Sesungguhnya di antara nikmat yang Allah berikan kepada manusia adalah dengan disempurnakannya agama ini, agama yang dengannya Rasulullah shallallah aialihi wasallam diutus membawa risalah dari Allah Ta’ala. Sehingga ketika manusia menghadapi problema hidupnya, sepantasnya ia merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang shahih. Sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah: “Kenikmatan yang mutlak adalah yang berkelanjutan, berupa kebahagiaan yang abadi yaitu nikmat Islam dan As Sunnah.” (Ijtima’ul Juyusy, Ibnul Qayyim)
Di sisi lain, para setan di bawah kepemimpinan Iblis terlaknat juga tidak akan pernah berhenti untuk melakukan tipu daya dengan berbagai rayuan manis sehingga menampakkan kebatilan seperti sebuah kebenaran yang tak perlu diragukan. Allah Ta’ala berfirman:
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوْءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا
“Maka apakah orang yang menganggap baik pekerjaannya yang buruk, lalu dia meyakini pekerjaan itu baik (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)?” (Fathir:
Dan firman-Nya:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِيْنَ أَعْمَالاً. الَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدَُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعاً
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat yang sebaik-baiknya’.” (Al-Kahfi: 103-104)
Namun seiring dengan munculnya kesesatan dan penyimpangan tersebut, akan tetap muncul para pembela sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menjelaskan kesesatan orang-orang yang mencampuradukkan antara yang haq dan yang batil. Juga membendung orang ataupun kelompok yang senantiasa mengaburkan dakwah yang benar yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shahabatnya.
Di antara golongan yang menyimpang dari petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shahabatnya adalah kaum Sufiyah. Aliran ini telah banyak memberikan ‘kontribusi’ kepada Islam dengan beragam bid’ahnya, yakni berupa model-model ibadah yang tidak ada asalnya dalam syariat. Parahnya lagi, setiap tarekat sufi mempunyai cara dan model tersendiri yang berbeda dengan kelompok sufi lainnya, tergantung bagaimana pemimpin mereka membuatnya.
Contoh yang paling nyata dan ‘terkini’ adalah model dan cara berdzikir ala Arifin Ilham, seorang tokoh sufi yang berasal dari Banjarmasin. Dengan gaya bahasa dan tutur katanya yang ‘lembut’, ia mampu memikat sekian banyak orang untuk ikut serta dalam acaranya. Pria wanita, tua muda, politikus maupun orang kebanyakan tak ketinggalan untuk terlibat di dalam amalan yang disebutnya sebagai dzikir taubat dan semacamnya. Secara berjamaah, dibacalah apa yang disebut dzikir itu dengan suara keras, diikuti suara tangisan sambil menggerak-gerakkan anggota tubuh. Tak ketinggalan untuk dibaca asmaul husna, shalawat Nabi, dan beberapa ayat Al Qur’an dengan cara serupa, suatu model yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah beliau sebut dengan BID’AH.
Pengertian Bid’ah
Bid’ah telah didefinisikan Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya Al-I’tisham: “Suatu jalan yang diada-adakan di dalam agama yang ingin menyamai syariat, yang dimaksudkan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Azza Wajalla.”
Dan beliau membaginya menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah haqiqiyyah, yaitu bid’ah yang sama sekali tidak didasari dengan dalil yang syar’i, tidak terdapat dalam Al Qur’an, tidak pula dalam As Sunnah. Dan tidak pula dalam ijma’ maupun qiyas, serta tidak berdasarkan pendalilan yang benar menurut ahli ilmu baik secara global maupun terperinci.
Kedua: Bid’ah idhafiyyah, yaitu bid’ah yang memiliki dua unsur. Unsur pertama berhubungan dengan dalil. Dari sisi ini, belum merupakan bid’ah. Namun dari unsur yang lain, tidak ada hubungan dengan dalil dan persis seperti bid’ah haqiqiyyah. Dan hal ini terkadang disebabkan karena adanya tambahan dalam cara mengerjakannya, waktu dan tempat yang tidak sesuai, dan sebagainya. (Al-I’tisham)
Dari pembagian tersebut, jelaslah bahwa tidak semua amalan yang asalnya dibangun di atas dalil, menjadi perkara yang disyariatkan secara utuh dari segala sisi. Namun harus dilihat dari cara, tempat, waktu, dan jumlahnya. Berkata As-Suyuthi rahimahullah dalam kitabnya Al-Amru bil Ittiba’ ketika menyebutkan bahwa sebagian bid’ah terkadang disangka oleh mayoritas kaum muslimin sebagai ibadah, ketaatan, dan cara mendekatkan diri kepada-Nya:
“Bagian yang kedua: Ada yang dianggap oleh sebagian manusia sebagai amalan taat dan mendekatkan diri (kepada Allah), padahal tidak demikian. Apakah meninggalkan amalan tersebut lebih afdhal dari melakukannya, yaitu apa-apa yang telah diperintahkan oleh syariat pada satu bentuk di antara sekian bentuk, pada waktu yang khusus atau tempat tertentu, seperti puasa di siang hari ataukah thawaf di Ka’bah? Ataukah (syariat) memerintahkan kepada seseorang tanpa yang lain, seperti yang Nabi shallallahu alaihi wsalallam khususkan dalam beberapa perkara mubah atau beberapa keringanan? Maka (datanglah) orang yang bodoh mengqiyaskannya. Kemudian diapun melakukannya, padahal hal tersebut terlarang atau mengqiyaskan sebagian bentuk (ibadah) dengan lainnya tanpa membedakan tempat dan waktu.” (Ilmu Ushul Bida’, hal. 77, ‘Ali Al-Halabi)
Di sini kami akan memberikan beberapa contoh tentang hal tersebut:
1) Membaca Al Qur’an merupakan ibadah yang mulia dan banyak keutamaannya sebagaimana disebutkan dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Cukuplah kami sebutkan di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Abu Umamah radhiallahu anhu. Ia berkata: Aku telah mendengar Rasululllah shallalahu alaihi wasallam bersabda:
اقْرَؤُوا الْقْرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لأَصْحَابِهِ
“Bacalah kalian Al Qur’an, karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat kepada para ahlinya.”
Meski keutamaannya besar, membaca Al Qur’an ternyata dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika dilakukan di saat sujud maupun ruku’ dalam shalat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma bahwa Rasululah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَلآ إِنِّيْ نُهِيْتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِداً فَأَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهَ الرَّبَّ وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِي الدُّعَاءِ فَقمن أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
“Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al Qur’an dalam keadaan ruku’ maupun sujud. Adapun ruku’, maka agungkanlah Rabb kepadanya. Adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a, maka selayaknyalah dikabulkan bagi kalian.”
2) Demikian pula shalat yang merupakan sebaik-baik perkara dan termasuk amalan yang paling afdhal, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
الصَّلاَةُ خَيْرُ مَوْضُوْعٍ
“Shalat adalah sebaik-baik perkara.”
(HR. At-Thabrani dalam Mu’jam Ash-Shagir dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Namun ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang shalat pada waktu-waktu tertentu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. Ia berkata:
شَهِدَ عِنْدِيْ رِجَالٌ مَرْضِيُّوْنَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِيْ عُمَرُ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطَّلِعَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Telah bersaksi di sisiku beberapa orang yang diridhai dan yang paling aku ridha adalah ‘Umar, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang shalat setelah fajar hingga terbitnya matahari, dan setelah ‘Ashar hingga terbenamnya matahari.”
Maka cukuplah dua contoh ini mewakili yang lainnya dalam menjelaskan bahwa amalan ibadah merupakan perkara tauqifiyyah.
Penyimpangan dalam Dzikir Berjamaah Model Arifin Ilham
1- Membaca dengan Suara Keras secara Berjamaah
Hal ini telah diingkari oleh para ulama karena tidak ada dasarnya sama sekali dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun kalangan shahabat, tabi’in dan yang mengikuti mereka dengan baik. Sehingga ini merupakan perkara bid’ah yang harus dijauhi. Berkata Asy-Syathibi rahimahullah:
“Apabila syariat menganjurkan dzikrullah kemudian suatu kaum menerapkannya dengan cara berkumpul di atas lisan dan suara yang satu. Atau pada waktu khusus yang telah diketahui di mana syariat tidak menetapkan pengkhususan itu, bahkan sebaliknya. Sebab, mewajibkan hal-hal yang tidak wajib secara syar’i berarti keadaannya adalah memahamkan syariat, khususnya bila orang itu dijadikan contoh dalam perkumpulan manusia seperti masjid-masjid. Maka apabila penampakannya seperti ini lalu diaplikasikan di masjid-masjid seperti syi’ar-syi’ar Islam lainnya yang telah ditetapkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di masjid-masjid dan semisalnya –seperti adzan, shalat ‘ied, istisqa, dan kusuf-, maka tidaklah diragukan bahwa (hal tersebut) difahami sebagai perkara sunnah, dan tidak difahami sebagai wajib. Lalu lebih pantas untuk tidak dikategorikan ke dalam dalil tersebut, maka dari sisi inilah menjadi bid’ah.”
Lalu beliau berkata: “Seperti pula doa, karena itu termasuk dzikrullah. Namun mereka (as-salafush shalih, red) tidak menetapkan cara-cara tertentu dan tidak mengkhususkan waktunya, -di mana hal itu memberikan isyarat adanya pengkhususan ibadah pada waktu-waktu tersebut- kecuali yang telah ditentukan oleh dalil, seperti waktu pagi dan petang. Dan mereka tidak menampakkannya kecuali apa yang dinyatakan syariat unutuk ditampakkan (di-jahr-kan), seperti berdzikir pada dua hari raya (takbir) dan yang semisalnya. Adapun selain itu, maka mereka senantiasa menyembunyikannya dan men-sirr-kannya. Oleh karena itu Nabi shallallahu alaihi wasallam mengatakan kepada mereka ketika mereka mengangkat suaranya:
أَرْبِعُوْا عَلىَ أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا
“Kasihanilah diri-diri kalian sesungguhnya kalian tidaklah meminta kepada yang tuli dan tidak hadir.” (Muttafaqun ‘alaih)
dan yang semisalnya. Maka mereka tidak mengeraskannya pada perkumpulan-perkumpulan.
Maka setiap yang menyelisihi prinsip ini, maka sungguh dia telah menyelisihi dalil yang mutlak. Karena dia mengkhususkannya dengan akal dan menyelisihi orang yang lebih mengerti tentang syariat –yaitu mereka para ulama salafus shalih-. Bahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam meninggalkan suatu amalan yang beliau senang mengerjakannya, karena khawatir diamalkan oleh manusia lalu diwajibkan atas mereka.” (Al-I’tisham, 1/318-319, Asy-Syathibi)
2)- Bid’ahnya Shalawat Model Arifin Ilham:
Inilah model shalawat yang diucapkan pada dzikir bid’ahnya:
يَا نَبِيُّ سَلاَمٌ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ
يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ
Dan dalam buku tulisan Ahmad Dimyathi Badruzzaman tentang dzikir berjamaah menyebutkannya dengan lafadz:
السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا نَبِيَّ اللهِ
السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ
السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا حَبِيْبَ اللهِ
Lafadz model ini termasuk shalawat yang menyimpang dari Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena tidaklah demikian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajarkan umatnya. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan lafadz hadits lebih afdhal dari setiap lafadz, dan tidaklah ditambah seperti pada (lafadz adzan dan tasyahhud). Ini dikatakan oleh imam yang empat dan selainnya.” (Mukhtashar Fatawa Al-Mishriyyah, hal. 92)
Demikian pula lafadz “habibullah” tidaklah shahih penisbahannya kepada Rasulullah shallallahu aalihi wasallam. Berkata Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah:
“Telah tsabit bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam mendapatkan derajat kecintaan tertinggi, yaitu khullah (khalilullah yang berarti kekasih dekat Allah, red). Sebagaimana telah shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ اتَّخَذَنِي خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً
“Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai khalil sebagaimana telah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” (HR. Muslim)
dan sabdanya:
وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أَهْلِ اْلأَرْضِ خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً وَلَكِنْ صَاحِبُكُمْ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ
“Kalau sekiranya aku mengambil dari penduduk bumi sebagai khalil, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil. Namun shahabat kalian ini (yaitu Nabi) adalah khalilnya Ar-Rahman.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan juga semakna diriwayatkan Muslim)
Dan keduanya terdapat dalam kitab Shahih. Dengan kedua (hadits) ini membatalkan perkataan yang mengatakan: Al-Khullah (khalilullah) untuk Ibrahim sedangkan Al-Mahabbah (Habibullah) untuk Muhammad. Maka Ibrahim adalah Khalilullah sedangkan Muhammad adalah Habibullah.”
Lalu beliau melanjutkan, “Adapun mahabbah maka itu didapatkan oleh selain beliau shallallahu alaihi wasallam. Allah berfirman:
وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan Allah cinta kepada setiap orang yang berbuat baik.” (Ali ‘Imran: 134)
Dan firman-Nya:
فَإِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ
“Sesungguhnya Allah cinta (mahabbah) kepada orang yang bertaqwa.” (Ali ‘Imran: 76)
Dan firman-Nya:
فَإِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Sesungguhnya Allah cinta kepada orang yang selalu bertaubat dan bersuci.” (Al-Baqarah: 222)
Maka batallah pendapat yang mengatakan kekhususan khullah bagi Ibrahim dan mahabbah bagi Muhammad. Namun khullah adalah khusus bagi keduanya sedangkan mahabbah untuk umum. Adapun hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan At-Tirmidzi yang padanya terdapat:
إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلُ اللهِ أَلآ وَأَنَا حَبِيْبُ اللهِ وَلاَ فَخْرَ
‘Sesungguhnya Ibrahim itu khalilullah. Ketahuilah, aku adalah habibullah dan tidak sombong.’
Ini tidak shahih” (Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah, 1/164-165, tahqiq Al-Arnauth).
3)- Mengeraskan dan Mengangkat Suara ketika Berdo’a
Hal ini bertentangan dengan firman Allah yang memerintahkan untuk merendahkan suara di saat berdoa. Firman-Nya:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيْلاً
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya. Dan carilah jalan tengah antara keduanya.” (Al-Isra: 110)
Makna (بصلاتك) yaitu: doamu. Berkata ‘Aisyah radhiallahu anha: “Ayat ini diturunkan tentang doa.” (Muttafaqun alaihi)
Dan firman-Nya:
ادْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-A’raf: 55)
Berkata sebagian ahli tafsir: “Makna ‘orang-orang yang melampaui batas’ dalam mengangkat suaranya dalam doa.” Berkata Ibnu Juraij dalam menafsirkan ayat ini: ”Termasuk melampaui batas: mengangkat suara dalam memanggil dan doa seperti berteriak. Adalah mereka diperintahkan merendahkan dan tenang.” (Lihat Tash-hih Ad-Du’a, hal. 71, Bakr bin Abdillah Abu Zaid)
4)- Menggerak-gerakkan Tubuh ketika Dzikir
Ini termasuk menyerupai orang Yahudi ketika mereka membaca kitab mereka. Berkata Ar-Ra’i Al-Andalusi rahimahullah: “Demikian pula penduduk Mesir telah menyerupai Yahudi dalam bergerak-gerak di saat belajar dan sibuk. Dan ini termasuk perbuatan orang Yahudi.”
Berkata Bakr Abu Zaid: “Wajib atas orang-orang yang berdzikir kepada Allah, yang bertawajjuh dengan doa kepada Allah, para penghafal kitab Allah, yang membuat madrasah-madrasah dan halaqah tahfidz Al Qur’an agar meninggalkan bid’ah bergerak-gerak ketika membaca. Dan hendaklah mendidik anak-anak kaum muslimin di atas sunnah dan menjauhi bid’ah.” (Tash-hih Ad-Du’a, hal. 80-81) . Wallahul Muwaffiq Ilaa Sabiil Ar-rasyaad
Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamaal Al-Bugisi, Judul : Bid’ahnya Dzikir Berjamaah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar