Cari Ilmu Yuuck...

Kamis, 04 Februari 2010

Dialog Bersama ‘Pecinta Kubur’


Prolog : Tulisan ini sebenarnya adalah dialog saya (dalam bentuk tulisan) bersama seseorang beberapa tahun lalu dalam pembahasan seputar kuburan dan masjid. Terpikir kemudian untuk me-repro di blog ini dialog tersebut dengan beberapa perbaikan dan koreksi seperlunya. Semoga ada manfaatnya.

Salah satu keyakinan Ahlusunah yang mempunyai dasar dalil al-Quran, as-Sunnah dan prilaku Salaf Saleh yang dituduhkan sebagai prilaku syirik oleh kelompok Wahaby (Salafy) adalah tentang diperbolehkannya membangun masjid di sisi kuburan para rasul, nabi dan waliyullah. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan (fatwa) oleh Ibnu Taimiyah –yang kemudian diikuti (secara taklid buta) oleh segenap kelompok Wahaby- sebagaimana yang tercantum dalam kitab al-Qaidah al-Jalilah halaman 22. Ibn Taimiyah mengatakan: “Nabi melarang menjadikan kuburannya sebagai masjid, yaitu tidak memperbolehkan seseorang pada waktu-waktu shalat untuk mendatangi, shalat dan berdoa di sisi kuburan-nya, walaupun dengan maksud beribadah untuk Allah sekalipun. Hal itu dikarenakan tempat-tempat semacam itu menjadi sarana untuk perbuatan syirik. Yaitu boleh jadi nanti mengakibatkan seseorang melakukan doa dan shalat untuk ahli kubur dengan mengagungkan dan menghormatinya. Atas dasar itu maka membangun masjid di sisi kuburan para waliyullah merupakan perbuatan haram. Oleh karenanya walaupun pembangunan masjid itu sendiri merupakan sesuatu yang ditekankan namun dikarenakan perbuatan seperti tadi dapat menjerumuskan seseorang ke dalam prilaku syirik maka hukumnya secara mutlak haram”.

Saya heran kepada Saudara yang tidak segan-segan mengklaim bahwa keyakinan tentang masyru’-nya membangun masjid di kubur merupakan keyakinan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Larangan membangun masjid di sisi kuburan ini tidaklah hanya dikatakan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah - yang kemudian diikuti oleh kaum “Wahabi”. Banyak ulama semisal dengan beliau memperingatkan hal yang sama.

O iya,…. sebelumnya, ada analisis yang keliru antara apa yang diomongkan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Saudara dengan begitu percaya dirinya mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para pengagum kubur itu adalah membangun masjid di sisi kuburan saja. Tapi pada kenyataannya lebih dari sekedar itu !! Bahkan benar-benar membangun masjid di atas kubur ! Tidak usah kita pungkiri dan kita tutup-tutupi kenyataan ini. Beberapa masjid di dalam dan luar Indonesia pun membuktikannya. Mudah kita cari informasinya. Di internet pun banyak. Ada pula diantaranya yang meletakkan kuburan di kiblat masjid (persis di depan mihrab imam). Saya kira saya tidak perlu menyebutkan satu persatu contohnya di sini.

Apa dalil dari ungkapan Ibnu Taimiyah di atas? Memang Ibnu Taimiyah menyandarkan fatwanya tadi dengan hadis-hadis yang diriwayatkan dalam beberapa kitab Ahlusunah. Namun sayangnya ia tidak memiliki analisa dan penerapan yang tepat dan bagus dalam memahami hadis-hadis tadi sehingga menyebabkannya terjerumus ke dalam kejumudan (kaku) dalam menerapkannya. Selain pemahaman Ibnu Taimiyah terhadap hadis-hadis tadi terlampau kaku, juga tidak sesuai dengan ayat al-Quran, as-Sunnah dan prilaku Salaf Saleh.

Ibnu Taimiyah menyandarkan fatwanya tadi dengan hadis-hadis seperti:

Pertama: Rasulullah bersabda: “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani dikarenakan mereka telah menjadikan kubur para nabinya sebagai tempat ibadah”. (lihat kitab Shahih Bukhari jilid 2 halaman 111 dalam kitab al-Jana’iz (jenazah-jenazah), hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab Sunan an-Nas’i jilid 2 halaman 871 kitab al-Jana’iz)

Kedua: Sewaktu Ummu Habibah dan Ummu Salamah menemui Rasulullah dan berbincang-bincang tentang tempat ibadah (baca: gereja) yang pernah dilihatnya di Habasyah, lantas Rasul bersabda: “Mereka adalah kaum yang setiap ada orang saleh dari mereka yang meninggal niscaya mereka akan membangun tempat ibadah di atasnya dan mereka pun menghadapkan mukanya ke situ. Mereka di akherat kelak tergolong makhluk yang buruk di sisi Allah”. (lihat kitab Shahih Muslim jilid 2 halaman 66 kitab al-Masajid)

Ketiga: Dari Jundab bin Abdullah al-Bajli yang mengatakan; aku mendengar lima hari sebelum Rasul meninggal, beliau bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya sebelum kalian terdapat kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah. Namun janganlah kalian melakukan semacam itu. Aku ingatkan hal tersebut pada kalian”. (lihat kitab Shahih Muslim jilid 1 halaman 378)

Keempat: Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau pernah bermunajat kepada Allah swt dengan mengatakan: “Ya Allah, jangan Kau jadikan kuburku sebagai tempat penyembahan berhala. Allah melaknat kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat ibadah”. (lihat kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 2 halaman 246)

Ini adalah riwayat-riwayat yang dijadikan dalil para pengikut Wahaby untuk mengatakan syirik terhadap kaum Ahlusunah –termasuk di Indonesia- yang ingin membangun masjid di sisi kubur para kekasih Allah (waliyullah). Di Indonesia para Salafy gadungan tadi mengejek dan menghinakan kuburan para sunan (dari Wali Songo) yang rata-rata di sisi kubur mereka terdapat bangunan yang disebut masjid. Lantas apakah benar bahwa hadis-hadis itu mengandung larangan pelarangan pembuatan masjid di sisi kubur para waliyullah secara mutlak? Di sini kita akan kita telaah dan kritisi cara berdalil kaum Wahaby dalam menggunakan hadis-hadis sahih tadi sebagai sandarannya.

Perlu Saudara diketahui bahwa bukan hanya itu saja yang dijadikan dalil tentang pengharaman membangun masjid di atas atau di sisi kubur. Akan saya sebut secara lebih lengkap :

1. Hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa :

عن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم في مرضه الذي لم يقم منه : "لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد " . قالت : فلو لا ذاك أبرز قبره غير أنه خُشي أن يتخذ مسجداً

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sakit dan dalam keadaan berbaring : “Allah telah melaknat Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid”. Aku (‘Aisyah) berkata : “Kalau bukan karena takut (laknat) itu, niscaya kuburan beliau ditempatkan di tempat terbuka. Hanya saja beliau takut kuburannya itu akan dijadikan sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1330, Muslim no. 529, Ahmad 6/80 & 121 & 255, Ibnu Abi Syaibah 2/376, Abu ‘Awaanah 1/399, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 508, Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 13/52 & 183, Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath no. 7730, dan yang lainnya].

2. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :

عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (قاتل الله اليهود، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد)

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Semoga Allah memerangi (mengutuk) orang-orang Yahudi dimana mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 437, Muslim no. 530, Abu Dawud no. 3227, An-Nasa’iy 4/95, Abu Ya’laa no. 5844, Ahmad 2/284, dan yang lainnya].

3. Hadits ‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum :

عن عائشة وعبد الله بن عباس قالا: لما نزل رسول الله صلى الله عليه وسلم، طفق يطرح خميصة له على وجهه، فإذا اغتم بها كشفها عن وجهه، فقال وهو كذلك: (لعنة الله على اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد). يحذر ما صنعوا.

Dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas, mereka berdua berkata : Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kesehatannya menurun pada saat-saat akhir hidupnya, beliau menutupkan kain khamishah-nya (selimut wolnya) pada wajahnya, namun beliau melepas kain tersebut dari wajahnya ketika bapasnya semakin terganggu seraya bersabda : “Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nashrani dimana mereka telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid”. Aisyah berkata : “Beliau memperingatkan agar tidak melakukan seperti apa yang mereka lakukan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 435 & 436, Muslim no. 531, Ibnu Hibban no. 6619, Abu ‘Awaanah 1/399, An-Nasa’i 1/115; dan yang lainnya].

Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentang hadits di atas :

وكأنه صلى الله عليه وسلم علم أنه مرتحل من ذلك المرض ، فخاف أن يعظم قبره كما فعل من مضى ، فلعن اليهود والنصارى إشارة إلى ذم من يفعل فعلهم

“Seakan-akan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengetahui bahwa beliau akan wafat melalui sakit yang beliau derita, sehingga beliau khawatir kubur beliau akan diagung-agungkan seperti yang telah dilakukan orang-orang terdahulu. Oleh karena itu, beliau melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai isyarat yang menunjukkan celaan bagi orang yang berbuat seperti perbuatan mereka” [Fathul-Baariy, 1/532].

4. Hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa :

عن عائشة رضي الله عنها قالت : لما كان مرض النبي صلى الله عليه وسلم تذاكر بعض نسائه كنيسة بأرض الحبشة يقال لها : مارية ـ وقد كانت أم سلمة وأم حبيبة قد أتتا أرض الحبشة ـ فذكرن من حسنها وتصاويرها قالت: [ فرفع النبي صلى الله عليه وسلم رأسه ] فقال :" أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح بنوا على قبره مسجداً ، ثم صوروا تلك الصور ، أولئك شرار الخلق عند الله [ يوم القيامة ]

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jatuh sakit, maka beberapa orang istri beliau sempat membicarakan tentang sebuah gereja yang terdapat di negeri Habasyah (Ethiopia) yang diberi nama : Gereja Maria – dimana Ummu Salamah dan Ummu Habibah pernah mendatangi negeri Habasyah -, kemudian mereka (sebagian istri Nabi) membicarakan keindahan gereja dan gambar-gambar yang terdapat di dalamnya. ‘Aisyah bercerita : “(Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepalanya) seraya bersabda : ‘Mereka itu adalah orang-orang yang apabila orang shalih mereka meninggal dunia, maka mereka membangun masjid di atas kuburnya tersebut, lalu menggambar dengan gambar-gambar tersebut. Mereka itu adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah pada hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 434, Muslim 528, Abu ‘Awaanah 1/400-401, Ibnu Hibban no. 3181, An-Nasa’i 2/41, Al-Baihaqiy 4/80; dan yang lainnya].

5. Hadits Jundub bin Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu :

عن جندب بن عبد الله البجلي أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم قبل أن يموت بخمس وهو يقول : " قد كان لي فيكم إخوة وأصدقاء ، وإني أبراء إلى الله أن يكون لي فيكم خليل ، وإن الله عز وجل قد اتخذني خليلاً كما تخذ إبراهيم خليلاً ، ولو كنت متخذا من أمتي خليلاً ، لاتخذت أبا بكر خليلاً ، ألا [ وإن ] من كان قبلكم [ كانوا ] يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ، ألا فلا تتخذوا القبور مساجد ، فإني أنهاكم عن ذلك "

Dari Jundub bin Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya dia pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum hari wafatnya : “Aku memiliki beberapa saudara dan teman di antara kalian. Dan sesungguhnya aku berlindung kepada Allah dari memiliki kekasih (khalil) di antara kalian. Dan sesungguhnya Allah telah menjadikan diriku sebagai kekasih sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih. Seandainya aku boleh mengambil kekasih, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Dan ketahuilah, (sesungguhnya) orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kubur para nabi mereka dan orang-orang shalih diantara mereka sebagai masjid. Janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kalian melakukan hal itu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 532 dan Abu ‘Awanah 1/401].

6. Hadits Al-Harits An-Najrani radliyallaahu ‘anhu :

عن الحارث النجراني قال : سمعت النبي صلى الله عليه وسلم قبل أن يموت بخمس وهو يقول : "ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ، ألا فلا تتخذوا القبور مساجد إني أنهاكم عن ذلك "

Dari Al-Harits An-Najrani dia bercerita : Aku pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wasiat lima hari sebelum wafat : “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kubur para Nabi mereka dan orang-orang shalih di antara mereka sebagai masjid. Maka, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid. Sesunguhnya aku melarang kalian melakukan hal tersebut” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/374-375; shahih sesuai persyaratan Muslim].

7. Hadits Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhuma :

عن أسامة بن زيد أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال في مرضه الذي مات فيه : " أدخلوا علي أصحابي". فدخلوا عليه وهو متقنع ببردة معافريّ ، [ فكشف القناع ] فقال : " لعن الله اليهود [ والنصارى ] اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد"

Dari Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menderita sakit yang menyebabkan wafatnya beliau : “Masuklah wahai para shahabatku”. Maka mereka masuk sedangkan beliau dalam keadaan tertutup selimut mu’afir. (Lalu beliau membukanya) dan bersabda : “Allah telah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Ath-Thayalisi no. 669; Ahmad 5/204; Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir no. 393 & 411, Ibnu Sa’d 2/241, Al-Haakim 4/194, dan yang lainnya; hasan dengan syawaahid-nya].

8. Hadits Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah radliyallaahu ‘anhu :

عن أبي عبيدة قال : آخر ما تكلم به النبي صلى الله عليه وسلم اخرجوا يهود أهل الحجاز وأهل نجران من جزيرة العرب واعلموا ان شرار الناس الذين اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد

Dari Abu ‘Ubaidah ia berkata : “Kalimat terakhir yang diucapkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah : ‘Usirlah kaum Yahudi Hijaz dan Najran dari Jazirah ‘Arab. Ketahuilah, sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah yang menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/195 no. 1691 & 1694; Al-Bukhari dalam At-Taariikh Al-Kabiir 4/57, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadul-Matsaaniy no. 235-236, Abu Ya’laa Ath-Thahawi dalam Musykilul-Atsar 4/13; Abu Ya’la no. 872, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 4/12, dan yang lainnya; shahih].

9. Hadits Zaid bin Tsabit radliyallaahu ‘anhu :

عن زيد بن ثابت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لعن الله اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد

Dari Zaid bin Tsabit radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Allah telah melaknat orang-orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/184 & 186 dan ‘Abd bin Humaid no. 244; shahih dengan syawahid-nya].

10. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :

عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم : اللهم لا تجعل قبرى وثنا لعن الله قوما اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (beliau bersabda) : “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala. Allah melaknat kaum yang menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/246, Al-Humaidiy no. 1020, Ibnu Sa’d 2/241-242, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 5/43-44, Al-Bukhari dalam At-Taariikh Al-Kabiir 3/47, dan yang lainnya; shahih].

Al-Haafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaly menukil perkataan Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahumallah dalam kitab Al-Kawaakibud-Daraari :

الوثن الصنم ، يقول : لا تجعل قبري صنماً يصلى ويسجد نحوه ويعبد ، فقد اشتد غضب الله على من فعل ذلك ، وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يحذر أصحابه وسائر أمته من سوء صنيع الأمم قبلهم ، الذين صلوا إلى قبور أنبيائهم ، واتخذوها قبلة ومسجداً ، كما صنعت الوثنية بالأوثان التي كانوا يسجدون إليها ويعظمونها ، وذلك الشرك الأكبر ، وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يخبرهم بما في ذلك من سخط الله وغضبه ، وأنه مما لا يرضاه ، خشية عليهم من امتثال طرقهم ، وكان صلى الله عليه وسلم يحب مخالفة أهل الكتاب وسائر الكفار ، وكان يخاف على أمته اتباعهم ، ألا ترى إلى قوله صلى الله عليه وسلم على جهة التعبير والتوبيخ " لتتبعن سنن الذين كانوا من قبلكم حذوا النعل بالنعل ، حتى إن أحدهم لو دخل جحر ضب لدخلتموه ؟".

“Al-Watsan itu maknanya patung. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai patung/berhala yang menjadi kiblat shalat, tempat bersujud, juga tempat beribadah”. Dan Allah sangat murka kepada orang yang melakukan hal tersebut. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah memperingatkan para shahabat dan seluruh umatnya tentang perbuatan buruk umat-umat terdahulu, karena mereka shalat menghadap kuburan para Nabi mereka serta menjadikannya sebagai kiblat dan masjid. Sebagaimana penyembah berhala yang menjadikan berhala sebagai objek sesembahan yang diagungkan. Perbuatan tersebut merupakan syirik akbar. Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan bahwa perbuatan tersebut mengundang kemurkaan dan kemarahan Allah ta’ala dan Dia tidak akan pernah meridlainya. Hal tersebut disampaikan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena beliau khawatir umatnya akan meniru perbuatan mereka. Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam senantiasa memperingatkan umatnya agar tidak menyerupai Ahlul-Kitaab dan orang-orang kafir. Dan beliau juga khawatir bila umatnya akan mengikuti jejak mereka. Tidakkah engkau mengetahui sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengungkaokan celaan dan kemarahan : “Sungguh kalian akan mengikuti jejak-jejak orang sebelum kalian sama persis, setapak demi setapak; sehingga salah seorang dari mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kalian akan memasukinya pula” [Fathul-Baariy oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaly 2/90/65 – melalui perantaraan Tahdziirus-Saajid].

11. Hadits Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu :

عن عبد الله قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ان من شرار الناس من تدركه الساعة وهم أحياء ومن يتخذ القبور مساجد

Dari Abdullah (bin Mas’ud) ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya sejelek-jelek manusia adalah orang yang menjumpai hari kiamat saat masih hidup, dan juga orang yang menjadikan kubur sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/405 & 435, Ath-Thabaraniy no. 10413, Ibnu Abi Syaibah 3/345, Al-Bazzaar no. 3420, Abu Ya’laa no. 5316, Ibnu Khuzaimah no. 789, Ibnu Hibbaan no. 6847, dan yang lainnya; hasan].

12. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu :

عن علي بن أبي طالب قال : " لقيني العباس فقال : يا علي انطلق بنا إلى النبي صلى الله عليه وسلم فإن كان لنا من لأمر شئ وإلا أوصى بنا الناس ، فدخلنا عليه ، وهو مغمى عليه ، فرفع رأسه فقال : " لعن الله اليهود اتخذوا قبور لأنبياء مساجد " . زاد في رواية : " ثم قالها الثالثة " . فلما رأينا ما به خرجنا ولم نسأله عن شئ

Dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Al-‘Abbas radliyallaahu ‘anhu pernah menemuiku seraya berkata : ‘Wahai ‘Ali, mari ikut kami mengunjungi para Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mungkin ada sesuatu hal yang perlu kita tanyakan. Kalau tidak, beliau akan memberikan wasiat kepada orang-orang melalui kita’. Kemudian kami masuk menemui beliau, sedangkan beliau dalam keadaan berbaring karena sakit. Lalu beliau mengangkat kepalanya : “Allah telah melaknat orang-orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid “. Dalam sebuah riwayat ditambahkan : “Kemudian beliau mengatakan yang ketiga kalinya. Dan ketika kami melihat apa yang terjadi pada beliau, maka kami pun keluar dan tidak menanyakan sesuatu pun kepada beliau” [HR. Ibnu Sa’ad 4/28 dan Ibnu ‘Asaakir 12/172/2; hasan].

13. Hadits Ummahatul-Mukminin radliyallaahu ‘anhunna :

عن أمهات المؤمنين أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قالوا : كيف نبني قبر رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ أنجعله مسجداً ؟ فقال أبو بكر الصديق : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد

Dari Ummahatul-Mukminiin : Bahwasannya para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya : “Bagaimana kami harus membangun kubur Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, apakah kami boleh menjadikannya sebagai masjid ?”. Maka Abu Bakar menjawab : “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid” [HR. Ibnu Zanjawaih dalam kitab Fadlaailush-Shiddiq sebagaimana disebutkan dalam Al-Jamii’ul-Kabiir 3/147/1].

Itu diantara hadits-hadits yang terkait dengan larangan keras membangun masjid di atas kuburan atau menjadikan kuburan sebagai masjid. Masih ada hadits lain yang akan dituliskan di bawah. Jika kita perhatikan dengan seksama, sangat jelas menunjukkan hadits-hadits tersebut di atas berisi larangan sekaligus celaan siapa saja yang membangun masjid di sisi/atas kubur.

Ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam mengkritisi dalil kaum Wahaby yang menjadikan hadis-hadis tadi sebagai pelarangan pembangunan kubur di sisi kubur waliyullah secara mutlak:

(A) Untuk memahami hadis-hadis tadi maka kita harus memahami terlebih dahulu tujuan kaum Yahudi dan Nasrani dari pembikinan tempat ibadah di sisi para manusia saleh mereka tadi. Dikarenakan melihat “tujuan buruk” kaum Yahudi dan Nasrani dalam membangun tempat ibadah di sisi kuburan itulah maka keluarlah larangan Rasul. Dari hadis-hadis tadi dapat diambil suatu pelajaran bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah menjadikan kuburan para nabi dan manusia saleh dari mereka bukan hanya sebagai tempat ibadah melainkan sekaligus sebagai kiblat (arah ibadah). Ke arah kuburan itulah mereka menghadapkan muka mereka sewaktu bersujud. Hakekat prilaku inilah yang meniscayakan sama hukumnya dengan menyembah kuburan-kuburan itu. Inilah yang dilarang dengan tegas oleh Rasululah Muhammad saw.

Jadi jika seorang muslim membangun masjid di sisi kuburan seorang waliyullah sekedar untuk mengambil berkah (Tabarruk) dari tempat tersebut dan sewaktu ia melakukan shalat tidak ada niatan sedikitpun untuk mengagungkan kubur tadi maka hal ini tidak bertentangan dengan hadis-hadis di atas tadi, terkhusus hadis dari Ummu Salamah dan Ummu Habibah yang menjelaskan kekhususan kaum Yahudi dan Nasrani dalam menjadikan kubur manusia saleh dari mereka sebagai tempat ibadah.

Al-Baidhawi dalam mensyarahi hadis tadi menyatakan: “Hal itu dikarenakan kaum Yahudi dan Nasrani selalu mengagungkan kubur para nabi dengan melakukan sujud dan menjadikannya sebagai kiblat (arah ibadah). Atas dasar inilah akhirnya kaum muslimin dilarang untuk melakukan hal yang sama dikarenakan perbuatan ini merupakan perbuatan syirik yang nyata. Namun jika masjid dibangun di sisi kuburan seorang hamba saleh dengan niatan ber-tabarruk (mencari berkah) maka pelarangan hadis tadi tidak dapat diterapkan padanya”. Hal serupa juga dinyatakan oleh As-Sanadi dalam mensyarahi kitab Sunan an-Nasa’i jilid 2 halaman 41 dimana ia menyatakan: “Nabi melarang umatnya untuk melakukan perbuatan yang mirip prilaku Yahudi dan Nasrani dalam memperlakukan kuburan para nabi mereka, baik dengan menjadikannya sebagai tempat sujud dan tempat pengagungan maupun arah kiblat dimana mereka akan menghadapkan wajahnya ke arahnya (kubur) sewaktu ibadah”.

Dalam pernyataan di atas secara eksplisit Saudara telah mengakui dua yang telah dilakukan orang-orang Yahudi dan Nashrani terkait membangun masjid di atas kubur :

1. Dijadikan sebagai tempat ibadah

2. Dijadikan sebagai kiblat (arah ibadah)

Ini tergambar jelas dalam perkataan Saudara : ” Dari hadis-hadis tadi dapat diambil suatu pelajaran bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah menjadikan kuburan para nabi dan manusia saleh dari mereka bukan hanya sebagai tempat ibadah melainkan sekaligus sebagai kiblat (arah ibadah)”.

Dua hal inilah yang menjadi sebab pelarangan. [sebenarnya larangan ini tidaklah sebatas pada arah kiblat, sebagaimana akan dijelaskan kemudian]. Kemudian alasan Saudara bahwa perbuatan itu diperbolehkan dengan alasan tabarruk, maka saya tanggapi sebagai berikut :

Tabarruk (Mencari Berkah)

Al-barakah (اْلبَرَكَةُ) yang bentuk jamaknya al-barakaat (اْلبَرَكَاتُ) maknanya adalah kebaikan yang melimpah (كََثْرَةُ اْلخَيْرِ) [1]. Adapun tabarruk (التَّبَرُّكُ) merupakan mashdar dari تَبَرَّكَ - يَتَبَرَّكُ , yang artinya adalah mengharapkan barakah (طَلَبُ اْلبَرَكَةَ). Dan tabarruk dengan sesuatu artinya adalah mengharapkan keberkahan dengan perantaraan sesuatu tersebut.

Sesungguhnya kebaikan dan barakah ada di tangan Allah ta’ala. Dia memberi kekhususan kepada sebagian makhluk-Nya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya untuk mendapatkan kebaikan, keutamaan, karunia, dan keberkahan dari-Nya; seperti para Rasul, Nabi, Malaikat, dan sebagian orang-orang shalih.

Beberapa point penting yang terkait dengan tabarruk (mencari barakah) yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :

1. Sesungguhnya semua barakah itu berasal dari Allah, sebagaimana halnya rizki, pertolongan, dan kesehatan. Dia memberi kekhususan kepada sebagian makhluk-Nya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya untuk mendapatkan kebaikan, keutamaan, karunia, dan keberkahan dari-Nya; seperti para Rasul, Nabi, Malaikat, dan sebagian orang-orang shalih.

Allah ta’ala berfirman :

إِنّ اللّهَ اصْطَفَىَ آدَمَ وَنُوحاً وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)” [QS. Ali-‘Imran : 33].

تِلْكَ الرّسُلُ فَضّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىَ بَعْضٍ مّنْهُمْ مّن كَلّمَ اللّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ وَآتَيْنَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيّنَاتِ وَأَيّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ

“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus” [QS. Al-Baqarah : 253].

وَبَشّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيّاً مّنَ الصّالِحِينَ * وَبَارَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلَىَ إِسْحَاقَ

“Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq.” [QS. Ash-Shaaffat : 112-113].

Kita tidak boleh meminta barakah kecuali dari Allah, karena Dia-lah pemberi barakah. Allah ta’ala berfirman :

قُلِ اللّهُمّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمّنْ تَشَآءُ وَتُعِزّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلّ مَن تَشَآءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنّكَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [QS. Ali-‘Imran : 26].

عن عبد الله قال: كنا نعد الآيات بركة، وأنتم تعدونها تخويفا، كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فقل الماء، فقا: (اطلبوا فضلة من ماء). فجاؤوا بإناء فيه ماء قليل، فأدخل يده في الإناء ثم قال: (حي على الطهور المبارك، والبركة من الله). فلقد رأيت الماء ينبع من بين أصابع رسول الله صلى الله عليه وسلم...

Dari Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Kami menganggap ayat-ayat Allah sebagai suatu barakah, sedangkan kalian menganggapnya sebagai satu hal yang menakutkan. Kami pernah bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan bepergian. Kami kekurangan air. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Carilah kelebihan air’. Para shahabat lain datang dengan membawa sebuah bejana berisikan air yang cuma sedikit. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memasukkan tangannya ke dalam bejana itu kemudian bersabda : ‘Hai, inilah air yang sangat suci dan dibarakahi, dan barakah itu berasal dari Allah’. Aku kemudian melihat bahwa air itu keluar dari jari-jari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3579].

2. Benda-benda, ucapan-ucapan, dan perbuatan-perbuatan yang oleh syara’ diperbolehkan untuk dipakai mencari kebarakahan, tidak lain itu semua hanyalah merupakan sarana saja. Ia bukanlah yang memberikan barakah. Sama seperti obat. Ia hanyalah merupakan sarana penyembuh saja. Dan yang yang menyembuhkan pada hakikatnya adalah Allah ta’ala. Hal itu sebagaiamana diterangkan dalam salah satu doa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk orang sakit :

أذهب الباس رب الناس، واشف أنت الشافي، لا شفاء إلا شفاؤك، شفاء لا يغادر سقماً

“Hilangkanlah kesengsaraan, wahai Rabb manusia. Sembuhkanlah karena Engkaulah Dzat yang bisa menyembuhkan. Tidak ada penyembuh melainkan Engkau. Suatu penyembuhan yang tidak lagi meninggalkan sakit” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5750].

Adapun beberapa hadits seperti :

إن في الحبة السوداء شفاء من كل داء إلا السام

“Sesungguhnya dalam habbatus-saudaa’ itu terdapat penyembuh bagi seluruh penyakit, kecuali as-saam (kematian)” [HR. Muslim no. 2215];

maka harus dipahami bahwa habbatus-saudaa’ hanyalah sebagai sarana saja. Ia dapat menyembuhkan sesuai dengan ijin Allah. Ketika berobat dengan habbatus-saudaa’, maka kita pun harus memohon kesembuhan pada Allah.

Begitu pula,…. ketika ada penisbatan barakah pada seseorang, maka ia bukanlah sebagai hakikat pemberi barakah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap Ummul-Mukminin Juwairiyyah radliyallaahu ‘anhaa :

فما أعلم امرأة كانت أعظم بركة على قومها منها

“Aku tidak pernah melihat seorang wanita yang begitu besar barakahnya bagi kaumnya melebihi Juwairiyyah” [HR. Ahmad 6/277; hasan].

Juwairiyah bukanlah orang yang memberi barakah, melainkan hanyalah sebagai sebab keberadaan barakah saja. Hal itu diketahui ketika para shahabat mengetahui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Juwairiyyah, maka mereka saling berlomba dalam memerdekakan tawanan wanita dari kaumnya, yaitu Bani Musthaliq. Dengan pernikahan tersebut, Bani Musthaliq menjadi besan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tidak kurang seratus orang dari kaumnya dimerdekakan oleh para shahabat. Ini adalah barakah yang sangat besar dari Allah ta’ala yang penyebabnya tidak lain adalah Juwairiyyah bin Al-Harits.

3. Sesungguhnya mencari barakah terhadap sesuatu adalah dengan sesuatu yang padanya memang terdapat barakah. Dan ini menuntut penunjukkan pada nash/dalil. Bukan pada perasaan dan prasangka semata. Akal sehat tentu tidak akan menerima jika seseorang mencari keberkahan dari seekor sapi sebagaimana umat musyrik Hindu melakukannya.

Selain itu, seseorang yang mencari barakah pada sesuatu yang pada asalnya (sesuai nash/dalil) mempunyai barakah, maka harus dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syari’at. Misalnya, dalam hadits dikatakan bahwa makan sahur itu terdapat barakah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

تسحروا فإن في السحور بركة

“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat barakah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095].

Barakah makan sahur hanya akan kita dapatkan bila kita memakan makanan yang baik lagi halal. Sebaliknya, barakah tidak akan kita dapatkan jika kita makan atau minum yang diharamkan oleh Allah ta’ala (misalnya : makan daging babi, minum khamr, dan merokok).

Kembali pada pokok bahasan,…. Saudara telah menyatakan bahwa seseorang shalat di masjid yang berada di komplek kuburan adalah mengharap keberkahan kubur seseorang (yang dianggap sebagai wali Allah). Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan pencermatan :

a) Jika shalat di masjid yang ada kuburnya itu dianggap sebagai usaha memperoleh barakah, apakah memang ada dalil shahih yang menyatakan bahwa kubur seseorang (walau ia seorang ulama atau orang shalih) terdapat barakah ? Ini sama saja mengatakan bahwa masjid mendapatkan barakah tambahan dengan sebab keberadaan kubur yang ada padanya.

b) Jikalau orang-orang shalih tersebut dianggap mempunyai barakah ketika ia hidup, maka apakah barakah itu masih tetap ada padanya setelah ia meninggal dan dikuburkan ?

c) Terkait point a, jika Saudara menyatakan bahwa masjid juga mendapatkan barakah dengan sebab keberadaan kubur tersebut, maka dengan ini secara tidak langsung Saudara menyatakan bahwa shalat dan beribadah lainnya di pekuburan merupakan ibadah masyru’ yang dapat mengantar sebab perolehan barakah, termasuk di antaranya shalat. Ada pernyataan Saudara yang kontradiktif satu dengan yang lainnya. Ingat, sebelumnya Saudara telah mengatakan larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu berkaitan dengan perbuatan kaum Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai tempat ibadah.

Tanggapan atas tiga hal tersebut dirangkum sebagai berikut :

Tempat yang ditunjukkan oleh dalil sebagai tempat ber-tabarruk (mencari barakah) adalah :

a. Masjid

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أحب البلاد إلى الله مساجدها وأبغض البلاد إلى الله أسواقها

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Negeri (tempat) yang paling dicintai oleh Allah adalah masjid-masjidnya, dan negeri (tempat) yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar-pasarnya” [HR. Muslim no. 671].

Mencari barakah pada masjid tentu bukan dengan mengusap-usap dindingnya, mengambil sebagian debunya/pasirnya sebagai jimat, dan yang semisalnya. Namun, mencari barakah melalui masjid adalah dengan melakukan peribadahan yang disyari’atkan di dalamnya seperti shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir, adzan, atau mengadakan halaqah ilmu.

Diantara masjid-masjid yang mempunyai keutamaan dan barakah lebih banyak dibandingkan dengan masjid-masjid lainnya adalah : Masjidil-Haram, Masjid Nabawiy, Masjidil-Aqsha, dan Masjid Quba’.

b. Makkah, Madinah, Syaam, dan Yaman.

Allah berfirman :

سُبْحَانَ الّذِي أَسْرَىَ بِعَبْدِهِ لَيْلاً مّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَىَ الْمَسْجِدِ الأقْصَى الّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya” [QS. Al-Israa’ : 1].

عن عبد الله بن زيد بن عاصم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن إبراهيم حرم مكة ودعا لأهلها وإني حرمت المدينة كما حرم إبراهيم مكة وإني دعوت في صاعها ومدها بمثلى ما دعا به إبراهيم لأهل مكة

Dari Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda : “Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan (memuliakan) Makkah dan mendoakan penduduknya. Dan sesungguhnya aku telah mengharamkan (memuliakan) Madinah sebagaimana Ibrahim telah mengharamkan Makkah. Dan aku juga mendoakan penduduk Madinah sebagaimana Ibrahim telah mendoakan penduduk Makkah” [HR. Muslim no. 1360].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa :

اللهم بارك لنا في شامنا وفي يمننا

“Ya Allah, berkahilah bagi kami negeri Syaam kami dan Yaman kami….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1037].

Ber-tabarruk atas tempat ini bisa berupa mencari penghidupan di sana, bermukim, menolak fitnah, atau berbuat kebajikan secara umum. Tidak bisa dikatakan tabarruk yang syari’i atas tempat ini jika ada seseorang yang mengusap-usap batu dan tanahnya, membawa air atau debunya untuk dibawa pulang buat kesembuhan [2], dan lain sebagainya.

Maka dari itu, tidak ada satu pun dalil shahih yang menyatakan kuburan mempunyai barakah khusus. Bahkan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa kuburan (dan komplek pekuburan) bukanlah tempat untuk melakukan shalat (ibadah) secara umum[3]. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لا تجعلوا بيوتكم مقابر. إن الشيطان ينفر من البيت الذي تقرأ فيه سورة البقرة

“Janganlah engkau menjadikan rumah kalian seperti kuburan, sesungguhnya syaithan itu akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan Surat Al-Baqarah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 780, Ahmad 2/284 & 337 & 387 & 388, At-Tirmidzi no. 2877, An-Nasa’I dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 965, Ibnu Abi Syaibah 2/256, dan yang lainnya dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu].

Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata (dengan diringkas) :

استنبط من قوله في الحديث :(لا تتخذوها قبوراً ) أن القبور ليست بمحل للعبادة ،فتكون الصلاة فيها مكروهة ، وقد نازع الاسماعيلي المصنف في هذه الترجمة فقال :الحديث دال على كراهة الصلاة في القبر لا في المقابر

“Dari sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hadits : Janganlah kalian menjadikannya (rumah) sebagai kuburan”; dapat disimpulkan bahwa kuburan bukan tempat untuk beribadah, sehingga shalat di sana menjadi makruh. Al-Isma’ily telah menyanggah Penulis (yaitu Al-Imam Bukhari) dalam pembuatan bab ini, dimana ia mengatakan : ‘Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya shalat di satu kubur, bukan di pekuburan” [Fathul-Baariy, 1/529].

Jadi di sini menunjukkan bahwa pada asalnya kubur dan komplek pekuburan bukanlah tempat untuk beribadah dan mencari barakah. Tidak ada korelasinya antara masjid dan kubur dalam masalah tabarruk.

Mungkin saja Saudara akan menyanggah hal ini dengan perkataan : "Yang menjadikan kuburan tersebut mempunyai barakah bukanlah semata-mata karena kuburannya, namun orang yang dikubur di sana yang termasuk orang-orang shalih”.

Dijawab :

Alasan Saudara sangat lemah. Dalam hadits sebelumnya telah disebutkan bahwa Ummul-Mukminin Juwairiyyah adalah seorang wanita yang paling banyak barakahnya terhadap kaumnya. Bahkan ini ditegaskan melalui lisan Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah meninggalnya Juwairiyyah, apakah ternukil dalam riwayat shahih dari mereka (para shahabat) dan juga kaumnya (Bani Musthaliq) bahwa mereka mendatangi kubur Juwairiyyah untuk ber-tabarruk (mencari barakah) dengannya ? Tidak ada satu riwayat shahih pun yang menunjukkannya. Para shahabat juga tidak pernah ber-tabarruk terhadap kubur Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ataupun ‘Ali radliyallaahu ‘anhum; padahal mereka adalah empat orang shahabat yang utama. Bahkan, kepada orang yang lebih tinggi dari mereka – yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam –, para shahabat tidak pernah ber-tabarruk dengan kubur beliau kecuali ziarah dan mengucapkan salam serta shalawat kepada diri beliau. Padahal kita ketahui bahwa badan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengandung barakah dan diperbolehkan ber-tabarruk dengannya. Hal ini seperti dijelaskan pada beberapa hadits di antaranya :

عن أنس بن مالك قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا صلى الغداة جاء خدم المدينة بآنيتهم فيها الماء فما يؤتى بإناء إلا غمس يده فيها فربما جاءه في الغداة الباردة فيغمس يده فيها

Dari Anas bin Malik ia berkata : “Setiap kali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak melakukan shalat shubuh, para pelayan Madinah datang dengan membawa bejana-bejana mereka yang berisi air. Setiap kali didatangkan bejana, beliau memasukkan tangan beliau ke dalamnya. Terkadang beliau mendatangi beliau di pagi hari yang dingin. Tetapi tetap saja beliau berkenan memasukkan tangannya ke bejana yang berisikan air yang mereka bawa tersebut” .

Dalam riwayat lain Anas mengatakan :

لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم والحلاق يحلقه وأطاف به أصحابه فما يريدون أن تقع شعرة إلا في يد رجل

“Aku pernah menyaksikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tengah dicukur oleh seorang tukang cukur. Beliau dikelilingi oleh para shahabatnya. Mereka tidak menginginkan sehelai rambut pun jatuh percuma tanpa didapatkan oleh orang di antara mereka” [HR. Muslim no. 2325].

عن أنس بن مالك قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يدخل بيت أم سليم فينام على فراشها وليست فيه قال فجاء ذات يوم فنام على فراشها فأتيت فقيل لها هذا النبي صلى الله عليه وسلم نام في بيتك على فراشك قال فجاءت وقد عرق واستنقع عرقه على قطعة أديم على الفراش ففتحت عتيدتها فجعلت تنشف ذلك العرق فتعصره في قواريرها ففزع النبي صلى الله عليه وسلم فقال ما تصنعين يا أم سليم فقالت يا رسول الله نرجو بركته لصبياننا قال أصبت

Dari Anas bin Malik ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari pernah masuk ke rumah Ummu Sulaim. Beliau lalu tidur di atas alas tidur Ummu Sulaim ketika ia tidak ada di rumah. Pada hari lainnya beliau juga datang dan melakukan hal yang sama. Ketika Ummu Sulaim datang, ada yang melapor bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidur di alas tidur di rumahnya. Segera saja Ummu Sulaim masuk dan mendapati Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersimbah keringat yang sangat banyak sehingga mengenai sepotong kulit yang berada di dekat alas tidur tersebut. Kemudian Ummu Sulaim menyeka keringat tersebut lalu memerasnya ke dalam botol-botol yang terbuat dari kaca. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam terbangun dan merasa kaget. Beliau bertanya : “Apa yang sedang kamu lakukan wahai Ummu Sulaim ?”. Ia menjawab : “Wahai Rasulullah, kami mengharapkan barakahnya untuk anak-anak kami”. Maka beliau berkata : “Engkau benar” [HR. Muslim no. 2331].

Kita tidak memungkiri tentang masyru’-nya bertabarruk pada tubuh dan semua atsar (bekas) beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini dikarenakan karena tubuh beliau yang mengandung barakah. Dan ini adalah kekhususan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam yang tidak terdapat pada selain beliau. Atsar (bekas) peninggalan beliau ini tetap mempunyai barakah walaupun beliau telah meninggal dunia. Namun, semua peninggalan beliau tersebut (berupa rambut, pakaian, dan yang lainnya) telah hilang.[4] Maka, bertabarruk dengan atsar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sudah tidak bisa dilakukan lagi.

Kemudian,….. ada sebagian dari kaum muslimin [5] yang berusaha mencari barakah dengan beberapa beberapa tempat yang secara khusus tidak ditunjukkan dengan dalil. Tempat-tempat tersebut biasanya terkait dengan tokoh-tokoh atau peristiwa-peristiwa historis tertentu. Misalnya ada orang yang ber-tabarruk dengan tempat-tempat yang pernah dilewati beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, gua Hira (tempat turun wahyu pertama), gua Tsur, dan yang lainnya. Termasuk kuburan orang-orang shalih sebagaimana yang Saudara diklaim itu……………

Banyak dalil yang menunjukkan pengingkaran terhadap aqidah semacam ini. Silakan diperhatikan beberapa diantaranya :

1. Atsar ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu tentang hajar aswad :

عن عمر رضى الله تعالى عنه أنه جاء إلى الحجر الأسود فقبله فقال إني أعلم أنك حجر لا تضر ولا تنفع ولولا أني رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يقبلك ما قبلتك

Dari ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia mendatangi Hajar Aswad dan menciumnya. Kemudian ia berkata : “Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau hanyalah sebuah batu biasa yang tidak memberi mudlarat dan manfaat. Kalau aku tidak melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menciumnya, niscaya aku tidak akan sudi menciummu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1597].

Hampir semua umat muslimin tentu tahu bahwa Hajar Aswad adalah batu hitam yang sudah ada semenjak jaman Nabi Ibrahim ‘alaihis-salam. Ia adalah batu yang disentuh, diusap, dan dicium oleh para Nabi (dalam ibadah haji), termasuk Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Namun apa yang menjadi i’tiqad Umar dalam hal ini ? Apakah ia mencium Hajar Aswad karena ‘Umar berkeyakinan bahwa Hajar Aswad mempunyai barakah dzatiyyah (sehingga ia ber-tabarruk dengannya) ? Tidak ! ‘Umar mencium Hajar Aswad (dalam ibadah haji) semata-mata hanya karena ittiba’ beliau terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang juga menciumnya. Perkataan ‘Umar : “Kalau aku tidak melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menciumnya, niscaya aku tidak akan sudi menciummu” ; menunjukkan bahwa Hajar Aswad tidaklah mempunyai barakah dzatiyyah secara khusus sebagaimana Masjidil-Haram atau Masjid Nabawy. Sehingga dalam hal ini Ibnu Hajar berkomentar :

وفي قول عمر هذا التسليم للشارع في أمور الدين وحسن الأتباع فيما لم يكشف عن معانيها وهو قاعدة عظيمة في أتباع النبي صلى الله عليه وسلم فيما يفعله ولو لم يعلم الحكمة فيه

“Bahwa apa yang dikatakan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab tersebut adalah penyerahan diri secara total kepada Syaari’ (Pembuat Syari’at, yaitu Allah) dalam urusan agama dan melakukan ittiba’ dengan sebaik-baiknya terhadap sesuatu yang ia sendiri belum mengerti makna-makan yang terkandung di dalamnya. Itulah kaidah besar dalam hal ittiba’ kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ia melakukan sesuatu kendati ia tidak mengetahui hikmah apa yang terkandung di dalamnya” [Fathul-Baari 3/370].

2. Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah yang berasal dari Marwan bin Suwaid Al-Asadi ia berkata : “Aku keluar bersama Amirul-Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu keluar kota Makkah menuju Madinah. Ketika memasuki waktu pagi, beliau shalat bersama kami di pagi hari itu. Kemudin orang-orang melihat pergi ke suatu tempat. Beliau bertanya : “Kemana mereka pergi ?”. Ada yang menjawab : “Wahai Amirul-Mukminin, mereka pergi ke masjid dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah shalat di sana. Berbondong-bondong mereka mendatangi untuk shalat di sana. Beliau berkata :

بلك إنما هلك من كان قبلكم بمثل هذا يتبععون آثار الأنبيئهم فيتخذونها كنائس وبيعا أدركته الصلاة في هذا مسجد فليصلي و من لا فليمض و لا يعتمدها.

“Sesungguhnya orang sebelum kamu menjadi binasa disebabkan hal seperti ini. Mereka begitu memperhatikan peninggalan-peninggalan Nabi-nya lalu menjadikannya sebagai gereja-gereja dan tempat ibadah. Barangsiapa yang kebetulan melewati masjid ini dan telah tiba waktu shalat, maka hendaklah ia shalat di sini. Dan kalau tidak, hendaklah ia berlalu dan janganlah mendatangi dengan sengaja” [Al-Bida’ wan-Nahyu ‘anha oleh Ibnu Wadhdhah hal. 41].

3. Masih dari Ibnu Wadldlah ia berkata :

سمعت عيسى بن يونس يقول : أمر عمر بن الخطاب ـ رضي الله عنه بقطع الشجرة التي بويع تحتها النبي صلى الله عليه وسلم فقطعها لأن الناس كانوا يذهبون فيصلون تحتها ، فخاف عليهم الفتنة .

“Aku mendengar ‘Isa bin Yunus mengatakan : “Umar bin Al-Khaththab radlyallaahu ‘anhu memerintahkan untuk menebang pohon yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menerima baiat kesetiaan di bawahnya (Bai’atur-Ridlwan). Ia menebangnya karena banyak manusia yang pergi ke sana dan shalat di bawahnya, lalu hal itu membuatnya khawatir akan terjadi fitnah (bahaya kemusyrikan) terhadap mereka” [HR. Ibnu Abi Syaibah 2/376 dan Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ hal. 42; shahih. Lihat Fathul-Majid hal. 233, Maktabah Taufiqiyyah].

Di sini malah begitu jelas bahwa tempat singgah (petilasan) Nabi itu tidak mempunyai barakah secara khusus. Bahkan termasuk juga masjidnya. Artinya,….. shalat di masjid yang pernah disinggahi dengan yang belum adalah sama saja dalam hal keutamaannya. Tidak ada yang membedakan dan tidak ada keistimewaan khususnya kecuali jika didatangkan dalil, seperti empat masjid sebagaimana yang telah lalu. ‘Umar melarang orang untuk menyengaja datang di tempat yang pernah disinggahi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang dilakukan ‘Umar jika melihat apa yang dilakukan oleh orang-orang belakangan yang mencari barakah dengan petilasan (atsar) orang-orang (yang mereka anggap ) shalih yang tentu kedudukannya lebih rendah dari beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya ?

Nah,…. jika masjid saja yang secara umum mempunyai keutamaan (barakah) diingkari mempunyai keutamaan khusus/tambahan (yaitu barakah khusus selain dari barakah umum) dengan sebab pernah disinggahi oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam; maka bagaimana dengan kubur yang bahkan tidak ada keutamaan umumnya ?

Jawaban di point ini terkait dengan jawaban di point selanjutnya.

Sebagian hadis di atas menyatakan akan pelarangan membangun masjid “di atas” kuburan, bukan di sisi (baca: samping) kuburan. Letak perbedaan redaksi inilah yang kurang diperhatikan oleh kaum Wahaby dalam berdalil.

Justru Saudara dan orang-orang yang setipe dengan Saudara lah yang tidak mencermati dalil dan penjelasan ulama. Coba kita perhatikan dengan seksama dari 13 (tiga belas) hadits yang telah ditulis (dan sebenarnya masih beberapa lagi). Hampir semua menggunakan lafadh {اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد} “menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid”. Hanya satu saja yang memakai lafadh ‘alaa (di atas) yaitu hadits nomor 4 dari Ummul-Mukminin ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.

Apa makna larangan : “Menjadikan Kubur Sebagai Masjid { اتخاذ القبور مساجد } ?

Para ulama telah menjelaskan bahwa kalimat tersebut mencakup tiga makna, yaitu :

1. Larangan shalat di atas kubur.

Ibnu Hajar Al-Haitami berkata:

واتخاذ القبر مسجداُ معناه الصلاة عليه ، أو إليه

“Menjadikan kubur sebagai masjid berarti shalat di atasnya atau dengan menghadap ke arahnya” [Az-Zawaajir, 1/121].

Makna ini diperkuat oleh hadits :

لا تصلوا إلى قبر ، ولا تصلوا على قبر

“Janganlah kalian shalat menghadap ke arah kubur dan jangan pula shalat di atasnya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir; shahih].

2. Larangan sujud dengan menghadap ke arahnya serta menjadikannya sebagai kiblat shalat dan doa.

Al-Imam Al-Munawi rahimahullah berkata :

أي اتخذوها جهة قبلتهم ، مع اعتقادهم الباطل ، وإن اتخاذها مساجد ، لازم لاتخاذ المساجد عليها كعكسه ، وهذا بين به سبب لعنهم لما فيه من المغالاة في التعظيم . قال القاضي ( يعني البيضاوي ) : لما كانت اليهود يسجدون لقبور أنبيائهم تعظيماً لشأنهم ، ويجعلونها قبلة ، ويتوجهون في الصلاة نحوها ، فاتخذوها أوثاناً لعنهم الله ، ومنع المسلمين عن مثل ذلك ونهاهم عنه … "

“Artinya,.. mereka menjadikan kubur para nabi itu sebagai arah kiblat mereka akibat keyakinan mereka yang salah. Dan menjadikan kubur itu sebagai masjid menuntut konsekuensi pembangunan masjid di atasnya, dan juga sebaliknya. Hal demikian itu menjelaskan sebab dilaknatnya mereka, yaitu karena tindakan tersebut mengandung sikap berlebihan dalam pengagungan. Al-Qadli (yaitu Al-Baidlawi) mengatakan : ‘Orang-orang Yahudi bersujud kepada kubur para Nabi sebagai pengagungan terhadap mereka dan menjadikannya sebagai kiblat. Mereka juga menghadap ke kubur itu dalam mengerjakan shalat dan ibadah lainnya. Sehingga dengan demikian, mereka telah menjadikannya sebagai berhala yang dilaknat oleh Allah. Dan Allah telah melarang kaum muslimin melakukan hal tersebut” [selesai – Faidlul-Qadiir Syarh Al-Jamii’ Ash-Shaghiir – melalui perantara Tahdziirus-Saajid halaman 21; Maktabah Meshkat].

Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :

قيل معناه النهي عن السجود على قبور الأنبياء وقيل النهي عن اتخاذها قبلة يصلى إليها

“Dikatakan maknanya adalah larangan terhadap sujud di atas kubur para Nabi. Dan juga dikatakan bahwa maknanya adalah larangan untuk menjadikannya sebagai kiblat dimana ia shalat menghadapnya” [Tanwiirul-Hawaalik Syarh Muwaththa’ Malik no. 414; Maktabah Sahab].

Makna ini dikuatkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :

لا تجلسوا على القبور ، و لا تصلوا إليها

“Janganlah kalian duduk di atas kubur dan jangan pula shalat menghadap ke arahnya” [Diriwayatkan oleh Muslim 3/62; Abu Dawud no. 3229; Ahmad 4/135; An-Nasa’iy 2/67, At-Tirmidzi no. 1050; dan yang lainnya. Sanad hadits ini jayyid (baik)].

3. Larangan mendirikan masjid di atas kubur dan tujuan mengerjakan shalat di dalamnya.

Pengertian ini adalah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Bukhari ketika memberikan bab dalam kitab Shahih-nya : { باب ما يكره من اتخاذ القبور مسجداً على القبور} “Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan Membangun Masjid di Atas Kubur”. Makna ini adalah sebagaimana yang terambil dalam hadits :

أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح بنوا على قبره مسجداً

“Mereka itu adalah orang-orang yang apabila orang shlih mereka meninggal dunia, maka mereka membangun masjid di atas kuburnya tersebut” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 434, Muslim 528, Abu ‘Awaanah 1/400-401, Ibnu Hibban no. 3181, An-Nasa’i 2/41, Al-Baihaqiy 4/80; dan yang lainnya].

Dari ketiga makna ini – wallahi – hampir semua dikerjakan oleh para pecinta kubur ! Banyak sekali di antara mereka – dengan alasan tabarruk dan tawassul – melakukan doa dan shalat di samping atau menghadap kubur. Betapa banyak masjid di Indonesia ini yang terdapat kuburannya baik di dalam, di arah kiblat, atau di samping masjid ? Lihatlah di Cirebon, Ampel, atau daerah-daerah sekitar Madura. Dan saya pribadi pernah “terperosok” sewaktu shalat shubuh di Masjid Agung Kabupaten Temanggung Jawa Tengah yang ternyata di arah kiblatnya ada makam “wali”-nya. Inilah budaya/kultur yang dipelihara oleh pecinta kubur masyarakat kita.

Sebagai tambahan,…. larangan shalat dan mendirikan masjid itu bukan hanya jika kubur itu terletak di dalam atau di depan masjid ! Namun secara umum, termasuk di samping atau belakang masjid (selama kuburan tersebut masih berada di komplek masjid). Dalilnya adalah sebagai berikut :

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( الارض كلها مسجد إلا المقبرة والحمام

Dari Abi Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Bumi ini secara keseluruhan adalah masjid (tempat untuk shalat), kecuali kuburan dan kamar mandi” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/83 & 96, Abu Dawud no. 492, At-Tirmidziy no. 317, Ibnu Majah no. 745, Abu Ya’laa no. 1350, Ibnu Khuzaimah no. 791-792, dan yang lainnya; shahih].

Al-Maqbarah {المقبرة} adalah isim makan (tempat) yang bentuk jamaknya Al-Maqaabir {المقابر}; yang artinya setiap tanah yang ditanam/dikuburkan seorang mayit. Adalah salah jika ada orang yang menganggap bahwa al-maqaabir ini merupakan bentuk jamak dari al-qubr (القبر).

Maka larangan untuk melakukan shalat (dan juga tentunya mendirikan masjid) di sini berlaku untuk kubur satu orang atau lebih (seperti di daerah pekuburan); baik menghadap kubur atau membelakangi, di sebelah kanan atau di sebelah kirinya. Ini semua terlarang, sebab dua hadits di atas lafadhnya adalah mutlak (yaitu larang shalat di kubur dan juga di antara kubur).

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata ketika menjelaskan madzhab Al-Imam Ahmad rahimahumallah dalam permasalahan ini :

وليس في كلام أحمد و عامّة أصحابه هذا الفرق ، بل عموم كلامهم و تعليلهم و استدلالهم يوجب منع الصّلاة عند قبرٍ واحدٍ من القبور، وهو الصواب ، والمقبرة كل ما قبر فيه ، لا أنه جمع قبر . وقال أصحابنا : وكل ما دخل في اسم المقبرة مما حول القبور ، لا يصلّى فيه ، فهذا يعين أن المنع يكون متناولاً لحرمة القبر المنفرد ، و فنائه المضاف إليه

“Tidak ada perbedaan pendapat antara Ahmad dan shahabat-shahabatnya (yaitu para ulama Hanabilah) dalam permasalahan ini. Akan tetapi keumuman perkataan, ta’lil, dan istidlal mereka adalah menetapkan pelarangan shalat di samping kubur, walau itu satu kuburan saja[6]. Dan itulah yang benar. Dan yang disebut Al-Maqbarah adalah setiap tanah dibuat untuk mengubur (mayat). Al-Maqbarah bukanlah bentuk jamak dari Qabr (kubur). Dan telah berkata sebagian shahabat-shahabat kami : “Setiap yang masuk dalam definisi Al-Maqbarah adalah setiap sesuatu yang berada di sekitar kubur yang tidak boleh digunakan untuk shalat”. Dan ini menentukan bahwa larangan tersebut mencakup lingkup kuburan yang terpencil bersama halaman sekitarnya” [Al-Ikhtiyaaratul-‘Ilmiyyah hal. 25 melalui perantaraan Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail-Mushallin hal. 32, Maktabah Al-Misykah dan Tamamul-Minnah hal. 298 Daarur-Rayah].

Al-Muhaqqiq Muhammad Yahya Al-Kandahlawi Al-Hanafi rahimahullah berkata : “Adapun membangun kubur termasuk tasyabbuh (meniru) perbuatan Yahudi dan menjadikan kubur para Nabi dan para tokoh sebagai masjid termasuk pengagungan terhadap mayit dan meniru para penyembah berhala meskipun masjid itu berada di samping kubur. Jika kubur berada di arah kiblat, maka lebih dibenci daripada di samping kanan atau kiri. Jika berada di belakang orang-orang shalat, maka itu lebih ringan namun tidak lepas dari hukum makruh” [Al-Kawaakibud-Daraari ‘alaa Jamii’it-Tirmidzi hal. 153].

(C) Tidak jelas apakah pelarangan dalam hadis itu menjurus kepada hukum haram ataupun hanya sekedar makruh (tidak sampai pada derajat haram) saja. Hal itu dikarenakan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya (lihat kitab Shahih al-Bukhari jilid 2 halaman 111) dimana beliau mengumpulkan hadis-hadis itu ke dalam topik “Bab apa yang dimakruhkan dari menjadikan masjid di atas kuburan” (Bab maa yukrahu min ittikhodz al-Masajid ‘alal Qubur) dimana ini meniscayakan bahwa hal itu sekedar pelarangan yang bersifat makruh saja yang selayaknya dihindari, bukan mutlak haram.

Atas dasar itu, dalam kitab al-Maqolaat as-Saniyah halaman 427 disebutkan bahwa Syeikh Abdullah Harawi dalam menjelaskan hadis di atas tadi mengatakan: “Hadis tadi diperuntukkan bagi orang yang hendak melakukan ibadah di atas kuburan para nabi dengan niat untuk mengagungkan kubur mereka. Ini terjadi jika posisi kuburan itu nampak (menonjol .red) dan terbuka. Jika tidak maka melaksanakan shalat di situ tidak haram hukumnya”

Perlu diketahui bahwa Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah ketika menuliskan “Maa Yukrahu….” (Apa-Apa yang Dimakruhkan….) dalam kitab Shahih-nya, bisa mengandung dua pengertian, yaitu : 1) bermakna bukan tahrim; dan 2) bermakna tahrim.

Saya contohkan bab yang ditulis beliau rahimhullah dengan makna pertama :

1. Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan Tidur Sebelum ‘Isya’ { باب ما يكره من النوم قبل العشاء }

2. Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Meninggakan Shalat Malam Bagi Mereka yang Telah Biasa Mengerjakannya { باب ما يكره من ترك قيام الليل لمن كان يقومه }

3. dan lain-lain.

Adapun yang makna kedua (tahrim/pengharaman) :

1. Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Niyahah (Meratap) terhadap Mayit { باب ما يكره من النياحة على الميت }

2. Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Shalat Jenazah terhadap Orang-Orang Munafik dan Meminta Ampunan terhadap Orang-Orang Musyrik { باب ما يكره من الصلاة على المنافقين والاستغفار للمشركين }

3. Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Namimah (Mengadu Domba) { باب ما يكره من النميمة}

4. dan lain-lain.

Lantas,…. bagaimana dengan menjadikan kubur sebagai masjid ? Tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksudkan makruh dalam perkataan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah adalah bermakna tahrim (pengharaman). Apa indikasinya ? Indikasinya adalah bahwa lafadh hadits yang dibawakan oleh Al-Imam Bukhari rahimahullah dalam Bab Maa Yukrahu Min-Ittikhaadzil-Masaajidi ‘alal-Qubuur merupakan lafadh-lafadh laknat. Sesuai dengan kaidah Ushul-Fiqh bahwa lafadh laknat mempunyai konsekuensi pada pengharaman [lihat Badai’ul-Fawaaid 4/5-6].

Contohnya adalah firman Allah :

إِنّ الّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِناتِ لُعِنُواْ فِي الدّنْيَا وَالاَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, [QS. An-Nuur : 23]

عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لعن الله الواصلة والمستوصلة والواشمة والمستوشمة

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : “Allah telah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang meminta disambung rambutnya; juga wanita yang mentato dan yang minta ditato” [HR. Bukhari no. 5589].

Dan perlu diketahui bahwa kalimat “makruh/karahah” dalam syari’at banyak yang menunjukkan pada makna haram (dan ini adalah madzhab ulama mutaqaddimiin). Misalnya : Setelah Allah menyebutkan tentang larangan berbuat syirik, larangan durhaka kepada dua orang tua, larangan bersikap boros, dan yang lainya [7], maka Allah menutupnya dengan :

ذَلِكَ كَانَ سَيّئُهُ عِنْدَ رَبّكَ مَكْرُوهاً

“Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu” [QS. Al-Israa’ : 38].

Juga Allah berfirman :

وَلَـَكِنّ اللّهَ حَبّبَ إِلَيْكُمُ الأِيمَانَ وَزَيّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ

“Tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan”. [QS. Al-Hujuraat : 7].

Makna makruh dalam dua ayat di atas adalah haram. Kecuali,…. bila Saudara mengatakan syirik, durhaka pada orang tua, kefasikan, kemaksiatan, dan sikap boros itu hanya sebatas makruh dimana orang yang meninggalkannya mendapat pahala dan yang mengerjakannya tidak dibebani dosa…….

Oleh karena itu, perkataan makruh ulama di bawah juga menunjukkan pengharaman.

وقال أبو بكر الأثرم : سمعت أبا عبد الله – يعني أحمد – يُسأل عن الصلاة في المقبرة ، فكره الصلاة في المقبرة ، فقيل له : (المسجد يكون بين القبور ، أيصلى فيه ؟) ، فكره ذلك . قيل له : (إنه مسجد ، وبينه وبين القبور حاجز) ، فكره أن يصلى فيه الفرض ، ورخص أن يصلى فيه على الجنائز ، وذكر حديث أبي مرثد الغنوي عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لا تصلوا إلى القبور ، وقال : إسناد جيد

Telah berkata Abu Bakr Al-Atsram : Aku mendengar Abu ‘Abdillah – yaitu Ahmad – ditanya tentang shalat yang dilakukan di kuburan (maqbarah), maka ia me-makruh-kannya. Lalu ditanyakan kepadanya : “Bagaimana tentang masjid yang berada di antara kubur ?”. Ia pun me-makruh-kannya hal itu juga” [Fathul-Baariy oleh Ibnu Rajab, 3/195].

والذي عليه الأكثر من أهل العلم ؛ كراهية الصلاة في المقبرة ، لحديث أبي سعيد رضي الله عنه، وكذلك نقول .

“Pendapat yang dipegang oleh kebanyakan ahli ilmu/ulama adalah makruh mengerjakan shalat di kuburan, berdasarkan hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu. Dan begitulah yang menjadi pendapat kami” [Al-Ausath, 2/185].

Kesimpulan di point ini adalah bahwa menjadikan kubur sebagai masjid dan shalat di dalamnya adalah haram.

Begitu pula apa yang dinyatakan oleh salah seorang ulama Ahlusunah lain yang bermazhab Hanafi yang bernama Abdul Ghani an-Nablusi dalam kitab al-Hadiqoh ast-Tsaniyah jilid 2 halaman 631. Ia menyatakan: “Jika sebuah masjid dibangun di sisi kuburan (makam) orang saleh ataupun di samping kuburannya yang hanya berfungsi untuk mengambil berkahnya saja, tanpa ada niatan untuk mengagungkannya maka hal itu tidak mengapa. Sebagaimana kubur Ismail as terletak di Hathim di dalam Masjidil Haram dimana tempat itu adalah sebaik-baik tempat untuk melaksanakan shalat”.

Di sini saya tidak akan membantah pada hal tabarruk (karena telah terjawab pada paragraph di atas), namun hanya akan mengomentari perkataan bahwa kubur Isma’il di Masjidil-Haram adalah sebaik-baik tempat untuk shalat.

Saya jawab secara ringkas bahwa perkataan ini adalah perkataan palsu yang tidak bersumber pada satupun riwayat shahih. Bahkan riwayat dla’if tentang hal itu pun tidak tertulis dalam Al-Kutubus-Sittah, Musnad Ahmad, Mu’jam Thabarani (Kabiir, Shaghiir, dan Ausath), dan yang lainnya dari kitab hadits yang populer.

Apa yang dikatakan oleh Saudara dan orang yang Saudara nukil itu (yaitu Abdul-Ghani An-Nablusi) bersumber pada atsar-atsar mu’dlal dengan sanad-sanad yang dla’if dan mauquf yang disebutkan oleh Al-Azraqi dalam Akhbaarul-Makkah (hal. 39, 219, dan 220). Selain itu, penukilan kubur Isma’il ini juga beraneka cerita. Al-‘Allamah ‘Ali Al-Qari, seorang ahli hadits kenamaan madzhab Hanafiyyah berkata :

وذكر غيره أن صورة قبر إسماعيل عليه السلام في الحجر تحت الميزاب ، وأن في الحطيم بين الحجر الأسود وزمزم قبر سبعين نبياً

“Dan yang lain mengatakan bahwa wujud kubur Isma’il ‘alaihis-salaam itu ada di Hijr di bawah pancuran air hujan. Dan ada pula yang mengatakan terletak di Hathim antara Hajar Aswad dan Zamzam, yang terdapat kuburan 70 orang Nabi…….” [Mirqaatul-Mafaatih 1/456].

Jika memang dianggap bahwa kubur itu terdapat di sana, maka hal itu tidak terdapat lagi wujudnya. Sudah menjadi kesepakatan bahwa kubur yang sudah tidak ada bekasnya (tidak nampak tanda-tanda kuburan) adalah tidak mengapa (tidak terkena larangan dalam hadits).

Adapun anggapan bahwa shalat di Hathim itu adalah sebaik-baik tempat untuk melaksanakan shalat dikarenakan adanya kubur Isma’il, maka perkataan ini adalah perkataan khayal yang dikatakan tanpa landasan nash.

Allamah Badruddin al-Hautsi pun menyatakan hal serupa dalam kitab Ziarah al-Qubur halaman 28: “Arti dari menjadikan kuburan sebuah masjid adalah seseorang menjadikan kuburan sebagai kiblat (arah ibadah) dan untuknya dilaksanakan peribadatan”.

Bahkan, ada tiga makna sebagaimana telah dituliskan sebelumnya.

Dalil lain yang dijadikan oleh kaum Wahaby (Salafy gadungan) –terkhusus Ibnu Qoyyim al-Jauziyah- adalah kaidah Sadd adz-Dzarayi’ dimana kaidah itu menyatakan: “Jika sebuah perbuatan secara dzatnya (esensial) dihukumi boleh ataupun sunah, namun dengan melalui perbuatan itu menjadikan seseorang mungkin orang tadi terjerumus ke dalam perbuatan haram maka untuk menghindari hal buruk tersebut -agar orang tadi tidak terjerumus ke dalam jurang tersebut- perbuatan itupun lantas dihukumi haram”. (lihat kembali kitab A’lam al-Muwaqi’in jilid 3 halaman 148).

Dalil di atas tadi secara ringkas dapat kita jawab bahwa; Dalam pembahasan Ushul Fikih disebutkan “Hanya mukadimah untuk pelaksanaan perbuatan wajib yang menjurus secara langsung kepada kewajiban itu saja yang juga dihukumi wajib” seperti kita tahu kewajiban wudhu karena ia merupakan mukadimah langsung dari shalat yang wajib. Begitu juga dengan “mukadimah yang menjurus langsung kepada hal haram, hukumnya pun haram”, jadi tidak mutlak semua mukadimah. Atas dasar ini maka membangun masjid di sisi kuburan manusia mulia (para nabi atau waliyullah) jika tidak untuk tujuan syirik maka tidak menjadi apa-apa (boleh). Dan terbukti mayoritas mutlak masyarakat muslim disaat melakukan hal tersebut dengan niatan penghambaan terhadap Allah (tidak untuk menyekutukan Allah / Syirik). Kalaupun ada seorang muslim yang berniat melakukan syirik, itu merupakan hal yang sangat jarang (baca: minim) sekali.

Aneh ya,….. gara-gara Al-Haafidh Ibnul-Qayyim sejalan dengan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab rahimahumallah, lantas beliau dicap sebagai Wahabi. Nanti bila saya sebutkan Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, Ath-Thabari, atau yang lainnya, jangan-jangan Saudara juga mencap mereka sebagai Wahabi. Ini namanya membabi buta dalam kebencian sehingga menutup mata terhadap fakta. Alangkah aneh,…. Ibnul-Qayyim yang hidup di abad 7 Hijriyyah (wafat tahun 751 H) lekat dengan stigma Wahabi. Ini namanya stigma bersifat “flash back” ………….

Adapun penjelasan kaidah Ushul-Fiqh yang Saudara sebutkan itu tidak nyambung dengan pokok bahasan kaidah Saddudz-Dzara’i yang sedang dikritisi. Saddudz-Dzara’i adalah kaidah agung yang dijelaskan oleh para ulama dalam penghukuman hal-hal yang memicu satu keharaman terjadi. Kaidah ini menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat memicu terjadinya keharaman atau diduga kuat menyebabkan keharaman, maka sesuatu itu hukumnya juga haram. Kaidah ini merupakan kaidah agung dalam upaya preventif menutup jalan-jalan yang menyebabkan terjadinya kemunkaran sebelum kemunkaran tersebut benar-benar terjadi. Dalil yang melandasi kaidah ini adalah :

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزّنَىَ إِنّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” [QS. Al-Israa’ : 32].

Perhatikan ayat di atas ! Sesungguhnya kemunkaran yang dituju pada ayat tersebut adalah “zina”, karena Allah telah menjelaskan bahwa zina merupakan suatu perbuatan yang keji lagi buruk. Namun, penekanan Allah tidak hanya pada “zina” saja. Bahkan Allah telah menutup dan mengharamkan semua jalan menuju “zina” dengan kalimat : { وَلاَ تَقْرَبُواْ الزّنَىَ} “Dan janganlah kamu mendekati zina”. Kalimat nahyi (larangan) itu mengandung konsekuensi bahwa semua hal yang dapat membuka jalan menju zina, maka hukumnya pun haram. Maka, mengumbar pandangan, mengkhayal, berkhalwat, bersentuhan tanpa ada kebutuhan dlaruriy hukumnya haram. Semua perbuatan ini merupakan muqaddimah menuju zina yang sebenarnya. Inilah Saddudz-Dzara’i.

Saya merasa heran kepada Saudara yang dengan ‘enteng’-nya mengatakan bahwa praktek yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin yang menyepakati pendapat Saudara jarang sekali terjerembab pada kesyirikan. Betapa banyak akhirnya orang-orang meminta kesembuhan dan dikabulkannya hajat pada orang yang ada di dalam kubur yang mereka anggap sebagai Waliyyullah itu ? Betapa banyak orang shalat di masjid yang ada kuburnya itu sekedar formalitas saja dengan tujuan utama malah ingin mendapat ‘restu’ si penghuni kubur agar cepat punya keturunan (misalnya) ? Ia pun menjadi takut dan gembira karena penghuni kubur yang telah berkalang tanah….

Kubur pun dijadikan perayaan. Lebih ramai dari karnaval 17-an Agustus. Diperingatilah ulang tahun kematian si penghuni kubur secara terus-menerus. Masjid yang ada di atas/samping kubur itu pun dijadikan alat propaganda syi’ar kesyirikan dan kebid’ahan.

Peringatan kepada umat untuk tidak membangun masjid di atas/samping/sisi kubur karena berpotensi membawa ke pintu kesyirikan (sebagaimana telah terjadi pada kenyataannya) bukan hanya dikatakan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah.

Allah berfirman :

قَالَ نُوحٌ رّبّ إِنّهُمْ عَصَوْنِي وَاتّبَعُواْ مَن لّمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلاّ خَسَاراً * وَمَكَرُواْ مَكْراً كُبّاراً * وَقَالُواْ لاَ تَذَرُنّ آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنّ وَدّاً وَلاَ سُوَاعاً وَلاَ يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً * وَقَدْ أَضَلّواْ كَثِيراً

Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka, dan melakukan tipu-daya yang amat besar." Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr”. Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan (manusia). [QS. Nuh : 21-24].

Terkait ayat di atas, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah menyebutkan satu hadits dalam Shahih-nya :

عن بن عباس رضى الله تعالى عنهما صارت الأوثان التي كانت في قوم نوح في العرب بعد أما ود كانت لكلب بدومة الجندل وأما سواع كانت لهذيل وأما يغوث فكانت لمراد ثم لبني غطيف بالجوف عند سبأ وأما يعوق فكانت لهمدان وأما نسر فكانت لحمير لآل ذي الكلاع أسماء رجال صالحين من قوم نوح فلما هلكوا أوحى الشيطان إلى قومهم أن انصبوا إلى مجالسهم التي كانوا يجلسون أنصابا وسموها بأسمائهم ففعلوا فلم تعبد حتى إذا هلك أولئك وتنسخ العلم عبدت

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma (ia berkata) : “Patung-patung yang ada di kaum Nuh menjadi sesembahan orang Arab setelah itu. (Patung) Wadd menjadi sesembahan bagi Bani Kalb di Dumatul-Jandal, (patung) Suwaa’ bagi Bani Hudzail, (patung) Yaghuuts bagi Bani Murad dan Bani Ghuthaif di Al-Jauf sebelah Saba’, Ya’uuq bagi Bani Hamdaan, dan Nasr bagi Bani Himyar dan kemudian bagi keluarga Dzul-Kalaa’. Mereka adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nuh. Ketika mereka meninggal, maka syaithan membisikkan kepada kaum mereka (yaitu kaum Nuh) agar meletakkan patung-patung mereka dalam majelis-majelis dimana kaum Nuh biasa mengadakan pertemuan, sekaligus memberi nama patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Maka mereka pun melakukannya. Patung tersebut tidaklah disembah pada waktu itu. Akhirnya setelah generasi pertama mereka meninggal dan ilmu telah dilupakan, maka patung-patung tersebut akhirnya disembah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4920].

Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menukil perkataan Muhammad bin Qais dalam Tafsir-nya sebagai berikut :

كانوا قوما صالحين من بني آدم, وكان لهم أتباع يقتدون بهم, فلما ماتوا قال أصحابهم الذين كانوا يقتدون بهم: لو صوّرناهم كان أشوق لنا إلى العبادة إذا ذكرناهم, فصوّروهم, فلما ماتوا, وجاء آخرون دبّ إليهم إبليس, فقال: إنما كانوا يعبدونهم, وبهم يُسقون المطر فعبدوهم.

“Mereka (Wadd, Suwwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr) adalah kaum shalih dari bani Adam yang mempunyai banyak pengikut. Ketika mereka meninggal, maka berkatalah shahabat-shahabat dari kalangan pengikut mereka : ‘Jika kita membuat gambar-gambar mereka, maka kita akan semakin tekun beribadah ketika mengingat mereka’. Maka mereka pun membuat gambar mereka. Ketika mereka (generasi pertama) meninggal, datanglah generasi berikutnya dimana Iblis mulai melakukan tipu daya kepada mereka. Iblis berkata : ‘Orang-orang sebelum kamu membuat gambar-gambar tersebut tidak lain hanyalah untuk menyembah orang-orang shalih tersebut yang dengannya mereka meminta diturunkan hujan’. Akhirnya mereka pun menyembahnya” [Tafsir Ath-Thabari, QS. Nuh : 23-24].

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :

وإنما صور أوائلهم الصور ليتأسوا بها ويتذكروا أعمالهم الصالحة ، فيجتهدوا كاجتهادهم ، ويعبدوا الله عند قبورهم ، ثم خلفهم قوم جهلوا مرادهم ووسوس لهم الشيطان أن أسلافهم كانوا يعبدون هذه الصور ويعظمونها . فحذر النبي صلى الله عليه وسلم عن مثل ذلك ، سداً للذريعة المؤدية إلى ذلك

“Mula-mula para pendahulu mereka membuat patung orang-orang shalih itu adalah agar dapat meneladani mereka dan mengenang mengingat perbuatan-perbuatan shalih mereka, sehingga dapat memiliki kesungguhan beribadah yang sama seperti mereka. Karenanya, mereka menyembah Allah di sisi kuburan mereka. Kemudian setelah mereka meninggal, datanglah generasi generasi yang tidak mempunyai pengetahuan cukup terhadap agama sehingga tidak mengerti maksud pendahulu mereka, lalu syaithan membisikkan pada mereka bahwa pendahulu mereka tersebut menyembah patung-patung itu dan mengagungkannya. Oleh karena itulah, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang terjadinya hal demikian untuk menutup rapat-rapat segala hal yang dapat mengarah ke perbuatan tersebut (Saddu lidz-Dzari’ah)” [Lihat Fathul-Majiid hal. 218 – Maktabah Taufiqiyyah, Cairo].

Dalam kesempatan lain Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah juga berkata :

وكل ذلك لقطع الذريعة المؤدية إلى عبادة من فيها كما كان السبب في عبادة الأصنام

"Semua itu dimaksudkan untuk memutus jalan yang menjurus kepada ibadah terhadap orang yang ada di dalam kubur tersebut. Sebagaimana halnya yang terjadi pada orang-orang yang menyembah berhala" [idem, hal. 220].

Al-Imam Ibnu Baththal rahimahullah ketika menjelaskan hukum menjadikan kubur kaum muslimin sebagai masjid/tempat ibadah, menukil perkatan Al-Muhallab :

وإنما نهى عن ذلك، والله أعلم، قطعًا للذريعة ولقرب عبادتهم الأصنام واتخاذ القبور والصورة آلهة

“Sesungguhnya termasuk larangan dari hal itu wallaahu a’lam. Yaitu dikarenakan untuk memutuskan perantara dan pendekatan diri mereka dalam beribadah kepada berhala, serta memutuskan upaya menjadikan gambar dan patung sebagai tuhan” [8] [Syarhul-Bukhari li-Ibni Baththal Al-‘Ukbari 3/96].

Al-Imam As-Suyuthi dalam Ad-Durrul-Mantsur (6/269) berkata : Diriwayatkan oleh ‘Abdun bin Humaid dari Abu Muthahhir, dia bercerita di sisi Abu Ja’far (yaitu Al-Baqir) Yazib bin Al-Muhallab, dia bercerita : “Sesungguhnya dia telah terbunuh di permukaan bumi yang menjadi tempat penyembahan selain Allah”. Kemudian dia menyebutkan Wadd. Dia menyebutkan bahwa Wadd adalah seorang muslim yang sangat dicintai kaumnya. Ketika meninggal dunia, kaumnya berkumpul di sekitar kuburnya di tanah Babil. Dan mereka pun merasa kasihan padanya. Ketika Iblis mengetahui kesedihan mereka padanya, Iblis tersebut kemudian berpakaian menyerupai manusia dan kemudian berkata,”Aku tahu rasa sedih kalian terhadap orang ini. Apakah kalian mau aku buatkan gambar sesuatu yang mirip dengannya, sehingga dengan tetap berada di perkumpulan kalian, kalian bisa mengingatnya ?”. Mereka menjawab : “Mau”. Lalu Iblis membuat gambar yang mirip dengan orang shalih tersebut (Wadd), kemudian mereka meletakkannya di tempat perkumpulan mereka sambil mengingat-ingatnya. Setelah mereka selalu mengingat-ingatnya Iblis pun berkata,”Apakah kalian mau aku buatkan patung yang menyerupai wajahnya di rumah masing-masing kalian ?”. Mereka menjawab : “Mau”. Lalu Iblis pun membuatnya lagi setiap rumah satu patung yang menyerupai orang shalih tersebut. Mereka pun menyambutnya dan terus-menerus mengingat orang tersebut melalui patung itu”. Kemudian ia (Al-Baqir) menceritakan : “Anak-anak mereka pun mengetahui hal itu seraya melihat yang mereka kerjakan dengan patung itu. Hingga akhirnya mereka melahirkan banyak keturunan. Lalu, anak-anak mereka pun mempelajari cara mengingat orang shalih tersebut melalui patung itu, hingga akhirnya mereka menjadikannya sebagai ilah selain Allah” [selesai].

Dari riwayat tersebut, para ulama telah menjelaskan bahwa sebenarnya generasi pertama kaum Nuh bukanlah penyembah berhala. Namun kemudian mereka tertipu oleh Iblis/syaithan untuk membuat hal-hal yang mereka anggap dapat menyempurnakan ibadah mereka, namun ternyata malah membuka jalan ke pintu kesyirikan. Sama halnya dengan pembangunan masjid di kuburan yang diniatkan untuk ber-tabarruk dan mengenang orang-orang shalih yang telah meninggal. Mereka menganggap bahwa beribadah di masjid tersebut lebih afdlal dan lebih sempurna karena keberadaan orang shalih yang ada di liang kubur itu, dibandingkan masjid lainnya. Alasan ini mirip dengan alasan generasi pertama kaum Nuh dimana mereka membuat patung-patung hanya untuk mencari barakah dan agar mereka semakin giat dalam beribadah. Begitulah cara syaithan menjerumuskan manusia ke lembah kesyirikan. Mereka memulai dari hal-hal yang dipandang remeh di mata sebagian manusia. Bagaikan kerbau yang digembala - sedikit-demi sedikit syaithan membawa manusia ke masuk ke pintu syubhat dan bid’ah hingga akhirnya benar-benar masuk kepada kesyirikan yang nyata.

Sangatlah tepat apa yang dikatakan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berikut :

“Oleh karena itu Allah dan Rasul-Nya melarang mendirikan masjid di atas kuburan. Inilah yang pada umumnya menjerumuskan umat-umat terdahulu ke dalam syirik akbar atau yang lebih rendah daripada itu (yaitu syirik ashghar). Kesyirikan akibat mengagungkan kuburan orang yang diyakini keshalihannya lebih dekat kepada hati manusia dibandingkan syirik akibat menyembah pohon atau batu. Oleh sebab itu, kita sering menjumpai ahli syirik duduk dengan tenang dan khusyu’ di sisi kuburan melakukan ibadah yang tidak pernah mereka lakukan di rumah-rumah Allah dan di waktu sahur. Bahkan di antara mereka ada yang sujud menghadap kuburan dan (kebanyakan mereka) berharap memperoleh barakah shalat dan berdoa di sisi kubur, yang tidak pernah mereka harapkan sewaktu mereka berada di masjid. Karena mafsadah (kerusakan) inilah, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memutuskan sumbernya. Bahkan dengan tegas beliau melarang shalat di kuburan sama sekali, meskipun ia tidak bermaksud mencari barakah dengan shalat di tempat itu. Jika seseorang shalat di sisi kuburan dengan tujuan untuk mendapatkan barakah dengan shalat di tempat itu, ini sesungguhnya penentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya, meyelisihi agama-Nya, dan melaksanakan kebid’ahan yang tidak diijinkan Allah. Dan kaum muslimin telah sepakat berdasarkan apa yang mereka ketahui dengan pasti dari agama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ini bahwa shalat di sisi kubur siapapun adalah terlarang” [Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim 2/680-681; Maktabah Ar-Rasyid].

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

قال العلماء: إنما نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن اتخاذ قبره وقبر غيره مسجداً خوفاً من المبالغة في تعظيمه والافتتان به،

“Para ulama telah berkata bahwa larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk menjadikan kubur beliau dan kubur yang lainnya sebagai masjid/tempat ibadah hanyalah dikarenakan kekhawatiran beliau dari berlebih-lebihannya (kaum muslimin) dalam mengagungkannya dan terfitnah dengannya” [Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi Bab An-Nahyi ‘an Banaail-Masaajid ‘alal-Qubuur wa Ittikhaadzish-Shuwari fiiha wan-Nahyi ‘an Ittikhaadzil-Qubuuri Masajid].

Maka, sangatlah mengherankan jika Saudara mengklaim bahwa kaum muslimin yang pro dengan pendapat Saudara itu tidak ada (atau sedikit menurut bahasa yang Saudara pakai) yang melakukan kesyirikan ketika beribadah di masjid komplek pekuburan. Selain niat tabarruk itu sendiri sudah bermasalah (sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya), tindakan mendirikan masjid di kuburan orang (yang dianggap) shalih itu sendiri merupakan muqaddimah menuju kesyirikan. Kenyataannya, orang yang melakukan kesyirikan di masjid-masjid komplek pekuburan itu saat ini jumlahnya tidaklah sedikit. Banyak orang yang meminta pelancar rejeki, dibereskan urusan, dipercepat jodoh, dan yang semisal kepada kubur orang-orang yang dianggap Wali. Ya…. habis shalat di masjid, disusul ngalap berkah, dan sekalian ngadep ke “almarhum Kyai Anu” untuk mengabulkan permintaan. Tidak lupa tersedia/terjual ayam sembelihan, bunga tujuh rupa, kitab mujarobat kubra, dan lain-lain. Pak imam yang juga merangkap juru kunci makam pun siap menjadi mediator tawassul-an bagi para pengunjung kepada “almarhum Kyai Anu”. Benar-benar one stop praying. Paket lengkap !!!

Dalil inti yang dapat dijadikan argument diskusi dengan pengikut Wahaby dalam masalah pelarangan membangun masjid di sisi makam para manusia Saleh adalah ayat dan prilaku Salaf Saleh. Di sini akan kita sebutkan beberapa dalil saja untuk meringkas pembahasan.

Dalam ayat 21 dari surat al-Kahfi disebutkan: “Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka”. orang-orang yang berkasa atas urusan mereka berata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya””. Jelas sekali bahwa mayoritas masyarakat ahli tauhid (monoteis) kala itu sepakat untuk membangun masjid di sisi makam para penghuni gua (Ashabul-Kahfi). Tentu kaum Wahaby pun sepakat dengan kaum muslimin lainnya bahwa al-Quran bukan hanya sekedar kitab cerita yang hanya begitu saja menceritakan peristiwa-peristiwa menarik zaman dahulu tanpa memuat ajaran untuk dijadikan pedoman hidup kaum muslimin. Jika kisah pembuatan masjid di sisi makam Ashabul-Kahfi merupakan perbuatan syirik maka pasti Allah swt menyindir dan mengkritik hal itu dalam lanjutan kisah al-Quran tadi, karena syirik adalah perbuatan yang paling dibenci oleh Allah swt. Namun terbukti Allah swt tidak melakukan peneguran baik secara langsung maupun secara tidak langsung (sindiran). Atas dasar itu pula terbukti para ulama tafsir Ahlusunah menyatakan bahwa para penguasa kala itu adalah orang-orang yang bertauhid kepada Allah swt, bukan kaum musyrik penyembah kuburan (Quburiyuun), istilah yang sering dipakai kaum Wahaby untuk menyerang kaum muslimin yang menghormati makam para wali Allah. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh az-Zamakhsari dalam kitab Tafsir al-Kassyaf jilid 2 halaman 245, Fakhrurrazi dalam kitab Mafatihul Ghaib jilid 21 halaman 105, Abu Hayyan al-Andalusy dalam kitab al-Bahrul Muhith dalam menjelaskan ayat 21 dari surat al-Kahfi tadi dan Abu Sa’ud dalam kitab Tafsir Abi Sa’ud jilid 5 halaman 215.

Kita jawab alasan tersebut dari dua sisi sebagai berikut :

1. Telah masyhur dalam kaidah Ushul tentang { أن شريعة من قبلنا ليست شريعة لنا} “Syari’at orang-orang sebelum kita pada asalnya tidaklah menjadi syari’at kita”. [9] Apalagi jika itu bertentangan secara jelas dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Syari’at orang-orang sebelum kita hanyalah bisa kita terima jika memang sesuai dan tidak bertentangan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Banyak sekali nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjelaskannya. Satu contoh : Allah telah menetapkan hari Sabtu untuk orang Yahudi sebagai hari beribadah, sebagaimana firman-Nya :

إِنّمَا جُعِلَ السّبْتُ عَلَىَ الّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِيهِ

Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya. [QS. An-Nahl : 124].

Jika mengikuti alur logika Saudara, tentu kita juga wajib untuk mengagungkan hari Sabtu. Sebab, ini merupakan firman dan perintah dari Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an. Namun,….. apakah memang begini pola berpikirnya ? Kewajiban tersebut telah mansukh dan tidak berlaku bagi umat Islam, sebab Allah telah menetapkan hari khusus bagi umat Islam, yaitu hari Jum’at.

Begitu pula untuk kasus pendirian masjid di atas kuburan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan bahwa hal itu bukan merupakan syari’at Islam dengan sabdanya :

عن الحارث النجراني قال : سمعت النبي صلى الله عليه وسلم قبل أن يموت بخمس وهو يقول : "ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ، ألا فلا تتخذوا القبور مساجد إني أنهاكم عن ذلك "

Dari Al-Harits An-Najrani dia bercerita : Aku pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wasiat lima hari sebelum wafat : “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kubur para Nabi mereka dan orang-orang shalih di antara mereka sebagai masjid. Maka, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid. Sesunguhnya aku melarang kalian melakukan hal tersebut” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/374-375; shahih sesuai persyaratan Muslim].

2. Jikalau Saudara menolak jawaban kami di point 1, maka dalam ayat tersebut juga tidak ada pernyataan secara tegas bahwa pembangunan masjid itu merupakan syari’at dan perintah dari Allah atau merupakan tindakan raja/penguasa semata. Perhatikan secara cermat ayat tersebut :

وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوَاْ أَنّ وَعْدَ اللّهِ حَقّ وَأَنّ السّاعَةَ لاَ رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ فَقَالُواْ ابْنُواْ عَلَيْهِمْ بُنْيَاناً رّبّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قَالَ الّذِينَ غَلَبُواْ عَلَىَ أَمْرِهِمْ لَنَتّخِذَنّ عَلَيْهِمْ مّسْجِداً

Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: "Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka." Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya." [QS. Al-Kahfi : 21].

Ayat tersebut mengandung ihtimal (kemungkinan) bahwa orang yang berniat dan memerintahkan untuk membangun masjid di atas goa tempat kubur para pemuda Ashaabul-Kahfi adalah orang-orang kafir di jaman itu. Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat di atas menukil perkataan Ibnu Jarir Ath-Thabari bahwa ada dua pendapat mengenai status orang-orang tersebut : Pertama, mereka adalah orang-orang Islam di antara mereka; dan Kedua, mereka adalah orang-orang musyrik di antara mereka. Dan di sini, kemungkinan kedua lah yang nampaknya lebih kuat. Hal ini didasari oleh dalil tentang laknat Allah kepada orang Yahudi :

عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (قاتل الله اليهود، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد)

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Semoga Allah memerangi (mengutuk) orang-orang Yahudi dimana mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 437, Muslim no. 530, Abu Dawud no. 3227, An-Nasa’iy 4/95, Abu Ya’laa no. 5844, Ahmad 2/284, dan yang lainnya].

Dalam hadits di atas (juga hadits-hadits lain sebagaimana telah dituliskan sebelumnya) nampak bahwa larangan menjadikan kubur sebagai masjid (tempat peribadatan) telah ada semenjak jaman para Nabi diutus kepada orang Yahudi. Dan ini tentu jauh sebelum jaman Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka dari itu Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullah ketika menjelaskan hadits pelaknatan Allah kepada kaum Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid; mengatakan :

وقد دل القرآن على مثل ما دل عليه هذا الحديث ، وهو قول الله عزوجل في قصة أصحاب الكهف :{ قال الذين غلبوا على أمرهم لنتخذن عليهم مسجداً } فجعل اتخاذ القبور على المساجد من فعل أهل الغلبة على الأمور ، وذلك يشعر بان مستنده القهر والغلبة واتباع الهوى وأنه ليس من فعل أهل العلم والفضل المنتصر لما أنزل الله على رسله من الهدى

“Al-Qur’an juga telah menunjukkan seperti apa yang ditunjukkan oleh hadits ini, yaitu firman Allah ‘azza wa jalla tentang kisah Ashhaabul-Kahfi : “Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya” (QS. Al-Kahfi : 21). Dengan demikian, Allah ‘azza wa jalla telah mengkatagorikan tindakan menjadikan kubur sebagai masjid merupakan perbuatan orang-orang yang berkuasa mengendalikan urusan. Dan itu menunjukkan bahwa sandarannya adalah pemaksaan dan kekuasaan serta ketundukan terhadap hawa nafsu. Hal itu bukan merupakan perbuatan ulama yang selalu mendapatkan pertolongan Allah, dimana Allah telah menurunkan beberapa petunjuk-Nya kepada Rasul-Nya” [Fathul-Baari bi-Syarhil-Bukhari 65/280 oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaly – melalui perantara Tahdziirus-Saajid hal. 42].

Itu saja yang dapat dituliskan. Lebih kurangnya mohon maaf.

Wallaaahu ta’ala a’lam.

Semoga ada manfaatnya.

Abu Al-Jauzaa'

[1] Tafsir Al-Qurthubi (4/139).

[2] Dikecualikan dengan air zam-zam, sebab ada dalil shahih yang menyebutkan tentang keutamaannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

خَيْرُ الْمَاءِ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ...

“Sebaik-baik air yang ada di muka bumi adalah air zam-zam” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir 11/98; hasan].

[3] Dikecualikan atas shalat jenazah bagi orang yang tidak sempat menshalatkannya. Diperbolehkan baginya shalat jenazah di kubur jenazah tersebut dengan dalil hadits Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata :

مات إنسان، كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعوده، فمات بالليل، فدفنوه ليلا، فلما أصبح أخبروه، فقال: (ما منعكم أن تعلموني). قالوا: كان الليل فكرهنا، وكانت ظلمة، أن نشق عليك، فأتى قبره فصلى عليه.

“Ada seseorang meninggal dunia di malam hari – yang Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam telah menjenguknya – lalu mereka menguburkannya di malam hari. Dan pada pagi harinya mereka memberitahu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bertanya : ‘Apa yang menghalangi kalian untuk memberitahuku ?’. Mereka menjawab : “Waktunya sudah malam lagi sangat gelap, sehingga kami tidak ingin menyusahkanmu”. Kemudian beliau mendatangi kuburannya dan kemudian menshalatinya (yaitu shalat jenazah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1247 dan Ibnu Majah no. 1530].

Para ulama telah menjelaskan bahwa shalat jenazah diperbolehkan di masjid karena pada shalat tersebut tidak terdapat rukuk dan sujud.

[4] Adapun klaim sebagian orang di beberapa negara yang mengaku punya beberapa helai rambut, pakaian, dan yang lainnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka ini klaim-klaim yang tidak benar.

[5] Di antara tokohnya adalah Muhammad Alawi Abbas, Yusuf Sahid Hasyim Ar-Rifa’i, Muhammad Amin Al-Kurdi, Al-Buthi, dan yang lainnya.

[6] Apalagi lebih dari satu kubur !!

[7] Silakan lihat selengkapnya dalam QS. Al-Israa’ : 23-38.

[8] Akan tetapi di sini Al-Muhallab mengatakan bahwa terdapat keluasan dimana seseorang dapat berpaling ke arah kanan atau kiri dari tempatnya (agar tidak menghadap ke kubur), karena menghadap ke shalat kubur dapat membuat shalat tidak sah. Dan yang benar, adalah tetap tidak diperbolehkan shalat walaupun ia berada di sisi kubur karena telah tetap larangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk tidak shalat di antara kubur (walau tidak menghadap ke kubur) sebagaimana telah disebutkan di atas.

[9] Salah satunya bisa ditengok dalam kitab Al-Ihkaam karya Ibnu Hazm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar