Cari Ilmu Yuuck...

Minggu, 31 Januari 2010

Tahlilan, Menurut Imam Syafi’i Bagaimana?

Akhir-akhir ini kita sering mendengar kegiatan tahlil bersama, sehubungan dengan perginya orang penting di negara ini. 

 

Kegiatan tahlilan marak dilakukan oleh sebagian orang yang ingin mendoakan agar amal ibadah yang bersangkutan diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.

 

Saya tidak ingin berpolemik dengan membahas tentang si orang penting ini, tetapi ingin sekedar membagi yang saya baca, mengenai prosesi tahlilan tersebut. Benarkah amaliah ini benar-benar di syariatkan oleh agama ini? Dan benarkah bahwa imam Syafi’i yang diklaim sebagai madzab yang diikuti oleh sebahagian besar oleh umat Islam di negeri ini menganjurkannya atau justru MELARANGNYA?

 

Dalam sebuah kitab kecil, selamatan kematian atau yang biasa kita sebut tahlilan dibahas secara singkat dan padat, khususnya dari pandangan imam Syafi’i sendiri. Tujuannya adalah untuk meluruskan pemahaman yang keliru dari kegiatan ini.

 

Ternyata kegiatan tahlilan ini dari sejak jaman sahabat dianggap sebagai kegiatan meratap yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

 

Dari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia berkata:”Kami  (yakni para Sahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut mazhab kami para Sahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.”

 

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat yang shahih.

 

Dan an niyahah/ meratap ini  adalah perbuatan jahiliyyah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam;

 

Diriwayatkan dalam sahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu. bahawa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  bersabda:

 

 

"Ada dua perkara yang masih dilakukan oleh manusia, yang kedua duanya merupakan bentuk kekufuran: mencela keturunan, dan meratapi orang mati".

 

 

Pandangan Imam Syafii.

 

Nah, bagaimana dengan pandangan imam Syafii sendiri –yang katanya- mayoritas ummat Islam di Indonesia bermadzab dengannya, apakah ia sepakat dengan kebanyakan kaum muslimin ini atau justru beliau sendiri yang melarang kegiatan tahlilan ini?            

 

Didalam kitab al Umm (I/318), telah berkata imam Syafii berkaitan dengan hal ini;

 

“Aku benci al ma’tam, yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbahrui kesedihan.”

 

Jadi, imam Syafii sendiri tidak suka dengan kegiatan tahlilan yang dilakukan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh ummat Islam sendiri.

 

 

 

Membaca Al Qur’an untuk orang mati (menurut Imam Syafi’i).

 

Dalam Al Qur’an, di surat An Najm ayat 38 dan 39 disebutkan disana;

 

[53.38] (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,

 

[53.39] dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.

 

Berkaitan dengan hal ini maka Al Hafidh Ibnu Katsir menafsirkannya sebagai berikut;

 

“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain, demikian juga seseorang tidak akan memperoleh ganjaran/pahala kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri.

 

Dan dari ayat yang mulia ini, al Imam Asy Syafii bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan suatu hukum: Bahwa Al Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati.

 

Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka dengan baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada).

 

Dan tidak pernah dinukil dari seorang pun Sahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Al Qur’an kepada orang yang telah mati).

 

Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentu para Sahabat telah mendahului kita  mengamalkannya.

 

Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas kepada dalil tidak bileh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran).”

 

Jadi, dari keterangan ibnu Katsir ini jelas bahwa perbuatan membaca Al Qur’an dengan tujuan pahalanya disampaikan kepada si mayit tidak akan sampai, dan demikianlah pandangan ulama besar yang dianut oleh sebahagian besar kaum muslimin di negeri ini.

 

Lantas, mengapa mereka berbeda dengan imam mereka sendiri?

 

 

Wallahu a’lam.

 

Rujukan: Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzab & Hukum Membaca al Qur'an untuk Mayit bersama Imam Syafii, karya ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar