Mengolok-olok atau menjadikan Sunnah Nabi sebagai bahan tertawaan merupakan perbuatan dosa besar, bahkan bisa menyebabkan pelakunya kafir.
Istihza’ (mengolok-olok) Sunnah Nabi berarti mengolok-olok Islam. Ini adalah perbuatan besar namun dinilai oleh sebagian orang sebagai suatu hal yang biasa. Bahkan terkadang disebut lelucon yang menggelikan karena dianggap perbuatan tersebut adalah main-main dan tidak serius sehingga seolah-olah ketika melakukannya tidak menanggung dosa atau tanggung jawab apa pun. Padahal perbuatan itu dinilai oleh syariat sangat berbahaya dalam segala keadaannya.
Terjadi di zaman Nabi ketika beliau bersama kaum muslimin pergi menuju perang Tabuk maka dalam sebuah majlis seseorang berkata: “Kami tidak melihat ada yang lebih rakus, lebih dusta, dan penakut seperti para pembaca Qur’an kita itu (dia maksudkan para sahabat Nabi).” Maka seseorang menanggapinya: “Kamu dusta, bahkan kamu adalah munafik. Saya benar-benar akan sampaikan kepada Rasulullah.” Maka berita itu sampai kepada Rasulullah dan turunlah ayat Al Qur’an kepada beliau. Abdullah bin Umar mengatakan: “Saya melihat orang itu bergantung dengan tali unta Rasulullah dan kakinya tersandung-sandung batu sambil mengatakan: “Wahai Rasulullah kami hanya main-main.” Namun Rasulullah terus mengatakan: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, Rasul-Nya kalian memperolok-olok? Jangan kalian cari udzur, kalian telah kafir setelah iman kalian” (At Taubah: 65-66) [Hasan, HR Ibnu Abi Hatim dan Ath Thabari dan dihasankan oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul, 108]
Mengomentari masalah ini Asy Syaikh Sulaiman bin Abdillah mengatakan: “Para ulama telah bersepakat atas kafirnya orang yang melakukan sesuatu darinya, maka barangsiapa yang mengolok-olok Allah atau kitab-Nya, atau Rasul-Nya, atau agama-Nya, maka dia telah kafir walaupun main-main dan tidak memaksudkan mengolok-oloknya secara ijma’ (kesepakatan para ulama).” (Taisir Al ‘Azizil Hamid hal. 617)
Hal yang serupa ditegaskan oleh Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di katanya: “Barangsiapa yang mengolok-olok sesuatu dari kitab Allah atau Sunnah Rasul-Nya yang shahih atau melecehkannya atau merendahkannya maka dia telah kafir terhadap Allah Yang Maha Besar.” (Taisir Al Karimir Rahman, 343)
Bahkan Asy Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “Barangsiapa yang mengolok-olok salah satu dari Sunnah berarti ia mengolok-olok semuanya, karena yang terjadi pada orang tersebut (pada kisah di atas-red) bahwa mereka mengolok-olok Rasul dan para sahabatnya sehingga turunlah ayat ini. Kalau begitu mengolok-olok perkara ini saling terkait.” (Kitabut Tauhid, 39)
Lalu bagaimana kalau mengolok-olok ilmu dan orang yang berilmu apakah termasuk dalam hukum ini?
Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjelaskan masalah ini, katanya: “Yang benar dalam masalah ini adalah dirinci masalahnya. Kalau mengolok-olok ilmu syariat atau orang yang berilmu karena ilmunya maka yang demikian merupakan kemurtadan, tidak ada keraguan dalam masalah itu karena itu adalah perbuatan merendahkan dan meremehkan sesuatu yang Allah besarkan dan mengandung penghinaan dan pendustaan terhadapnya. Adapun mengolok-olok orang yang berilmu dari sisi lain seperti pakaian atau ambisinya terhadap dunia atau kebiasaannya yang tidak sesuai dengan kebiasaan manusia yang tidak ada hubungannya dengan syariat atau sebab yang serupa dengan itu maka yang semacam ini tidak sampai murtad karena perbuatannya ini tidak kembali kepada agama tapi kembali kepada perkara lain.” (footnote Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz terhadap Fathul Majid hal. 526)
Semestinya ketika melihat sesuatu yang berkaitan dengan keagamaan dan sesuai dengan Sunnah Nabi jangan sampai kita mengolok-olok atau menghina, merendahkan, mengejek atau menjadikannya bahan tertawaan atau semacamnya. Walaupun Sunnah itu bertentangan dengan adat istiadat atau kita menganggapnya asing dan aneh serta belum bisa melakukannya. Mestinya kita mendukung dan meminta ampun kepada Allah karena belum bisa melaksanakannya, bukan malah mengejek.
Semoga Allah selalu memberikan taufik-Nya kepada kita untuk selalu melakukan apa yang Ia ridhai dan cintai.
Ukuran Hidayah
Karena begitu bahayanya mencela Sunnah Nabi maka para ulama menjadikan ukuran hidayah dengan istiqamahnya seseorang di atas As Sunnah. Sebaliknya mereka menilai seseorang yang mencela Sunnah Nabi berarti perlu diragukan keistiqamahannya di atas hidayah.
Al Imam Al Barbahari mengatakan: “Jika kamu dengar seseorang mencacat As Sunnah atau menolak As Sunnah atau mencari selain As Sunnah, maka tuduhlah dia pada keislamannya dan jangan kamu ragu bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu, ahli bid’ah.” (Syarhus Sunnah, 51, Ta’dhimus Sunah, 29)
Abul Qasim Al Ashbahani mengatakan: “Ahlus Sunnah dari kalangan Salaf mengatakan bahwa jika seseorang mencacat As Sunnah maka semestinya ia dituduh pada keislamannya.” (Al Hujjah fii Bayanil Mahajjah, 2/428, Ta’dhimus Sunnah hal. 29).
Ayyub As Sikhtiyani berkata: “Jika kamu ajak bicara seseorang dengan Sunnah lalu dia mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari yang ini dan beri tahu kami dengan Al Qur’an’, maka ketahuilah bahwa dia itu sesat.” (Miftahul Jannah, 137)
Orang yang melakukan perbuatan semacam ini berada dalam keadaan yang sangat berbahaya sehingga Imam Ahmad mengatakan: “Barangsiapa yang menolak hadits Nabi maka dia berada di atas jurang kebinasaan.” (Tabaqat Al Hanabilah, 2/15, Ta’dhimus Sunnah, 29). Wallahu a’lam.
Dikutip dari ttp://www.asysyariah.com, Penulis : Al Ustadz Qomar Suaidi, Lc, Judul asli: Hukum mengolok-olok sunnah Nabi
Minggu, 31 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar