Pertanyaan.
Redaksi As-Sunnah ditanya : Mohon dengan sangat dan hormat dijelaskan tentang kawin sirri dan hak-hak istri. Karena ada keluarga yang kawin sirri, tetapi saya tidak setuju karena prosesnya tidak wajar (memaksa). Apakah kawin sirri itu sah menurut agama dan negara? [0812153xxxx]
Jawaban.
Kami memahami mengapa Anda begitu merisaukan perkawinan secara sirri yang terjadi pada anggota keluarga. Karena memang, lingkungan kita memandang perkawinan secara sirri dengan konotasi kurang baik.
Adapun disini, kami ingin menyampaikan pengertian nikah sirri dalam perspektif ulama fiqih. Menurut pengertian mereka, nikah sirri ialah pernikahan yang ditutup-tutupi. Ia berasal dari kata as-sirru yang bermakna rahasia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلَكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا
“…Dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia”. [al- Baqarah/2: 235].
Pernikahan sirri juga didefinisikan sebagai pernikahan yang diwasiatkan untuk disembunyikan [1], tidak diumumkan [2]. Oleh karena itu, kawin sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan dan ditutupi, serta tidak disebarluaskan.
Menurut pandangan ulama, nikah sirri terbagi menjadi dua.
Pertama : Dilangsungkannya pernikahan suami istri tanpa kehadiran wali dan saksi-saksi, atau hanya dihadiri wali tanpa diketahui oleh saksi-saksi. Kemudian pihak-pihak yang hadir (suami-istri dan wali) menyepakati untuk menyembunyikan pernikahan tersebut.
Menurut pandangan seluruh ulama fiqih, pernikahan yang dilaksanakan seperti ini batil. Lantaran tidak memenuhi syarat pernikahan, seperti keberadaan wali dan saksi-saksi. Ini bahkan termasuk nikah sifâh (perzinaan) atau ittikhâdzul-akhdân (menjadikan wanita atau lelaki sebagai piaraan untuk pemuas nafsu) sebagaimana disinggung dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلاَمُتَّخِذَاتِ أّخْدَانٍ
“… Bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya …” [an- Nisâ`/4:25].
Adapun bila dua saksi telah berada di tengah acara, menyertai mempelai lelaki dan perempuan, sementara itu pihak wali belum hadir, kemudian mereka bersepakat untuk menutupi pernikahan dari telinga wali dan masyarakat, ini juga termasuk pernikahan sirri yang batil. Karena tidak memenuhi syarat mengenai keberadaan wali.
Kedua : Pernikahan terlaksana dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang terpenuhi, seperti ijab, qabul, wali dan saksi-saksi. Akan tetapi, mereka (suami, istri, wali dan saksi) satu kata untuk merahasiakan pernikahan ini dari telinga masyarakat atau sejumlah orang. Dalam hal ini, sering kali pihak mempelai lelakilah yang berpesan supaya dua saksi menutup rapat-rapat berita mengenai pernikahan yang terjadi.
Dalam masalah ini, para ulama Rahimahullah berselisih pendapat. Jumhur ulama Rahimahullah memandang pernikahan seperti ini sah, tetapi hukumnya dilarang. Hukumnya sah, resmi menurut agama, karena sudah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat disertai keberadaan dua saksi sehingga unsur “kerahasiaannya” hilang. Sebab, suatu perkara yang rahasia, jika telah dihadiri dua orang atau lebih, maka sudah bukan rahasia lagi.
Adapun sisi pelarangannya, disebabkan adanya perintah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk walimah dan unsur yang berpotensi mengundang keragu-raguan dan tuduhan tidak benar (seperti kumpul kebo, umpamanya) pada keduanya.
Sedangkan kalangan ulama Malikiyyah Rahimahullah menilai pernikahan yang seperti ini batil. Karena maksud dari perintah untuk menyelenggarakan pernikahan adalah pemberitahuan, dan ini termasuk syarat sah pernikahan.
Pendapat yang rajih (kuat), nikah ini sah, lantaran syarat-syarat dan rukun-rukunnya telah terpenuhi, walaupun tidak diberitahukan kepada khalayak. Sebab kehadiran wali dan dua saksi telah merubah sifat kerahasiaan menjadi sesuatu yang diketahui oleh umum. Semakin banyak yang mengetahui, maka semakin afdhal. Oleh karena itu, dimakruhkan merahasiakan pernikahan supaya pasangan itu tidak mendapatkan gunjingan dan tuduhan tidak sedap, ataupun persangkaan-persangkaan yang buruk.[3]
Sementara itu, dalam pengertian masyarakat, kawin sirri sering disebut “menikah di bawah tangan”. Namun, lebih diarahkan pada pernikahan yang tidak menyertakan petugas pencatat nikah (misalnya KUA) untuk mencatat pernikahan tersebut dalam dokumen negara. Akibatnya, mempelai berdua tidak mengantongi surat nikah dari pihak yang berwenang. Ditinjau dari kaca mata agama Islam, bila rukun-rukun dan syarat-syarat nikah telah terpenuhi, maka pernikahan itu sah secara hukum. Hak-kewajiban suami-istri sudah mulai berlaku sejak akad nikah yang sah itu.
Akan tetapi, menurut hemat kami, mematuhi aturan negara sebuah kewajiban. Apalagi urusan pernikahan, negara mengadopsi hukum Islam. Secara administratif, kekuatan hukum kawin sirri kurang kuat. Kemungkinan akan menimbulkan dilema dan menyisakan sejumlah permasalahan, cepat atau lambat. Bila di kemudian hari ternyata terjadi permasalahan, seperti cerai, atau suami meninggal dunia, dengan pernikahan yang tanpa tercatat dalam dokumen resmi, maka menyebabkan posisi wanita dalam masalah ini menjadi lemah, karena ia tidak memegang dokumen pernikahan resmi (surat nikah). Sehingga sangat mungkin statusnya sebagai istri tidak terakui, sebagai akibat dari “kerahasiaan perkawinan mereka”. Bahkan mungkin saja disebut sebagai wanita simpanan.
Masalah lain yang mungkin muncul, berkaitan dengan akte kelahiran yang keberadaannya cukup penting bila anak-anak akan sekolah. Sementara pihak berwenang tidak akan mengeluarkannya, jika kita mampu menunjukkan surat perkawinan yang resmi dikeluarkan negara. Demikianlah dalam konteks kewarganegaraan, setiap warga negara semestinya menaati peraturan atau ketentuan negara, selama tidak mengajak kepada maksiat, atau pertentangan kepada hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Secara singkat dapat kita simpulkan, kawin sirri, memiliki potensi bahaya yang sangat jelas. Disamping itu dengan menyebarluaskan pernikahan, maka manfaatnya pun sangat jelas bagi kehidupan keluarga dan anak-anak di masa depan.
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI/1428H/2007M. (Rubrik Konsultasi Keluarga). Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnotes
[1]. Syarhuz-Zarqâni ‘Alal-Muwaththa (3/188).
[2]. At-Ta’ârif, hlm. 710.
[3]. Penjelasan ini dikutip dari az-Zawâjul-’Urfi, Dr. Ahmad bin Yûsuf bin Ahmad ad-Daryuyisy, Dârul- ‘Âshimah, Riyâdh, hlm. 94-97.
Disalin dari almanhaj.or.id dan disebarkan kembali oleh salafiyunpad.wordpress.com
Selasa, 09 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar