Di dalam bahasa Arab dukun biasa disebut dengan istilah kahin (tunggal) atau kuhan (jamak). Syaikh al-Fauzan menerangkan bahwa perdukunan merupakan pengakuan mengetahui perkara gaib seperti halnya memberitakan akan terjadinya sesuatu di muka bumi dengan bersandar kepada sebab tertentu yaitu dengan mencuri berita dari langit; ketika itu jin mencuri kabar dari ucapan malaikat lalu dia bisikkan ke telinga para dukun, kemudian dia menambahkan padanya seratus kebohongan, sehingga orang-orang pun menilai benar apa yang diucapkannya (al-Isryad, hal. 115-116). Adapun paranormal biasa disebut dengan istilah ‘arraf. al-Khaththabi dan sebagian ulama lain mengatakan bahwa ‘arraf adalah orang yang mengaku mengetahui ilmu di mana letak barang curian atau barang yang hilang dan semacamnya (Syarh Nawawi, 7/335-336). Sedangkan sebagian ulama lain menyatakan bahwa istilah ‘arraf sudah mencakup kahin/dukun dan para tukang ramal/paranormal (al-Qaul al-Mufid, 1/545)
Tradisi jahiliyah dan dosa yang sangat besar
Dukun dan paranormal, bukan kejahatan baru. Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami radhiyallahu’anhu mengisahkan kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, ada beberapa perkara yang dahulu biasa kami lakukan di masa jahiliyah, [di antaranya] kami sering mendatangi dukun.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah kalian mendatangi dukun-dukun itu.” (HR. Muslim [537]). Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas melarang kita mendatangi dukun. Apabila beliau melarang umatnya melakukan sesuatu maka itu berarti melanggarnya akan menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi diri manusia.
Demikian juga paranormal, menekuni profesi ini merupakan pekerjaan yang sangat tercela dan kejahatan yang sangat besar menurut kacamata syari’at Islam. Karena dengan mendatangi dan berkonsultasi kepada mereka menyebabkan ibadah sholat seorang muslim menjadi tidak lagi diterima meskipun secara hukum sah dan tidak perlu diulangi olehnya. Shafiyyah radhiyallahu’aha menuturkan dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi paranormal lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu perkara maka sholatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam.” (HR. Muslim [2230]). Kalau orang yang bertanya saja dosanya demikian besar, lalu bagaimana lagi yang ditanya?!
Kedustaan yang dibumbui dengan ceceran kebenaran
Sebagian orang menyangkal, bahwa apa yang diberitakan oleh dukun atau paranormal sesuai dengan kenyataan. Oleh karena itu mereka tidak menganggap ramalan atau ‘fatwa’ sang dukun sebagai sesuatu yang salah, karena apa yang dikatakannya benar-benar terjadi atau sesuai dengan keadaan. Benarkah demikian? Ibunda kaum mukminin Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya para dukun itu dahulu menceritakan kepada kami suatu perkara dan hal itu benar-benar terjadi/sesuai dengan kenyataan.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Itu adalah kebetulan saja, suatu kalimat yang haq telah dicuri oleh bangsa jin lalu dilontarkan ke dalam telinga kawannya (dari bangsa manusia) dan dia tambahkan seratus kedustaan padanya.” (HR. Muslim [2228]).
Di dalam hadits di atas, jelas sekali bahwa orang yang mengaku mengetahui perkara gaib semacam itu dari kalangan dukun dan paranormal adalah antek-antek dan kawan-kawan Iblis. Sebagaimana dikatakan oleh Nabi, “Suatu kalimat yang haq telah dicuri oleh bangsa jin lalu dilontarkan ke dalam telinga kawannya (dari bangsa manusia, pent).” Maka jelaslah bagi kita bahwa pada hakikatnya dukun dan paranormal adalah para wali syaitan, bukan wali Allah! Meskipun mereka memakai sorban, peci, sarung, atau pun berkalungkan tasbih dan sajadah.
Menolong kok jahat?
Mungkin ada orang yang berkomentar, “Bukankah para dukun dan paranormal itu melakukan kebaikan. Mereka melakukan itu semua demi meringankan kesusahan sesama. Bukankah itu sebuah kebaikan, mengapa justru dinilai sebagai kejahatan?”. Saudaraku, semoga Allah merahmatimu, siapakah yang dimaksud orang jahat itu? Bukankah mempersekutukan Allah merupakan kejahatan paling berat di atas muka bumi ini? Allah ta’ala membenarkan ucapan Luqman kepada anaknya (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13).
Bukankah perkara gaib hanya diketahui oleh Allah semata? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; tidak ada yang mengetahui perkara gaib di langit maupun di bumi selain Allah.” (QS. an-Naml: 65). Manakah yang lebih mulia; Nabi ataukah dukun? Tentu saja Nabi jauh lebih utama, meskipun demikian ternyata Nabi pun tidak menguasai ilmu gaib. Allah ta’ala memerintahkan, “Katakanlah (hai Muhammad); Aku tidak menguasai kemanfaatan dan kemudharatan atas diriku kecuali sekedar apa yang dikehendaki Allah, seandainya aku mengetahui perkara gaib niscaya aku akan terus bisa memperbanyak kebaikan dan tidak akan pernah tertimpa keburukan…” (QS. al-A’raaf : 188). Nah, kalau Nabi saja tidak bisa mengetahui ilmu gaib lalu bagaimana lagi dengan manusia selainnya?!
Bagaimanakah menurutmu apabila ada orang yang mengaku dirinya lebih hebat dan lebih mulia daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah orang seperti itu layak untuk digelari sebagai orang baik, wali Allah, kyai, atau orang soleh? Orang yang soleh adalah yang senantiasa menunaikan hak Allah dan hak sesama. Dia beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan tidak mempersekutukan-Nya serta taat kepada rasul-Nya. Dan dia juga menunaikan kewajiban-kewajibannya kepada manusia; berbakti kepada orang tua, memuliakan tamu dan tetangga, menyambung silaturahim, dan sebagainya. Sedangkan wali Allah adalah setiap orang yang beriman dan senantiasa menjaga ketakwaannya kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu, sama sekali tidak ada rasa takut atas mereka dan tidak juga sedih. Mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan senantiasa memelihara ketakwaannya.” (QS. Yunus: 62-63).
Adapun para dukun dan paranormal, mereka itu adalah para penjahat kelas kakap yang harus diciduk dan dijatuhi hukuman berat. Bukan harta atau perhiasan yang telah mereka rampas dari kaum muslimin, bahkan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada intan berlian atau emas dan permata, yaitu kesucian dan kemurnian aqidah tauhid yang sudah semestinya tertanam kokoh di hati sanubari setiap mukmin dan mukminah.
Menyeret pada kekafiran
Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi dukun dan membenarkan apa yang dikatakannya maka sungguh dia telah kafir kepada wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. al-Bazzar dengan sanad jayid qawiy, disahihkan al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib [3044]). al-Qurthubi menjelaskan bahwa yang dimaksud wahyu yang diturunkan tersebut adalah al-Kitab dan as-Sunnah (Fath al-Majid, 268).
Dalam riwayat al-Bazzar yang bersumber dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu dengan lafaz, “Barangsiapa yang mendatangi paranormal, tukang sihir, atau dukun, lalu dia membenarkan perkataannya maka sungguh dia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Shahih Targhib wa Tarhib [3044]). Dalil ini menunjukkan bahwa dukun dan tukang sihir dihukumi kafir, karena mereka telah berani mengaku mengetahui ilmu gaib, padahal perbuatan itu merupakan kekafiran. Demikian juga orang yang membenarkan perbuatan mereka dan meyakini apa yang mereka ucapkan dan meridhai perbuatan tersebut maka hal itu juga termasuk kekafiran, demikian papar Syaikh Aburrahman bin Hasan (Fath al-Majid, hal. 268).
Tentu saja hal ini menunjukkan kepada kita bahwa praktek perdukunan dan paranormal -apa pun istilahnya- merupakan penyakit masyarakat yang sangat ganas dan mematikan. Gara-gara ulah mereka aqidah masyarakat menjadi rusak, tatanan agama menjadi tidak lagi dihiraukan, muncul permusuhan, pengambilan harta tanpa hak, dan pertumpahan darah di atas muka bumi. Lebih parah lagi jika orang-orang itu -dukun/paranormal- telah dilabeli dengan gelar kyai atau pakar pengobatan alternatif. Pada hakikatnya ini adalah penyesatan yang dipoles dengan kata-kata yang indah.
Cinta ditolak, dukun bertindak?
Sebagian pemuda yang dimabuk asmara akibat mengobral pandangan kepada perempuan-perempuan yang juga tidak punya rasa malu mungkin akrab dengan slogan ini, ‘Cinta ditolak, dukun bertindak’. Ada dua hal pokok yang perlu kita kritisi dalam slogan ini. Pertama, cinta yang salah penerapan. Ketika orang berbicara cinta, maka yang terpikir di otak para remaja adalah pacaran, apel, nonton bareng, dan seabrek kegiatan mendekati zina lainnya. Yang kedua, ketika kepentingan hawa nafsu mereka tidak terpenuhi, maka otomatis mereka lari kepada para dukun yang notebene justru menceburkan mereka ke dalam dosa yang jauh lebih berat yaitu syirik dan kekafiran. Ini tidak jauh dengan ungkapan, ‘Lepas dari gigitan singa, terjatuh ke mulut buaya’. Nah, tentu ini merupakan musibah dan bencana yang menghancurkan iman dan jati diri seorang insan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia berkenan mengampuni dosa lain di bawah tingkatan syirik bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 116).
Perhatikanlah, inilah realita umat yang hari ini kita hadapi… Ketika aqidah dan akhlak generasi muda telah terkikis dan luntur dari lubuk hati mereka, maka secara otomatis syaitan dan bala tentaranyalah yang bekerja dan memegang kendali dalam tubuh dan akal pikiran mereka. Maka tidaklah mengherankan jika banyak remaja yang menggandrungi kisah-kisah fiksi yang menyajikan lika-liku dunia perdukunan dan sihir menyihir, bahkan ia menempati posisi best seller yang terjual laris dalam waktu yang singkat, laa haula wa laa quwwata illa billaah! Sementara di sisi lain, kita saksikan kitab-kitab para ulama salaf masih menjadi barang langka yang menghiasi rak dan meja para pemuda dan generasi penerus perjuangan Islam di masa depan. Jangankan memiliki kitabnya, membaca tulisan arab gundul pun mereka tidak sanggup melakukannya… Sungguh memprihatinkan, sebuah umat yang telah diwarisi dengan al-Kitab dan as-Sunnah oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun justru lebih menggandrungi kitab-kitab ’sihir’ yang memalingkan mereka dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketika dahulu para sahabat asyik menelaah dan menyimak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbincangan mereka sehari-hari -sampai-sampai mereka menangis-, namun pada hari ini kita saksikan obrolan kaum muda hanya dipenuhi dengan gelak tawa dan isak tangis palsu gara-gara menonton film favorit, pertandingan sepak bola yang sarat dengan suporter ala jahiliyah, dan artis idola atau ramalan bintang anda hari ini, fa inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun.
Merebut kursi basah dengan sowan kepada ’simbah’
Kedudukan dan pangkat telah melupakan sebagian orang. Demi meraih kedudukan strategis dalam perusahaan atau pemerintahan maka orang rela untuk menjual agamanya. Sebagian orang, sebelum menentukan langkah-langkah politik dan strategi untuk mencapai puncak pimpinan maka dia sowan (menghadap) dulu kepada simbah (orang pintar alias dukun) yang di sebagian daerah biasa dijuluki oleh masyarakat sebagai kyai. Maka berbagai persyaratan pun diajukan agar konsumen tersebut bisa mendapatkan apa yang dia harapkan. Setelah itu, sang dukun mengobral ramalan dan menceritakan wahyu atau wangsit yang didapatkannya. Benar, dia telah mendapatkan wahyu, namun sayang wahyunya bukan dari Allah tapi dari Syaitan la’natullahi ‘alaih. Sebagaimana dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ramalan mereka, “Itu adalah kebetulan saja, suatu kalimat yang haq telah dicuri oleh bangsa jin lalu dilontarkan ke dalam telinga kawan/walinya (dari bangsa manusia) dan dia tambahkan seratus kedustaan padanya.” (HR. Muslim [2228]).
Inilah sekelumit gambaran tentang dunia ramal meramal dan perdukunan yang telah meracuni atmosfer kehidupan kaum muslimin di berbagai daerah. Apa yang tertuang di sini hanyalah sebagian kecil dari berbagai bentuk praktek perdukunan dan sihir menyihir yang ternyata memang ada dan terjadi di masyarakat kita. Jalan keluar darinya adalah dengan kembali kepada bimbingan al-Kitab dan as-Sunnah yang menuntun kita untuk mencuci bersih hati kita dari segenap kotoran keyakinan dan mengisinya dengan siraman ayat-ayat suci dan wasiat ‘kanjeng’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak akan tercapai kejayaan umat ini kecuali dengan tauhid, sebagaimana tidak akan selamat seorang hamba di ‘mahkamah’ peradilan Allah kelak di hari kiamat kecuali dengan tauhid. Sudah saatnya, bagi setiap individu muslim untuk menyadari bahaya besar ini (baca: syirik) dan berjuang untuk menyelamatkan aqidah mereka dan saudara-saudaranya dari tipu daya para dukun dan paranormal yang gemar menebar ocehan-ocehan gombal. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam, walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. [Ari Wahyudi]
Sabtu, 30 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar