Cari Ilmu Yuuck...

Minggu, 31 Januari 2010

Urgensi dan Kesalahan dalam Ma’rifatullah

Oleh: Muhammad Nur Ichwan Muslim

 

Mengenal Allah, Rabbul ‘alamin merupakan intisari dakwah dan risalah. Bahkan hal inilah yang menjadi prioritas utama dalam dakwah setiap rasul. Di berbagai tempat dalam kitab-Nya, Allah memperkenalkan diri-Nya dengan berbagai sifat yang Dia miliki. Sebuah bukti yang jelas bahwa Allah menghendaki agar para hamba mengenal diri-Nya. Bukti yang kongkrit bahwa ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah suatu hal yang dituntut dari diri seorang hamba. Bahkan tidak berlebihan kiranya, jika kita mengatakan bahwa pribadi termulia adalah seorang yang paling mengenal Allah ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Saya adalah pribadi yang paling mengenal Allah dari kalian.” (Al Fath, 1/89).

 

Begitu pula, senada dengan makna hadits di atas, adalah apa yang dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah, “Pribadi termulia yang memiliki cita-cita dan kedudukan tertinggi adalah seorang yang merasakan kelezatan dalam ma’rifatullah (mengenal Allah), mencintai-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya serta mencintai segala sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya.” (Al Fawaa-id, hal. 150).

 

Ma’rifatullah serta Mengenal Nama dan Sifat-Nya

 

Pertanyaan yang mungkin terbersit dalam benak kita adalah, “Siapakah ahli ma’rifah tersebut?” atau “Bagaimanakah potret seorang yang dapat dikategorikan sebagai ahli ma’rifah?” Biarlah hal ini dijawab oleh sang pakar hati, Abu Bakr Az Zur’i yang terkenal dengan Ibnul Qayyim, Syaikhul Islam kedua. Beliau mengatakan, “Al ‘arif (orang yang mengenal Allah dengan benar) menurut para ulama adalah orang yang mengenal Allah ta’ala dengan berbagai nama, sifat dan perbuatan-Nya. Kemudian dibuktikan dalam perikehidupannya yang dibarengi niat dan tujuan yang ikhlas…” (Madaarijus Saalikin, 3/337).

 

Pernyataan beliau di atas menunjukkan bahwa pengetahuan dan keimanan seorang hamba tidak akan kokoh, hingga ia mengimani berbagai nama dan sifat-Nya dengan ilmu (pengetahuan) yang dapat menghilangkan kebodohan terhadap Rabb-nya.

 

Prof. Dr. Muhammad Khalifah At Tamimi mengatakan, “Pengetahuan (pengenalan) hamba terhadap berbagai nama dan sifat-Nya berdasarkan wahyu yang disampaikan Allah di dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya akan mampu membuat seorang hamba merealisasikan penghambaan (ubudiyah) kepada Allah secara sempurna. Setiap kali keimanan terhadap sifat-Nya bertambah sempurna, maka kecintaan dan keihklasan (kepada-Nya) akan semakin menguat. Manusia yang paling sempurna dalam penghambaannya kepada Allah adalah orang yang beribadah dengan (merealisasikan seluruh kandungan) nama dan sifat-Nya.” (Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fii Tauhidil Asma wash Shifaat, hal.24).

 

Oleh karena itu, mempelajari dan memahami berbagai nama dan sifat Allah merupakan hal yang sangat urgen karena memiliki kaitan yang erat dengan kewajiban untuk mengenal Allah (ma’rifatullah).

 

Kaidah Dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Masalah Nama dan Sifat Allah

 

Kaidah pokok yang diyakini oleh ahlus sunnah wa jama’ah dalam hal ini adalah meneliti semua dalil yang berbicara mengenai nama dan sifat Allah tanpa merusaknya dengan cara mentakwil atau menyelewengkan maknanya. Hal inilah yang akan menghantarkan seorang kepada ma’rifatullah yang benar. Ketika ia mengimani berbagai sifat Allah yang ditetapkan oleh diri-Nya sendiri dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengetahui bahwa Allah memiliki berbagai sifat yang sempurna dan agung. Tidak ada ruang di dalamnya untuk menyelewengkan berbagai sifat tersebut dengan makna-makna yang batil.

 

Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi’i dalam Tafsirnya (2/294) mengatakan, “Sesungguhnya dalam permasalahan ini (pembahasan mengenai nama dan sifat Allah) kami meniti (menempuh) madzhab salafush shalih, (yaitu jalan yang ditempuh juga oleh) imam Malik, Al Auza’i, Ats Tsauri, Al Laits ibnu Sa’d, Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq ibnu Rahuyah dan imam-imam kaum muslimin selain mereka, baik di masa terdahulu maupun di masa ini. (Madzhab mereka dalam permasalahan ini adalah) membiarkan dalil-dalil yang berbicara mengenai nama dan sifat-Nya apa adanya, tanpa dibarengi dengan takyif menetapkan hakikat sifat), tasybih (menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk) dan ta’thil (menolak sifat bagi Allah). (Segala bentuk gambaran sifat) yang terbetik dalam benak kaum musyabbihin (golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) tertolak dari diri Allah. Tidak ada satupun makhluk yang serupa dengan-Nya dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syura: 11). (Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam hal ini) adalah pendapat yang ditempuh oleh para imam, diantara mereka adalah Nu’aim bin Hammad Al Khaza’i, guru imam Al Bukhari. Beliau mengatakan, “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh dia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya sendiri, maka sungguh dia juga telah kafir. Segala sifat yang ditetapkan Allah dan Rasulullah bagi diri-Nya bukanlah tasybih. Oleh karenanya, seorang yang menetapkan segala sifat yang terdapat dalam berbagai ayat yang tegas dan hadits-hadits yang shahih sesuai dengan keagungan-Nya serta menafikan segala bentuk kekurangan dari diri Allah, maka dia telah menempuh jalan hidayah.”

 

Beberapa Faktor yang Menghalangi Ma’rifatullah

 

Ma’rifatullah terhalang dari diri seorang hamba dengan menafikan sifat-sifat dan menentang berbagai nama yang Dia tetapkan. Bagaimana bisa seorang yang tidak mengakui berbagai nama yang Dia tetapkan berikut sifat yang terkandung di dalamnya bisa mengenal Allah ta’ala?! Bisakah seorang yang tidak mengenal-Nya bisa mencintai-Nya? Al Hasan Al Bashri rahimahullah ta’ala berkata, “Barangsiapa yang mengenal Rabb-nya, niscaya dia akan mencintai-Nya.” (Al Hamm wal Hazn hal.69; Ihya Ulumid Diin, 4/295).

 

Oleh karenanya Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tatkala pujian dan sanjungan dengan menggunakan nama, sifat dan perbuatan-Nya merupakan sesuatu yang paling dicintai oleh-Nya, maka pengingkaran terhadap nama, sifat dan perbuatan-Nya merupakan tindakan ilhad (kriminalitas) dan kekufuran terbesar kepada-Nya. Tindakan ini lebih buruk daripada kesyirikan. Seorang mu’aththil (menafikan nama dan sifat-Nya) lebih buruk daripada seorang musyrik, karena kondisi seorang musyrik tidaklah sama (dengan derajat orang yang) menentang berbagai sifat-Nya dan hakikat kerajaan-Nya serta mencela sifat yang Dia miliki dan menyamakan/menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Maka, (pada hakikatnya) kelompok mu’aththil (golongan yang menafikan nama dan sifat-Nya) adalah musuh sejati para rasul. Bahkan akar seluruh kesyirikan adalah tindakan ta’thil, karena jika tidak dilatarbelakangi oleh ta’thil terhadap kesempurnaaan zat dan sifat-Nya serta buruk sangka terhadap-Nya, tentulah Allah tidak akan disekutukan.” (Madaarijus Saalikin, 3/347).

 

Berikut beberapa bentuk ilhad (kriminalitas) terhadap Allah yang terkait dengan nama dan sifat-Nya, kami sajikan secara ringkas kepada anda dikarenakan keterbatasan ilmu kami.

 

Pertama, menyerupakan (menganalogikan) sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya atau yang dikenal dengan istilah tamtsil atau tasybih. Ketika Allah ta’ala menetapkan diri-Nya memiliki wajah dan tangan, orang yang melakukan tamtsil mengatakan wajah dan tangan Allah tersebut seperti wajah dan tangan kita. Hal ini didustakan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (QS. Asy Syuura: 11). “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah (yang kamu serupakan dengan-Nya).” (QS. An Nahl: 74). Penganalogian sifat Allah dengan makhluk-Nya merupakan aib, karena Allah, Zat yang Mahasempurna diserupakan dengan makhluk yang penuh dengan kekurangan.

 

Kedua, menolak nama dan sifat Allah, baik menolak seluruhnya atau sebagiannya. Termasuk bentuk penolakan nama dan sifat-Nya adalah menyelewengkan makna nama dan sifat-Nya seperti memaknai sifat cinta yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya sendiri dengan arti iradatul lit tatswib (keinginan untuk memberi pahala). Orang yang menafikan nama dan sifat-Nya beralasan jika kita menetapkan nama dan sifat bagi Allah, maka hal ini akan berkonsekuensi menyerupakan-Nya dengan makhluk karena makhluk pun memiliki cinta.

 

Hal ini tidak tepat dengan alasan bahwa Allah ta’ala telah menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan di sisi lain Dia menetapkan bahwa Dia memiliki sifat. Lihatlah surat Asy Syuura ayat 11 di atas! Allah ta’ala menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, namun Dia juga menetapkan bahwa Dia memiliki sifat mendengar dan melihat yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya.

 

Penetapan sifat bagi Allah meskipun memiliki nama yang sama dengan sifat makhluk tidak berkonsekuensi menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Perhatikan kembali perkataan Nu’aim bin Hammad Al Khaza’i, guru imam Al Bukhari Jilani yang dibawakan oleh imam Ibnu Katsir atau kaidah yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jilani di atas!

 

Demikian pula, alasan di atas dapat dibantah secara logika bahwa kesamaan nama suatu sifat tidak berkonsekuensi adanya kesamaan hakikat sifat tersebut. Contoh praktisnya, makhluk memiliki pendengaran dan penglihatan, apakah pendengaran dan penglihatan mereka antara satu dengan yang lain memiliki hakikat dan bentuk yang sama?! Tentulah kita akan menjawab tidak. Ketika Dia menetapkan sifat mendengar, melihat atau cinta bagi diri-Nya, maka meskipun sifat tersebut juga dimiliki oleh makhluk tentu hakikat sifat tersebut tidaklah sama dengan sifat makhluk-Nya. Sifat yang Dia tetapkan bagi diri-Nya sendiri adalah sifat yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya, tidak seperti sifat yang dimiliki oleh makhluk yang dipenuhi kekurangan.

 

Ketiga, menetapkan suatu kaifiyah (bentuk/cara) bagi sifat Allah ta’ala. Hal ini dinamakan dengan takyif dan termasuk ke dalam bentuk ini adalah mempertanyakan hakikat dan kaifiyah sifat Allah ta’ala. Contoh praktisnya semisal perkataan, “Tangan Allah itu panjang dan besarnya sekian”. Hal ini salah satu bentuk kelancangan terhadap-Nya karena berkata-kata mengenai Allah ta’ala tanpa dilandasi dengan ilmu. Ketika hakikat dan bentuk Zat Allah saja tidak kita ketahui, maka bagaimana bisa kita lancang menetapkan sifat Allah bentuknya begini dan begitu?!

 

Oleh karena itu, ketika Imam Malik dan gurunya, Rabi’ah ditanya mengenai hakikat sifat istiwa (bersemayam) Allah oleh seseorang, mereka mengatakan, “Istiwa diketahui maknanya, namun hakikatnya tidak dapat dinalar (dijangkau oleh logika). Beriman kepadanya wajib dan bertanya mengenai hakikatnya adalah bid’ah.” [Lihat perkataan beliau ini dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 3/398; Itsbat Shifatil ‘Uluw hal. 119 dan Dzammut Takwil hal. 13 dan Lum’atul I’tiqad hal. 64 karya Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi); Idlohud Dalil fii Qath’i Hujaji Ahlit Ta’thil hal. 14 (Muhammad bin Ibrahim bin Sa’ad bin Jama’ah); Al I’tiqad hal. 116 (Ibnul Husain Al Baihaqi); Al ‘Ulum li ‘Aliyyil Ghaffar hal. 129 (Adz Dzahabi).

 

Urgensi dan Kesalahan dalam Ma'rifatullah

 

Berbagai tindakan di atas merupakan perbuatan yang akan menghalangi seorang hamba untuk mengenal Zat yang harus dia cintai. Berbagai tindakan tersebut akan membuat seorang mengenal Rabb-nya dengan bentuk pengenalan yang keliru atau bahkan menghantarkan seorang hamba menjadi pribadi yang tidak mengenal Allah karena dirinya tidak mengenal sifat Zat yang dia cintai. Kita tutup pembahasan kita ini dengan perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah yang menunjukkan pentingnya memahami permasalahan nama dan sifat Allah ta’ala karena sangat terkait dengan ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah). Beliau mengatakan, “Mengimani dan mengetahui berbagai sifat-Nya, menetapkan hakikat (makna) bagi sifat tersebut, keterkaitan hati dengannya serta menyaksikan (pengaruh) sifat tersebut merupakan jalan awal, pertengahan dan tertinggi (untuk mengenal-Nya). Hal ini merupakan ruh bagi para saalikin (orang-orang yang berjalan menuju Allah), kendaraan yang akan menghantarkan mereka, penggerak tekad ketika malas dan penggugah semangat ketika tidak maksimal dalam beribadah. Perjalanan mereka (menuju Allah) bergantung pada bekal-bekal yang akan menopang perjalanan mereka. Setiap orang yang tidak berbekal, maka pasti dia tidak mampu menempuh perjalanan. (Dan ketahuilah) bekal terbaik adalah (pengetahuan) terhadap sifat Zat yang dicintai dan (itulah) puncak keinginan mereka.” (Madaarijus Saalikin, 3/350).

 

Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya berbagai sifat Allah yang sempurna dan digunakan untuk berdo’a kepada-Nya serta hakikat berbagai nama-Nya adalah faktor pendorong hati (seorang) untuk mencintai Allah dan sampai kepada-Nya. Hal ini dikarenakan hati hanya akan mencintai orang yang dikenalnya, takut, berharap, rindu, merasa senang dan tenteram ketika menyebut namanya sesuai dengan (kadar) ma’rifah (pengenalan) hati terhadap sifatnya.” (Madaarijus Saalikin, 3/351).

 

Demikianlah pembahasan kita kali ini, besar harapan kami uraian ini dapat bermanfaat bagi diri penulis dan orang yang membacanya. Wa shallallahu ‘ala Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. [Muhammad Nur Ichwan Muslim]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar