Cari Ilmu Yuuck...

Kamis, 28 Januari 2010

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Tidak Mengetahui Alam Gaib

Oleh

Ustadz Nur Kholis bin Kurdian

 

 

قل لأ املك لنفسى نفعا ولأ ضرا الأ ما شاءاللة ولو كنت اعام الغيب لأستكثرت من الخير ومامسنىالسوء ان انا الأ ندير وبشير لقوم يؤمنون

 

"Katakanlah (wahai Muhammad):Aku tidak kuasa mendatangkan kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula kuasa menolak kemadharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan andaikata aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemadharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". [al-A’râf: 188]

 

PENJELASAN AYAT

 

TIDAK ADA YANG MENGETAHUI PERKARA GAIB KECUALI HANYA ALLAH TA’ALA.

Termasuk bagian dari dasar-dasar agama Islam adalah mengimani bahwa tidak ada yang mengetahui perkara gaib kecuali hanya Allah Azza wa Jalla semata, sedangkan para Nabi dan Rasul-Nya tidak mengetahui perkara gaib, kecuali pada hal-hal yang telah dikabarkan oleh Allah ta’ala kepada mereka.

 

Dalam ayat di atas menerangkan, Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menjawab pertanyaan orang-orang Quraisy atau yang lainnya tentang kapan terjadinya hari Kiamat[1], dengan suatu jawaban yang menunjukkan tidak ada makhluk yang mengetahui kepastian waktu terjadinya kecuali Allah Azza wa Jalla saja.

 

Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan-Nya yang tidak kuasa mendatangkan kemanfaatan bagi dirinya dan tidak pula kuasa menolak bahaya kecuali yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla. Oleh sebab itu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mempunyai pengetahuan yang mutlak atas perkara gaib. Pengetahuan beliau tentang itu terbatas dan tidak mencakup secara keseluruhan. Itu pun tidak terlepas dari wahyu dari Allah Azza wa Jalla.

 

Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menjelaskan ayat sebelumnya (yang berbunyi) :

 

"Mereka menanyakan kepadamu tentang Kiamat; kapan terjadinya?, Katakanlah:” Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu ada di sisi Rabb-ku, tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia.” . [al-A’râf: 187].

 

Lantas beliau meneruskan, “(Oleh sebab itu) jika beliau tidak kuasa mendatangkan kemanfaatan bagi dirinya dan tidak pula mampu menolak kemadharatan kecuali yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla, maka demikian pula beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui perkara gaib yang tidak dikabarkan oleh Allah Azza wa Jalla kepadanya. Hal ini menunjukkan sifat ‘ubûdiyah (status sebagai seorang hamba dan makhluk) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (di hadapan Allah Azza wa Jalla) dan bahwa seorang hamba itu lemah, tidak mampu mengetahui urusan-urusan Rabbnya.[2]

 

Kemudian dijelaskan di dalam firman Allah Azza wa Jalla berikutnya yang berbunyi:

 

"Dan andaikata aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemadharatan…

 

Pengertian penggalan ayat di atas, andaikata aku mengetahui semua perkara yang gaib, pastilah aku akan selalu menyiapkan yang terbaik dan selalu waspada terhadap apa yang akan menimpaku. Akan tetapi, aku adalah seorang hamba yang tidak mengetahui apa-apa yang di sisi Rabb-ku tentang qadha dan qadar-Nya (ketentuan dan takdir Allah Azza wa Jalla) atas diriku.[3]

 

Di dalam ayat yang lain, Allah k juga menjelaskan bahwa kunci-kunci perkara gaib hanyalah ada disisi-Nya.

 

Allah Azza wa jalla berfirman:

 

"Dan di sisi Allah-lah kunci-kunci yang ghaib" [al-An’âm/6:59].

 

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

 

"Sesungguhnya hanya di sisi Allah sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim, dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang diusahakan besok, dan tiada seorang pun yang mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengena" [Luqmân: 34].

 

Perkara-perkara yang diberitakan Allah dalam ayat di atas adalah kunci-kunci perkara gaib. Allah Azza wa Jalla merahasiakannya dari siapapun. Termasuk juga pengetahuan tentang datangnya hari Kiamat juga dirahasiakan oleh Allah Azza wa Jalla, tidak ada yang dapat mengetahuinya, baik seorang Nabi yang diutus maupun malaikat yang terdekat dengan Allah k sekalipun.[4]

 

KEYAKINAN YANG PARAH

Ayat di atas merupakan salah satu bantahan terhadap keyakinan sebagian orang Sufi yang bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka sampai mengatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui seluruh perkara gaib secara mutlak dan takdir Allah Azza wa Jalla atas semua yang akan terjadi pada makhluk-Nya yang telah ditulis di Lauhul mahfuzh.

 

Contoh nyata dari keyakinan keliru itu, perkataan al-Bushiri penulis qashidah Burdah yang sudah masyhur di tanah air, ia mengatakan:

 

فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتِهَا وَمِنْ عُلُوْمِكِ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ

 

Sesungguhnya termasuk dari kemurahanmu-lah (wahai Rasul) adanya dunia dan akhirat.

Dan di antara pengetahuanmu, pengetahuan (tentang isi) di Lauhul mahfuzh dan pena (yang menulisnya)

 

Sudah jelas, perkataan ini tidak pantas diucapkan kecuali untuk Allah Azza wa Jalla.[5]

 

Ada juga yang mengaku mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat melalui proses kasyf yang telah dicapainya[6]. Dengan lantang, ia mengatakan, “Pada tahun sekian, tanggal sekian, dan jam sekian, akan terjadi hari Kiamat”, -Na’udzubillah min dzalik- bukankah perkataan tersebut perkataan kufur?. Bagaimana tidak??!! Perkataan ini jelas-jelas menentang ayat di atas. Sebab, Allah Azza wa Jalla telah menyebutkan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat kecuali hanya Dia Azza wa Jalla saja?

 

Sementara orang juga meyakini bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengetahui kapan terjadinya hari Akhir. Pernyataan ini terbantahkan dengan riwayat yang berasal dari istri Rasulullah ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha.

 

Aisyah, Ummul Mukminin Radhiyallahu 'anha berkata:

 

وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يُخْبِرُ بِمَا يَكُونُ فِى غَدٍ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَةَ وَاللَّهُ يَقُولُ (قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ ).

 

"Barang siapa yang mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui apa yang akan terjadi di esok hari, maka sungguh dia telah berbuat dusta yang besar kepada Allah Azza wa Jalla (Karena) Allah Azza wa jalla telah berfirman (yang artinya), ”Katakanlah, tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah[7].”.[8]

 

Jika keyakinan seperti ini, yaitu meyakini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui apa yang akan terjadi esok hari, sudah merupakan kedustaan yang amat besar terhadap Allah Azza wa Jalla, maka bagaimana dengan orang yang mengaku bahwa dirinya mengetahui apa yang akan terjadi esok hari?.

 

Kemudian di akhir ayat, Allah Azza wa Jalla berfirman:

 

إِنْ أَنَاْ إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

 

"Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman".

 

Ayat ini menerangkan bahwa tugas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah memberi peringatan kepada orang musyrik dan para pelaku maksiat akan datangnya adzab Allah Azza wa jalla (atas mereka) dan memberi kabar gembira dengan perolehan pahala yang atas keimanan dan tauhid serta amal shaleh (bagi orang mukmin). (Dan penetapan) bahwa beliau bukanlah Rabb (Penguasa alam) yang mengetahui yang gaib secara mutlak.[9]

 

BUKTI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM TIDAK MENGETAHUI PERKARA GAIB.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah mengetahui perkara gaib kecuali yang telah dikabarkan oleh Allah k kepada beliau. Tidak semua perkara gaib itu diketahui oleh beliau. Berikut ini dua diantara banyak riwayat yang membuktikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menguasai ilmu gaib:

 

1). Di bulan Jumâdal ula dan Jumâdats tsâniyah, pada tahun ke-2 Hijriyah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama 150 atau 200 pasukan Muhajirin keluar dari Madinah untuk menghadang kafilah dagang suku Quraisy yang bergerak dari Mekkah menuju Negeri Syam yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Sesuai berita yang sampai kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, rombongan dagang itu membawa banyak barang dagangan Ketika sampai pada daerah ‘Usyairah (tempat dekat kota Yanbu’), beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ternyata tidak menjumpainya, karena kafilah dagang milik kaum Quraisy telah melewati tempat itu beberapa hari sebelumnya. Maka, beliau bersama pasukannya kembali ke Madinah.[10]

 

Dari peristiwa di atas, seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui dengan pasti kapan kafilah tersebut sampai di ‘Usyairah, tentu beliau akan tiba di sana tepat waktu.

 

2.) Ketika ‘Aisyah Radhiyallahu 'anhuma tertinggal dari rombongan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena mencari kalungnya yang hilang, beliau dan rombongan tidak mengetahui kalau ‘Aisyah Radhiyallahu 'anhuma tidak ada di dalam sekedupnya Waktu itu mereka menyangka ‘Aisyah Radhiyallahu 'anhuma sudah berada di dalamnya, setelah menyelesaikan urusannya. Mereka baru mengetahui dimana ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, saat Shafwân bin Mu’aththal Radhiyallahu 'anhu mengantar ‘Aisyah Radhiyallahu 'anhuma kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

 

Selanjutnya, berkembang isu ‘Aisyah berselingkuh yang disebarkan oleh orang-orang munafik. Berita itu pun sampai ke telinga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Saat itu, beliau tidak mengetahui benar tidaknya kabar yang sedang tersiar itu. Selama sebulan, beliau berdiam diri. Beberapa Sahabat pun sempat beliau mintai pendapat, seperti ‘Ali bin Abi Thâlib dan Usâmah bin Zaid Radhiyallahu 'anhuma tentang ‘Aisyah Radhiyallahu 'anhuma.

 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baru mengetahui bahwa tuduhan tersebut merupakan kedustaan setelah Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat tentang barâ`ah (terbebasnya) ‘Aisyah Radhiyallahu 'anhuma dari tuduhan itu.

 

Dan masih banyak lagi bukti lain yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mengetahui yang gaib kecuali apa-apa yang telah dikabarkan oleh Allah Azza wa Jalla kepada beliau.

 

PELAJARAN DARI AYAT:

1. Pengetahuan tentang waktu terjadinya Kiamat itu hanya ada pada Allah Azza wa Jalla saja, sedangkan setiap orang yang ditanya tentang hal ini, dia tidaklah lebih mengetahui dari si penanya.

2. Tanda-tanda hari Kiamat yang disebutkan di dalam al-Qur’ân maupun Hadits, bukan berarti hari Kiamat telah diketahui kapan terjadinya, akan tetapi tanda-tanda tersebut merupakan indiktor awal akan terjadinya hari Kiamat

3. Hanya Allah Azza wa Jalla yang mengetahui perkara yang gaib secara mutlak. Para rasul dan nabi Allah Azza wa Jalla adalah hamba-hamba-Nya yang tidak mengetahui yang gaib kecuali yang telah diberitakan kepada mereka.

4. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan-Nya, insan yang dipilih oleh Allah Azza wa Jalla untuk mengemban risalah Ilahi kepada seluruh umat manusia. Kedudukan beliau sangat tinggi di sisi-Nya. Sungguhpun demikian, beliau tidak mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat, apalagi orang yang derajatnya di bawah beliau.

5. Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui beberapa perkara gaib setelah diberitahu oleh Allah Azza wa Jalla, maka tidak boleh dikatakan bahwa beliau mengetahui yang gaib secara mutlak. Wallahu a’lam.

 

Maraji’:

1. Aisarut Tafâsîr, Abu Bakr Jabir al-Jazâiri, Maktabatul Ulûm Wal Hikam, Madinah. Cetakan 5. Tahun 1424 H – 2003 M.

2. Tafsîr al-Qur’ânul ‘Azhîm, Ibnu Katsir. Tahqiq Sami bin Muhammad Salamah. Dar Thaibah. Cetakan 2, Tahun 1420 H – 1999 M.

3. Fat-hul Qadîr, Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani. Darul Kutub al-Ilmiah Beirut-Lebanon. Cetakan 1. Tahun 1415 H – 1994 M.

4. Shahîh Bukhâri, Muhammad bin Isma’il al-Bukhâri. Tahqiq Dr. Mushtafa Dibul Bugha. Dar Ibnu Katsîr, Beirut, Cetakan 3, Tahun 1407 H – 1987 M.

5. Shahîh Muslim, Muslim Ibnul Hajjâj an-Naisâburi, Dârul Jîl dan Dârul Afâq al-Jadîdah Beirut.

6. Sîrah Nabawiyah, Ibnu Hisyâm. Dârul Ma’rifah Beirut – Lebanon.

7. Sîrah Nabawiyah fi Dhauil Mashâdir al-Ashliyyah, Dr. Mahdi Rizqullah. Dâr ‘Imâmud Da’wah, Riyadh. Cetakan II, Tahun 1424 H – 2003 M.

8. Rahîqul Makhtûm, Shafiyurrahmân Mubârakfuri. Cetakan Muassasah Haramain al-Khairiyyah, Riyadh.

9. At-Tamhîd Li Syarhi Kitâbit Tauhid, Shâlih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh. Dârut Tauhîd, Riyadh, Cetakan 1, Tahun 1423 H – 2002 M.

 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/Shafar 1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

_________

Footnotes

[1]. Aisarut Tafâsîr (2/271).

[2]. Fat-hul Qadîr (1/349).

[3]. Fat-hul Qadîr (1/349).

[4]. Tafsîr al-Qur’ânul ‘Azhîm (6/352).

[5]. At-Tamhîd Li Syarhi Kitâbit Tauhid hl.239.

[6]. Pengertian kasyf dalam idiologi Sufi adalah terbukanya tabir (rahasia Ilahi) bagi hati dan penglihatan orang Sufi sehingga dia (bisa melihat alam kabir dan alam shaghir), serta mengetahui apa-apa yang di langit dan di bumi dan mengetahui apa-apa yang akan terjadi.

[7]. an-Naml: 65

[8]. Shahîh Bukhâr (4/1840), Shahîh Muslim (1/110). Teks ini milik Muslim

[9]. Aisarut Tafâsîr (2/271).

[10]. Rahîqul Makhtûm hal.295, Sîrah Nabawiyah fi Dhauil Mashâdir al-Ashliyyah (1/400-4001).

[11]. Shahîh Muslim (8/112) dengan diringkas..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar