Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menaatiku maka dia telah taat ikepada Allah. Dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka dia telah durhaka kepada Allah. Barangsiapa yang menaati amirku maka dia telah menaatiku. Dan barangsiapa yang mendurhakai amirku maka dia telah durhaka kepadaku.” (HR. Bukhari [7137] dalam Kitab al-Ahkam)
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma yang diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Thabrani bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah kalian telah mengetahui bahwa barangsiapa yang menaatiku maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan termasuk dalam bentuk ketaatan kepada Allah ialah dengan menaatiku?” Maka para sahabat menjawab, “Benar, kami mempersaksikannya.” Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya termasuk bentuk ketaatan kepadaku adalah kalian taat kepada para penguasa kalian.” dalam lafal yang lain berbunyi, “para pemimpin kalian.” Kemudian al-Hafizh berkata, “Di dalam hadits ini terkandung kewajiban untuk taat kepada para penguasa -kaum muslimin- selama itu bukan perintah untuk bermaksiat sebagaimana sudah diterangkan di depan dalam awal-awal Kitab al-Fitan. Hikmah yang tersimpan dalam perintah untuk taat kepada mereka adalah untuk memelihara kesatuan kalimat (stabilitas masyarakat, pent) karena terjadinya perpecahan akan menimbulkan kerusakan -tatanan masyarakat-.” (Fath al-Bari [13/131] cet. Dar al-Hadits)
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati syaitan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Imarah)
Syaikhul Islam Abu Utsman as-Shabuni rahimahullah berkata, “As-habul hadits berpandangan untuk tetap mengikuti setiap pemimpin muslim dalam mendirikan sholat Jum’at, sholat dua hari raya, ataupun sholat-sholat yang lainnya. Entah dia adalah seorang pemimpin yang baik ataupun yang bejat. Mereka juga memandang kewajiban untuk berjihad melawan orang-orang kafir bersama mereka. Meskipun mereka itu zalim dan suka bermaksiat. Mereka juga memandang semestinya rakyat mendoakan perbaikan keadaan, taufik/hidayah, serta kebaikan untuk mereka (penguasa) dan mendoakan juga agar mereka bisa menyebarluaskan keadilan di tengah-tengah rakyat. Mereka juga memandang tidak bolehnya memberontak dengan pedang kepada mereka…” (‘Aqidah Salaf As-habul Hadits, hal. 100 tahqiq Abul Yamin al-Manshuri cet. Dar al-Minhaj berupa file pdf)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan bagi umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran yang dengan tindakan pengingkaran itu diharapkan tercapai suatu perkara ma’ruf/kebaikan yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya. Apabila suatu bentuk pengingkaran terhadap kemungkaran justru menimbulkan perkara yang lebih mungkar dan lebih dibenci oleh Allah dan rasul-Nya maka tidak boleh melakukan tindak pengingkaran terhadapnya, meskipun Allah dan rasul-Nya memang membencinya dan murka kepada pelakunya. Contohnya adalah mengingkari penguasa dan pemimpin dengan cara melakukan pemberontakan kepada mereka. Sesungguhnya hal itu merupakan sumber segala keburukan dan terjadinya fitnah hingga akhir masa. Barangsiapa yang memperhatikan musibah yang menimpa umat Islam berupa fitnah yang besar maupun yang kecil maka dia akan bisa melihat bahwasanya hal itu timbul akibat menyia-nyiakan prinsip ini dan karena ketidaksabaran dalam menghadapi kemungkaran sehingga orang pun nekat untuk menuntut dilenyapkannya hal itu, namun yang terjadi justru memunculkan musibah yang lebih besar daripada -kemungkaran- itu.” (I’lam al-Muwaqqi’in [3/4], dinukil dari ta’liq Syaikh Ruslan dalam kitab al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, hal. 25 berupa file pdf)
Dengan membaca keterangan di atas maka jelaslah kekeliruan orang yang mengatakan bahwa dewasa ini di segenap penjuru dunia tidak ada lagi ulil amri/penguasa yang harus ditaati. Bahkan, dia mengatakan bahwa masyarakat yang taat kepada para penguasa tersebut maka telah menjadikan mereka sebagai para thoghut (sesembahan selain Allah)! Dan hal itu juga mengisyaratkan kepada kita bahwa pemikiran yang membolehkan pemberontakan kepada penguasa yang zalim -walaupun tidak mengharuskannya- adalah salah satu pemikiran sesat warisan sekte Khawarij yang harus kita waspadai!
Semoga Allah memberikan taufik kepada para penguasa umat Islam untuk menegakkan tauhid dan sunnah serta memberantas syirik dan bid’ah.
Selesai disusun di Yogyakarta.
Pertengahan Muharram 1431 H
Seraya memuji kepada Allah dan bersalawat kepada Nabi Muhammad,
para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka
Abu Mushlih Ari Wahyudi
-ghafarallahu lahu wa li jami’il muslimin-
Jumat, 29 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar