Oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad
Berkaitan dengan permasalahan ini maka perlu dibahas dari dua sisi:
1. Shalat di area pekuburan.
2. Shalat menghadap ke kuburan.
Masalah shalat di atas area pekuburan, hal ini diperselisihkan oleh para ulama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Iqtidha Shirathal
Mustaqim (hal. 467): "
area pekuburan, (hukumnya) haram atau makruh? Jika dikatakan haram maka apakah
shalatnya tetap sah (meskipun pelakunya berdosa) atau tidak? Yang masyhur di
kalangan kami[1] bahwa hukumnya haram dan shalatnya tidak sah (batal)."
Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata di dalam kitab yang sama pada hal. 460
berkenaan dengan masjid yang dibangun di atas kuburan[2]: "Aku tidak mengetahui
adanya khilaf (perselisihan pendapat) tentang dibencinya shalat di masjid
tersebut dan menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab kami shalat (tersebut)
tidak sah (batal) karena adanya larangan dan laknat dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam terhadap perkara itu."
Jadi shalat di area pekuburan (tanpa masjid) begitu pula di masjid yang
dibangun di atas kuburan hukumnya haram menurut pendapat yang masyhur di
kalangan Hanabilah mengikuti pendapat Al-Imam Ahmad sebagaimana diriwayatkan
oleh Ibnu Hazm darinya dan dibenarkan (dirajihkan) oleh Ibnu Hazm. (Lihat
Ahkamul Janaiz karya Al-Albani rahimahullah hal. 273-274). Dan pendapat ini
dirajihkan (dipilih) pula oleh Syaikhul Islam rahimahullah sebagaimana dalam
Al-Ikhtiyarat Al-'Ilmiyyah hal. 25, Asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul
Authar (2/134), Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti'
(2/232-236) dan Syarh Bulughul Maram (kaset).[3] Begitu pula Ibnul Qayyim
rahimahullah menegaskan batalnya shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan
dalam Zadul Ma'ad (3/572) dan Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i
rahimahullah dalam Ijabatus Sail hal. 200.
dalil:
1. Hadits Abu Sa'id Al-Khudri radhiallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam
Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah,
Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Syaikhul Islam dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim hal.
462-463, Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 270, Asy-Syaikh Muqbil
bin Hadi Al-Wadi'i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/277-278), bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اْلأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
"Bumi itu semuanya merupakan masjid (tempat shalat) kecuali kuburan dan kamar
mandi."
2. Hadits 'Aisyah radhiallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِياَئِهِمْ مَسَاجِدَ
"Allah melaknat Yahudi dan Nashara dikarenakan mereka menjadikan kuburan
nabi-nabi mereka sebagai masjid." (HR. Al-Bukhari no. 435 dan Muslim no. 529)
Syaikhul Islam rahimahullah dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim hal. 462
berkata: "Termasuk di antaranya shalat di pekuburan meskipun tidak ada bangunan
masjid di
sebagai masjid sebagaimana kata 'Aisyah radhiallahu 'anha[4]: "Kalau bukan
karena hal itu maka sungguh kuburan Rasulullah akan ditampakkan[5], akan tetapi
beliau khawatir (takut) kuburannya akan dijadikan masjid." Dan bukanlah maksud
'Aisyah radhiallahu 'anha pembangunan masjid semata, karena para shahabat
radhiallahu 'anhum tidak akan melakukan pembangunan masjid di sisi kuburan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi maksud Aisyah radhiallahu 'anha
adalah kekhawatiran bahwa orang-orang akan melakukan shalat di sisi kuburan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Setiap tempat yang dimaksudkan untuk shalat padanya berarti telah dijadikan
masjid. Bahkan setiap tempat shalat maka itu dinamakan masjid meskipun tidak
ada bangunan masjidnya, sebagaimana kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam [6]: "Telah dijadikan bumi bagiku sebagai masjid (tempat shalat) dan
alat untuk bersuci (dengan tayammum)."
3. Alasan bahwa shalat di area pekuburan dimungkinkan sebagai wasilah yang
menyeret kepada penyembahan kuburan atau tasyabbuh (menyerupai) para penyembah
kubur.
Kemudian perlu diketahui bahwa tidak ada perbedaan antara area pekuburan yang
penghuni (kuburan)nya baru satu, atau dua, dan seterusnya. Yang jelas kalau
suatu area tanah tertentu telah disediakan untuk pekuburan maka jika telah ada
satu mayat yang dikuburkan berarti telah menjadi pekuburan. Ini menurut
pendapat yang kuat (rajih) yang dipilih oleh Asy-Syaukani dalam Nailul Authar
(2/134), Syaikhul Islam dalam Al-Iqtidha (hal. 460) dan Asy-Syaikh Ibnu
'Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti' (2/235)[7]. Dan hukum ini berlaku sama saja
selama dia shalat di area pekuburan, baik kuburannya di hadapan orang yang
shalat, di sampingnya atau di belakangnya, sebagaimana disebutkan dalam
Al-Ikhtiyarat hal. 25 dan Syarh Bulughul Maram (kaset).
Begitu pula halnya dengan shalat di masjid yang dibangun di atas satu kuburan
atau lebih, sama saja baik kuburannya di depan orang yang shalat atau tidak.
Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin dalam Syarh Bulughul Maram (kaset) berkata: "Demikian
pula hukumnya kalau suatu masjid dibangun di atas suatu kuburan karena masjid
itu masuk dalam kategori area pekuburan, mengingat bahwa ketika kuburannya
dalam masjid maka berarti masjid itu telah menjadi tempat pekuburan.
Adapun jika suatu mayat dikuburkan dalam masjid (yang telah dibangun lebih
dulu) maka wajib hukumnya untuk membongkar kuburan tersebut kemudian
dipindahkan ke pekuburan kaum muslimin dan tidak boleh dibiarkan tetap dalam
masjid. Namun shalat di dalam masjid tersebut tetap sah selama kuburannya bukan
di depan orang yang shalat, karena jika demikian (kuburannya di depan orang
yang shalat –red) maka shalatnya batal."
Apa yang ditegaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin di atas bahwa shalat
menghadap ke kuburan[8] tidak sah merupakan pendapat Ibnu Qudamah dalam
Al-Mugni (2/50), Syaikhul Islam dalam Al-Ikhtiyarat hal. 25, Ibnu Hazm dan ini
merupakan pendapat Al-Imam Ahmad sebagaimana diriwayatkan darinya oleh Ibnu
Hazm sebagaimana dalam Ahkamul Janaiz hal. 273-274. Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin
rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti' (2/247) setelah beliau menegaskan
haramnya shalat menghadap ke pekuburan dan pendapat yang mengatakan makruh
adalah marjuh (lemah), kemudian beliau berkata: "Kalau dikatakan bahwa
shalatnya tidak sah maka sungguh sisi kebenarannya kuat, karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits Abi Martsad
Al-Ghanawi radhiallahu 'anhu:
لاَ تَجْلِسُوْا عَلىَ الْقُبُوْرِ وَلاَ تُصَلُّوا إِلَيْهَا
"Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya."
(HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan haramnya shalat menghadap ke area pekuburan atau ke
kuburan-kuburan atau ke satu kuburan (sekalipun). Dan juga karena alasan
dilarangnya shalat di area pekuburan terdapat pula pada shalat menghadap ke
kuburan. Maka selama seseorang masuk dalam kategori shalat menghadap ke kuburan
atau ke area pekuburan berarti dia telah masuk dalam larangan. Jika demikian
maka shalatnya tidak sah berdasarkan hadits (di atas): "Janganlah kalian shalat
menghadap ke kuburan." Jadi larangan menghadap ke kuburan khusus ketika shalat,
maka barangsiapa shalat menghadap ke kuburan berarti terkumpul pada amalannya
antara ketaatan dan maksiat, dan tidak mungkin seseorang mendekatkan diri
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan cara demikian..
Jika ditanyakan apa yang dianggap batas pemisah antara dia dengan kuburan? Kami
katakan: Dinding merupakan pemisah, kecuali jika itu dinding pekuburan maka ada
sedikit keraguan dengannya. Namun jika ada dinding lain yang memisahkan antara
kamu dan pekuburan maka tidak ada keraguan lagi bahwa itu tidak masuk dalam
larangan. Demikian pula jika antara kamu dan pekuburan ada jalan, atau antara
kamu dan pekuburan ada jarak pemisah, yang sebagian ulama menyatakan seperti
jaraknya pembatas shalat. Berdasarkan ini berarti jaraknya dekat. Namun ini
tetap menyisakan keraguan, karena seseorang yang melihat engkau shalat
sementara di depanmu ada pekuburan sejarak 3 hasta tanpa dinding pemisah, dia
akan menyangka engkau shalat menghadap ke kuburan. Jika demikian berarti butuh
jarak yang cukup, yang dengannya diketahui bahwa engkau shalat tidak menghadap
ke kuburan."
Jika demikian maka apabila ada masjid yang dikelilingi oleh kuburan dari luar
dinding masjid (termasuk di depannya) maka shalat di dalamnya sah, dan hal ini
telah ditegaskan oleh Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i dalam Ijabatus Sail
hal. 200. Sementara itu sebagian ulama Hanabilah dan dinukilkan dari Al-Imam
Ahmad (berpendapat) bahwa tidak boleh shalat di masjid yang di depannya ada
kuburan hingga ada dinding lain selain dinding masjid sebagai pemisah (lihat
Al-Ikhtiyarat hal. 20). Dengan demikian, sebaiknya menghindari shalat di masjid
tersebut jika ada masjid lain, meskipun shalat di situ tetap sah sebagaimana
kata Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin dan Asy-Syaikh Muqbil rahimahumallah.
Wallahu a'lam bish-shawab.
CATATAN KAKI:
1 Maksudnya kalangan fuqaha Hanabilah (pengikut madzhab Al-Imam Ahmad).
2 Dalam arti kuburannya di dalam masjid.
3 Syarah hadits Abu Sa'id Al-Khudri yang akan disebutkan nanti.
4 Setelah Aisyah radhiallahu 'anha meriwayatkan hadits di atas: "Allah melaknat
…. dst."
5 Artinya beliau akan dikuburkan di luar rumah, di pekuburan Baqi' misalnya,
bersama para shahabat radhiallahu 'anhum. Lihat Al-Qaulul Mufid syarah Kitabut
Tauhid (1/347) karya Asy-Syaikh Al-'Utsaimin rahimahullah.
6 HR. Al-Bukhari no. 330 dan Muslim no. 520 dari Jabir radhiallahu 'anhu.
7 Karena ada sebagian ulama menganggap bahwa yang dilarang adalah bila sudah
ada 3 kuburan atau lebih.
8 Dalam arti dia di luar area pekuburan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar