Cari Ilmu Yuuck...

Selasa, 02 Maret 2010

Hukum Berpenampilan dan Berperilaku BANCI, BENCONG, WARIA, GAY, LESBI dan TRANSGENDER

Penulis : Al Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجاَلِ بِالنِّساَءِ، وَالْمُتَشَبِّهاَتِ مِنَ النِّساَءِ بِالرِّجاَلِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari no. 5885, 6834)

Ath-Thabari rahimahullah memaknai sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dengan ucapan: “Tidak boleh laki-laki menyerupai wanita dalam hal pakaian dan perhiasan yang khusus bagi wanita. Dan tidak boleh pula sebaliknya (wanita menyerupai laki-laki).” Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menambahkan: “Demikian pula meniru cara bicara dan berjalan. Adapun dalam penampilan/ bentuk pakaian maka ini berbeda-beda dengan adanya perbedaan adat kebiasaan pada setiap negeri. Karena terkadang suatu kaum tidak membedakan model pakaian laki-laki dengan model pakaian wanita (sama saja), akan tetapi untuk wanita ditambah dengan hijab. Pencelaan terhadap laki-laki atau wanita yang menyerupai lawan jenisnya dalam berbicara dan berjalan ini, khusus bagi yang sengaja. Sementara bila hal itu merupakan asal penciptaannya maka ia diperintahkan untuk memaksa dirinya agar meninggalkan hal tersebut secara berangsur-angsur. Bila hal ini tidak ia lakukan bahkan ia terus tasyabbuh dengan lawan jenis, maka ia masuk dalam celaan, terlebih lagi bila tampak pada dirinya perkara yang menunjukkan ia ridla dengan keadaannya yang demikian.” Al-Hafidz rahimahullah mengomentari pendapat Al-Imam An-Nawawi rahimahullah yang menyatakan mukhannats yang memang tabiat/ asal penciptaannya demikian, maka celaan tidak ditujukan terhadapnya, maka kata Al-Hafidz rahimahullah, hal ini ditujukan kepada mukhannats yang tidak mampu lagi meninggalkan sikap kewanita-wanitaannya dalam berjalan dan berbicara setelah ia berusaha menyembuhkan kelainannya tersebut dan berupaya meninggalkannya. Namun bila memungkinkan baginya untuk meninggalkan sifat tersebut walaupun secara berangsur-angsur, tapi ia memang enggan untuk meninggalkannya tanpa ada udzur, maka ia terkena celaan.” (Fathul Bari, 10/345)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah memang menyatakan: “Ulama berkata, mukhannats itu ada dua macam.

Pertama: hal itu memang sifat asal/ pembawaannya bukan ia bersengaja lagi memberat-beratkan dirinya untuk bertabiat dengan tabiat wanita, bersengaja memakai pakaian wanita, berbicara seperti wanita serta melakukan gerak-gerik wanita. Namun hal itu merupakan pembawaannya yang Allah Subhanahu wa Ta’ala memang menciptakannya seperti itu. Mukhannats yang seperti ini tidaklah dicela dan dicerca bahkan tidak ada dosa serta hukuman baginya karena ia diberi udzur disebabkan hal itu bukan kesengajaannya. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada awalnya tidak mengingkari masuknya mukhannats menemui para wanita dan tidak pula mengingkari sifatnya yang memang asal penciptaan/ pembawaannya demikian. Yang beliau ingkari setelah itu hanyalah karena mukhannats ini ternyata mengetahui sifat-sifat wanita (gambaran lekuk-lekuk tubuh wanita) dan beliau tidak mengingkari sifat pembawaannya serta keberadaannya sebagai mukhannats.

Kedua: mukhannats yang sifat kewanita-wanitaannya bukan asal penciptaannya bahkan ia menjadikan dirinya seperti wanita, mengikuti gerak-gerik dan penampilan wanita seperti berbicara seperti mereka dan berpakaian dengan pakaian mereka. Mukhannats seperti inilah yang tercela di mana disebutkan laknat terhadap mereka di dalam hadits-hadits yang shahih.

Adapun mukhannats jenis pertama tidaklah terlaknat karena seandainya ia terlaknat niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkannya pada kali yang pertama, wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 14/164)

Namun seperti yang dikatakan Al-Hafidz rahimahullah, mukhannats jenis pertama tidaklah masuk dalam celaan dan laknat, apabila ia telah berusaha meninggalkan sifat kewanita-wanitaannya dan tidak menyengaja untuk terus membiarkan sifat itu ada pada dirinya.

Dalam Sunan Abu Dawud dibawakan hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةُ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud no. 3575. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata: Hadits ini hasan dengan syarat Muslim).

Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitab Al-Jami’ush Shahih (3/92) menempatkan hadits ini dalam kitab An-Nikah wath Thalaq, bab Tahrimu Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijal (Haramnya Wanita Menyerupai Laki-Laki), dan beliau membawakannya kembali dalam kitab Al-Libas, bab Tahrimu Tasyabbuhir Rijal bin Nisa’ wa Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijal (Haramnya Laki-Laki Menyerupai Wanita dan Wanita Menyerupai Laki-Laki) (4/314).

Dalam masalah laki-laki menyerupai wanita ini, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan laki-laki dan perempuan di mana masing-masingnya Dia berikan keistimewaan. Laki-laki berbeda dengan wanita dalam penciptaan, watak, kekuatan, agama dan selainnya. Wanita demikian pula berbeda dengan laki-laki. Siapa yang berusaha menjadikan laki-laki seperti wanita atau wanita seperti laki-laki, berarti ia telah menentang Allah dalam qudrah dan syariat-Nya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hikmah dalam apa yang diciptakan dan disyariatkan-Nya. Karena inilah terdapat nash-nash yang berisi ancaman keras berupa laknat, yang berarti diusir dan dijauhkan dari rahmat Allah, bagi laki-laki yang menyerupai (tasyabbuh) dengan wanita atau wanita yang tasyabbuh dengan laki-laki. Maka siapa di antara laki-laki yang tasyabbuh dengan wanita, berarti ia terlaknat melalui lisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula sebaliknya….” (Syarah Riyadhish Shalihin, 4/288)

Dan hikmah dilaknatnya laki-laki yang tasyabbuh dengan wanita dan sebaliknya, wanita tasyabbuh dengan laki-laki, adalah karena mereka keluar/menyimpang dari sifat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk mereka. (Fathul Bari, 10/345-346)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila seorang laki-laki tasyabbuh dengan wanita dalam berpakaian, terlebih lagi bila pakaian itu diharamkan seperti sutera dan emas, atau ia tasyabbuh dengan wanita dalam berbicara sehingga ia berbicara bukan dengan gaya/ cara seorang lelaki (bahkan) seakan-akan yang berbicara adalah seorang wanita, atau ia tasyabbuh dengan wanita dalam cara berjalannya atau perkara lainnya yang merupakan kekhususan wanita, maka laki-laki seperti ini terlaknat melalui lisan makhluk termulia (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.). Dan kita pun melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Syarah Riyadhish Shalihin, 4/288)

Perbuatan menyerupai lawan jenis secara sengaja haram hukumnya dengan kesepakatan yang ada (Fathul Bari, 9/406) dan termasuk dosa besar, karena Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dan selainnya mengatakan: “Dosa besar adalah semua perbuatan maksiat yang ditetapkan hukum had-nya di dunia atau diberikan ancaman di akhirat.” Syaikhul Islam menambahkan: “Atau disebutkan ancaman berupa ditiadakannya keimanan (bagi pelakunya), laknat9, atau semisalnya.” (Mukhtashar Kitab Al-Kabair, Al-Imam Adz-Dzahabi, hal. 7)

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu memasukkan perbuatan ini sebagai salah satu perbuatan dosa besar dalam kitab beliau yang masyhur Al-Kabair, hal. 145.

Adapun sanksi/hukuman yang diberikan kepada pelaku perbuatan ini adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:

لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِيْنِ مِنَ الرِّجاَلِ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّساَءِ، وَقاَلَ: أَخْرِجُوْهُمْ مِنْ بُيُوْتِكُمْ. قاَلَ: فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلاَناً وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَنَةً

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita (mukhannats) dan wanita yang menyerupai laki-laki (mutarajjilah10). Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Keluarkan mereka (usir) dari rumah-rumah kalian”. Ibnu Abbas berkata: “Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengeluarkan Fulan (seorang mukhannats) dan Umar mengeluarkan Fulanah (seorang mutarajjilah).” (HR. Al-Bukhari no. 5886)

Hadits ini menunjukkan disyariatkannya mengusir setiap orang yang akan menimbulkan gangguan terhadap manusia dari tempatnya sampai dia mau kembali dengan meninggalkan perbuatan tersebut atau mau bertaubat. (Fathul Bari, 10/347)

Mereka harus diusir dari rumah-rumah dan daerah kalian, kata Al-Qari. (‘Aunul Ma’bud, 13/189)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan: Ulama berkata: “Dikeluarkan dan diusirnya mukhannats ada tiga makna:

Salah satunya, sebagaimana tersebut dalam hadits yaitu mukhannats ini disangka termasuk laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita tapi ternyata ia punya syahwat namun menyembunyikannya.

Kedua: ia menggambarkan wanita, keindahan-keindahan mereka dan aurat mereka di hadapan laki-laki sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seorang wanita menggambarkan keindahan wanita lain di hadapan suaminya, lalu bagaimana bila hal itu dilakukan seorang lelaki di hadapan lelaki?

Ketiga: tampak bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mukhannats ini bahwa dia mencermati (memperhatikan dengan seksama) tubuh dan aurat wanita dengan apa yang tidak dicermati oleh kebanyakan wanita. Terlebih lagi disebutkan dalam hadits selain riwayat Muslim bahwa si mukhannats ini mensifatkan/ menggambarkan wanita dengan detail sampai-sampai ia menggambarkan kemaluan wanita dan sekitarnya, wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 14/164)

Bila penyerupaan tersebut belum sampai pada tingkatan perbuatan keji yang besar seperti si mukhannats berbuat mesum (liwath/homoseks) dengan sesama lelaki sehingga lelaki itu ‘mendatanginya’ pada duburnya atau si mutarajjilah berbuat mesum (lesbi) dengan sesama wanita sehingga keduanya saling menggosokkan kemaluannya, maka mereka hanya mendapatkan laknat dan diusir seperti yang tersebut dalam hadits di atas. Namun bila sampai pada tingkatan demikian, mereka tidak hanya pantas mendapatkan laknat tapi juga hukuman yang setimpal11. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengeluarkan mukhannats dari rumah-rumah kaum muslimin agar perbuatan tasyabbuhnya (dengan wanita) itu tidak mengantarkannya untuk melakukan perbuatan yang mungkar tersebut (melakukan homoseks)12. Demikian dikatakan Ibnu At-Tin rahimahullahu seperti dinukil Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu (Fathul Bari, 10/345).

Kesimpulan: hukum mukhannats memandang wanita ajnabiyyah (non mahram)

Dalam hal ini, fuqaha terbagi dua pendapat:

Pertama: mukhannats dihukumi sama dengan laki-laki jantan yang berselera terhadap wanita. Demikian pendapat madzhab Al-Hanafiyyah terhadap mukhannats yang bersengaja tasyabbuh dengan wanita padahal memungkinkan bagi dirinya untuk merubah sifat kewanita-wanitaannya tersebut. Sebagian Al-Hanafiyyah juga memasukkan mukhannats yang tasyabbuh dengan wanita karena asal penciptaannya walaupun ia tidak berselera dengan wanita, demikian pula pendapat Asy-Syafi’iyyah. Adapun madzhab Al-Hanabilah berpandangan bahwa mukhannats yang memiliki syahwat terhadap wanita dan mengetahui perkara wanita maka hukumnya sama dengan laki-laki jantan (tidak kewanita-wanitaan) bila memandang wanita.

Dalil yang dipegangi oleh pendapat pertama ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصاَرِهِمْ

“Katakanlah kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka….” (An-Nur: 30)

Adapun dalil yang mereka pegangi dari As Sunnah adalah hadits Ummu Salamah dan hadits Aisyah radhiallahu ‘anhuma tentang mukhannats yang menggambarkan tubuh seorang wanita di hadapan laki-laki sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mukhannats ini masuk menemui istri-istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua: mereka berpandangan bahwa mukhannats yang tasyabbuh dengan wanita karena memang asal penciptaannya demikian (tidak bersengaja tasyabbuh dengan wanita) dan ia tidak berselera/ bersyahwat dengan wanita, bila ia memandang wanita ajnabiyyah maka hukumnya sama dengan hukum seorang lelaki bila memandang mahram-mahramnya. Sebagian Al-Hanafiyyah berpendapat boleh membiarkan mukhannats yang demikian bersama para wanita. Namun si wanita hanya boleh menampakkan tubuhnya sebatas yang dibolehkan baginya untuk menampakkannya di hadapan mahram-mahramnya dan si mukhannats sendiri boleh memandang wanita sebatas yang diperkenankan bagi seorang lelaki untuk memandang wanita yang merupakan mahramnya. Demikian yang terkandung dari pendapat Al-Imam Malik rahimahullahu dan pendapat Al-Hanabilah.

Dalil mereka adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُوْلِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجاَلِ

“atau laki-laki yang mengikuti kalian yang tidak punya syahwat terhadap wanita.”

Di antara ulama salaf ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan:

غَيْرِ أُوْلِي اْلإِرْبَةِ

(yang tidak punya syahwat terhadap wanita) adalah mukhannats yang tidak berdiri kemaluannya.

Dari As Sunnah, mereka berdalil dengan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha (yang juga menjadi dalil pendapat pertama). Dalam hadits Aisyah ini diketahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada awalnya membolehkan mukhannats masuk menemui istri-istri beliau karena menyangka ia termasuk laki-laki yang tidak bersyahwat terhadap wanita. Namun ketika beliau mendengar mukhannats ini tahu keadaan wanita dan sifat mereka, beliau pun melarangnya masuk menemui istri-istri beliau karena ternyata ia termasuk laki-laki yang berselera dengan wanita.

Inilah pendapat yang rajih, insya Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun bila si mukhannats punya syahwat terhadap wanita, maka hukumnya sama dengan laki-laki jantan yang memandang wanita ajnabiyyah. (Fiqhun Nazhar, hal. 172-176)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Seperti pendapat Mujahid rahimahullahu (Tafsir Ibnu Katsir, 5/402)

2 Kata ‘Ikrimah rahimahullahu: “Dia adalah mukhannats yang tidak bisa berdiri dzakarnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/402). Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan: “Dia adalah laki-laki yang tidak memiliki syahwat terhadap wanita.”

3 Yakni dengan empat lekukan pada perutnya.

4 Ujung lekukan itu sampai ke pinggangnya, pada masing-masing sisi (pinggang) empat sehingga dari belakang terlihat seperti delapan. Al-Khaththabi rahimahullahu menjelaskan: “Mukhannats ini hendak mensifatkan putri Ghailan itu besar badannya, di mana pada perutnya ada empat lipatan dan yang demikian itu tidaklah didapatkan kecuali pada wanita-wanita yang gemuk. Secara umum, laki-laki biasanya senang dengan wanita yang demikian sifatnya.” (Fathul Bari, 9/405)

5 Thaif adalah negeri besar terletak di sebelah timur Makkah sejarak 2-3 hari perjalanan. Negeri ini terkenal memiliki banyak pohon anggur dan kurma (Fathul Bari, 8/54-55). Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengepung Thaif.

6 Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi salah seorang tokoh/ pemimpin Bani Tsaqif, yang mendiami Thaif. Pada akhirnya ia masuk Islam dan ketika itu ia memiliki 10 istri, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk memilih 4 di antaranya dan menceraikan yang lainnya. (Fathul Bari, 9/405)

7 Hadits-hadits seperti ini diberi judul oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim, bab Larangan bagi mukhannats untuk masuk menemui wanita-wanita ajnabiyyah (bukan mahramnya dengan tanpa hijab, pen.)

8 Tidak termasuk laki-laki yang disebutkan dalam ayat:

أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُوْلِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجاَلِ

“Atau laki-laki yang mengikuti kalian yang tidak punya syahwat terhadap wanita.”

9 Dan dalam hal ini terdapat hadits yang berisi laknat bagi laki-laki yang menyerupai wanita dan sebaliknya, wanita menyerupai laki-laki.

10 Al-Mutarajjilah yaitu wanita yang menyerupai laki-laki dalam hal pakaian, penampilan, cara berjalan, mengangkat suara (cara bicara), dan semisalnya. Bukan penyerupaan dalam pendapat/ pikiran/ pertimbangan, dan ilmu. Karena menyerupai laki-laki dalam masalah ini adalah terpuji, sebagaimana diriwayatkan bahwa pendapat/ pikiran/ pertimbangan Aisyah radhiallahu ‘anha seperti laki-laki. (‘Aunul Ma’bud, 13/189)

11 Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu berkata: “Ulama berselisih pendapat tentang hukuman bagi orang yang berbuat liwath. Yang paling shahih dari pendapat yang ada, hukumannya dibunuh, baik subyeknya (fa’il) maupun obyeknya (maf’ul) bila keduanya telah baligh.” (Ijabatus Sail, hal. 362)

12 Para mukhannats yang ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidaklah tertuduh melakukan perbuatan keji yang besar, hanya saja kewanita-wanitaan mereka tampak dari ucapan mereka yang lunak/ lembut mendayu, mereka memacari tangan dan kaki mereka seperti halnya wanita, dan berkelakar seperti kelakarnya wanita. (‘Aunul Ma’bud, 13/189)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar