Cari Ilmu Yuuck...

Senin, 01 Februari 2010

Hati-Hati Dengan Uang Suap


Pengertian

Dalam bahasa Arab, suap diistilahkan dengan risywah. Dalam bahasa Arab, risywah bermakna upah atau pemberian yang diberikan untuk suatu maslahat.

Al Fayumi mengatakan bahwa risywah adalah pemberian seseorang kepada hakim atau yang lainnya supaya memberikan keputusan yang menguntungkannya atau membuat orang yang diberi melakukan apa yang diinginkan oleh yang memberi.

Ibnul Atsir berkata bahwa makna risywah adalah alat penghubung terwujudnya kebutuhan dengan sikap yang dibuat-buat. Asal muasal risywah adalah rasya' yang bermakna tali timba yang berfungsi mengantarkan timba sehingga bisa sampai ke air.

Sedangkan secara istilah, risywah adalah pemberian yang diberikan kepada seseorang supaya yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Jadi makna risywah secara istilah lebih sempit dibandingkan makna risywah secara bahasa. Secara istilah suatu pemberian berstatus risywah ketika tujuannya adalah membuat yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar.

Suap Dalam Hukum

Suap dalam hukum dan menyuap pejabat untuk mendapatkan suatu pekerjaan hukumnya haram tanpa ada perselisihan ulama dalam hal ini. Bahkan termasuk dosa besar.

Allah berfirman,

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ

"Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang suht." (QS al Maidah:42).

Menurut penjelasan Hasan al Basri dan Said bin Jubair yang dimaksud dengan suht dalam ayat ini adalah suap (risywah).

وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (Qs. al Baqarah:188)

Dari Abdullah bin Amr,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.

"Rasulullah melaknat penyuap dan orang yang menerima suap." (HR Abu Daud no 3580 dll, dinilai shahih oleh al Albani)

Dalam riwayat yang lain Nabi melaknat al Ra-isy yaitu penghubung antara penyuap dan yang disuap (HR Hakim no 7068). Meski hadits ini lemah namun maknanya benar. Orang yang menjadi penghubung antara penyuap dan yang disuap berarti membantu orang untuk berbuat dosa dan ini adalah suatu yang terlarang.

Jadi terlarang, meminta suap, memberi suap, menerima suap dan menjadi penghubung antara penyaup dan yang disuap.

Akan tetapi menurut mayoritas ulama, boleh menyerahkan suap demi mendapatkan apa yang menjadi hak seseorang, atau untuk mencegah bahaya dan kezaliman. Dalam kondisi ini yang berdosa adalah yang menerima suap, bukan yang menyuap.

Abu Laits as Samarqandi al Hanafi mengatakan, "Tidaklah mengapa jika ada seorang yang membela diri dan hartanya dengan suap.

Ada ulama yang menjelaskan hal ini dengan mengatakan bahwa syariat membolehkan untuk memanfaatkan bahaya demi mencegah bahaya yang lebih besar. Contohnya adalah membebaskan tawanan, sebenarnya menyerahkan harta kepada orang kafir itu haram dan hal ini termasuk kategori membuang-buang harta. Namun dalam hal ini dibolehkah karena untuk mencegah bahaya yang lebih besar. Sehingga melakukan hal yang terlarang namun tidak mengandung bahaya untuk mencegah perkara yang lebih terlarang tentu lebih layak untuk dibolehkan.

Akan tetapi jika hak yang hendak dipertahankan itu nilainya remeh maka usaha untuk mempertahankannya tanpa dalil syar'i adalah suatu yang diharamkan. Hal ini dikarenakan bahayanya lebih besar dari pada manfaat yang diharapkan.

Jumhur ulama berdalil dengan riwayat dari Ibnu Mas'ud. Ketika di Ethiopia beliau menyuap senilai dua dinar agar bisa melanjutkan perjalanan.

Beliau mengatakan,

إنّ الإثم على القابض دون الدّافع.

"Sesungguhnya dosanya ditanggung oleh yang menerima suap bukan yang menyerahkan."

Atha' dan Hasan al Basri berkata, "Seorang itu diperbolehkan bersikap pura-pura (pura-pura memberi hadiah, suap pent) untuk membela diri dan hartanya jika dia khawatir dizalimi."

Macam-Macam Suap

Para ulama mazhab Hanafi membagi suap menjadi empat kategori.

Pertama, suap supaya diangkat sebagai hakim dan pejabat (demikian pula supaya bisa menjadi PNS, pent). Suap ini hukumnya haram bagi yang menerima dan yang menyerahkan.

Kedua, permintaan suap dari seorang hakim sebelum dia mengambil sebuah keputusan. Suap ini juga haram bagi yang menyerahkan dan yang menerima meski hukum yang dijatuhkan adalah hukum yang benar dan adil karena menjatuhkan hukuman yang adil adalah kewajiban seorang hakim.

Ketiga, menyerahkan sejumlah harta kepada seseorang dalam rangka mencegah bahaya (baca: kezaliman) orang tersebut atau untuk mendatangkan manfaat (yaitu menerima yang menjadi haknya, pent). Suap ini hukumnya haram untuk yang menerima saja.

Keempat, memberikan sejumlah harta kepada seseorang yang bisa membantu untuk mendapatkan hak. Menyerahkan dan menerima harta semisal ini hukumnya boleh karena uang yang diserahkan sebagai kompensasi bantuan itu tidak ubahnya sebagaimana upah.

Suap untuk Hakim

Suap untuk seorang hakim adalah haram dengan sepakat seluruh ulama.

Al Jash-shash mengatakan, "Tidak ada perselisihan tentang haramnya suap untuk hakim karena itu termasuk suht yang Allah haramkan dalam al Qur'an dan seluruh umat Islampun sepakat akan keharamannya. Hal ini diharamkan untuk orang yang menyuap dan yang menerima suap."

Dalam kitab Kasysyaf al Qona' disebutkan, "Seorang hakim diharamkan menerima hadiah. Seorang hakim yang meminjam barang orang lain status hukumnya sebagaimana hadiah karena jasa yang bisa didapatkan dari benda tersebut statusnya sama dengan benda itu sendiri. Demikian pula seandainya seorang hakim mengkhitankan anaknya atau yang lainnya lalu hakim ini diberi hadiah meski dengan kedok hadiah untuk anak pak hakim. Hal ini diharamkan karena menjadi sarana menuju suap. Jika ada yang memberi sedekah (karena pak hakim tersebut miskin pent) maka pendapat yang lebih tepat status hukum sedekah itu sebagaimana hadiah meski dalam kitab al Funun termaktub bahwa hakim boleh menerima sedekah."

(Diolah dari Mausu'ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah pada entri risywah)

Penyusun: Ustadz Aris Munandar (ustadzaris.com)
Dipublikasi ulang oleh: pengusahamuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar