERDO’A SESUAI TUNTUNAN NABIDoa adalah jalan keselamatan, tangga pengantar, sesuatu yang dituntut oleh orang-orang yang berpengetahuan, kendaraan orang-orang shalih, tempat berlindung bagi kaum yang terzalimi dan tertindas, melalui doa nikmat diturunkan dan melaluinya pula murka dihindarkan. Alangkah besar kebutuhan para hamba Allah akan doa, seorang muslim tidak akan pernah bisa lepas dari kebutuhan akan doa dalam setiap situasi dan kondisinya.<br /><br />Doa adalah obat yang paling mujarab, ia ibarat musuh bagi penyakit, ia senantiasa melawan, menghilangkan atau meringankannya. Begitulah kedudukan doa, seyogyanya bagi seorang muslim untuk mengetahui keutamaan-keutamaan dan adab-adab doa, kita memohon kepada Allah I agar menerima doa dan amal soleh kita.<br /><br /><br />A. MAKNA DOA<br /><br />Secara bahasa, berarti meminta atau memohon dengan sepenuh hati. <br /><br />Sedangkan secara syar’i / istilah, berarti permohonan seorang hamba kepada Allah I dengan sepenuh hati. Dan diartikan pula dengan pensucian, pemujaan dan semisalnya. [lihat syuruthu ad-du’a wa mawani’u al-ijabah, oleh Sa’id bin Ali Al-Qohthoni, hlm. 5].<br /><br /><br />B. MACAM-MACAM DOA<br /><br />Doa ada dua macam:<br /><br />Pertama: Doa Ibadah, yaitu memohon pahala dengan melaksanakan amal-amal kebaikan seperti mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengamalkan konsekuensi keduanya, shalat, zakat, puasa, haji, menyembelih dan bernadzar karena Allah. Maka barangsiapa melaksanakan ibadah-ibadah tersebut dan selainnya berarti ia telah berdoa dan memohon ampunan kepada Allah, mengharap pahala dari-Nya dan merasa takut terhadap azab-Nya. <br /><br /><br />Doa semacam ini tidak boleh diarahkan kepada selain Allah I. Barangsiapa mengarahkannya kepada selain Allah maka ia telah jatuh pada kufur akbar yang menyebabkannya keluar dari agama Islam dan masuk ke dalam neraka. Sebagaimana firman Allah I:<br /><br /><br />“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku [berdoa kepada-Ku] akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina”. [QS. Al-Mu’min / Ghafir: 60]<br /><br />Dan juga firman Allah I:<br /><br /><br />“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [QS. Al-An’aam: 162-163]<br /><br />Kedua: Doa mas-alah (permohonan), yaitu seorang hamba memohon apa saja yang bermanfaat seperti datangnya kebaikan dan kemaslahatan atau tercegahnya keburukan dan kemudharatan, dan memohon segala kebutuhan.<br /><br />Hukum doa semacam ini ada dua:<br /><br />Pertama: Boleh, apabila seorang hamba memohon kepada orang lain yang masih hidup dan ada di hadapannya dalam hal-hal yang mampu dilakukan oleh orang tersebut, seperti mengatakan kepadanya, ‘Tolong ambilkan air minum untukku, atau berilah aku makanan’ atau perkataan yang semisalnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi r: “Barangsiapa meminta (kepada kalian) dengan menyebut nama Allah maka berilah ia. Barangsiapa memohon perlindungan (kepadamu) dengan menyebut nama Allah maka lindungilah ia. Barangsiapa mengundang kamu maka penuhilah undangannya,…dst.” [HR. Abu Daud, an-Nasa-i, dan Ahmad]<br /><br />Kedua: Haram, yaitu apabila seorang hamba memohon kepada makhluk dalam hal-hal yang tidak mampu dilaksanakan kecuali oleh Allah I semata, seperti mengatakan, ‘Wahai tuanku, atau wahai syaikh/kiyai, atau wahai pembesar jin, sembuhkanlah penyakitku, lapangkanlah rezkiku, kembalikan barang yang telah hilang dariku, berilah aku jodoh dan anak, selamatkan aku dari bencana’, maka ini adalah kekufuran dan kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, walaupun makhluk yang diminta doa tersebut masih hidup dan ada dihadapan kita. Allah I berfirman:<br /><br /><br />“Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, Maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” [QS. Al-An’aam: 17]<br /><br />Dan firman-Nya pula (yang artinya): <br /><br />“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau begitu Termasuk orang-orang yang zalim”. Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Yunus: 106-107]<br /><br />[Lihat pula: QS. Al-A’raaf: 194, 197; Al-Hajj: 11-13; Fathir: 13-14; Al-Ahqaaf: 5-6; Al-Maidah:72; A-Nisa’: 48, 116; Al-An’aam: 88; Asy-Syu’ara: 213; Az-Zumar: 65-66].<br /><br /><br />C. KEUTAMAAN DOA:<br /><br />Doa memiliki keutamaan dan faedah yang tak terhitung, kedudukannya sebagai satu bentuk ibadah cukup menjadi bukti keutamaanya, bahkan ia adalah ibadah itu sendiri, sebagaimana yang sabdakan Rasulullah r:<br /><br />اَلدُّعَاءُ هُوَ اْلعِبَادَةُ<br /><br />”Doa adalah ibadah.” (HR: Tirmizi, dishahihkan syaikh Al-Albani). Meninggalkan doa adalah bentuk menyombongkan diri dari menyembah Allah I, sebagaimana Allah I berfirman:<br /><br />“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina”. [QS. Al-Mu’min/Ghafir: 60]<br /><br />Dan doa itu menunjukan tawakal kepada Allah I, hal itu dikarenakan orang yang berdo’a dalam kondisi memohon pertolongan kepada-Nya, menyerahkan urusan hanya kepada-Nya bukan kepada yang lain-Nya. Sebagaimana doa juga merupakan bentuk ketaatan kepada Allah I dan bentuk pemenuhan akan perintah-Nya. Allah I berfirman:<br /><br />“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. [QS. Al-Mu’min/Ghafir: 60]<br /><br />Doa juga merupakan senjata yang kuat yang digunakan seorang muslim dalam mencari kebaikan dan menolak kemadharatan, Rasulullah r bersabda:<br /><br />من فُتح له منكم باب الدعاء فتحت له أبواب الرحمة، وما سُئل الله شیئاً يُعطى أحب إلیه من أن يُسأل العافیة، إن الدعاء ينفع مما نزل وما لم ينزل، فعلیكم عباد الله بالدعاء<br /><br />“Barang siapa diantara kalian telah dibukakan baginya pintu doa, pasti dibukakan pula baginya pintu rahmat, dan tidaklah Allah I diminta sesuatu yang Dia berikan lebih Dia senangi dari pada diminta kekuatan, sesungguhnya doa itu bermanfaat baik terhadap apa yang terjadi maupun belum terjadi, maka hendaklah kalian berdoa.” (HR: tirmizi, dihasankan oleh Al-Albani).<br /><br />Doa adalah senjata yang digunakan para nabi dalam menghadapi situasi-situasi sulit, begitu pun nabi Muhamad r dalam perang badar, ketika ia melihat jumlah kaum musyrikin sebanyak seribu sedang pasukan islam tiga ratus Sembilan belas, ia segera menghadap kiblat seraya mengangkat kedua tanganya berdoa:<br /><br />“Ya Allah wujudkanlah untuk kami apa yang engkau janjikan, ya Allah<br /><br />berikanlah kepada kami apa yang engkau janjikan, ya Allah jika sekumpulan kaum muslimin ini binasa, maka tidak ada yang akan menyembah engkau di muka bumi ini.” Rasulullah r terus melantunkan doa seraya membentangkan kedua tanganya menghadap kiblat hingga selempangnya jatuh, maka datanglah Abu Bakar mengambil selempang Rasulullah r dan meletakanya di atas pundaknya dan menjaganya dari belakang dan berkata: wahai nabi Allah, doa engkau kepada Tuhanmu sudah cukup, karena Dia pasti akan mewujudkan apa yang Dia janjikan untukmu.” [HR: Muslim]<br /><br />Demikian pula nabi Ayub u, ia menggunakan senjata doa ketika mengalami berbagai macam cobaan, terisolir dari manusia, tidak ada lagi yang menyayanginya selain istrinya sendiri, dalam kondisi seperti itu ia tetap bersabar dan mengharap ridho Allah I, dan ketika cobaan itu telah berlarut lama, ia berdoa:<br /><br /><br />“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang”. Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah”. [QS: Al-Anbiya’: 83-84]<br /><br />Di samping itu doa juga dapat menghilangkan kegelisahan dan kesedihan, menjadikan hati lapang, mempermudah urusan, dalam doa seorang hamba bermunajat kepada Tuhannya, mengakui kelemahan dan ketidak berdayaannya, mengungkapkan rasa butuhnya kepada Pencipta dan Pemiliknya, doa juga sarana untuk menghindari murka Allah I, sebagaimana sabda Rasulullah r:<br /><br />مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ يَغْضَبْ عَلَیْهِ<br /><br />“Barang siapa tidak mau meminta kepada Allah, niscaya Dia akan marah kepadanya” ( HR: Ahmad, Tirmizi, dihasankan syaikh Al-Albani). <br /><br />Alangkah indahnya ungkapan seorang penyair:<br /><br />Janganlah engkau meminta manusia satu kebutuhan,<br /><br />Mintalah kepada yang pintu-Nya tak pernah tertutup.<br /><br />Allah marah jika engkau tidak meminta-Nya,<br /><br />Sedang manusia justru marah ketika diminta.<br /><br />Doa juga menjadi senjata bagi orang-orang yang terzalimi, ia adalah tempat berlindung bagi orang-orang lemah yang putus harapan, tertutup segala pintu di hadapanya. Imam Syafi’i mengatakan:<br /><br />“Apakah engkau meremehkan doa dan memandangnya sepele,<br /><br />Padahal engkau tidak tahu apa yang diperbuat doa.<br /><br />Ia adalah anak panah-anak panah malam yang tak kan meleset,<br /><br />Akan tetapi ia memiliki masa dan masa itu ada penghujungnya”.<br /><br /><br />D. SYARAT-SYARAT TERKABULNYA DOA<br /><br /><br />Banyak orang yang berdoa melakukan perbuatan yang menyebabkan doa mereka ditolak dan tidak dikabulkan, karena kebodohan mereka tentang syarat-syarat doa, padahal apabila tidak terpenuhi salah satu syarat tersebut, maka doa tersebut tidak dikabulkan. <br /><br />Adapun syarat-syarat yang terpenting antara lain:<br />1. Ikhlas <br />Sebagaimana firman Allah I:<br /><br /><br /><br />“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya“. [QS. Al-Mu’min/Ghafir: 14]<br /><br /><br />Ibnu Katsir mengatakan bahwa setiap orang yang beribadah dan berdoa hendaknya dengan ikhlas serta menyelisihi orang-orang musyrik dalam cara dan madzhab mereka.(Tafsir Ibnu Katsir 4/73)<br /><br /><br />Termasuk syarat terkabulnya doa adalah tidak beribadah dan tidak berdoa kecuali kepada Allah. Jika seseorang menujukan sebagian ibadah kepada selain Allah baik kepada para Nabi atau para wali seperti mengajukan permohonan kepada mereka, maka doanya tidak terkabulkan dan nanti diakhirat termasuk orang-orang yang merugi serta kekal di dalam Neraka Jahim bila dia meninggal sebelum bertaubat.<br /><br />2. Al-Ittiba’ <br /><br />Yaitu Mengikuti Tuntunan Nabi Muhammad r dalam segala bentuk ibadah, dan ini merupakan salah satu dari makna syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah (أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ), yaitu agar di dalam beribadah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad r . Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad r maka ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang beribadah kepada Allah dengan niat yang ikhlas. Karena sesungguhnya Allah I telah memerintahkan kepada kita semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad r dalam segala urusan agama, dengan firman-Nya :<br /><br />“Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.[QS. Al Hasyr : 7]<br /><br />Dan Allah I berfirman:<br /><br />“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. [QS. Al-Ahzaab: 21]<br /><br />Dan Rasulullah r juga telah memperingatkan agar meninggalkan segala perkara ibadah yang tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau, sebagaimana sabda beliau r:<br /><br />مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ <br /><br />“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu tertolak”. [HR. Muslim]<br /><br /><br />3. Tidak Berdoa Untuk Sesuatu Dosa atau Memutuskan Silaturrahmi <br /><br />عَنْ أَبِى سَعِيدٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا<br /><br />“Dari Abu Said bahwasanya Rasulullah r bersabda: “Apabila seorang muslim berdoa dan tidak memohon suatu yang berdosa atau pemutusan kerabat kecuali akan dikabulkan oleh Allah salah satu dari tiga ; Akan dikabulkan doanya, atau ditunda untuk simpanan di akhirat atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya”.[Musnad Ahmad 3/18. Imam Al-Mundziri mengatakannya Jayyid (bagus) Targhib 2/478].<br /><br />Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa yang dimaksud “tidak berdoa untuk suatu yang berdosa” artinya berdoa untuk kemaksiatan suatu contoh : “Ya Allah takdirkan aku untuk bisa membunuh si fulan”, sementara si fulan itu tidak berhak dibunuh, atau “Ya Allah berilah aku rizki untuk bisa minum khamer” atau “Ya Allah pertemukanlah aku dengan seorang wanita cantik untuk berzina”. Atau berdoa untuk memutuskan silaturrahmi suatu contoh : “Ya Allah jauhkanlah aku dari bapak dan ibuku serta saudaraku” atau doa semisalnya. Doa tersebut pengkhususan terhadap yang umum. Imam Al-Jazri berkata, bahwa memutuskan silaturahmi bisa berupa tidak saling menyapa, saling menghalangi dan tidak berbuat baik dengan semua kerabat dan keluarga.<br /><br />4. Hendaknya Makanan, minuman dan Pakaiannya dari yang Halal dan Bagus<br />Dari Abu Hurairah t bahwasanya Rasulullah r menyebutkan: <br /><br />ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ<br /><br />“Artinya : Seorang laki-laki yang lusuh lagi kumal karena lama bepergian mengangkat kedua tanganya ke langit tinggi-tinggi dan berdoa : Ya Rabbi, ya Rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dagingnya tumbuh dari yang haram, maka bagaimana doanya bisa terkabulkan?.” [Shahih Muslim, kitab Zakat bab Qabulus Sadaqah 3/85-86].<br /><br />Imam An-Nawawi berkata bahwa yang dimaksud lama bepergian dalam rangka beribadah kepada Allah seperti haji, ziarah, bersilaturrahmi dan yang lainnya.<br /><br />Pada zaman sekarang ini berapa banyak orang yang mengkonsumsi makanan, minuman dan pakaian yang haram baik dari harta riba, perjudian atau harta suap atau yang lainnya. [Syarh Shahih Muslim 7/100].<br /><br />5. Tidak Tergesa-gesa Dalam Menunggu Terkabulnya Doa<br />Dari Abu Hurairah t bahwasanya Rasulullah r bersabda: <br /><br /><br />يُسْتَجَابُ لأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ فَيَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ رَبِّى فَلَمْ يَسْتَجِبْ لِى<br /><br />“Artinya : Akan dikabulkan permintaan seseorang di antara kamu, selagi tidak tergesa-gesa, yaitu mengatakan: Saya telah berdoa kepada Tuhanku tetapi belum dikabulkan”. [Shahih Al-Bukhari, kitab Da'awaat 7/153. Shahih Muslim, kitab Do'a wa Dzikir 8/87].<br /><br />Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : Yang dimaksud dengan sabda Nabi r : “Saya berdoa tetapi tidak dikabulkan”, Ibnu Baththaal berkata bahwa seseorang bosan berdoa lalu meninggalkannya, seakan-akan mengungkit-ungkit dalam doanya atau mungkin dia berdoa dengan baik sesuai dengan syaratnya, tetapi bersikap bakhil dalam doanya dan menyangka Alllah tidak mampu mengabulkan doanya, padahal Dia dzat Yang Maha Mengabulkan doa dan tidak pernah habis pemberian-Nya. [Fathul Bari 11/145].<br /><br />Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa Imam Al-Madzhari berkata : Barangsiapa yang bosan dalam berdoa, maka doanya tidak terkabulkan sebab doa adalah ibadah baik dikabulkan atau tidak, seharusnya seseorang tidak boleh bosan beribadah. Tertundanya permohonan boleh jadi belum waktunya doa tersebut dikabulkan karena segala sesuatu telah ditetapkan waktu terjadinya, sehingga segala sesuatu yang belum waktunya tidak akan mungkin terjadi, atau boleh jadi permohonan tersebut tidak terkabulkan dengan tujuan Allah mengganti doa tersebut dengan pahala, atau boleh jadi doa tersebut tertunda pengabulannya agar orang tersebut rajin berdoa sebab Allah sangat senang terhadap orang yang rajin berdoa karena doa memperlihatkan sikap rendah diri, menyerah dan merasa membutuhkan Allah. Orang sering mengetuk pintu akan segera dibukakan pintu dan begitu pula orang yang sering berdoa akan segera dikabulkan doanya. Maka seharusnya setiap kaum Muslimin tidak boleh meninggalkan berdoa. [Mir'atul Mafatih 7/349].<br /><br />Syubhat:<br />Allah I berfirman:<br /><br />“Artinya : Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. [QS. Al-Mu’min / Ghafir: 60].<br /><br />Banyak orang yang berdoa tetapi tidak dikabulkan, kalau seandainya ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya pasti tidak mungkin doa tersebut ditolak.<br /><br />Al-Hafizh Ibnu Hajar menjawab syubhat ini dengan mengatakan bahwa setiap orang yang berdoa pasti terkabulkan tetapi dengan bentuk pengkabulan yang berbeda-beda, terkadang apa yang diminta terkabulkan, atau terkadang diganti dengan sesuatu pemberian lain, sebagaimana hadits dari ‘Ubadah bin Shamit t bahwasanya Nabi r bersabda:<br />“Artinya : Tidak ada seorang muslim di dunia berdoa memohon suatu permohonan melainkan Allah pasti mengabulkannya atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya”. [Fathul Bari 11/98].<br /><br />6 & 7. Hendaknya Berdoa dengan Hati yang Khusyu’ dan Yakin bahwa Doanya Pasti akan Dikabulkan<br />Dari Abu Hurairah t bahwasanya Rasulullah r bersabda:<br /><br /><br />ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَه<br /><br />“Mohonlah kepada Allah sedangkan kamu merasa yakin akan dikabulkan karena sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai”. [HR. Tirmidzi 5/517 nomer hadits: 3479]<br /><br />Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi : ” dan kalian yakin akan dikabulkan”, adalah pengharusan artinya berdoalah sementara kalian bersikap dengan sifat yang menjadi penyebab terkabulnya doa. Imam Al-Madzhari berkata bahwa hendaknya orang yang bedoa merasa yakin bahwa Allah akan mengabulkan doanya sebab sebuah doa tertolak mungkin disebabkan yang diminta tidak mampu mengabulkan atau tidak ada sifat dermawan atau tidak mendengar terhadap doa tersebut, sementara kesemuanya sangat tidak layak menjadi sifat Allah. Allah adalah Dzat Yang Maha Pemurah, Maha Tahu dan Maha Kuasa yang tidak menghalangi doa hamba-Nya. Jika seorang hamba tahu bahwa Allah tidak mungkin menghalangi doa hamba-Nya, maka seharusnya kita berdoa kepada Allah dan merasa yakin bahwa doanya akan dikabulkan oleh Allah.<br /><br />Seandainya ada orang yang mengatakan bahwa kita dianjurkan agar kita selalu yakin bahwa doa kita akan terkabulkan dan keyakinan itu akan muncul jika doa pasti dikabulkan, sementara kita melihat sebagian orang terkabul doanya dan sebagian yang lainnya tidak terkabulkan, bagaimana kita bisa yakin ?<br /><br />Jawab.<br />Orang yang berdoa pasti terkabulkan dan pemintaannya pasti diberikan kecuali bila dalam catatan azali Allah doa tersebut tidak mungkin dikabulkan akan tetapi dia akan dihindarkan oleh Allah dari musibah semisalnya dengan permohonan yang dia minta sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits. Atau diberi ganti yang berupa pahala dan derajat di akhirat. Karena doa adalah ibadah dan barangsiapa yang beribadah dengan baik, maka tidak mungkin akan dihalangi dari pahala.<br /><br />Yang dimaksud dengan sabda Nabi : “dari hati yang lalai” adalah hati yang berpaling dari Allah atau berpaling dari yang dimintanya. [Mir'atul Mafatih 7/360-361].<br /><br /><br />E. ADAB-ADAB BERDO’A:<br /><br />Adab-adab berdoa banyak sekali, semuanya dianjurkan untuk dilaksanakan saat berdoa, agar ia menjadi penguat untuk dikabulkannya doa, diantara adab-adab itu adalah:<br /><br />1- Membuka doa dengan hamdalah dan pujian bagi Allah I dan shalawat atas nabi r.<br /><br />Sebagaimana hadits fadhalah bin Ubaid t: Tatkalah Rasulullah r duduk, tiba-tiba masuk seorang laki-laki lalu berdoa: “Allahumaghfirli Warhamni (Ya Allah, ampunilah dosaku dan rahmatilah diriku).” Maka Rasulullah r bersabda: “Kamu tergesa-gesa wahai orang yang berdoa, jika kamu berdoa, maka duduklah, lalu ucapkan pujian kepada Allah dengan sesuatu yang layak bagi-Nya, dan bershalawatlah kepadaku kemudian berdoalah .” Kemudian ada laki-laki lain berdoa setelah itu, ia mengucapkan pujian kepada Allah dan bershalawat kepada nabi, maka nabi bersabda kepadanya:” Wahai orang yang berdoa, berdoalah engkau niscaya dikabulkan” (HR: Tirmizi, dishahihkan syaikh Al-Albani).<br /><br />2- Mengakui dosa<br /><br />Mengakui dosa menunjukan kesempurnaan ubudiyah kepada Allah I, sebagaimana doa Yunus u:<br /><br /><br />“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam Keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), Maka ia menyeru dalam Keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim.” [Al-Anbiya: 87]<br /><br />Yang dimaksud dengan Keadaan yang sangat gelap ialah didalam perut ikan, di dalam laut dan di malam hari.<br /><br />3- Bersungguh-sungguh dalam berdoa dan berketetapan hati dalam Meminta,<br /><br />Sabda Rasul r:<br /><br />إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيِعْزِمِ اْلمَسْأَلَةَ، وَلاَ يَقُوْلَنَّ : اَللَّهُمَّ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِيْ، فَإِنَّهُ لاَ مُسْتَكْرِهَ لَهُ <br /><br />“Jika salah seorang dari kalian berdoa, maka hendaknya berketetapan hati dalam meminta, dan janganlah mengatakan: Ya Allah jika engkau mau berilah aku,karena sesungguhnya tidak ada yang bisa memaksa Allah.” ( HR:Bukhari Muslim).<br /><br />4- Berwudhu, menghadap kiblat dan mengangkat tangan ketika berdoa<br /><br />Hal itu akan lebih mendatangkan kekhusyu’an dan kejujuran dalam menghadap. Abu Abdillah bin Zaed mengatakan: “Nabi r keluar ke tempat shalat untuk minta hujan, lalu beliau berdoa dan meminta hujan, kemudian menghadap kiblat dan membalik selempangnya.”<br /><br />Dan sebagaimana hadits Abu Musa Al-Asy’ari t, tatkala Rasulullah r selesai dari perang Hunain – Abu Musa mengatakan: Beliau meminta air lalu berwudhu, kemudian mengangkat kedua tanganya seraya berdoa:” Ya Allah ampunilah Ubaid bin Amir.” Dan aku melihat putih ketiaknya. [HR: Bukhari Muslim].<br /><br />5- Merendahkan suara dalam berdoa<br /><br />Allah r berfirman:<br /><br /><br />“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. [QS. Al-A’raaf: 55]<br /><br />أَيُّهَا النَّاسُ، اِرْبِعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًاً، إِنَّكُمْ تَدْعُوْنَ سَمِيْعاً قَرِيْباً وَهُوَ مَعَكُمْ <br /><br />“Wahai manusia, sayangilah diri kalian, sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada yang tuli dan tidak pula yang jauh, kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar dan Dekat, dan Dia selalu menyertaimu” ( HR: Bukhari)<br /><br />6- Tidak membuat-buat kalimat bersajak<br /><br />Hal itu karena orang yang berdoa harus dalam kondisi merendah, sedang perbuatan membuat-buat seperti itu tidak pantas. Ibnu Abas t pernah menyampaikan nasehat kepada salah seorang sahabat, ia mengatakan: “Jauhilah sajak dalam doa, sesungguhnya aku mendapatkan Rasulullah r dan sahabatnya menjauhi hal itu.”<br /><br />7- Memilih waktu-waktu yang dianjurkan dan saat-saat yang mulia<br /><br />Seperti saat-saat setelah shalat, saat azan, antara azan dan qamat, sepertiga malam terakhir, hari jumat, hari arafah, saat turun hujan, saat sujud, saat berangkat menyerbu musuh dalam jihad fisabililah, dll.<br /><br />8- Tidak mendoakan jelek kepada diri, keluarga dan harta<br /><br />Nabi r bersabda:<br /><br />لاَ تَدْعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوْا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوْا عَلَى أَمْوَالِكُمْ، لاَ تُوَافِقُوْا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيْهَا عَطَاءً فَيَسْتَجِيْبُ لَكُمْ <br /><br />“Janganlah kalian mendoakan jelek terhadap diri kalian, jangan pula terhadap anak-anak dan harta kalian, jangan sampai kalian mendapati satu saat Allah diminta satu permintaan lalu Dia mengabulkan untuk kalian“ ( HR: Muslim ).<br /><br /><br />Wallahu’alam bishshawab<br /><br /><br />Makalah ini dinukil dari buletin dakwah al-ittiba’ edisi 22 tahun II 1429 H / 2008 M yang diterbitkan oleh Yayasan Dakwah MUTIARA HIKMAH, JL. Bedrek – Tlogorandu Rt. 05 Rw. 03 Juwiring – Klaten 57472, HP. 081548402244Hamba Allahhttp://www.blogger.com/profile/02863510853317807934noreply@blogger.com0