Hadits dan Fiqih adalah dua sahabat karib yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling berkaitan erat bagi seorang alim, ibarat dua sayap bagi seekor burung. Dahulu Ali bin Madini pernah mengatakan:
“Mempelajari fiqih hadits adalah separuh ilmu, dan mempelajari rijal (rawi) hadits juga separuh ilmu”.[1]
Al-Hafizh Ibnul Jauzi berkata:
“Sungguh amat jelek sekali bagi seorang ahli hadits ketika ditanya tentang suatu kejadian, lalu dia tidak mengerti karena kesibukannya dalam mengumpulkan jalur-jalur hadits. Demikian pula sangat jelek bagi seorang faqih ketika ditanya: Apa maksud sabda Nabi ini, lalu dia tidak mengerti tentang keabsahan dan maknanya”. [2]
Oleh karenanya, bagi seorang yang menggeluti ilmu fiqih hendaknya dia melengkapinya dengan ilmu hadits. Imam asy-Syaukani berkata:
“Seorang yang ingin menulis kitab fiqih -sekalipun dia telah mencapai puncak yang tinggi- apabila dia tidak membidangi ilmu hadits dan pembedaan antara yang shahih dan lemah, maka kitab karyanya tidaklah dibangun di atas pondasi, sebab kebanyakan ilmu fiqih itu diambil dari ilmu hadits”. [3]
Sebagaimana juga bagi seorang yang menggeluti ilmu hadits hendaknya dia tidak lupa bahwa buah hadits adalah dengan mempelajari fiqihnya dan mengamalkannya, bukan hanya sekedar dalam jalur-jalur riwayatnya belaka. Ambilah kisah berikut sebagai ibrah!
Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 16/108 menceritakan bahwa Hamzah al-Kinani berkata:
“Saya pernah meneliti sebuah hadits dari dua ratus jalan, sayapun merasa sangat gembira sekali, lalu saya bermimpi melihat Yahya bin Ma’in, akupun berkata padanya: Wahai Abu Zakariya! Saya telah meneliti sebuah hadits dari dua ratus jalan. Beliau kemudian diam sejenak, lalu berkata: “Saya khawatir hal ini masuk dalam firman Allah:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu”. (At-Taktsur: 1)
Maka alangkah indahnya apabila ilmu fiqih dan hadits dipadukan bersama!! Dan alangkah butuhnya kita kepada fiqih yang bersumber dari sunnah nabawiyyah shahihah!!.
Kajian berikut merupakan salah satu contoh tentang pentingnya paduan antara ilmu hadits dan fiqih. Kajian yang kami maksud adalah “nikah tanpa wali”, lantaran dalam sebagian madzhab (baca; Madzhab Hanafiyah) dan itu diikuti oleh sebagian saudara kita bahwa semua hadits-hadits yang berkaitan tentangnya adalah tidak shahih dari Nabi[4], sehingga mereka membuat suatu kesimpulan bahwa seorang wanita tidak perlu wali dan saksi dalam pernikahannya[5].
Oleh karenanya, sangat penting sekali bagi kita untuk mengkaji akar permasalahan ini sehingga nampak bagi kita cahaya kebenaran dan gelapnya kebatilan[6].
A. TAKHRIJ HADITS[7]
Hadits tentang bahasan kita kali ini adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya, diriwayatkan dari banyak sahabat. Al-Hakim berkata dalam Al-Mustadrak 2/168: “Telah shahih riwayat tentangnya dari para isteri Nabi; Aisyah, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy”. Lalu katanya: “Dan dalam bab ini terdapat pula riwayat dari Ali, Ibnu Abbas, Mu’adz, Abdullah bin Umar, Abu Dzar, Miqdad, Ibnu Mas’ud, Jabir, Abu Hurairah, Imran bin Hushain, Abdullah bin Amr, Miswar bin Makhramah dan Anas bin Malik”.[8]
Al-Ustadz yang mulia, A. Hassan -semoga Allah merahmatinya- dalam Soal Jawabnya hal. 245-247 telah mencantumkan sebelas hadits fakta pembahasan tetapi beliau mementahkan seluruhnya, sehingga beliau membuat sebuah kesimpulan pada hal. 253: “Pendeknya, sekalian riwayat yang menerangkan “Tidak sah nikah melainkan dengan wali” itu tidak sunyi daripada celaan tentang riwayatnya”. Katanya juga: “Tidak ada satupun yang betul-betul sah riwayatnya”.
Demikianlah ucapan beliau -semoga Allah mengampuninya-!! Tentu saja ucapan beliau ini perlu diteliti ulang kembali, sebab menurut penelitian ulama ahli hadits bahwa hadits ini adalah shahih. Oleh karenanya, perkenanlah kami sedikit memaparkan hadits pembahasan beserta sanggahan sesingkat mungkin atas kritikan Al-Ustadz A. Hassan -semoga Allah merahmatinya-.
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah menambahkan ilmu bagimu- bahwa hadits tentang masalah ini telah shahih dari riwayat Aisyah, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Berikut keterangannya:
I. Hadits Aisyah
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ بَاطِلٌ بَاطِلٌ فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”.
SHAHIH. Diriwayatkan Abu Dawud 2083, Tirmidzi 1102, Ibnu Majah 1879, ad-Darimi 2/137, Ahmad 6/47, 165, Syafi’I 1543, Ibnu Abi Syaibah 4/128, Abdur Razzaq 10472, ath-Thayyalisi 1463, ath-Thahawi 2/4, Ibnu Hibban 1248, ad-Daraquthni 381, Ibnu Jarud 700, al-Hakim 2/168, al-Baihaqi 7/105, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 9/39 dari beberapa jalur yang banyak sekali dari Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari Urwah dari Aisyah dari Nabi.
Hadits ini shahih dengan tiada keraguan di dalamnya. Adapun al-Ustadz yang mulia, A. Hassan -semoga Allah merahmatinya- beliau mengatakan dalam Soal Jawabnya 253: “Keterangan ketiga dianggap lemah oleh sebagian ahli hadits[9], lantaran seorang bernama Zuhri yang meriwayatkan hadits ini, tatkala orang bertanya kepadanya dia menjawab: “Saya tidak meriwayatkan hadits itu”.
Beliau mengisyaratkan apa yang terdapat dalam riwayat Ahmad 6/47 usai hadits ini: “Ibnu Juraij berkata: Saya bertemu dengan Zuhri lalu saya bertanya kepadanya tentang hadits ini tetapi dia tidak mengetahuinya. Dan dia memuji Sulaiman bin Musa”.
Kritikan ini sangat mentah sekali, telah dibantah oleh para ulama ahli hadits dari beberapa segi:
1. Kisah ini dilemahkan oleh para ulama seperti Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban, Ibnu Adi, Ibnu Abdil Barr, al-Hakim dan lain sebagainya, karena tambahan ini tidak diriwayatkan kecuali dari Ibnu ‘Ulayyah saja. [10]
2. Anggaplah kisah ini shahih, tetap tidak bisa dijadikan sebagai alasan melemahkan hadits ini, sebab lupanya Zuhri tidaklah mengharuskan bahwa Sulaiman bin Musa keliru. Masalah ini telah dikupas oleh Imam Daraquthni dalam kitab Man Haddatsa wa Nasiya (Orang-orang yang menceritakan hadits lalu lupa) dan para ulama lainnya. [11]
Al-Hakim berkata: “Telah shahih dengan riwayat para imam bahwa para perawi tersebut mendengar antara sebagian dari sebagian lainnya. Maka riwayat-riwayat ini tidaklah dimentahkan karena cerita Ibnu ‘Ulayyah dan pertanyaan kepada Ibnu Juraij dan ucapannya: Saya bertanya kepad Zuhri, tetapi dia tidak mengetahuinya”. Seorang yang terpercaya dan penghafal hadits terkadang lupa usai menceritakan hadits, sebagaimana tak sedikit ahli hadits tertimpa hal ini”. Ibnu Hibban juga berkata: “Hal ini tidak menjadikan cacat keshahihan hadits ini, karena seorang ahli ilmu yang kuat terkadang meriwayatkan kemudian lupa, sehingga ketika ditanya dia tidak mengetahuinya, jadi lupanya dia tidak menunjukkan batilnys hadits tersebut”. [12]
3. Sulaiman bin Musa tidak sendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Juraij, beliau dikuatkan oleh kawan-kawannya yang lain, diantaranya:
a. Hajjaj bin Artah sebagaimana dalam riwayat Ibnu Majah 1/580, Ahmad 6/260, Baihaqi 7/105
b. Ja’far bin Rabi’ah sebagaimana dalam riwayat Abu Dawud 2084, Ahmad 6/66
c. Ubaidullah bin Abu Ja’far sebagaimana dalam riwayat ath-Thahawi 3/7
d. Ayyub bin Musa al-Qurasyi sebagaimana dalam riwayat Ibnu Adi dalam Al-Kamil 4/1516
4. Para ulama ahli hadits telah menshahihkan hadits ini. Berikut kami nukilkan sebagian komentar mereka:
Yahya bin Ma’in berkata: “Hadits Aisyah “Tidak sah pernikahan tanpa wali” tidak shahih hadits yang berkaitan akan hal ini kecuali hadits (dari jalur) Sulaiman bin Musa”.
Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla 9/465: “Tidak shahih dalam masalah ini selain sanad ini. Hal ini cukup sebagi dalil tentang saksi dalam pernikahan”.[13]
Tirmidzi berkata: “Hadits hasan”.
Al-Hakim berkata: “Hadits shahih menurut syarat Bukhari Muslim”.[14]
Ibnul Jauzi berkata dalam At-Tahqiq 3/71: “Hadits ini shahih, seluruh rawinya adalah para perawi shahih”.[15]
Adz-Dzahabi juga berkata dalam Tanqih Tahqiq 8/270: “Hadits shahih”.
Al-Albani menyimpulkan bahwa hadits ini pada asalnya hasan tetapi dapat naik kepada derajat shahih karena adanya beberapa syawahid (penguat) dari jalur lainnya. [16]
Demikian pula para ulama lainnya yang mencantumkan hadits ini dalam kitab-kitab mereka yang khusus memuat hadits shahih seperti Ibnu Hibban, Ibnul Jarud, Abu Awanah dan sebagainya[17].
II. Hadits Abu Musa al-Asy’ari
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى الأَشْعَرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
Dari Abu Musa al-Asy’ari berkata: Rasulullah bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”.
SHAHIH. Diriwayatkan Abu Dawud 2085, Tirmidzi 1/203, Ibnu Majah 1/580, Darimi 2/137, ath-Thahawi 2/5, Ibnu Abi Syaibah 4/131, Ibnul Jarud 702, Ibnu Hibban 1243, Daraquthni 38, al-Hakim 2/170, Baihaqi 7.107, Ahmad 4/393, 413, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 9/38 dari jalur Abu Ishaq as-Sabi’I dari Abu Burdah dari Abu Musa al-Asy’ari secara marfu’ (sampai kepada Nabi).
Hadits inipun shahih juga. Adapun Ustadz yang mulia A. Hassan, beliau berkata dalam Soal Jawabnya hal. 253: “Keterangan kedua dilemahkan oleh Ibnu Hibban dengan alasan bahwa yang meriwayatkan hadits itu tidak jumpa sendiri dengan Nabi, tetapi dengan perantaraan seorang sahabat yang tidak disebut namanya”.
Kritik ini sangat lemah sekali ditinjau dari beberapa segi:
1. Di kitab apakah hadits ini dilemahkan Ibnu Hibban, sebab setahu kami Ibnu Hibban malah mencantumkan hadits ini dalam kitab Shahihnya dan tidak berkomentar melemahkan hadits ini seperti dinukil oleh Ustadz A. Hassan. Bahkan Ibnu Hibban secara tegas dalam Shahih-nya 9/395 mengatakan bahwa hadits ini shahih secara mursal maupun bersambung dan tidak ada keraguan akan keshahihannya!!.
2. Anggaplah nukilan itu benar, maka alasan seperti di atas sangat tidak tepat sekali, sebab telah mapan dalam disiplin ilmu hadits bahwa semua sahabat adalah adil dan terpercaya, baik disebut namanya maupun tidak, apalagi dalam hadits pembahasan telah nyata disebut nama sahabatnya yaitu Abu Musa al-Asy’ari.
3. Kritikan yang populer di kalangan ahli hadits adalah hadits ini diperselisihkan tentang bersambung dan tidaknya. Artinya, dalam riwayat dari Israil bin Yunus, Syarik bin Abdillah, Abu Awanah, Zuhair bin Muawiyah dan Qais bin Rabi’ dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa dari Nabi secara bersambung. Tetapi dalam riwayat Syu’bah dan Sufyan Tsauri dari Abu Ishaq dari Abu Burdah langsung dari Nabi tanpa menyebut Abu Musa al-Asy’ari. Namun kritikan inipun telah dijawab oleh para ulama:
Imam Tirmidzi berkata: “Riwayat orang-orang yang meriwayatkan dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa dari Nabi “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali” menurut saya lebih shahih, sebab mereka mendengar dari Abu Ishaq dalam waktu yang berbeda-beda. Sekalipun Syu’bah dan Tsauri lebih kuat hafalannya daripada mereka, tetapi riwayat mereka menurutku lebih shahih karena Syu’bah dan Tsauri mendengar hadits ini dari Abu Ishaq dalam satu waktu. Bukti yang menunjukkan hal ini adalah apa yang diceritakan Mahmud bin Ghailan kepada kami: Menceritakan kami Abu Dawud: Menceritakan kami Syu’bah, dia berkata: Saya mendengar Syafi’I bertanya kepada Abu Ishaq: Apakah engkau mendengar Abu Burdah berkata bahwa Nabi bersabda: Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali, lalu dia menjawab: Ya.
Hadits ini menunjukkan bahwa Syu’bah dan Tsauri mendengar hadits ini dalam satu waktu, sedangkan Israil sangat kuat riwayatnya dari Abu Ishaq. Saya mendengar Muhammad bin al-Matani berkata: Saya mendengar Abdur Rahman bin Mahdi mengatakan: “Tidaklah luput padaku hadits Tsauri dari Abu Ishaq kecuali saya mengandalkan pada Israil karena dia memiliki yang lebih sempurna”.
Al-Albani berkomentar dalam Irwaul Ghalil 6/238): “Tidak ragu lagi, ucapan Tirmidzi bahwa riwayat yang lebih shahih adalah riwayat jama’ah dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa secara marfu adalah pendapat yang benar, karena dzahir sanadnya adalah shahih. Oleh karena itulah sejumlah para ulama telah menilai hadits ini shahih, diantaranya adalah Ali bin Madini, Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli sebagaimana diceritakan al-Hakim dan beliau juga menshahihkan serta disetujui oleh adz-Dzahabi, dan juga Bukhari sebagaimana diceritakan Ibnu Mulaqqin dalam al-Khulashah 2/143”.[18]
Alangkah bagusnya apa yang diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Kifayah hal. 413 dari Muhammad bin Harun al-Makki, dia berkata: Saya mendengar Bukhari pernah ditanya tentang hadits Israil dari Abi Ishaq dari Abu Burdah dari ayahnya dari Nabi “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”, maka beliau menjawab: “Tambahan dari orang yang terpercaya itu diterima, Israil bin Yunus adalah terpercaya. Sekalipun Syu’bah dan Tsauri memursalkannya (menjatuhkan sahabat Abu Musa al-Asy’ari) namun hal itu tidak membahayakan hadits”.[19]
Demikianlah ucapan Imam Bukhari. Cukuplah kiranya hal itu sebagai hujjah yang kuat. Dengan demikian, seorang yang mengerti ilmu hadits tidak akan meragukan tentang keabsahan hadits ini. Lantas, bagaimana kiranya apabila digabungkan dengan riwayat-riwayat lainnya??!!
Kesimpulan, hadits pembahasan ini adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya, apalagi didukung oleh riwayat-riwayat lainnya yang masih banyak lagi[20].
Saudaraku, sebenarnya hati ini masih berkeinginan untuk memaparkan hadits-hadits lainnya, namun sepertinya kita cukupkan sampai sini dulu karena kita harus berpindah kepada point penting lainnya, yaitu fiqih hadits ini. Wallahul Muwaffiq.
B. FIQIH HADITS[21]
Berangkat dari hadits-hadits di atas, maka mayoritas ulama berpendapat seperti kandungan hadits tersebut.
Imam al-Baghawi berkata: “Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan sesudah mereka mengamalkan kandungan hadits “Tak sah pernikahan kecuali dengan wali”. Hal ini merupakan pendapat Umar, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Aisyah dan sebagainya. Ini pula pendapat Sa’id bin Musayyib, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim an-Nakha’I, Qotadah, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya. Ini pula pandapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Sufyan ats-Tsauri, al-Auza’I, Abdullah bin Mubarak, Syafi’I, Ahmad, dan Ishaq”. [22]
Termasuk ulama yang berpendapat seperti itu juga adalah Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, dua sahabat Abu Hanifah[23]. Bahkan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 9/187 menyebutkan dari Ibnu Mundzir bahwa tidak diketahui dari seorang sahabatpun yang menyelisihi hal itu[24].
Kembali kepada hadits pemabhasan, di muka tadi kami menerjemahkan (tidak sah pernikahan seorang kecuali dengan wali). Terjemahan ini dikritik oleh Ustadz. A. Hassan dalam Soal Jawab-nya hal. 254: “Hadits-hadits itu tidak boleh diartikan begitu, karena kalau kita artikan tidak sah nikah dengan tanpa wali niscaya berlawanan dengan beberapa hadits, diantaranya:
الأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا
“Wanita janda lebih lebih berhak dengan dirinya daripada walinya”. [25]
Kami jawab dengan tidak mengurangi penghormatan saya dan pengakuan saya terhadap ilmu Ustadz A. Hassan -semoga Allah merahmatinya-:
1. Terlebih dahulu kita harus memahami sebuah kaidah yang populer di kalangan ulama bahwa nafi (peniadaan) itu pada asalnya bermakna tidak ada, kemudian tidak sah, kemudian tidak sempurna. Jadi apabila kita menjumpai dalam Al-Qur’an dan sunnah peniadaan sesuatu, maka pada asalnya bermakna “tidak ada” terlebih dahulu, contohnya:
لاَ خَالِقَ لِلْكَوْنِ إِلاَّ اللهُ
“Tidak ada pencipta alam kecuali Allah”
Kalau ternyata yang ditiadakan itu wujudnya ada, maka kita artikan “tidak sah”. Contohnya:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Al-Fatihah”
Di sini tidak mungkin diartikan “tidak ada” karena memang wujud shalat itu ada.
Kalau tidak mungkin diartikan demikian, lantaran suatu ibadah tetap sah tanpa adanya sesuatu tersebut, maka kita artikan tidak sempurna, bukan tidak sah. Contohnya hadits:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman seorang sehingga dia mencintai saudaranya apa yang dia cinta untuk dirinya”.
Di sini tidak mungkin diartikan “tidak sah” karena keimanan seorang tetap ada sekalipun dia tidak melakukan hal itu. [26]
Berangkat dari kaidah di atas, maka terjemahan hadits pembahasan “La Nikaha Illa bi Wali” yang paling tepat adalah kita terjemahkan “Tidak sah pernikan kecuali dengan wali”.
Kalau ada yang bertanya: Mengapa tidak diartikan “tidak ada” atau “tidak sempurna” saja?! Kami jawab: Tidak mungkin kita menerjemahkan seperti itu. Adapun terjemahan “tidak ada”, maka sungguh tidak tepat sekali, karena kenyataan di dunia membuktikan bahwa ada sebagian wanita yang menikah tanpa wali.
Sedangkan terjemahan “tidak sempurna” inipun tidak tepat juga, sebab selagi kita bisa mengartikannya dengan “tidak sah” maka kita tidak mengartikannya dengan “tidak sempurna”, karena inilah dzahir lafadz hadits dan urutan yang lebih pertama. Apalagi secara tegas dalam hadits Aisyah dinyatakan “maka nikahnya batil, batil, batil”. Lantas bagaimana kita akan mengatakan sah padahal Nabi mengatakan batil alias tidak sah?!
Jadi, kita mengartikannya dengan “tidak sah” sampai ada dalil yang menunjukkan tentang sahnya pernikahan tanpa wali.[27]
2. Adapun dalil yang digunakan oleh Ustadz A. Hassan untuk merubah makna hadits ini, maka hal ini sangat lemah sekali ditinjau dari beberapa segi:
a. Hadits pembahasan kita adalah hadits yang muhkam dan jelas sekali, adapun hadits yang dibawakan oleh Ustadz A. Hassan itu tidak jelas menunjukkan bahwa wanita janda boleh menikah tanpa wali. Maka bagaimana mungkin kita meninggalkan dalil yang jelas karena dalil yang tidak jelas?!
b. Jawaban atas hadits ini ditinjau dari dua segi:
Pertama: Maksud hadits ini bukan berarti wanita janda boleh menikah tanpa wali, tetapi maksudnya adalah bahwa wanita janda itu tidak boleh dinikahkan sehingga dia diajak musyawarah dan dimintai pendapatnya serta dijelaskan perkaranya sejelas mungkin, tidak boleh hanya cukup dengan pendapat dan pandangan wali saja. Hal ini sangat jelas sekali apabila kita mengamati hadits ini secara lebih sempurna:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ : الأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوْتُهَا
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi bersabda: “Wanita janda itu lebih berhak tentang dirinya daripada walinya, dan wanita gadis dimintai izin, dan izinnya adalah diamnya”.
Hadits ini selaras dengan hadits-hadits lainnnya seperti:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ, وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ : أَنْ تَسْكُتَ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Wanita janda tidak dinikahkah sehingga diajak musyawarah, dan anak gadis tidak dinikahkan sehingga dimintai izin”. Mereka bertanya: Wahai rasulullah! Bagaimana izinnya? Dia menjawab: “Diamnya”.
Jadi nampak jelaslah bagi kita bahwa pembicaraan hadits ini berkaitan tentang izin dan keridhaan wanita, bukan masalah melangsungkan akad pernikahan.
.
Kedua: Perlu diketahui bahwa lafadz “dia lebih berhak” menunjukkan bahwa kedua-duanya memiliki hak, hanya saja wanita janda lebih berhak daripada walinya karena tidak mungkin bagi wali untuk menikahkannya kecuali setelah ridhanya. Berarti wali itu punya hak yaitu dalam akad dan wanita juga punya hak yaitu izin dan keridhaannya. Dengan demikian dapat kita padukan antara keduanya, yakni si wanita lebih berhak dalam masalah izin dan tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dalam akad.
Ibnul Jauzi berkata dalam At-Tahqiq 8/292: “Adapun hadits (Ibnu Abbas), maka Nabi menetapkan bagi si wanita sebuah hak dan menjadikannya lebih berhak daripada wali, karena memang tugas wali hanyalah melangsungkan akad pernikahan dan tidak boleh baginya untuk menikahkan kecuali dengan izin si wanita”. [28]
c. Rawi hadits tersebut adalah sahabat Abdullah bin Abbas, sedangkan pendapat beliau adalah mengatakan tidak sah pernikahan kecuali dengan wali[29].
Dan kita tahu semua sebuah kaidah “perawi itu lebih mengerti tentang maksud riwayat yang dia bawakan”.
C. NASEHAT DAN SERUAN
Syaikh Ahmad Syakir berkata: “Tidak diragukan lagi oleh seorangpun yang menggeluti ilmu hadits bahwa hadits “Tidak sah pernikahan tanpa wali” adalah hadits yang shahih dengan sanad-sanad yang hampir mencapai derajat mutawatir ma’nawi yang pasti maknanya. Hal itu merupakan pendapat mayoritas ulama dan didukung oleh fiqih Al Qur’an, tidak ada yang menyelisihi hal ini –sepengatahuan saya- kecuali para ahli fiqih Hanafiyyah dan yang mengekor kepada mereka. Bagi ulama pendahulu, mereka masih memiliki udzur karena ada kemungkinan belum sampai hadits ini kepada mereka, tetapi bagi orang belakangan, mereka telah dibutakan oleh fanatik madzhab sehingga serampangan dalam melemahkan hadits atau memalingkan artinya tanpa alasan yang kuat.
Kenyataan yang dapat kita saksikan pada kebanyakan negera muslim yang berpegang pada madzhab Hanafiyyah dalam masalah ini adalah kerusakan akhlak dan kehormatan, sehingga menjadikan pernikahan kebanyakan para wanita yang menikah tanpa wali adalah bathil dan merusak nasab.
Saya menghimbau kepada para ulama dan tokoh Islam di setiap negeri dan tempat untuk mengkaji ulang tentang masalah krusial ini dan kembali kepada perintah Allah dan rasulNya berupa persyaratan wali dalam nikah sehingga dengan demikian para wanita akan terselamatkan dari mara bahaya yang menghadang mereka”. [30]
D. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Kesimpulan pembahasan ini ada dalam dua point berikut:
1. Hadits pembahasan adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya.
2. Wali adalah syarat sah sebuah pernikahan dan tidak sah pernikahan tanpa wali.
Akhirnya, demikianlah keterangan singkat tentang pembahasan ini, semoga dapat menghilangkan kesamaran dan membuat terang kebenaran, sehingga harapan kami kepada sebagian saudara kami yang masih berpemahaman salah untuk mengkaji lagi masalah ini dan kembali kepada jalan kebenaran. Alangkah bagusnya ucapan Ustadz A. Hassan -semoga Allah merahmatinya- dalam Soal Jawab-nya hal. 262: “Kalau ada keterangan kuat yang dapat merubah pendirian itu, saya tidak akan mundur untuk menerimanya”.
Kami menyadari bahwa beliau dalam hal ini telah berusaha semaksimal mungkin mencari titik kebenaran dan kami juga menyadari bahwa beliau dalam hal ini mengikuti pendapat sebagian ulama sebelumnya, tetapi kami juga menyadari bahwa kebenaran adalah di atas segalanya sehingga tidak menutup pintu kritik terhadap pendapatnya, dan tidak ada yang ma’shum dari kesalahan selain Rasulullah.
Kita tutup pembahasan ini dengan ucapan Syaikh al-Albani: “Kenapa pendapat yang sesuai dengan hadits shahih ini ditinggalkan hanya karena pendapat salah seorang dari imam kaum muslimin?! Benar, kita menghargai pendapat para imam, tetapi pendapat itu memiliki arti tatkala tidak bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan sunnah. Semua kita membaca dalam kitab-kitab ushul ucapan para ulama:
إِذَا وَرَدَ الأَثَرْ بَطَلَ النَّظَرْ
Apabila ada dalil maka gugurlah pendapat.
إِذَا جَاءَ نَهْرُ اللهْ بَطَلَ نَهْرُ مَعْقِلْ
Apabila ada dalil gugurlah logika.
لاَ اجْتِهَادَ فِيْ مَوْرِدِ النَّصِّ
Tidak ada ijtihad apabila ada nash..
Semua kaidah ini telah diketahui bersama. Lantas kenapa kita tidak menerapkan kaidah-kaidah ini, malah menerapkan pendapat-pendapat yang menyelisihi sunnah?!”. [31]Dahulu juga pernah dikatakan:
فَلَيْسَ كُلُّ خِلاَفٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا إِلاَّ خِلاَفٌ لَهُ حَظٌّ مِنَ النَّظَرِ
Tidak semua perselisihan itu dianggap
Kecuali perselisihan yang memiliki kekuatan dalil.[32]
.
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
abiubaidah.com
[1] Al-Jami’ li Akhlaq Raw wa Adab Sami’i, al-Khathib al-Baghdadi2/211.
[2] Shaidul Khathir hal. 399-400.
[3] Adab Thalab hal. 71.
[4] Lihat Al-Mughni Anil Hifdzi wal Kitab hal. 407 oleh Syaikh Umar bin Badr al-Mushili al-Hanafi dan Bada’I Shana’I’ 2/371 oleh al-Kasani.
[5] Lihat Al-Mabsuth 3/10 as-Sarakhsi.
[6] Bahasan ini juga sekaligus melengkapi makalah yang pernah ditulis oleh akhuna wa ustadzuna Abu Yusuf Ahmad Sabiq “Nikah Sirri Dalam Timbangan Syar’I” yang dimuat dalam Majalah Al Furqon edisi 12/Th. 3
[7] Diramu dari Irwaul Ghalil 6/243/1840 oleh al-Albani dan Junnatul Murtab hal. 407-418 oleh Abu Ishaq al-Huwaini dengan beberapa tambahan.
(Faedah): Al-Hafizh Syarafuddin ad-Dimyathi memiliki buku khusus tentang jalur-jalur hadits ini sebagaimana disebutkan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhis Habir 3/156. Dan sebagian penulis hadits masa kini, Syaikh Muflih bin Sulaiman ar-Rusyaidi juga memiliki buku khusus tentang hadits ini berjudul “At-Tahqiq Al-Jali li Hadits La Nikaha Illa biwali”, cetakan Muassasah Qurthubah, Mesir.
[8] Lihat perincian takhrij riwayat-riwayat ini dalam risalah “At-Tahqiq al-Jaliy li Hadits Laa Nikaha ‘Illa bi Wali” oleh Syaikh Muflih bin Sulaiman –semoga Allah membalas kebaikan padanya-.
[9] Diantaranya adalah Imam ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Atsar 3/8, cet Darul Kutub Ilmiyyah.
[10] Lihat Ilal Hadits 1/408 Ibnu Abi Hatim, al-Kamil Ibnu Adi 3/1115, at-Talkhis Habir Ibnu Hajar 3/157.
[11] at-Talkhis Habir Ibnu Hajar 3/157).
[12] Lihat pula Al-Muhalla Ibnu Hazm 9/453 dan at-Tahqiq Ibnul Jauzi 8/273).
[13] Ucapan Imam Yahya bin Ma;in dan Ibnu Hazm di atas tidak sepenuhnya benar, karena penelitian menunjukkan bahwa telah shahih juga dari riwayat sahabat yang lain, hanya saja riwayat Aisyah ini adalah riwayat yang paling shahih.
[14] Sekali-kali tidak, Sulaiman bin Musa bukanlah rawi Imam Bukhari. (Irwaul Ghalil al-Albani 6/246), yang benar sanad hadits ini adalah hasan dan bisa naik kepada shahih karena adanya beberapa penguat lainnya.
[15] Ibnu Abdil Hadi membantah dalam At-Tanqih 3/261 bahwa Sulaiman rawi yang hasan, bukan perawi Bukhari Muslim.
[16] Irwaul Ghalil 6/246).
[17] Lihat pula Bulughul Maram hal. 70 oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, tahqiq Samir az-Zuhairi, cet kedua.
[18] Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 9/345 menukil dari al-Marrudzi: Saya bertanya kepada Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in tentang hadits “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”, lalu keduanya menjawab: Shahih”. Saya berkata: Dan dishahihkan juga oleh Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam kitabnya Ikhtilaf Ulama hal. 121, al-Baihaqi, Dhiya’ dan banyak ahli hadits sebagaimana dalam Subulus Salam ash-Shan’ani 6/26, an-Nawawi dalam Syarh Muslim 9/208, bahkan sebagian ulama menilainya mutawatir seperti as-Suyuthi seebagaimana dinukil oleh al-Munawi dalam Faidhul Qadir 6/437 dan al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 157-158. Wallahu A’lam.
[19] Al-Hafizh adz-Dzahabi juga berkata dalam Siyar Nubala’ 7/359: “Saya lebih condong mendahulukan Israil pada riwayat kakeknya daripada Syu’bah dan Tsauri, sebab Israil adalah kepercayaan kakeknya. Disamping ilmu dan hafalannya yang kuat, beliau juga orang yang khusyu’ dan shalih”. Kemudian saya mendapati keterangan Imam Ibnu Qayyim yang sangat bagus dalam Tadzib Tahdzib 6/74 -Aunul Ma’bud-, beliau menguatkan riwayat Israil ini ditinjau dari lima segi. Walhamdulillah.
[20] Lihat Sunan Kubra al-Baihaqi 7/107, At-Tanqih Ibnul Jauzi 8/270-290, Nasbur Rayah az-Zailai’I 3/341-349, Talkhis Habir Ibnu Hajar 3/1173-11735, Irwaul Ghalil al-Albani6/235-243, Junnatul Murtab Abu Ishaq al-Huwaini 418-429.
[21] Lihat faedah-faedah hadits ini dalam Ma’alim Sunan al-Khothobi 3/196-197
[22] Syarh Sunnah 9.40-41.
[23] Syarh Ma’ani Atsar ath-Thhawi 3/7.
[24] Adapun hikmah dari syarat wali nikah bagi wanita adalah menjaga kaum wanita karena mereka mudah tertipu oleh kaum lelaki. (Al-Mughni 9/347 Ibnu Qudamah). Diantara hikmahnya juga adalah untuk membendung jalan perzinaan, karena seorang pezina dengan amat mudahnya nanti akan mengatakan kepada wanita: “Nikahilah aku dengan sepuluh dirham” dan saksinya adalah kedua temannya!! (I’lam Muwaqqi’in Ibnu Qayyim 5/59).
[25] HR. Muslim 1421
[26] Syarh Mumti’ 1/158-159 oleh Ibnu Utsaimin).
[27] Lihat I’lam Muwaqqi’in Ibnu Qayyim 6/175, Faidhul Qadir al-Munawi 6/4371, Subulus Salam ash-Shan’ani6/27, Syarh Mumti’ Ibnu Utsaimin2/70).
[28] Lihat pula Al-Hawi Al-Kabir al-Mawardi11/65, Syarh Shahih Muslim Nawawi 9/208, Subulus Salam ash-Shan’ani 6/37.
[29] Lihat Mu’jam Kabir ath-Thabrani 12483.
[30] Umdah Tafsir 2/123
[31] Ath-Thasfiyah wa Tarbiyah hal. 25.
[32] Ucapan Abul Hasan bin al-Hashshar dalam qashidahnya tentang surat makiyah dan madaniyah di kitabnya An-Nasikh wal Mansukh. Lihat Al-Itqan fi Ulum Qur’an 1/24 oleh al-Hafizh as-Suyuthi.
Minggu, 14 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar